Senin, 04 Januari 2010


MENYOROT KINERJA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Agustus 4, 2008 oleh yayatsujatna
http://yayatsujatna.wordpress.com/2008/08/04/menyorot-kinerja-perbankan-syariah-di-indonesia/
Oleh: Yayat Sujatna dan Zaini Ibrahim
Bisnis perbankan merupakan salah satu jenis bisnis yang penuh dengan risiko. Risiko tersebut dapat timbul dari sisi internal maupun eksternal operasional perbankan. Risiko internal biasanya muncul akibat kebijakan manajemen dalam mengambil keputusan, sedangkan risiko eksternal lebih disebabkan dari kondisi perekonomian atau kebijakan pemerintah dalam bidang perekonomian.
Ada beberapa risiko yang biasa dihadapi dalam pengelolaan sebuah bank. Business risk dan event risk merupakan dua jenis risiko yang sebagian besar tidak langsung dipengaruhi oleh kinerja bank. Risiko-risiko tersebut justru dalam prakteknya lebih banyak ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain di luar bank (Ali, 2004).
Untuk menanggulangi akibat-akibat negatif yang mungkin menimpa bank akibat business risk, manajemen aset dan liabilitas merupakan langkah antisipatif paling tepat yang harus dilakukan oleh manajemen bank. Sejak tahun 1970 manajemen aset dan liabilitas mengalami perkembangan yang amat pesat dan memegang peranan penting dalam pengelolaan dana bank. Riyadi (2000) mendefinisikan manajemen aset dan liabilitas merupakan suatu proses planning, organizing, actuating, dan controlling untuk mendapatkan penetapan kebijakan di bidang pengelolaan permodalan (equity), pemupukan dana (funding) dan penggunaan dana (asset) yang satu sama lain terkait (terkoordinasi) dalam mencapai tingkat laba yang optimal dengan tingkat risiko yang telah diperhitungkan.
Perbankan syariah di Indonesia muncul pertama kali ditandai dengan lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992. Selama ini, kinerja perbankan syariah menunjukkan prospek yang sangat menjanjikan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah aset bank syariah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah aset ini dipengaruhi oleh pengambilan keputusan berdasarkan proses asset & liabilities management (ALMA) yang diterapkan oleh perbankan syariah tersebut.
Tulisan ini akan membahas mengenai kinerja perbankan syariah dilihat dari sisi ALMA. Pembahasan dilakukan dengan cara menganalisis kinerja perbankan syariah berdasarkan Statistik Perbankan Syariah per bulan Juni 2004, Juni 2005, dan Juni 2006. Selain itu, akan sedikit disinggung mengenai peran sosial perbankan syariah, serta bagaimana perbankan syariah mengatasi tantangan yang akan dihadapi pada masa yang akan datang.
ASSET MANAGEMENT PERBANKAN SYARIAH
Perbankan syariah tumbuh dengan pesat selama 3 tahun terakhir. Hal ini dapat dilihat dari tabel 1 mengenai total aset perbankan syariah yang mengalami pertumbuhan sebesar 28% dari posisi Rp.17,7 triliun pada bulan Juni 2005 menjadi Rp.22,7 triliun per Juni 2006. Pertumbuhan total aset pada periode ini mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mengalami pertumbuhan sebesar 61% dari Rp.11 triliun di bulan Juni 2004 menjadi Rp.17,7 triliun per Juni 2005.
Pada sisi pendanaan, bank syariah harus menghadapi tingginya tingkat suku bunga. Di mana kondisi ini disinyalir menjadi salah satu faktor yang menarik bagi nasabah “mengambang”. Sehingga sangat mungkin, hal inilah yang kemudian menyebabkan turunnya Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah. Sementara itu pada sisi pembiayaan bank syariah, produk pembiayaan bank-bank syariah masih didominasi oleh akad jual beli (khususnya murabahah). Di mana perbankan syariah harus menghadapi tingginya inflasi yang kemudian menyebabkan produk pembiayaan bank syariah secara umum menjadi relatif lebih mahal. Meskipun dari segi pertumbuhan volume usaha mengalami perlambatan, secara umum kondisi industri perbankan syariah sampai pertengahan tahun 2006 masih tetap memperlihatkan kinerja yang baik. Hal ini tercermin dari kualitas aset yang tetap terjaga baik, profitabilitas yang meningkat dan kondisi permodalan yang memadai, serta daya jangkau jaringan operasional dan pelayanan yang semakin luas. Sementara itu, pertumbuhan dana yang dihimpun dan diikuti pertumbuhan pembiayaan, terbukti mampu meningkatkan pangsa usaha perbankan syariah terhadap perbankan nasional. Dengan begitu, diharapkan sampai akhir tahun 2006 ini, total aset perbankan syariah terus mengalami peningkatan yang signifikan.
Tabel 1.
Pertumbuhan Aset Perbankan Syariah
Periode Juni 2004 – Juni 2006 (Juta Rupiah)
Juni 2004
Juni 2005
Juni 2006
Total Asset
11,023,317
17,743,050
22,700,820
Pertumbuhan
-
61%
28%
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, BI
Pertumbuhan total aset dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah komposisi pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah dalam berbagai bentuk, seperti: mudharabah, musyarakah, murabahah, istishna, dan salam).
Tabel 2.
Komposisi Pembiayaan Perbankan Syariah
Periode Juni 2004 – Juni 2006 (Juta Rupiah)
Rincian Pembiayaan
Juni 2004
Juni 2005
Juni 2006
Nilai
944,472
1,787,774
2,099,122
Pertumbuhan
-
89.29%
17.42%
Pembiayaan Mudharabah
Nilai
1,459,218
2,744,612
3,560,848
Pertumbuhan
-
88.09%
29.74%
Piutang
Murabahah
Nilai
5,398,358
9,155,843
11,778,333
Pertumbuhan
-
69.60%
28.64%
Piutang
Isthisna
Nilai
327,061
301,494
293,359
Pertumbuhan
-
(7.82%)
(2.70%)
Lainnya
Nilai
227,071
280,658
430,464
Pertumbuhan
-
23.60%
53.38%
TOTAL
8,356,180
14,270,381
18,162,126
Pertumbuhan
-
71%
27%
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, BI. Data diolah.
Dengan mengacu pada tabel 2 di atas, kegiatan penyaluran pembiayaan perbankan syariah periode Juni 2005 menunjukkan peningkatan sebesar Rp.3,9 triliun (27%) menjadi Rp.18,2 triliun. Peningkatan tersebut mampu meningkatkan pangsa pembiayaan perbankan syariah terhadap total kredit perbankan nasional dari 2,27% pada Juni 2005 menjadi 2,46% pada Juni 2006. Menurut jenisnya, peningkatan terutama dialami pada kelompok pembiayaan berbasis bagi hasil yang terdiri atas pembiayaan musyarakah dan mudharabah, yaitu masing-masing sebesar Rp.311 miliar (17,42%) dan Rp.816 miliar (89,29%). Meski begitu, peningkatan kelompok pembiayaan tersebut masih di bawah peningkatan kelompok pembiayaan berbasis jual beli dan piutang, seperti murabahah dan istishna.. Faktor yang diperkirakan mendukung peningkatan pangsa pembiayaan bagi hasil tersebut diantaranya adalah makin diminatinya pola bagi hasil dalam pembiayaan modal kerja dan kerjasama pembiayaan (linkage) bank syariah dengan lembaga keuangan lainnya seperti BPRS, koperasi dan pegadaian. Perkembangan ini menunjukkan adanya kemajuan dalam pengembangan pola pembiayaan bagi hasil yang dipandang strategis untuk memperkuat ketahanan industri perbankan syariah dan sistem keuangan secara lebih luas. Namun demikian, upaya untuk secara ideal mengembangkan kemampuan perbankan syariah dalam bagi hasil secara langsung dengan para entrepreneur masih perlu terus ditingkatkan. Meskipun pertumbuhan jumlah pembiayaan lebih besar daripada pertumbuhan jumlah piutang, namun proporsi jumlah piutang terhadap total asset selalu lebih besar daripada proporsi jumlah pembiayaan terhadap total asset pada periode Juni 2004 – Juni 2006. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3.
Proporsi Jumlah Piutang dan Pembiayaan Bagi Hasil Terhadap Total Aset Perbankan Syariah Periode Juni 2004 – Juni 2006 (persen)
Juni 2004
Juni 2005
Juni 2006
Pembiayaan (mudharabah+musyarakah)
22%
26%
25%
Piutang
(murabahah+istishna)
52%
53%
53%
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, BI. Data diolah
Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa belum adanya perubahan arah investasi yang dilakukan oleh perbankan syariah. Investasi yang dilakukan selama ini masih ditekankan pada jenis investasi berisiko rendah, yaitu murabahah dan isthisna. Hal ini dapat dilihat dari proporsi piutang terhadap total aset yang lebih besar daripada proporsi jumlah pembiayaan terhadap total aset pada periode tersebut. Dari tahun ke tahun, proporsi pembiayaan berbasis piutang selalu di atas 50 persen terhadap total aset. Sedangkan proporsi pembiayaan berbasis bagi hasil tidak lebih dari 30 persen terhadap total aset.
Bersandar pada data-data yang telah dipaparkan di atas, terlihat bahwa terjadi peningkatan dalam segi financing yang dilakukan oleh perbankan syariah sampai bulan Juni 2006. Peningkatan pada pembiayaan ini diindikasikan dari peningkatan nilai financing to deposit ratio (FDR) pada periode Juni 2004 – Juni 2006 yaitu 100,48%, 106,83% dan 109,68%.
Peningkatan penyaluran pembiayaan dalam kondisi sektor riil yang kurang kondusif karena laju inflasi yang tinggi dalam satu tahun terakhir, mendorong peningkatan jumlah pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) yang dihadapi perbankan syariah. Sejalan dengan menguatnya kecenderungan kenaikan harga barang dan jasa secara umum, pembiayaan bermasalah perbankan syariah menunjukkan kecenderungan meningkat, hal ini tercermin dari perkembangan rasio NPF perbankan syariah yang meningkat dari level 2,35% pada Juni 2004 menjadi 3,85% pada Juni 2005, dan meningkat lagi ke level 4,23% pada Juni 2006. Dengan demikian jumlah pembiayaan bermasalah perbankan syariah pada Juni 2006 tercatat sebesar Rp.767,5 miliar atau mengalami peningkatan sebesar Rp.218,4 miliar (40%) dari posisi Juni 2005.
Selain rasio FDR dan NPF, laporan publikasi perbankan syariah juga memberikan informasi mengenai posisi SWBI (Sertifikat Wadiah Bank Indonesia) perbankan syariah. Di mana besarnya jumlah SWBI suatu bank mengindikasikan adanya dana menganggur yang dimiliki oleh bank tersebut. Jumlah dana yang ditanamkan bank syariah dalam SWBI pada periode Juni 2006 mencapai Rp.1,2 triliun. Besarnya share dana di SWBI tersebut dibandingkan dengan total aset mencapai 11%. Dana menganggur ini meningkat dua kali lipat dibanding periode Juni 2005 yang berjumlah Rp.538 miliar, atau sekitar 9% dari total aset periode tersebut. Dengan masih banyaknya dana menganggur yang disimpan dalam bentuk SWBI, secara nyata memperlihatkan adanya kelebihan likuiditas pada perbankan syariah.
LIABILITY MANAGEMENT PERBANKAN SYARIAH
Pada sisi liabilities perbankan syariah, sebagian besar dalam bentuk investasi tidak terikat (tabel 4). Secara nominal, nilai investasi tidak terikat pada periode Juni 2006 didominasi oleh deposito mudharabah sebesar Rp. 8,8 triliun dan tabungan mudharabah sebesar Rp.4,9 triliun.
Jumlah tabungan mudharabah dan deposito mudharabah perbankan syariah selalu meningkat setiap tahunnya. Persentase pertumbuhan jumlah deposito mudharabah dan tabungan mudharabah perbankan syariah periode Juni 2004 – Juni 2005 dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.
Tabel 5.
Komposisi Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah
Periode Juni 2004 – Juni 2006 (Juta Rupiah)
Dana Pihak Ketiga
Juni 2004
Juni 2005
Juni 2006
Giro Wadiah
Nilai
1,062,701
1,754,518
2,657,588
Pertumbuhan
-
65%
51%
Tabungan Mudharabah
Nilai
2,531,194
3,753,840
4,971,785
Pertumbuhan
-
48%
32%
Deposito Mudharabah
Nilai
4,721,955
7,849,166
8,803,355
Pertumbuhan
-
66%
12%
TOTAL
8,315,850
13,357,524
16,432,728
Data diolah dari Statistik Perbankan Syariah, BI.
Peningkatan dana pihak ketiga (DPK) ini merupakan dampak langsung dari pengembangan jaringan kantor dan jangkauan layanan perbankan syariah pertengahan tahun 2006. Peningkatan tersebut juga mengangkat pangsa DPK perbankan syariah di dalam industri perbankan nasional menjadi sebesar 1,36%. Namun demikian, peningkatan yang terjadi tampaknya diiringi dengan peningkatan risiko displacement (pengalihan dana dari bank syariah ke bank konvensional) akibat peningkatan suku bunga, serta ditambah lagi oleh adanya penarikan dana korporasi maupun perorangan yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Sementara dari segi komposisi dana yang dihimpun, tidak terjadi perubahan yang signifikan, sebab jenis investment deposit (deposito mudharabah) tetap mendominasi. Dengan jumlah deposito yang dihimpun mencapai Rp.8,8 triliun pada periode Juni 2006, pangsa deposito mudharabah pada periode tersebut sebesar 53%. Sedangkan jika dilihat dari jangka waktunya, maka terjadi pergeseran orientasi investasi sebagian nasabah, yaitu dari investasi jangka pendek (1 bulan) ke arah investasi dalam jangka waktu yang lebih panjang. Kondisi ini menggambarkan peningkatan kepercayaan deposan kepada perbankan syariah, dan tentunya dapat membantu bank syariah mengurangi tekanan kebutuhannya akan likuiditas jangka pendek.
Namun demikian, perlu dicermati bahwa pergeseran orientasi investasi tersebut ditenggarai dilakukan oleh kelompok nasabah dengan dana besar yang diduga lebih sensitif terhadap perubahan tingkat bagi hasil perbankan syariah di tengah industri perbankan nasional. Dengan begitu, berlanjutnya trend peningkatan suku bunga simpanan bank konvensional diharapkan dapat meningkatkan risiko pengalihan dana (displacement risk) dari bank syariah ke bank konvensional khususnya oleh nasabah korporasi yang umumnya memiliki investasi yang cukup besar.
CAPITAL MANAGEMENT PERBANKAN SYARIAH
Dalam situasi permintaan ekspansi pembiayaan yang masih cukup tinggi di tengah kinerja sektor riil yang menghadapi sejumlah hambatan, kebutuhan akan tambahan modal mengalami peningkatan. Meski risiko kerugian dari pembiayaan yang disalurkan masih bisa ditutupi dengan pendapatan bank, namun untuk mempertahankan kondisi permodalan yang sehat, perbankan syariah harus dapat melakukan peningkatkan modal disetor sebesar Rp.951,224 miliar, sehingga rasio kecukupan modal bank umum syariah pada akhir 2005 tetap tergolong sehat yaitu sebesar 12,9%.
PROFITABILITAS PERBANKAN SYARIAH
Berdasarkan segi profitabilitas, sampai periode Juni 2006 perbankan syariah mampu mencatat tingkat keuntungan sebesar Rp.165,134 miliar, meningkat sebesar Rp.64,6 miliar (64%) dari periode Juni 2005 yang hanya memperoleh laba Rp.100,531 miliar. Sedang ditinjau dari sumbernya, pendapatan perbankan syariah secara dominan (79%) masih berasal dari margin murabahah dan bagi hasil pembiayaan. Namun dibandingkan tahun 2004, dengan pertumbuhan mencapai 84,4%, porsi pendapatan dari pembiayaan berbasis bagi hasil mengalami peningkatan dari 23,6% pada 2004 menjadi 28% pada akhir periode laporan. Hal ini sejalan dengan peningkatan pemanfaatan jenis pembiayaan tersebut yang cukup tinggi selama tahun 2005. Sementara itu di antara sumber-sumber pendapatan lainnya yang secara nominal masih relatif kecil, pendapatan bank yang berasal dari ijarah (sewa) menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan yaitu 428%. Peningkatan sebesar itu setelah dikurangi bagi hasil kepada pemilik dana investasi tidak terikat khususnya para pemegang rekening tabungan dan deposito mudharabah.
Bila ditinjau secara sektoral, imbas peningkatan laju inflasi secara langsung mempengaruhi kualitas pembiayaan di sejumlah sektor termasuk di ketiga sektor utama pembiayaan perbankan syariah. Jumlah pembiayaan bermasalah di sektor perdagangan, konstruksi dan jasa usaha, mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu sebesar 70,6%. Sementara di luar ketiga sektor tersebut, peningkatan jumlah pembiayaan bermasalah yang signifikan hanya terjadi di sektor pertanian yang meningkat hingga sekitar 11 kali dari jumlah pada akhir 2004. Namun demikian, konsentrasi risiko kerugian dari pembiayaan yang disalurkan kepada ketiga sektor utama tersebut masih relatif terkendali sebagaimana tercermin dari rasio pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan per sektor yang masih dibawah 5%. Demikian pula halnya dengan konsentrasi risiko di sektor lainnya, kecuali di sektor pertanian dan industri yang memiliki NPF masing-masing sebesar 5% dan 8,8% pada akhir 2005.
Total pendapatan bersih operasional perbankan syariah mengalami peningkatan sebesar 57,9%. Sedang bila ditinjau dari penggunaannya, sebagian besar (78,9%) pendapatan bersih operasional tersebut dipergunakan untuk menutup biaya operasional perbankan syariah yang dalam tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 62,8%. Peningkatan biaya tersebut terutama dipicu oleh peningkatan biaya pembentukan cadangan penghapusan atas risiko kerugian pembiayaan yang disalurkan sebesar 82,1%. Peningkatan biaya yang mencerminkan kehati-hatian yang tinggi di dalam menyikapi penurunan kinerja sektor riil tersebut sedikit mengganggu efisiensi operasional bank, sebagaimana tercermin pada rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional setelah bagi hasil perbankan syariah yang sedikit meningkat dari 76,5% pada 2004, menjadi 78,9% pada akhir 2005. Dampak selanjutnya, tingkat keuntungan yang dihasilkan per aset yang dikelola sedikit menurun sebagaimana tercermin dari rasio ROA 2005 sebesar 1,35%, sementara ROA 2004 sebesar 1,41%.
FUNGSI SOSIAL PERBANKAN SYARIAH
Bank syariah dikembangkan sebagai lembaga bisnis keuangan yang melaksanakan kegiatan usahanya sejalan dengan prinsip-prinsip dasar dalam ekonomi Islam. Tujuan ekonomi Islam tidak hanya fokus pada kesejahteraan individu yang bersifat material, tetapi juga fokus pada aspek sosial dengan nilai-nilai spiritual. Nilai spiritual dan fungsi sosial merupakan karakteristik utama yang dimiliki bank syariah. Fungsi sosial bank syariah sebagai institusi bisnis keuangan tentu akan terwujud dalam bentuk aktifitas penghimpunan dan penyaluran zakat, infaq, shodaqah, hibah dan waqaf. Berdasarkan data yang dihimpun dari bank-bank syariah, total dana ZIS yang diterima pada tahun 2005 melalui perbankan syariah sebanyak Rp.11,803 miliar atau meningkat sebesar 193,8% dari tahun sebelumnya. Dana Sosial yang berasal dari pembayaran zakat, infaq dan shodaqah dari perusahaan (zakat perusahaan), karyawan (zakat profesi), potongan zakat bagi hasil nasabah, maupun setoran zakat dari masyarakat umum disalurkan kepada mereka yang berhak (mustahiq), baik dilakukan sendiri oleh bank syariah maupun melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau Unit Pengumpul Zakat (UPZ) BAZNAS pada bank terkait.
Ke depan diperlukan suatu upaya sungguh-sungguh untuk menanamkan kesadaran pentingnya pelaksanaan fungsi sosial, baik dari sisi fungsi mobilisasi dana sosial maupun keterlibatan dalam penyalurannya. Oleh karena itu sejumlah kendala-kendala berikut ini perlu diantisipasi guna mengoptimalkan fungsi sosialnya, antara lain: (i) Pengelolaan dana zakat, infaq, shodaqah, wakaf dan hibah (ZISWAH) sebagaimana amanah UU Zakat dipercayakan kepada lembaga amil zakat (LAZ) di luar sistem perbankan nasional; (ii) Posisi perbankan syariah yang berada di luar konteks peramilan zakat tersebut menjadikannya cenderung pasif dan kurang terdorong untuk lebih proaktif dan kreatif secara optimal dalam pengumpulan dan penyaluran dana ZISWAH; (iii) Pencatatan dana ZIS yang terhimpun sebagaimana ketentuan dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) dibukukan secara off Balance Sheet dan tidak wajib dilaporkan ke Bank Indonesia secara periodik yang berpotensi mereduksi akuntabilitas publik pengelolaanya dalam sistem perbankan; (iv) Kegiatan perbankan syariah yang terkait dengan ZIS dalam perspektif bisnis masih dipandang sebagai cost centre dari pada profit centre yang sesungguhnya pengelolaan ZIS oleh sistem perbankan dapat direaktualisasikan dalam bentuk bank berfungsi sebagai amil yang berpeluang memperoleh financial maupun reputational benefit, antara lain berupa management fee amil sebesar 12,5% dari total dana yang dikelola dalam bentuk penghimpunan dan penyalurannya; (v) Aktivitas sosial yang bersifat voluntary terkesan lebih merupakan beban pekerjaan sampingan dan tidak memiliki credit point dalam penilaian kinerja bank maupun karyawan; dan (vi) sebagian bank syariah masih relatif baru berdiri yang tentunya belum banyak memberikan kontribusi dalam penghimpunan dan penyaluran ZISWAH. Untuk mengatasi kendala tersebut, pada tahun 2005 dimulailah koordinasi pelaksanaan fungsi sosial bank syariah berupa program bersama bank-bank syariah dengan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang difasilitasi oleh Bank Indonesia dalam menyalurkan dana sosial yang dikumpulkan melalui bank syariah yang berasal dari nasabah, karyawan dan kegiatan usaha bank.
Dalam posisinya yang di luar sistem perbankan yang highly regulated serta memiliki standar governance yang baik, LAZ maupun UPZ tersebut belum berfungsi optimal dalam melakukan intensifikasi maupun ekstensifikasi ZIS pada sisi manajemen penerimaan maupun penyaluran dana ZIS. Dalam rangka mengatasi persoalan tersebut, perlu direkomendasikan untuk segera dilakukan kajian mendalam tentang rancang bangun Islamic Vountary Sector, serta peran dan posisi perbankan syariah dalam Islamic Voluntary System yang merupakan bagian tak terpisahkan dari fundamental pemberdayaan sistem ekonomi dan keuangan syariah yang berpotensi strategis dalam menguatkan pilar-pilar social safety-net untuk tercapainya stabilitas dan solidaritas nasional.
TANTANGAN KE DEPAN
Dalam kurun waktu ke depan, kondisi industri perbankan nasional diperkirakan masih relatif baik, dengan asumsi prediksi kondisi makro-ekonomi dan stabilitas moneter cukup terjaga. Industri perbankan secara umum akan memiliki kualitas aset dan tingkat keuntungan yang cukup baik. Selain itu, penerapan ketentuan GWM yang mengaitkan kewajiban pembentukan GWM di Bank Indonesia dengan pencapaian LDR diharapkan akan lebih mendorong perbankan untuk meningkatkan ekspansi penyaluran dana, meskipun dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, terutama ditunjang dengan penerapan manajemen risiko bank yang lebih baik sampai akhir tahun 2006.
Hal-hal yang diperkirakan dapat memberikan pengaruh negatif terhadap perbankan nasional secara umum adalah kondisi eksternal, seperti ketidakpastian harga minyak dunia akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kondisi perekonomian nasional. Harga minyak yang tinggi secara langsung akan memberikan tekanan fiskal yang cukup berat dan secara tidak langsung berpengaruh pada keseimbangan neraca pembayaran pemerintah yang kemudian akan menyebabkan tekanan pada stabilitas nilai tukar. Pada akhirnya berpengaruh pada penentuan BI rate sebagai upaya stabilisasi nilai tukar. Beberapa pendukung sektor produksi, seperti PLN kemungkinan akan menaikkan TDL sebagai upaya menghindari kerugian akibat kenaikan harga bahan bakar. Hal-hal tersebut tentunya akan memberikan tekanan inflasi secara nasional yang pada akhirnya akan memberikan dampak negatif terhadap daya beli masyarakat dan tingkat profitabilitas sektor produksi yang notabene merupakan cerminan dari sisi aset industri perbankan. Pada saat yang sama, tingginya reference rate pada industri perbankan berpotensi menurunkan kemampuan debitur untuk membayar kembali kewajiban keuangannya dalam jangka panjang.
Di sisi aset, sejalan dengan perkiraan inflasi yang lebih terkendali diharapkan ekspektasi risiko pembiayaan menjadi lebih moderat. Selain itu, rencana penyempurnaan kebijakan mengenai kualitas aktiva bank syariah diharapkan akan mendorong peningkatan pembiayaan yang diberikan dalam koridor kehati-hatian yang lebih baik.
Dalam hal penghimpunan dana, struktur dana pihak ketiga industri perbankan secara umum masih didominasi dana dengan tenor yang pendek. Hal ini tentunya kurang menguntungkan bagi industri perbankan dan dunia usaha yang dilayaninya, yang membutuhkan dana dengan tenor yang lebih panjang. Perbaikan iklim investasi yang tengah dilakukan oleh pemerintah diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepercayaan investor untuk menempatkan dana-dananya dalam portofolio investasi yang lebih panjang dan memiliki yield yang lebih tinggi. Jika dalam jangka panjang pemilik dana tidak mau menggeser tenor investasinya, industri perbankan akan memiliki tingkat risiko likuiditas yang relatif tinggi.
Selain itu, kondisi suku bunga perbankan nasional yang diperkirakan masih relatif tinggi menyebabkan peluang terjadinya displacement pada perbankan syariah masih tetap terbuka. Meski demikian, dengan tingkat pemahaman pengguna jasa terhadap produk dan jasa perbankan syariah yang diyakini terus meningkat melalui berbagai upaya edukasi publik, baik yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan lembaga-lembaga keuangan syariah, serta upaya peningkatan mutu layanan jasa dan peningkatan ragam produk dan jasa yang senantiasa dilakukan perbankan syariah, diharapkan potensi displacement tersebut dapat diatasi.
Di samping kondisi-kondisi makro tersebut, secara internal industri perbankan syariah menghadapi tantangan berupa positioning industri perbankan syariah dalam masyarakat, kualitas pelaku dan sinkronisasi kebijakan pengembangan perbankan syariah dengan otoritas lembaga keuangan syariah non-bank lainnya dalam mengantisipasi laju pertumbuhan industri keuangan syariah yang cepat. Hal tersebut sangat penting untuk dilakukan mengingat industri keuangan syariah masih berada pada fase perkembangan yang masih baru di mana tahap positioning dalam masyarakat masih dalam fase pembentukan, sehingga industri perbankan syariah memiliki risiko reputasi yang cukup tinggi. Kualitas sumberdaya insani bank syariah perlu segera ditingkatkan untuk mengimbangi laju pertumbuhan industri, sehingga profesionalisme industri perbankan syariah dapat dicapai dalam aspek kepatuhan terhadap aspek syariah dan finansial secara simultan.
Namun demikian terdapat sejumlah peluang untuk mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah lebih jauh. Hasil penelitian dan pemodelan potensi dan preferensi masyarakat terhadap bank syariah menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Sebagian besar responden menyatakan rendahnya kualitas pelayanan, termasuk daya jangkau jaringan yang rendah, sebagai salah satu faktor yang sangat signifikan dalam menentukan preferensi layanan jasa keuangan. Peningkatan jangkauan melalui kemudahan untuk membuka kantor-kantor pelayanan syariah diharapkan akan dapat memberikan pengaruh pada minat masyarakat untuk menggunakan jasa pelayanan perbankan syariah. Hal ini tentunya akan tergantung pada aktivitas promosi dan edukasi publik yang dilaksanakan oleh industri dalam hal menyampaikan informasi tentang kegiatan perbankan syariah yang tepat melalui berbagai kegiatan sosialisasi.
Sementara, dari sisi regulasi dan peran pemerintah, apabila UU Perbankan Syariah dapat segera disahkan, maka akan memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi pengembangan perbankan syariah yang akan berdampak pada perbaikan berbagai regulasi termasuk di bidang perpajakan, pasar modal, pengelolaan dana haji dan regulasi terkait lainnya. Kemungkinan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang memberikan dampak akseleratif, seperti kebijakan tentang pengelolaan rekening haji yang hanya dipercayakan pada bank syariah dan program jaminan pembiayaan usaha sektor pertanian dengan pola syariah, serta kemungkinan hadirnya investasi baru baik dalam rangka memperkuat permodalan bank syariah yang telah ada maupun dengan mendirikan bank syariah baru menjadi landasan kuat bagi pertumbuhan perbankan syariah. Berbagai effort tersebut diperkirakan akan mempengaruhi kinerja perbankan syariah ke depan dalam bentuk pertumbuhan volume usaha perbankan syariah yang lebih tinggi dibandingkan saat ini.
Secara internasional, peluang untuk memanfaatkan investasi asing ke dalam sistem perekonomian masih sangat terbuka. Industri keuangan syariah secara internasional menunjukkan pertumbuhan yang sangat tinggi yang memberikan peluang yang besar bagi sistem keuangan syariah untuk dapat memanfaatkannya. Harapan untuk dapat menerbitkan sukuk menjadi semakin besar dengan semakin terlihatnya minat pemerintah untuk dapat menerbitkan global sukuk dengan denominasi valuta asing. Hal ini tentunya berpotensi untuk meningkatkan variasi instrumen keuangan syariah yang sangat berguna bagi likuiditas sistem keuangan syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Masyhud. 2004, Asset Liability Management-Menyiasati Risiko Pasar dan Risiko Operasional dalam Perbankan. Jakarta, PT Elex Media Komputindo.
Asy’ari, Mohamad Hasyim, 2005, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Perbankan Syariah, Tesis PSKTTI UI.
Bank Indonesia, 2001, Produk Perbankan Syariah, Jakarta, Karim Business Consulting.
——————-, 2004, Mekanisme dan Sistem Operasi Bank Syariah, Jakarta, Karim Business Consulting.
——————-, 2004, Statistik Perbankan Syariah Juni 2004, Juni 2005, Juni 2006, www.bi.go.id.
——————-, 2005, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2005, www.bi.go.id.
Karim, Adiwarman Azwar, 2004, Perkembangan Perbankan Syariah, Artikel, Majalah Tsaqafah.
Kompas, 25 Juni 2005. Pembiayaan Bank Syariah Tumbuh 76 Persen, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara.
Riyadi, Slamet. 2000. Banking Assets and Liability Management. Jakarta, FEUI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih