Rabu, 24 Oktober 2012

Sejarah Perbankan Syariah


SEJARAH PERBANKAN SYARIAH

Oleh : Mulhadi[1]




1.      Perbankan Syariah di Negara-negara Islam

            Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Syariah (Bank Islam) mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya. [2]
            Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962).[3]
            Ada yang meyakini bahwa percobaan pertama pendirian bank yang bebas dari unsur riba pernah dirintis di Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an.[4] Akan tetapi organisasi yang didirikan berlandaskan hukum syariah ini menghadapi kegagalan. Kemudian, percobaan lain yang pernah dilakukan adalah di sebuah kawasan pedalaman di Pakistan pada akhir tahun 1950-an. Lembaga perbankan yang didirikan di Pakistan ini tidak memungut bunga atas pinjaman yang diberikannya kepada para debitur.[5]
            Secara kelembagaan yang merupakan Bank Syariah (Bank Islam) pertama adalah Myt-Ghamr Local Saving Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, di sebuah wilayah pedalaman di Lembah Sungai Nil. Bank ini didirikan dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Local Saving Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian. Namun karena persoalan politik membuat bank ini menghadapi banyak rintangan untuk terus maju dan melayani nasabah-nasabahnya. Oleh karena itu,  Bank Islam Myt-Ghamr Local Saving Bank kemudian diambilalih oleh National Bank of Egypt dan Central Bank of Egypt pada pertengahan tahun 1967. Pada tahun 1971 di Mesir kemudian berhasil didirikan sebuah Bank Islam baru dengan nama Nasser Social Bank.[6] Eksprimen lain dilakukan di Karachi Pakistan oleh S. A. Irshad dengan mendirikan sebuah bank koperasi  pada bulan Juni 1965, namun  bank koperasi ini juga tidak berhasil karena terjadinya salah pengelolaan dan kurangnya supervise resmi dan akhirnya harus ditutup. [7]
            Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua Bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Kemudian pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .[8]
            Secara internasional, perkembangan Perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks). Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .[9]
            Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI .[10]
            Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga Perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).[11]

2.      Perbankan Syariah  di Indonesia 

            Sejarah perkembangan industri Perbankan Syariah di Indonesia mencerminkan dinamika aspirasi dan keinginan dari masyarakat Indonesia sendiri untuk memiliki sebuah alternatif sistem perbankan menerapkan sistem bagi hasil yang menguntungkan bagi nasabah dan bank. Usaha merintis pendirian Perbankan Syariah ini sudah dimulai pada awal tahun 1980-an, sebagai proses pencarian alternatif sistem perbankan yang diwarnai oleh prinsip-prinsip transparansi, berkeadilan, seimbang, dan beretika. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut beberapa di antaranya adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, AM. Saefuddin, dan M. Amien Azis. Sebagai sebuah uji coba, masyarakat bersama-sama dengan akademisi kemudian mencoba mempraktekkan gagasan tentang Bank Syariah tersebut dalam skala kecil, seperti pendirian Bait Al-Tamwil Salman di Institut Teknologi Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta. Keberadaan badan usaha pembiayaan non-bank yang mencoba menerapkan konsep bagi hasil ini semakin menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan hadirnya alternatif lembaga keuangan syariah untuk melengkapi pelayanan oleh lembaga keuangan konvensional yang sudah ada.[12]
            Upaya intensif pendirian Bank Islam di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang mengatur tentang deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen).[13]
            Mengamati semakin berkembangnya aspirasi masyarakat Indonesia untuk memiliki lembaga keuangan syariah, maka para pemuka agama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) selanjutnya menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut dengan melakukan pendalaman tentang konsep-konsep keuangan syariah termasuk sistem Perbankan Syariah. Upaya tersebut ditandai dengan diselenggarakannya  Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan oleh MUI di Cisarua, Bogor, Jawa Barat pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional Keempat MUI di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian Bank Islam pertama di Indonesia.  Kelompok kerja ini disebut Tim Perbankan MUI yang bertugas untuk secara konkrit menindaklanjuti aspirasi dan keinginan masyarakat tersebut serta melakukan berbagai persiapan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.[14]
            Hasil kerja dari Tim Perbankan MUI ini adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI). Akte pendirian BMI ditandatangani pada tanggal 1 November 1991 dan BMI mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain BMI, pionir Perbankan Syariah yang lain adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera yang didirikan pada tahun 1991 di Bandung, yang diprakarsai oleh Institute for Sharia Economic Development (ISED).[15]
            Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep Bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung.[16]
            Dukungan Pemerintah dalam mengembangkan sistem Perbankan Syariah ini selanjutnya terlihat dengan dikeluarkannya perangkat hukum yang mendukung sistem operasional Bank Syariah, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PP No. 72 Tahun 1992.  Ketentuan ini menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan bersama-sama memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.[17]
            Selanjutnya, melalui perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, keberadaan sistem Perbankan Syariah semakin didorong perkembangannya. Berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 1998, Bank Umum Konvensional diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Dalam UU ini pula untuk pertama kalinya nama “bank syariah” secara resmi menggantikan istilah “bank bagi hasil” yang telah digunakan sejak tahun 1992.[18]
            Pengalaman membuktikan bahwa sistem Perbankan Syariah telah menjadi salah satu solusi untuk membantu menyokong perekonomian nasional dari krisis ekonomi dan moneter tahun 1998. Sistem Perbankan Syariah terbukti mampu menjadi penyangga stabilitas sistem keuangan nasional ketika melewati guncangan. Kemampuan itu semakin mempertegas posisi sistem Perbankan Syariah sebagai salah satu potensi penopang perekonomian nasional yang layak diperhitungkan.[19]
            Boleh dikatakan, Perbankan Islam di Indonesia mulai menggeliat persis ketika terjadi krisis perekonomian di Asia, termasuk di Indonesia dimana perbankan nasional yang mengalami krisis berat, yang mendorong perbankan saat itu beroperasi dengan negatif spread, yaitu bunga yang dibayar kepada nasabah penabung lebih tinggi daripada bunga kredit yang diterima. Logis saja apabila kemudian kerugian menggerogoti modal bank, sampai Bank Indonesia mewajibkan program rekapitalisasi. Bayangkan saja, bunga deposito pernah mencapai 60 % saat itu. Logikannya, bank harus memberi kredit dengan bunga setinggi itu. Masalahnya, bisnis apa yang mampu membayar bunga setinggi itu dalam keadaan krisis seperti saat itu? Jangankan untuk membayar bunga, yang terjadi malah kredit macet.[20]
            Baru pada pertengahan tahun 1999, jejak langkah BMI kemudian diikuti dengan bermunculannya Bank-bank Syariah baru seperti Bank IFI yang membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri[21] yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri pada tanggal 1 Nopember 1999. Bank Syariah Mandiri secara resmi mulai beroperasi sebagai bank umum devisa sejak tanggal 18 Maret 2002 berdasarkan Surat Keputusan Deputi Gubernur Bank Indonesia No. 4/KEP.DpG/2002. Kemudian disusul dengan  pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN[22], Bank Mega,[23] Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh. Cari tanggal pendiriannya masing-masing.
            Pertumbuhan Bank Syariah bergerak pesat. Hal itu bisa dilihat dari segi jumlah pendirian Bank Syariah yang mengalami perkembangan dari tahun ke tahun sebagaimana terlihat pada tabel 1 di bawah ini :
Tabel 1  : Jumlah Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS),
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dan Jumlah Kantor BUS dan UUS,Tahun 2002 – 2008

Kelompok Bank
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008*)
BUS
2
2
3
3
3
3
3
UUS
6
8
15
19
20
26
28
BPRS
83
84
86
92
105
114
117
Jumlah Kantor BUS dan UUS
127
299
401
504
531
564
609
Sumber: www.bi.go.id, 2009
Keterangan: *) sampai Juni 2008
            Namun berdasarkan data 2009, ternyata jumlah BUS, UUS, BPRS mengalami perubahan dan atau perkembangan.  Perkembangan tersebut bisa diperhatikan dalam Tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2. Perkembangan Bank Syariah Indonesia
Perkembangan Bank Syariah  
Indikasi
1998
KP/UUS
2003
KP/UUS
2004
KP/UUS
2005
KP/UUS
2006
KP/UUS
2007
KP/UUS
2008
KP/UUS
2009
KP/UUS
BUS
1
2
3
3
3
3
5
6
UUS
-
8
15
19
20
25
27
25
Sumber : Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah, 2009
 
BPRS
76
84
88
92
105
114
131
139


Keterangan :
BUS
=
Bank Umum Syariah
UUS
=
Unit Usaha Syariah
BPRS
=
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
KP/UUS
=
Kantor Pusat/Unit Usaha Syariah






            Tabel 2 menunjukkan perkembangan perbankan syariah berdasarkan laporan tahunan BI 2009 (Desember 2009). Secara kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh membanggakan dan terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun 1998 hanya ada satu Bank Umum Syariah dan 76 Bank Perkreditan Rakyat Syariah, maka pada Desember 2009 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia) jumlah bank syariah telah mencapai 31 unit yang terdiri atas 6 Bank Umum Syariah dan 25 Unit Usaha Syariah. Selain itu, jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah mencapai 139 unit pada periode yang sama.
            Pada rentang waktu yang cukup singkat (kurang dua tahun), perkembangan perbankan syariah cukup mencengangkan. Tidak hanya jumlah BUS yang bertambah dari 6 BUS pada 2009 menjadi 11 BUS pada Februari 2011. Jumlah asetnya pun naik tajam, dari Rp 49,5 triliun pada 2008 menjadi Rp 95 triliun pada 2011. Padahal, sebagian besar dari BUS tersebut baru beroperasi rata-rata di bawah dua tahun, bahkan beberapa diantaranya belum genap setahun. Perkembangan tersebut dapat dilihat dalam table 3 di bawah ini :
Tabel 3. Perkembangan Bank Syariah Indonesia
Perkembangan Perbankan Syariah

2001
2006
2008
2011 (Februari)
BUS
2
3
5
11
UUS
3
20
27
23
BPRS
80
105
131
151
Kantor
102
1.092
2.423
3.321
Aset
Rp 2,7 triliun
Rp 26,7 triliun
Rp 49,5 triliun
Rp 95 triliun
DPK
RP 1,8 triliun
Rp 20,6 triliun
Rp 36,8 triliun
Rp 75 triliun
Pembiayaan
Rp 2 triliun
Rp 20,4 triliun
Rp 38,2 triliun
Rp 71,9 triliun










Sumber : Bank Indonesia,2011
 
 


Berdasarkan catatan Biro Riset Infobank (birl), sepanjang 2010 perbankan syariah mampu tumbuh hingga kisaran 40%. Ada 5 (lima) bank syariah yang dibuka dalam setahun, yakni BCA Syariah, Bank Victoria Syariah, BNI Syariah, Bank Jabar Banten Syariah, dan Maybank Syariah. Maka pada 2011 industri perbankan syariah diproyeksikan akan tumbuh lebih cepat dibandingkan pada 2010.[24]
            Dari segi kinerja, baik perkembangan asset, DPK, Pembiayaan, Share, FDR maupun NPF Nett, juga ikut mengalami perkembangan cukup signifikan, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 4 dan 5 berikut ini :
Tabel 4 : Kinerja Perbankan Syariah 2006–2008 (dalam triliun rupiah)

Indikator
2006
2007
November 2008
Aset
26,722
36,536
47,178
DPK
20,445
27,944
34,422
Pembiayaan
20,672
28,011
38,557
Share (%)
1,58
1,84
2,07
FDR (%)
98,9
99,8
111,7
NPF Nett
3,3
2,4
2,4
   Sumber: Jawa Pos, 27 Januari 2009
Tabel 5 : Indikator Utama Perbankan Syariah (dalam milyar rupiah)
Indikator Utama Perbankan Syariah (dalam milyar rupiah)
Indikasi
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Aset
7.945
15.210
20.880
28.722
36,537
49.555
66.090
DPK
5.725
11.718
15.584
20.672
28.011
36.852
52.271
Pembiayaan
5.561
11.324
15.270
20.445
27.944
38.198
46.886
FDR
97,14%
96,64%
97,76%
98,90%
99.76%
103.65%
89.70%
NPF
2,34%
2,38%
2,82%
4,75%
4,07%
3.95%
4.01%
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah Indonesia, 2009


           Tabel 4 menunjukkan perkembangan terakhir indikasi-indikasi perbankan syariah. Perkembangan asset perbankan syariah meningkat sangat signifikan dari akhir tahun 2008 sampai dengan akhir tahun 2009 sebesar lebih dari 33.37 persen. Penghimpunan dana dan pembiayaan mencapai peningkatan sebesar 41.84 dan 22.74 persen.
            Jika dilihat dari rasio pembiayaan yang disalurkan dengan besarnya dana pihak ketiga (DPK) yang dinyatakan dengan nilai Financing to Deposit Ratio (FDR), maka bank syariah memiliki rata-rata FDR sebesar 97.65 persen. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya, pada tahun 2008 Financing to Defosit Ratio perbankan syariah lebih dari 100 %. Tingginya tingkat FDR tersebut karena pembiayaan yang disalurkan selama bulan maret – November 2008 lebih besar dari Dana Pihak ketiga.
            Yang perlu di catat disini adalah, meskipun pembiayaan yang disalurkan lebih besar dari DPK, tetapi tingkat kegalalan bayar atau yang dinyatakan dalam Non Performing Financing (NPF) ternyata lebih sedikit dari periode tahun 2006-2007, yakni hanya sebesar 3.95%, masih dibawah batas ketentuan minimal sebesar 5 persen. Artinya bank syariah betul betul menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan tidak mengabaikan prinsip kehati-hatian. Selain itu juga, secara keseluruhan perbankan syariah relatif lebih sehat.
Tabel 6. Perbandingan Pangsa Perbankan Syariah Terhadap Total Bank
Perbandingan Pangsa Perbankan Syariah Terhadap Total Bank

Islamic Bank
(Des 08)
Total Bank
Islamic Bank
(Des 09)
Total Bank
Nominal
Share

Nominal
Share

Total Asset
49,56
2.14%
2,310.60
66,09
2.61%
2,534.10
Deposit Fund
36,85
2.10%
1,753.30
52,27
2.65%
1,973.00
Credit Financial Extended
38,20
-
-
46,88
-
-
FDR/LDR
103.66%
-
-
89.70%
-
-
 Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah 2009
            Pada Tabel 6 terlihat bahwa pangsa perbankan syariah meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2008 pada bulan yang sama, yaitu aset menjadi 2.61% meningkat sebesar 0.47%. Deposit Fund atau DPK juga mengalami pertumbuhan menjadi 2,02%, meningkat 0,24%. Hal ini menunjukkan kinerja dan potensi perbankan syariah mengalami perkembangan yang baik.
            Komposisi pembiayaan Bank Syariah yang disalurkan kepada nasabah debitur dalam rentang waktu 6 (enam) tahun, mulai dari tahun 2003 -2009 juga mengalami perkembangan sebagaimana ditunjukkan oleh Grafik berikut ini :
 
Grafik. 1. Komposisi Pembiayaan Bank Syariah


             Pada grafik diatas terlihat bahwa persentase pembiayaan murabahah dengan prinsip jual-beli yang dilakukan oleh perbankan syariah mendominasi jauh di atas dari pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Pada tahun 2003 terjadi perbedaan terbesar dimana persentase pembiayaan mudharabah dan musyarakah hanya sebesar 14,36 dan 5,53 persen sedangkan pembiayaan murabahah sebesar 70,81 persen. Namun sayangnya, meskipun pembiayaan dengan prinsip jual – beli selalu mengalami penurun setiap tahunnya namun jumlah persentasenya tidak pernah kurang dari lima-puluh persen.
            Semestinya, pembiayaan dengan akad mudharabah dan akad musyarakah harus lebih banyak. Karena pada akad inilah karakteristik dasar perbankan syariah terbentuk. Kedua akad tersebut merupakan akad dengan sistem bagi hasil. Perbankan syariah dengan sistem bagi hasil inilah yang menjadi pembeda dengan bank konvensional.[25]
            Pertumbuhan pembiayaan syariah dalam lima tahun terakhir mengalami pertumbuhan rata-rata  35,0% per tahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada 2007 yaitu sebesar 37,0% atau mencapai Rp 28,0 triliun dan tahun berikutnya naik menjadi Rp 38,2 triliun yang berarti terjadi peningkatan 36,4%.  Selain itu, perlambatan pertumbuhan dari 2007 ke 2008  dipicu persaingan yang semakin ketat dengan bank konvensional seiring dengan semakin menurunnya suku bunga perbankan.[26]
            Memasuki kuartal keempat 2008, sejumlah bank syariah terkesan menahan pembiayaan. Meski demikian, secara nasional pembiayaan naik menjadi Rp 38,2 triliun. Sebab sejumlah bank tetap melakukan pembiayaan dengan prinsip kehati-hatian. Contohnya yang dilakukan oleh UUS Bank Jabar, Bank Syariah Mandiri (BSM), maupun UUS Bank BNI.[27]
            Pertumbuhan pembiayaan 2008 diantarnya dipicu keluarnya beberapa aturan yang diterbitkan BI pada tahun tersebut. Di antaranya mengenai masalah pajak berganda yang dirasakan bank syariah. Dengan peraturan baru tersebut pembiayaan menjadi lebih baik karena biaya untuk pembiayaan lebih murah. Namun pembiayaan ini masih jauh dibandingkan dengan bank konvensional yang mencapai Rp 1,353 triliun pada periode yang sama yaitu pada 2008. Besarnya perbedaaan pembiayaan bank syariah dan bank konvensional tersebut akibat masih adanya hambatan bank syariah dalam melakukan ekpansi usaha, terutama dari segi modal.
            Sementara itu, salah satu bank syariah terbesar yaitu bank Muamalat Indonesia (BMI) hingga akhir Agustus 2008 menyalurkan pembiayaan Rp 10,2 triliun dari target hingga akhir tahun Rp 12,5 triliun. Sementara total asetnya per Agustus 2008 mencapai  Rp 11,7 triliun, dari target hingga akhir tahun Rp13 triliun. Sementara untuk Financing to Deposit Ratio (FDR) mencapai 97%.  BMI juga mulai melakukan ekspansi pembiayaan ke sektor riil sejak Juli 2008 dengan kredit sejumlah Rp 602 miliar. Bank Muamalat masih memiliki dana Rp 200 miliar hingga akhir 2008. Ekspansi kredit itu tidak mengurangi posisi CAR BMI sebesar 12%, hal itu karena dikompensasi dari berbagai pendapatan lain. Meski demikian, seluruh fasilitas pembiayaan itu masih didominasi usaha menengah dan besar, yang mampu menyerap Rp 408 miliar atau 67% dari seluruh pembiayaan. Sedangkan usaha kecil dan menengah hanya menyerap Rp 194 miliar.
            Pada 2009 diperkirakan pembiayaan perbankan syariah akan sedikit menurun. Menyusul krisis finansial global yang terjadi awal Oktober 2008 lalu, banyak Bank Syariah sudah melakukan pengetatan dalam hal pembiayaan.  Pada tahun ini perbankan syariah harus bekerja keras untuk meningkatkan kinerjanya dengan mengembangkan pasar. Sehingga dapat terus menghimpun dana pihak ketiga demi menjaga arus pembiayaan kepada nasabah.
            Perkembangan industri perbankan syariah Indonesia tumbuh pesat. Hal ini didasarkan pada data Bank Indonesia (BI) yang menilai bahwa telah terjadi pertumbuhan aset selama tiga tahun terakhir yang mencapai rata-rata 38,2 persen senilai Rp 82,1 triliun per Agustus 2010.[28] Data ini disampaikan oleh Direktur Perbankan Syariah BI Mulya Siregar pada seminar “Prospek Pembiayaan Perbankan Syariah untuk Properti” di gedung BI Jakarta, Rabu (20/10/2010).
            Data BI menunjukkan rata-rata pertumbuhan aset per bulan industri perbankan syariah selama November 2008 hingga Agustus 2010 mencapai Rp 1,5 triliun per bulan. Saat ini BUS (Bank Unit Syariah) sudah mencapai 10 unit. Pencapaian aset tersebut sangat pesat dibandingkan pertumbuhan aset industri perbankan syariah periode September 2004 hingga Oktober 2008 dimana saat itu perbankan syariah baru terdiri atas 3 BUS (Bank Unit Syariah).  Saat itu asetnya hanya tumbuh Rp 661,1 miliar per bulan.[29]
            Dijelaskan perkembangan industri perbankan syariah selama dua tahun terakhir terus menanjak. Jumlah bank syariah hingga Agustus 2010 mencapai 10 BUS, 23 UUS (unit usaha syariah), dan 146 BPRS (bank perkreditan rakyat syariah).“Dan hampir dikatakan semua lembaga perbankan di Indonesia saat ini sudah memiliki layanan perbankan syariah. Jumlah jaringan kantor bank syariah juga semakin meluas mencapai 1.624 kantor dengan sebaran ke seluruh provinsi di Indonesia.[30]
            Mengacu pada perkembangan yang berlangsung dan peluang yang ada, bank syariah memiliki kesempatan yang luas untuk semakin tumbuh dan berkembang secara optimal. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan.[31]
            Pertama, dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang diundangkan pada 16 Juni 2008 dalam Lemaran Negara Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2008 yang semakin mendorong industri ini tumbuh lebih cepat lagi. UU ini menjadi sangat strategis karena menjamin kepastian hukum sehingga diharapkan akan mampu memupus keraguan berbagai pihak untuk menggeluti perbankan syariah. Ditambah lagi dukungan dan harapan besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan kontribusi perbankan syariah dalam sistem perbankan nasional. Hal ini disampaikannya secara langsung pada saat pembukaan acara Festival Ekonomi Syariah II pada Februari 2009.  
            Kedua, kebijakan pemerintah yang mulai “bersahabat”, diantaranya penghapusan pajak ganda bagi pembiayaan murabahah di bank syariah. Hal ini sangat mendorong pertumbuhan bank syariah.
            Ketiga, potensi pasar perbankan syariah yang masih sangat luas. Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam menjadikan perbankan syariah sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dengan perkembangan perekonomian bangsa dan Negara. Bila market share saat ini baru pada level 3%, maka masih terlalu luas kesempatan bagi bank syariah mengembangkan dirinya.
            Keempat, produk yang dimiliki perbankan syariah sangat bervariasi. Hal ini akan menjadi kekuatan tersendiri guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat variatif. Tentu saja keberagaman produk yang ditawarkan harus pula dibarengi dengan peningkatan pelayanan yang prima bagi nasabah.
            Kendati demikian, perbankan syariah harus mampu menghadapi berbagai tantangan[32] dan hambatan. Tantangan dimaksud adalah :
            Pertama, sumber daya insani (SDI) yang memiliki kompetensi tinggi sangatlah terbatas sehingga tidak mengherankan bila masih saja terjadi kasus “pembajakan” SDI antar bank syariah. Oleh karena itu, diperlukan akselerasi dalam menciptakan SDI bank syariah yang kompeten. Dalam hal ini lembaga pendidikan dan pelatihan perbankan syariah memegang peranan penting. Disamping tugas perbankan syariah sendiri untuk membina dan mengembangkan potensi SDI yang dimilikinya.
            Kedua, Indonesia adalah negara kepulauan sehingga secara geografis tingkat penyebaran masyarakat Indonesia sangat tinggi. Untuk itu, agar masyarakat dapat menjangkau pelayanan perbankan syariah, diperlukan sinergi dan kolaborasi positif di antara pelaku industri.
            Ketiga, peranan BI sebagai otoritas moneter hendaknya perlu ditingkatkan. Dari sekadar regulator menjadi fasilitator aktif. Dari membuat aturan yang justru berpotensi membatasi perkermbangan bank syariah menjadi pendorong dan pendobrak pintu percepatan pertumbuhan bagi bank syariah.
            Beberapa hambatan yang perlu segera ditanggulangi adalah :[33]
a.         Pemahaman masyarakat yang belum tepat terhadap kegiatan operasional bank syariah. Karena masih dalam tahap awal pengembangan, hal ini tentu saja dapat dimaklumi bahwa pada saat ini pemahaman sebagian masyarakat mengenai sistem dan prinsip perbankan syariah masih belum tepat. Pada dasarnya, Sistem Ekonomi Islam telah jelas, yaitu melarang praktek riba serta akumulasi kekayaan hanya pada pihak tertentu secara tidak adil, akan tetapi, secara praktis, bentuk produk dan jasa pelayanan, prinsip-prinsip dasar hubungan antar bank dan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank syariah, masih perlu disosialisasikan secara luas. Adanya perbedaan karakteristik produk bank konvensional dengan bank syariah telah menimbulkan adanya keengganan bagi pengguna jasa perbankan. Keengganan tersebut antara lain disebabkan oleh hilangnya kesempatan mendapatkan penghasilan tetap berupa bunga dari simpanan. Oleh karena itu, secara umum perlu diinformasikan bahwa dana pada bank syariah juga  dapat memberikan keuntungan finansiil yang kompetitif. Disamping itu, salah satu karakteristik khusus dari hubungan bank dengan nasabah dalam sistem perbankan syariah adalah adanya moral force dan tutunan terhadap etika usaha yang tinggi dari semua pihak. Hal ini selanjutnya akan mendukung prinsip kehati-hatian dalam usaha bank maupun nasabah.
b.        Peraturan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodir operasional bank syariah. Hal ini disebabkan adanya sejumlah perbedaan dalam pelaksanaan operasional antara bank syariah dan bank konvensional. Ketentuan-ketentuan perbankan perlu disesuaikan agar memenuhi ketentuan syariah sehingga bank syariah dapat beroperasi secara efektif dan efisien. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain mengenai (a) Instrumen yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas; (b) Instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip syariah untuk keperluan pelaksanaan tugas bank sentral; (c) Standar akuntansi, audit dan pelaporan; (d) Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian, dan sebagainya.
c.         Jaringan kantor bank syariah yang belum luas. Pengembangan jaringan kantor bank syariah diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu, kurangnya jumlah bank syariah yang ada juga menghambat perkembangan kerjasama antar bank syariah. Kerjasama  tersebut sangat diperlukan antara lain, berkenaan dengan penempatan dana antar bank dalam hal mengatasi masalah likuiditas sebagai suatu badan usaha, bank syariah perlu beroperasi dengan skala yang ekonomis. Karenanya, jumlah jaringan kantor bank yang luas juga akan meningkatkan efisiensi usaha. Berkembangnya jaringan bank syariah juga diharapkan dapat meningkatkan komposisi ke arah peningkatan kualitas pelayanan dan mendorong inovasi produk dan jasa bank syariah.
d.        Kecilnya market share. Penting untuk disadari bahwa hingga saat ini market share bank syariah masih sangat kecil, yaitu kurang dari 1 %. Walaupun demikian, rasio pembiayaan dengan dana pihak ketiga lebih dari 100 %. Hal ini berarti bahwa bank syariah telah menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik. Masih kecilnya market share itu disebabkan antara lain karena bank syariah mempunyai keterbatasan dana, baik dari segi permodalan maupun jumlah dana masyarakat yang berhasil dihimpun karena alasan-alasan seperti yang diungkapkan di atas.  
e.         Sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam bank syariah masih sedikit. Kendala-kendala di bidang sumber daya manusia dalam pengembangan perbankan syariah disebabkan karena sistem ini masih belum lama dikembangkan di Indonesia. Disamping itu, lembaga-lembaga akademik dan pelatihan dibidang ini sangat terbatas sehingga tenaga terdidik dan berpengalaman dibidang  perbankan syariah, baik dari sisi bank pelaksana maupun dari bank sentral (pengawas dan peneliti bank), masih sangat sedikit.  
           




                [1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
                [2] Peri Umar Farouk, Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, hal.2. Periksa  http://omperi.wikidot.com/sejarah-hukum-perbankan-syariah-di-indonesia
                [3] Ibid.
                [4] C. Erol dan R. El-Bdour, “Attitudees, Behaviour and Patronage Factors of Bank Customers Towards Islamic Banks”, International Journal of Bank Marketing, Vol. 7, No.6, 1989.
                [5] Rodney Wilson, Banking and Finance in the Arab Middle East, (London : MacMillan, 1983), hal.
                [6] Sudin Haron, Prinsip Operasi Perbankan Islam, (Kuala Lumpur : Berita Publishing SDN.BHD., 1996), hal. 8
                [7] M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, diterjemahkan oleh Ikhwan Abidin Basri, Cetakan Pertama, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), hal. 228.
                [8] Peri  Umar Farouk, Op.Cit.,hal. 3
                [9] Ibid.
                [10] Ibid.
                [11] Ibid., hal.3-4
                [12] Republika Newsroom, “Sejarah Perkembangan Industri Perbankan Syariah di Indonesia”, Republika Online, Rabu, 26 November 2008, hal.1
                [13] Zainul Arifin, Perkembangan Bank Islam di Indonesia, dalam http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/16/perkembangan-bank-islam-di-indonesia/
                [14] Ibid.
                [15] Ibid.
                [16] Peri  Umar Farouk, Loc.Cit.
                [17] Republika Newsroom, Op.Cit., hal. 2
                [18] Ibid.
                [19] Ibid.
                [20] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer, Cetakan Pertama, Jakarta  : Gema Insani Press, 2001), hal. 65.
                [21] PT Bank Syariah Mandiri (selanjutnya disebut Bank) berkedudukan di Jakarta, Indonesia, awalnya didirikan dengan nama PT Bank Susila Bakti pada tanggal 10 Agustus 1973 berdasarkan Akta Notaris R. Soeratman, S.H., No. 146. Seluruh anggaran dasar Bank telah diubah dan disusun kembali sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas berdasarkan Akta No. 13 Notaris Ny. Liliana Arif Gondoutomo, S.H., tanggal 17 April 1997 beserta pembetulannya dengan Akta No. 12 tanggal 15 September 1997 dengan notaris yang sama.  Berdasarkan Akta No. 29 Notaris Ny. Machrani Moertolo Soenarto, S.H., tertanggal 19 Mei 1999, Bank telah mengubah kegiatan usahanya dari bank konvensional menjadi bank dengan prinsip syariah serta mengubah nama PT Bank Susila Bakti menjadi PT Bank Syariah Sakinah Mandiri. Perubahan tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan surat keputusannya No. C2-12120.HT.01.04.TH.99 tanggal 1 Juli 1999, serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No.6587 tanggal 31 Oktober 2000 Tambahan No. 87. Berdasarkan akta No. 23 notaris Sutjipto, S.H., pada tanggal 8 September 1999, telah diadakan perubahan atas peningkatan modal dasar Bank serta perubahan nama Bank menjadi PT Bank Syariah Mandiri, termasuk seluruh Anggaran Dasarnya. Perubahan-perubahan tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan surat keputusan No. 16495.HT.01.04.TH.99 tanggal 16 September 1999 serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 6588 tanggal 31 Oktober 2000 Tambahan No. 87. Kemudian Bank Indonesia dengan Skep No. 1/24/KEP.GBI/1999 tanggal 25 Oktober 1999 telah memberikan izin perubahan kegiatan usaha menjadi bank dengan prinsip Syariah, terhitung mulai tanggal 1 Nopember 1999. Bank secara resmi mulai beroperasi sebagai bank umum devisa sejak tanggal 18 Maret 2002 berdasarkan Surat Keputusan Deputi Gubernur Bank Indonesia No. 4/KEP.DpG/2002.
                [22]  BTN Syariah merupakan Strategic Bussiness Unit (SBU) dari Bank BTN yang menjalankan bisnis dengan prinsip syariah, mulai beroperasi pada tanggal 14 Februari 2005 melalui pembukaan Kantor Cabang Syariah pertama di Jakarta. Baca dalam http://www.btn.co.id/Syariah/Tentang-Kami/Profil-BTN-Syariah.aspx
                [23] Perjalanan PT Bank Syariah Mega Indonesia diawali dari sebuah bank umum bernama PT Bank Umum Tugu yang berkedudukan di Jakarta. Pada tahun 2001, Para Group (PT. Para Global Investindo dan PT. Para Rekan Investama), kelompok usaha yang juga menaungi PT Bank Mega, Tbk., Trans TV, dan beberapa Perusahaan lainnya, mengakuisisi PT Bank Umum Tugu untuk dikembangkan menjadi bank syariah. Hasil konversi tersebut, pada 25 Agustus 2004 PT. Bank Umum Tugu resmi beroperasi syariah dengan nama PT. Bank Syariah Mega Indonesia. Baca dalam http://www.bsmi.co.id/Profil-SekilasBSMI.php
                [24] Musim Semi Perbankan Syariah, Shariainsight_Infobank No.386, Vol. XXXIII, Mei 2011
                [25] http://cintasyariah.wordpress.com/2010/02/25/perkembangan-bank-syariah-di-indonesia/
                [26]Perkembangan Sistem Bank Syariah di Indonesia, http://www.datacon.co.id/BankSyariah3.html
                [27] Ibid.
                [28]http://www.bangkapos.com/2010/10/20/pertumbuhan-aset-bank-syariah-capai-rp-821-triliun/
                [29] Ibid.
                [30] Ibid.
                [31] A. Riawan Amin, Ada Ruang Pertumbuhan 40%, Infobank, No.368, Vol.XXXI, November 2009, hal. 35-36
                [32] Ibid.
                [33] Sasli Rais, “Sejarah dan Proses Perkembangan Lembaga Perbankan Syariah di Indonesia”, dalam www.psktti.com  (Website S2 Ekonomi & Keuangan Syariah UI), Sepetember 2002, hal. 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih