SEJARAH PERBANKAN
SYARIAH
Oleh : Mulhadi[1]
1. Perbankan
Syariah di Negara-negara Islam
Melihat gagasannya yang ingin
membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Syariah (Bank Islam)
mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan
bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak
lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam
tersebut akan membiayai operasinya. [2]
Konsep teoritis mengenai Bank Islam
muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang
berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan
pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem
Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai
gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan,
yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962).[3]
Ada yang meyakini bahwa percobaan
pertama pendirian bank yang bebas dari unsur riba pernah dirintis di Malaysia
pada pertengahan tahun 1940-an.[4]
Akan tetapi organisasi yang didirikan berlandaskan hukum syariah ini menghadapi
kegagalan. Kemudian, percobaan lain yang pernah dilakukan adalah di sebuah
kawasan pedalaman di Pakistan pada akhir tahun 1950-an. Lembaga perbankan yang
didirikan di Pakistan ini tidak memungut bunga atas pinjaman yang diberikannya
kepada para debitur.[5]
Secara
kelembagaan yang merupakan Bank Syariah (Bank Islam) pertama adalah Myt-Ghamr Local Saving Bank. Didirikan
di Mesir pada tahun 1963, di sebuah wilayah pedalaman di Lembah Sungai Nil.
Bank ini didirikan dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan
merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Local Saving Bank dianggap berhasil memadukan manajemen
perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam
produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar
orientasinya adalah industri pertanian. Namun karena persoalan politik membuat
bank ini menghadapi banyak rintangan untuk terus maju dan melayani
nasabah-nasabahnya. Oleh karena itu, Bank
Islam Myt-Ghamr Local Saving Bank kemudian
diambilalih oleh National Bank of Egypt dan Central Bank of Egypt pada
pertengahan tahun 1967. Pada tahun 1971 di Mesir kemudian berhasil didirikan
sebuah Bank Islam baru dengan nama Nasser
Social Bank.[6] Eksprimen lain dilakukan di
Karachi Pakistan oleh S. A. Irshad dengan mendirikan sebuah bank koperasi pada bulan Juni 1965, namun bank koperasi ini juga tidak berhasil karena
terjadinya salah pengelolaan dan kurangnya supervise resmi dan akhirnya harus
ditutup. [7]
Bank Islam pertama yang bersifat
swasta adalah Dubai Islamic Bank,
yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara.
Pada tahun 1977 berdiri dua Bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Kemudian pada tahun itu
pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait
Finance House .[8]
Secara internasional, perkembangan Perbankan
Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri
Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan
Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank
Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal
pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks). Inti usulan
yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan
bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil
keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui
rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan
sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut
Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and
Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan
perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of
Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan
perbankan Islam .[9]
Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI
di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas
kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara
Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank
Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri
Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan
modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI .[10]
Sejak saat itu mendekati awal dekade
1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk,
Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar
lembaga-lembaga Perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke
dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan
Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for
Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for
Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti
Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf,
Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan),
Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).[11]
2.
Perbankan Syariah di Indonesia
Sejarah perkembangan industri Perbankan
Syariah di Indonesia mencerminkan dinamika aspirasi dan keinginan dari
masyarakat Indonesia sendiri untuk memiliki sebuah alternatif sistem perbankan
menerapkan sistem bagi hasil yang menguntungkan bagi nasabah dan bank. Usaha
merintis pendirian Perbankan Syariah ini sudah dimulai pada awal tahun 1980-an,
sebagai proses pencarian alternatif sistem perbankan yang diwarnai oleh
prinsip-prinsip transparansi, berkeadilan, seimbang, dan beretika. Tokoh-tokoh
yang terlibat dalam pengkajian tersebut beberapa di antaranya adalah Karnaen A.
Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, AM. Saefuddin, dan M. Amien Azis. Sebagai
sebuah uji coba, masyarakat bersama-sama dengan akademisi kemudian mencoba
mempraktekkan gagasan tentang Bank Syariah tersebut dalam skala kecil, seperti
pendirian Bait Al-Tamwil Salman di
Institut Teknologi Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta. Keberadaan
badan usaha pembiayaan non-bank yang mencoba menerapkan konsep bagi hasil ini
semakin menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan hadirnya alternatif
lembaga keuangan syariah untuk melengkapi pelayanan oleh lembaga keuangan
konvensional yang sudah ada.[12]
Upaya intensif pendirian Bank Islam
di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat Pemerintah
mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang mengatur tentang deregulasi
industri perbankan di Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk
mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang
dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang
ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen).[13]
Mengamati semakin berkembangnya
aspirasi masyarakat Indonesia untuk memiliki lembaga keuangan syariah, maka
para pemuka agama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI)
selanjutnya menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut dengan melakukan
pendalaman tentang konsep-konsep keuangan syariah termasuk sistem Perbankan
Syariah. Upaya tersebut ditandai dengan diselenggarakannya Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan oleh MUI
di Cisarua, Bogor, Jawa Barat pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Hasil lokakarya
tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional Keempat MUI
di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan
kelompok kerja pendirian Bank Islam pertama di Indonesia. Kelompok kerja ini disebut Tim Perbankan MUI
yang bertugas untuk secara konkrit menindaklanjuti aspirasi dan keinginan
masyarakat tersebut serta melakukan berbagai persiapan dan konsultasi dengan
semua pihak terkait.[14]
Hasil kerja dari Tim Perbankan MUI
ini adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI). Akte pendirian BMI
ditandatangani pada tanggal 1 November 1991 dan BMI mulai beroperasi pada 1 Mei 1992.
Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp
106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari
45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain BMI, pionir
Perbankan Syariah yang lain adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Dana
Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera yang didirikan pada tahun 1991 di
Bandung, yang diprakarsai oleh Institute
for Sharia Economic Development (ISED).[15]
Kelahiran Bank Islam di Indonesia
relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI.
Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri
Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan
realisasi konsep Bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH
Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa
kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will
belum mendukung.[16]
Dukungan Pemerintah dalam
mengembangkan sistem Perbankan Syariah ini selanjutnya terlihat dengan
dikeluarkannya perangkat hukum yang mendukung sistem operasional Bank Syariah,
yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PP No. 72 Tahun
1992. Ketentuan ini menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system)
di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan konvensional dan sistem
perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam
sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan
bersama-sama memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan,
serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.[17]
Selanjutnya, melalui perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998, keberadaan sistem Perbankan Syariah semakin didorong
perkembangannya. Berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 1998, Bank Umum
Konvensional diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Dalam UU ini
pula untuk pertama kalinya nama “bank syariah” secara resmi menggantikan
istilah “bank bagi hasil” yang telah digunakan sejak tahun 1992.[18]
Pengalaman membuktikan bahwa sistem Perbankan
Syariah telah menjadi salah satu solusi untuk membantu menyokong perekonomian
nasional dari krisis ekonomi dan moneter tahun 1998. Sistem Perbankan Syariah terbukti
mampu menjadi penyangga stabilitas sistem keuangan nasional ketika melewati
guncangan. Kemampuan itu semakin mempertegas posisi sistem Perbankan Syariah sebagai
salah satu potensi penopang perekonomian nasional yang layak diperhitungkan.[19]
Boleh
dikatakan, Perbankan Islam di Indonesia mulai menggeliat persis ketika terjadi
krisis perekonomian di Asia, termasuk di Indonesia dimana perbankan nasional
yang mengalami krisis berat, yang mendorong perbankan saat itu beroperasi
dengan negatif spread, yaitu bunga
yang dibayar kepada nasabah penabung lebih tinggi daripada bunga kredit yang
diterima. Logis saja apabila kemudian kerugian menggerogoti modal bank, sampai
Bank Indonesia mewajibkan program rekapitalisasi. Bayangkan saja, bunga
deposito pernah mencapai 60 % saat itu. Logikannya, bank harus memberi kredit
dengan bunga setinggi itu. Masalahnya, bisnis apa yang mampu membayar bunga
setinggi itu dalam keadaan krisis seperti saat itu? Jangankan untuk membayar
bunga, yang terjadi malah kredit macet.[20]
Baru pada pertengahan tahun 1999, jejak
langkah BMI kemudian diikuti dengan bermunculannya Bank-bank Syariah baru
seperti Bank IFI yang membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank
Syariah Mandiri[21] yang
merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri
pada tanggal 1
Nopember 1999. Bank Syariah Mandiri secara resmi mulai beroperasi sebagai bank
umum devisa sejak tanggal 18 Maret 2002 berdasarkan Surat Keputusan Deputi
Gubernur Bank Indonesia No. 4/KEP.DpG/2002. Kemudian disusul dengan pendirian lima cabang baru berupa cabang
syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000,
tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka
cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN[22],
Bank Mega,[23] Bank
BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh. Cari tanggal pendiriannya
masing-masing.
Pertumbuhan
Bank Syariah bergerak pesat. Hal itu bisa dilihat dari segi jumlah pendirian
Bank Syariah yang mengalami perkembangan dari tahun ke tahun sebagaimana
terlihat pada tabel 1 di bawah ini :
Tabel 1 : Jumlah Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS),
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dan Jumlah Kantor
BUS dan UUS,Tahun 2002 – 2008
Kelompok Bank
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008*)
|
BUS
|
2
|
2
|
3
|
3
|
3
|
3
|
3
|
UUS
|
6
|
8
|
15
|
19
|
20
|
26
|
28
|
BPRS
|
83
|
84
|
86
|
92
|
105
|
114
|
117
|
Jumlah Kantor BUS dan UUS
|
127
|
299
|
401
|
504
|
531
|
564
|
609
|
Keterangan: *)
sampai Juni 2008
Namun berdasarkan data 2009, ternyata jumlah BUS,
UUS, BPRS mengalami perubahan dan atau perkembangan. Perkembangan tersebut bisa diperhatikan dalam
Tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2. Perkembangan Bank Syariah
Indonesia
Perkembangan Bank Syariah
|
||||||||||
Indikasi
|
1998
KP/UUS
|
2003
KP/UUS
|
2004
KP/UUS
|
2005
KP/UUS
|
2006
KP/UUS
|
2007
KP/UUS
|
2008
KP/UUS
|
2009
KP/UUS
|
||
BUS
|
1
|
2
|
3
|
3
|
3
|
3
|
5
|
6
|
||
UUS
|
-
|
8
|
15
|
19
|
20
|
25
|
27
|
25
|
||
|
76
|
84
|
88
|
92
|
105
|
114
|
131
|
139
|
Keterangan :
|
||
BUS
|
=
|
Bank Umum Syariah
|
UUS
|
=
|
Unit Usaha Syariah
|
BPRS
|
=
|
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
|
KP/UUS
|
=
|
Kantor Pusat/Unit Usaha Syariah
|
Tabel 2 menunjukkan perkembangan
perbankan syariah berdasarkan laporan tahunan BI 2009 (Desember 2009). Secara
kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh membanggakan dan terus
mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun 1998 hanya ada satu
Bank Umum Syariah dan 76 Bank Perkreditan Rakyat Syariah, maka pada Desember
2009 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh
Bank Indonesia) jumlah bank syariah telah mencapai 31 unit yang terdiri atas 6
Bank Umum Syariah dan 25 Unit Usaha Syariah. Selain itu, jumlah Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah mencapai 139 unit pada periode yang
sama.
Pada rentang waktu yang cukup
singkat (kurang dua tahun), perkembangan perbankan syariah cukup mencengangkan.
Tidak hanya jumlah BUS yang bertambah dari 6 BUS pada 2009 menjadi 11 BUS pada
Februari 2011. Jumlah asetnya pun naik tajam, dari Rp 49,5 triliun pada 2008 menjadi
Rp 95 triliun pada 2011. Padahal, sebagian besar dari BUS tersebut baru
beroperasi rata-rata di bawah dua tahun, bahkan beberapa diantaranya belum
genap setahun. Perkembangan tersebut dapat dilihat dalam table 3 di bawah ini :
Tabel 3. Perkembangan Bank Syariah
Indonesia
Perkembangan Perbankan Syariah
|
||||
2001
|
2006
|
2008
|
2011
(Februari)
|
|
BUS
|
2
|
3
|
5
|
11
|
UUS
|
3
|
20
|
27
|
23
|
BPRS
|
80
|
105
|
131
|
151
|
Kantor
|
102
|
1.092
|
2.423
|
3.321
|
Aset
|
Rp
2,7 triliun
|
Rp
26,7 triliun
|
Rp
49,5 triliun
|
Rp
95 triliun
|
DPK
|
RP
1,8 triliun
|
Rp
20,6 triliun
|
Rp
36,8 triliun
|
Rp
75 triliun
|
Pembiayaan
|
Rp
2 triliun
|
Rp
20,4 triliun
|
Rp
38,2 triliun
|
Rp
71,9 triliun
|
|
Berdasarkan catatan Biro Riset
Infobank (birl), sepanjang 2010 perbankan syariah mampu tumbuh hingga kisaran
40%. Ada 5 (lima) bank syariah yang dibuka dalam setahun, yakni BCA Syariah,
Bank Victoria Syariah, BNI Syariah, Bank Jabar Banten Syariah, dan Maybank Syariah.
Maka pada 2011 industri perbankan syariah diproyeksikan akan tumbuh lebih cepat
dibandingkan pada 2010.[24]
Dari segi kinerja, baik perkembangan asset, DPK,
Pembiayaan, Share, FDR maupun NPF Nett, juga ikut mengalami perkembangan cukup
signifikan, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 4 dan 5 berikut ini :
Tabel 4 : Kinerja Perbankan Syariah 2006–2008 (dalam
triliun
rupiah)
Indikator
|
2006
|
2007
|
November
2008
|
Aset
|
26,722
|
36,536
|
47,178
|
DPK
|
20,445
|
27,944
|
34,422
|
Pembiayaan
|
20,672
|
28,011
|
38,557
|
Share (%)
|
1,58
|
1,84
|
2,07
|
FDR (%)
|
98,9
|
99,8
|
111,7
|
NPF Nett
|
3,3
|
2,4
|
2,4
|
Sumber:
Jawa Pos, 27 Januari 2009
Tabel 5 : Indikator Utama Perbankan
Syariah (dalam milyar rupiah)
Indikator Utama Perbankan Syariah
(dalam milyar rupiah)
|
|||||||
Indikasi
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
Aset
|
7.945
|
15.210
|
20.880
|
28.722
|
36,537
|
49.555
|
66.090
|
DPK
|
5.725
|
11.718
|
15.584
|
20.672
|
28.011
|
36.852
|
52.271
|
Pembiayaan
|
5.561
|
11.324
|
15.270
|
20.445
|
27.944
|
38.198
|
46.886
|
FDR
|
97,14%
|
96,64%
|
97,76%
|
98,90%
|
99.76%
|
103.65%
|
89.70%
|
NPF
|
2,34%
|
2,38%
|
2,82%
|
4,75%
|
4,07%
|
3.95%
|
4.01%
|
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah Indonesia, 2009
Tabel 4 menunjukkan perkembangan
terakhir indikasi-indikasi perbankan syariah. Perkembangan asset perbankan
syariah meningkat sangat signifikan dari akhir tahun 2008 sampai dengan akhir
tahun 2009 sebesar lebih dari 33.37 persen. Penghimpunan dana dan pembiayaan
mencapai peningkatan sebesar 41.84 dan 22.74 persen.
Jika dilihat dari rasio pembiayaan
yang disalurkan dengan besarnya dana pihak ketiga (DPK) yang dinyatakan dengan
nilai Financing to Deposit Ratio (FDR), maka bank syariah memiliki rata-rata
FDR sebesar 97.65 persen. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dan tahun
sesudahnya, pada tahun 2008 Financing to Defosit Ratio perbankan syariah lebih
dari 100 %. Tingginya tingkat FDR tersebut karena pembiayaan yang disalurkan
selama bulan maret – November 2008 lebih besar dari Dana Pihak ketiga.
Yang perlu di catat disini adalah,
meskipun pembiayaan yang disalurkan lebih besar dari DPK, tetapi tingkat
kegalalan bayar atau yang dinyatakan dalam Non Performing Financing (NPF)
ternyata lebih sedikit dari periode tahun 2006-2007, yakni hanya sebesar 3.95%,
masih dibawah batas ketentuan minimal sebesar 5 persen. Artinya bank syariah
betul betul menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan
tidak mengabaikan prinsip kehati-hatian. Selain itu juga, secara keseluruhan
perbankan syariah relatif lebih sehat.
Tabel
6. Perbandingan Pangsa Perbankan Syariah Terhadap Total Bank
Perbandingan Pangsa Perbankan
Syariah Terhadap Total Bank
|
||||||
Islamic
Bank
(Des
08)
|
Total
Bank
|
Islamic
Bank
(Des
09)
|
Total
Bank
|
|||
Nominal
|
Share
|
Nominal
|
Share
|
|||
Total Asset
|
49,56
|
2.14%
|
2,310.60
|
66,09
|
2.61%
|
2,534.10
|
Deposit Fund
|
36,85
|
2.10%
|
1,753.30
|
52,27
|
2.65%
|
1,973.00
|
Credit Financial Extended
|
38,20
|
-
|
-
|
46,88
|
-
|
-
|
FDR/LDR
|
103.66%
|
-
|
-
|
89.70%
|
-
|
-
|
Sumber : BI, Statistik Perbankan
Syariah 2009
Pada Tabel 6 terlihat bahwa pangsa
perbankan syariah meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2008 pada bulan yang
sama, yaitu aset menjadi 2.61% meningkat sebesar 0.47%. Deposit Fund atau DPK
juga mengalami pertumbuhan menjadi 2,02%, meningkat 0,24%. Hal ini menunjukkan
kinerja dan potensi perbankan syariah mengalami perkembangan yang baik.
Komposisi pembiayaan Bank Syariah yang disalurkan kepada nasabah debitur dalam
rentang waktu 6 (enam) tahun, mulai dari tahun 2003 -2009 juga mengalami
perkembangan sebagaimana ditunjukkan oleh Grafik berikut ini :
Grafik.
1. Komposisi Pembiayaan Bank Syariah
Semestinya, pembiayaan dengan akad
mudharabah dan akad musyarakah harus lebih banyak. Karena pada akad inilah
karakteristik dasar perbankan syariah terbentuk. Kedua akad tersebut merupakan
akad dengan sistem bagi hasil. Perbankan syariah dengan sistem bagi hasil
inilah yang menjadi pembeda dengan bank konvensional.[25]
Pertumbuhan pembiayaan syariah dalam
lima tahun terakhir mengalami pertumbuhan rata-rata 35,0% per tahun.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada 2007 yaitu sebesar 37,0% atau mencapai Rp
28,0 triliun dan tahun berikutnya naik menjadi Rp 38,2 triliun yang berarti
terjadi peningkatan 36,4%. Selain itu, perlambatan pertumbuhan dari
2007 ke 2008 dipicu persaingan yang semakin ketat dengan bank konvensional
seiring dengan semakin menurunnya suku bunga perbankan.[26]
Memasuki kuartal keempat 2008,
sejumlah bank syariah terkesan menahan pembiayaan. Meski demikian, secara
nasional pembiayaan naik menjadi Rp 38,2 triliun. Sebab sejumlah bank tetap
melakukan pembiayaan dengan prinsip kehati-hatian. Contohnya yang dilakukan
oleh UUS Bank Jabar, Bank Syariah Mandiri (BSM), maupun UUS Bank BNI.[27]
Pertumbuhan pembiayaan 2008
diantarnya dipicu keluarnya beberapa aturan yang diterbitkan BI pada tahun
tersebut. Di antaranya mengenai masalah pajak berganda yang dirasakan bank
syariah. Dengan peraturan baru tersebut pembiayaan menjadi lebih baik karena
biaya untuk pembiayaan lebih murah. Namun pembiayaan ini masih jauh
dibandingkan dengan bank konvensional yang mencapai Rp 1,353 triliun pada
periode yang sama yaitu pada 2008. Besarnya perbedaaan pembiayaan bank syariah
dan bank konvensional tersebut akibat masih adanya hambatan bank syariah dalam
melakukan ekpansi usaha, terutama dari segi modal.
Sementara itu, salah satu bank
syariah terbesar yaitu bank Muamalat Indonesia (BMI) hingga akhir Agustus 2008
menyalurkan pembiayaan Rp 10,2 triliun dari target hingga akhir tahun Rp 12,5
triliun. Sementara total asetnya per Agustus 2008 mencapai Rp 11,7
triliun, dari target hingga akhir tahun Rp13 triliun. Sementara untuk Financing to Deposit Ratio (FDR)
mencapai 97%. BMI juga mulai melakukan ekspansi pembiayaan ke sektor riil
sejak Juli 2008 dengan kredit sejumlah Rp 602 miliar. Bank Muamalat masih
memiliki dana Rp 200 miliar hingga akhir 2008. Ekspansi kredit itu tidak
mengurangi posisi CAR BMI sebesar 12%, hal itu karena dikompensasi dari
berbagai pendapatan lain. Meski demikian, seluruh fasilitas pembiayaan itu
masih didominasi usaha menengah dan besar, yang mampu menyerap Rp 408 miliar
atau 67% dari seluruh pembiayaan. Sedangkan usaha kecil dan menengah hanya
menyerap Rp 194 miliar.
Pada 2009 diperkirakan pembiayaan
perbankan syariah akan sedikit menurun. Menyusul krisis finansial global
yang terjadi awal Oktober 2008 lalu, banyak Bank Syariah sudah melakukan
pengetatan dalam hal pembiayaan. Pada tahun ini perbankan syariah harus
bekerja keras untuk meningkatkan kinerjanya dengan mengembangkan pasar.
Sehingga dapat terus menghimpun dana pihak ketiga demi menjaga arus pembiayaan
kepada nasabah.
Perkembangan
industri perbankan syariah Indonesia tumbuh pesat. Hal ini didasarkan pada data
Bank Indonesia (BI) yang menilai bahwa telah terjadi pertumbuhan aset selama
tiga tahun terakhir yang mencapai rata-rata 38,2 persen senilai Rp 82,1 triliun
per Agustus 2010.[28]
Data ini disampaikan oleh Direktur Perbankan Syariah BI Mulya Siregar pada
seminar “Prospek Pembiayaan Perbankan Syariah untuk Properti” di gedung BI
Jakarta, Rabu (20/10/2010).
Data BI menunjukkan
rata-rata pertumbuhan aset per bulan industri perbankan syariah selama November
2008 hingga Agustus 2010 mencapai Rp 1,5 triliun per bulan. Saat ini BUS (Bank
Unit Syariah) sudah mencapai 10 unit. Pencapaian aset tersebut sangat pesat
dibandingkan pertumbuhan aset industri perbankan syariah periode September 2004
hingga Oktober 2008 dimana saat itu perbankan syariah baru terdiri atas 3 BUS (Bank
Unit Syariah). Saat itu asetnya hanya
tumbuh Rp 661,1 miliar per bulan.[29]
Dijelaskan
perkembangan industri perbankan syariah selama dua tahun terakhir terus
menanjak. Jumlah bank syariah hingga Agustus 2010 mencapai 10 BUS, 23 UUS (unit
usaha syariah), dan 146 BPRS (bank perkreditan rakyat syariah).“Dan hampir
dikatakan semua lembaga perbankan di Indonesia saat ini sudah memiliki layanan
perbankan syariah. Jumlah jaringan kantor bank syariah juga semakin meluas
mencapai 1.624 kantor dengan sebaran ke seluruh provinsi di Indonesia.[30]
Mengacu pada
perkembangan yang berlangsung dan peluang yang ada, bank syariah memiliki
kesempatan yang luas untuk semakin tumbuh dan berkembang secara optimal. Hal
ini didasarkan pada beberapa pertimbangan.[31]
Pertama,
dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang
diundangkan pada 16 Juni 2008 dalam Lemaran Negara Republik Indonesia Nomor 94
Tahun 2008 yang semakin mendorong industri ini tumbuh lebih cepat lagi. UU ini
menjadi sangat strategis karena menjamin kepastian hukum sehingga diharapkan
akan mampu memupus keraguan berbagai pihak untuk menggeluti perbankan syariah.
Ditambah lagi dukungan dan harapan besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) akan kontribusi perbankan syariah dalam sistem perbankan nasional. Hal
ini disampaikannya secara langsung pada saat pembukaan acara Festival Ekonomi
Syariah II pada Februari 2009.
Kedua,
kebijakan pemerintah yang mulai “bersahabat”, diantaranya penghapusan pajak
ganda bagi pembiayaan murabahah di bank syariah. Hal ini sangat mendorong pertumbuhan
bank syariah.
Ketiga,
potensi pasar perbankan syariah yang masih sangat luas. Mayoritas penduduk
Indonesia yang beragama Islam menjadikan perbankan syariah sebagai bagian yang
tak dapat dipisahkan dengan perkembangan perekonomian bangsa dan Negara. Bila market share saat ini baru pada level 3%,
maka masih terlalu luas kesempatan bagi bank syariah mengembangkan dirinya.
Keempat,
produk yang dimiliki perbankan syariah sangat bervariasi. Hal ini akan menjadi
kekuatan tersendiri guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat variatif.
Tentu saja keberagaman produk yang ditawarkan harus pula dibarengi dengan
peningkatan pelayanan yang prima bagi nasabah.
Kendati
demikian, perbankan syariah harus mampu menghadapi berbagai tantangan[32] dan
hambatan. Tantangan dimaksud adalah :
Pertama,
sumber daya insani (SDI) yang memiliki kompetensi tinggi sangatlah terbatas
sehingga tidak mengherankan bila masih saja terjadi kasus “pembajakan” SDI
antar bank syariah. Oleh karena itu, diperlukan akselerasi dalam menciptakan
SDI bank syariah yang kompeten. Dalam hal ini lembaga pendidikan dan pelatihan
perbankan syariah memegang peranan penting. Disamping tugas perbankan syariah
sendiri untuk membina dan mengembangkan potensi SDI yang dimilikinya.
Kedua,
Indonesia adalah negara kepulauan sehingga secara geografis tingkat penyebaran
masyarakat Indonesia sangat tinggi. Untuk itu, agar masyarakat dapat menjangkau
pelayanan perbankan syariah, diperlukan sinergi dan kolaborasi positif di
antara pelaku industri.
Ketiga,
peranan BI sebagai otoritas moneter hendaknya perlu ditingkatkan. Dari sekadar
regulator menjadi fasilitator aktif. Dari membuat aturan yang justru berpotensi
membatasi perkermbangan bank syariah menjadi pendorong dan pendobrak pintu
percepatan pertumbuhan bagi bank syariah.
Beberapa
hambatan yang perlu segera ditanggulangi adalah :[33]
a.
Pemahaman masyarakat yang belum tepat terhadap
kegiatan operasional bank syariah. Karena masih dalam tahap awal pengembangan, hal ini
tentu saja dapat dimaklumi bahwa pada saat ini pemahaman sebagian masyarakat
mengenai sistem dan prinsip perbankan syariah masih belum tepat. Pada dasarnya,
Sistem Ekonomi Islam telah jelas, yaitu melarang praktek riba serta akumulasi
kekayaan hanya pada pihak tertentu secara tidak adil, akan tetapi, secara
praktis, bentuk produk dan jasa pelayanan, prinsip-prinsip dasar hubungan antar
bank dan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank syariah, masih
perlu disosialisasikan secara luas. Adanya perbedaan karakteristik produk bank
konvensional dengan bank syariah telah menimbulkan adanya keengganan bagi
pengguna jasa perbankan. Keengganan tersebut antara lain disebabkan oleh
hilangnya kesempatan mendapatkan penghasilan tetap berupa bunga dari simpanan.
Oleh karena itu, secara umum perlu diinformasikan bahwa dana pada bank syariah
juga dapat memberikan keuntungan finansiil yang kompetitif.
Disamping itu, salah satu karakteristik khusus dari hubungan bank dengan
nasabah dalam sistem perbankan syariah adalah adanya moral force dan tutunan terhadap etika usaha yang tinggi dari semua
pihak. Hal ini selanjutnya akan mendukung prinsip kehati-hatian dalam usaha
bank maupun nasabah.
b.
Peraturan yang
berlaku belum sepenuhnya mengakomodir operasional bank syariah. Hal ini
disebabkan adanya sejumlah perbedaan dalam pelaksanaan operasional antara bank
syariah dan bank konvensional. Ketentuan-ketentuan perbankan perlu disesuaikan
agar memenuhi ketentuan syariah sehingga bank syariah dapat beroperasi secara
efektif dan efisien. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain mengenai (a)
Instrumen yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas; (b) Instrumen
moneter yang sesuai dengan prinsip syariah untuk keperluan pelaksanaan tugas
bank sentral; (c) Standar akuntansi, audit dan pelaporan; (d)
Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian, dan
sebagainya.
c.
Jaringan kantor bank syariah
yang belum luas. Pengembangan jaringan kantor bank syariah diperlukan
dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu,
kurangnya jumlah bank syariah yang ada juga menghambat perkembangan kerjasama
antar bank syariah. Kerjasama tersebut sangat
diperlukan antara lain, berkenaan dengan penempatan dana antar bank dalam hal
mengatasi masalah likuiditas sebagai suatu badan usaha, bank syariah perlu
beroperasi dengan skala yang ekonomis. Karenanya, jumlah jaringan kantor bank
yang luas juga akan meningkatkan efisiensi usaha. Berkembangnya jaringan bank
syariah juga diharapkan dapat meningkatkan komposisi ke arah peningkatan
kualitas pelayanan dan mendorong inovasi produk dan jasa bank syariah.
d.
Kecilnya market share. Penting untuk
disadari bahwa hingga saat ini market
share bank syariah masih sangat kecil, yaitu kurang dari 1 %. Walaupun
demikian, rasio pembiayaan dengan dana pihak ketiga lebih dari 100 %. Hal ini berarti
bahwa bank syariah telah menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik. Masih
kecilnya market share itu disebabkan
antara lain karena bank syariah mempunyai keterbatasan dana, baik dari segi
permodalan maupun jumlah dana masyarakat yang berhasil dihimpun karena
alasan-alasan seperti yang diungkapkan di atas.
e.
Sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam bank
syariah masih sedikit. Kendala-kendala di bidang sumber daya manusia dalam
pengembangan perbankan syariah disebabkan karena sistem ini masih belum lama
dikembangkan di Indonesia. Disamping itu, lembaga-lembaga akademik dan
pelatihan dibidang ini sangat terbatas sehingga tenaga terdidik dan
berpengalaman dibidang perbankan
syariah, baik dari sisi bank pelaksana maupun dari bank sentral (pengawas dan
peneliti bank), masih sangat sedikit.
[21]
PT Bank Syariah Mandiri (selanjutnya disebut Bank) berkedudukan di Jakarta,
Indonesia, awalnya didirikan dengan nama PT Bank Susila Bakti pada tanggal 10
Agustus 1973 berdasarkan Akta Notaris R. Soeratman, S.H., No. 146. Seluruh
anggaran dasar Bank telah diubah dan disusun kembali sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas berdasarkan Akta No.
13 Notaris Ny. Liliana Arif Gondoutomo, S.H., tanggal 17 April 1997 beserta
pembetulannya dengan Akta No. 12 tanggal 15 September 1997 dengan notaris yang
sama. Berdasarkan Akta No. 29 Notaris
Ny. Machrani Moertolo Soenarto, S.H., tertanggal 19 Mei 1999, Bank telah
mengubah kegiatan usahanya dari bank konvensional menjadi bank dengan prinsip
syariah serta mengubah nama PT Bank Susila Bakti menjadi PT Bank Syariah
Sakinah Mandiri. Perubahan tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri
Kehakiman Republik Indonesia dengan surat keputusannya No.
C2-12120.HT.01.04.TH.99 tanggal 1 Juli 1999, serta diumumkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia No.6587 tanggal 31 Oktober 2000 Tambahan No. 87.
Berdasarkan akta No. 23 notaris Sutjipto, S.H., pada tanggal 8 September 1999,
telah diadakan perubahan atas peningkatan modal dasar Bank serta perubahan nama
Bank menjadi PT Bank Syariah Mandiri, termasuk seluruh Anggaran Dasarnya.
Perubahan-perubahan tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman
Republik Indonesia dengan surat keputusan No. 16495.HT.01.04.TH.99 tanggal 16
September 1999 serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 6588
tanggal 31 Oktober 2000 Tambahan No. 87. Kemudian Bank Indonesia dengan Skep
No. 1/24/KEP.GBI/1999 tanggal 25 Oktober 1999 telah memberikan izin perubahan
kegiatan usaha menjadi bank dengan prinsip Syariah, terhitung mulai tanggal 1 Nopember
1999. Bank secara resmi mulai beroperasi sebagai bank umum devisa sejak tanggal
18 Maret 2002 berdasarkan Surat Keputusan Deputi Gubernur Bank Indonesia No.
4/KEP.DpG/2002.
[22] BTN Syariah merupakan Strategic Bussiness
Unit (SBU) dari Bank BTN yang menjalankan bisnis dengan prinsip syariah,
mulai beroperasi pada tanggal 14 Februari 2005 melalui pembukaan Kantor Cabang
Syariah pertama di Jakarta. Baca dalam
http://www.btn.co.id/Syariah/Tentang-Kami/Profil-BTN-Syariah.aspx
[23]
Perjalanan PT Bank Syariah Mega Indonesia diawali dari sebuah bank umum bernama
PT Bank Umum Tugu yang berkedudukan di Jakarta. Pada tahun 2001, Para Group
(PT. Para Global Investindo dan PT. Para Rekan Investama), kelompok usaha yang
juga menaungi PT Bank Mega, Tbk., Trans TV, dan beberapa Perusahaan lainnya,
mengakuisisi PT Bank Umum Tugu untuk dikembangkan menjadi bank syariah. Hasil
konversi tersebut, pada 25 Agustus 2004 PT. Bank Umum Tugu resmi beroperasi
syariah dengan nama PT. Bank Syariah Mega Indonesia. Baca dalam http://www.bsmi.co.id/Profil-SekilasBSMI.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih