Selasa, 29 September 2009

Pesta Pakaddei Dalam Tradisi Perkawinan Adat di Pulau Siberut

PESTA PAKADDEI
DALAM TRADISI  PERKAWINAN ADAT DI PULAU  SIBERUT

Oleh: Mulhadi,SH.,M.Hum[1]


                  Pakaddei berasal dari kata kaddei; kandei yang berarti besan, pakaddei berarti perbisanan. Pesta pakaddei (perbisanan) adalah pesta yang ditujukan untuk menggembirakan pengantin baru khususnya menantu laki-laki sekaligus memiliki makna mengikat hubungan perbisanan antara kedua belah pihak (keluarga laki-laki dan perempuan). Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa pakaddei (karena diselenggarakan oleh pihak wanita) adalah sebuah pesta balasan atas pembayaran ala toga yang diterima dari pihak pria. Karena dalam pakaddei akan dipersembahkan (diserahkan) sejumlah besar daging babi kepada pihak keluarga/kerabat pria sebagai seserahan yang disebut enungakenen. Seserahan khusus daging (hewan ternak) disebut iba toga. Iba toga tersebut bertujuan untuk menghilangkan rasa malu (pamot ailo) keluarga pihak wanita. Jika iba toga sudah diserahkan dalam punen pakaddei, maka tidak ada lagi kekakuan atau istilah “malu dan segan” dalam hubungan  menantu-mertua atau antara keluarga pihak pria dan pihak wanita (besan). Seandainya pakaddei belum diselenggarakan oleh pihak wanita, maka percekcokan yang terjadi diantara kedua pasang pengantin baru dikemudian hari tidak bisa dicampuri (diintervensi) oleh keluarga pihak wanita/istri untuk tujuan menyelesaikan atau membela anaknya.
                  Pesta pakaddei ini biasanya diselenggarakan jika kondisi ekonomi pihak (keluarga) perempuan memungkinkan, tetapi kebanyakan tetap diadakan disebabkan demi menjaga nama baik dan harkat keluarga. Waktu penyelengaraan pakaddei ini tergantung keadaan ekonomi orangtua dan kerabat wanita, bisa lebih cepat atau lebih lama, terkadang setelah beberapa tahun mereka berkeluarga atau setelah melahirkan beberapa orang anak. Pakaddei boleh dilaksanakan beberapa hari setelah pernikahan. Tetapi yang paling lazim diselenggarakan adalah setelah pasangan tersebut memiliki anak. Walaupun dibolehkan, penyelenggaraan pakaddei yang terlaalu cepat dari kebiasaan umum (misalnya 2 atau 3 hari setelah pernikahan), akan dianggap sebagai tindakan “pabailak” (mengukur-ukur kekayaan; pamer kekayaan atau  kemampuan). Biasanya ini akan menyinggung perasaan pihak keluarga pria. Yang dipersembahkan dalam pesta  pakaddei itu biasanya sejumlah babi atau ayam dan beberapa macam benda-benda lainnya  untuk diserahkan kepada pihak laki-laki sebagai balasan (tumbak) dari ala toga. Jumlahnya bisa sama dengan jumlah ala toga, tetapi dalam pelaksanaannya selalu diupayakan lebih besar dan lebih banyak  dari ala toga yang pernah diterima, karena menyangkut nama baik keluarga.
                  Pakaddei merupakan sebuah kebiasaan tetapi bukan aturan adat yang harus dijalankan. Oleh karenanya digantungkan pada kemampuan ekonomi pihak keluarga atau kerabat wanita. Namun diakui bahwa pada umumnya akan timbul rasa malu dipihak keluarga wanita jika mereka tidak menyelenggarakan  pakaddei dengan iba toganya. Ada pendapat (khususnya daerah Tarekan Hulu-Malancan) bahwa ala toga yang diterima oleh ama di pihak anggota kerabat wanita (seperti bajak, kamaman atau kebbu) adalah sebagai hutang  yang harus dibalas dikemudian hari yakni dalam pesta pakaddei. Setiap orang atau anggota kerabat yang menerima ala toga memiliki kewajiban moril dan materil untuk mensukseskan pesta pakaddei. Jika mereka (saudara kandung, bajak, maman) tidak diberi ala toga ketika anak gadis dari salah seorang anggota kerabatnya  menikah, maka mereka tidak memiliki tanggungjawab dan tentu saja tidak ambil pusing  dengan pesta pakaddei yang dilaksanakan kemudian hari. Namun, sebaliknya mereka yang terlanjur menerima ala toga akan terbebani atau memiliki tanggung jawab untuk mensukseskan pesta pakaddei anak saudara atau keponakannya. Dari perspektif inilah kenapa sering dikatakan bahwa ala toga yang diiterima merupakan hutang bagi mereka yang menerima dikemudian hari. Tetapi dari sinilah (pakaddei) diwujudkannya aktivitas gotong royong dan saling tolong menolong diantara sesama anggota kerabat. Beban yang berat seketika menjadi ringan, karena ditanggulangi bersama-sama.
                  Selama pesta berlangsung seluruh anggota kerabat akan bergembira ria karena banyak sekali daging yang disajikan. Karena itu pesta ini sering disebut pesta makan daging.  Terdapat nilai lain dalam pakaddei tersebut. Menurut beberapa responden, jika keluarga perempuan belum menyelenggarakan pesta pakaddei, maka selama itu pula menantu laki-lakinya akan segan (tidak leluasa) memakan makanan jenis protein bernilai tinggi, seperti babi atau ayam, jangankan dagingnya mencicipi kuahnyapun tidak boleh. Artinya, selama pakaddei belum dilangsungkan, sang menantu tidak bisa leluasa memakan ataupun mengajukan permintaan jenis tersebut di atas kepada mertuanya. Disamping itu, sang menantu harus pandai-pandai menjaga sikap ataupun ucapan, baik dirumah ataupun ditempat lain berhubungan dengan makanan, demi menjaga perasaan mertua tidak dipermalukan atau tersinggung disebabkan belum bisa melaksanakan pakaddei. Jika pakaddei dilaksanakan maka menantu laki-laki tersebut dianggap seperti anak sendiri sehingga boleh atau tidak perlu malu lagi mengajukan permintaan apapun kepada mertuanya. Jika sang menantu berkeinginan makan dengan daging babi atau ayam, mertuanya akan berusaha menyediakannya. Itulah sebabnya pakaddei itu sering disebut pesta atau punen iba toga guna mempererat hubungan antara mertua dengan menantu barunya. Iba toga berarti lauk pauk untuk sang anak, karena menantu yang sudah diberi iba toga akan dianggap seperti anak sendiri.
                  Dalam pelaksanaannya, ternyata babi, ayam, maupun sejumlah benda-benda lainnya  sebagai enungakenen  yang diserahkan kepada keluarga pihak laki-laki akan kembali dibalas  dengan beberapa ekor babi, ini disebut tumbuk. Sedangkan daging yang dibagi-bagikan kepada orang lain seperti tetangga disebut untut. Kemudian ayam yang berasal dari iba toga yang diserahkan sebagai jatah/hadiah kepada para tamu yang memberikan sumbangannya disebut occai, dan occai ini jumlahnya tidak sama setiap tamu tetapi disesuaikan dengan besar sumbangan yang diberikan oleh tamu tersebut.
                  Dalam pakaddei itu biasanya menantu baru itu akan disuruh palabak (bergulat; bergumul) dengan ipar-ipar perempuan sambil bergurau mengeluarkan ucapan-ucapan yang bernada jorok, celaan, dan makian, bahkan ucapan-ucapan itu kebanyakan berkaitan dengan kekurangan atau kejelekan menantu laki-laki. Tapi gurauan atau palabak tersebut bertujuan mengakrabkan anggota keluarga khususnya para sasaulu (ipar-ipar laki-laki) dan saeira (ipar-ipar perempuan). Karena pekerjaan sasaulu selama pesta berlangsung cukup berat, adanya palabak bertujuan menghilangkan kejenuhan dalam bekerja. Istilahnya menantu laki-laki sebagai pendatang baru harus dipelonco oleh menantu yang lebih senior.
Proses Pakaddei
                  Persiapan pesta pakaddei bisa memakan waktu kurang lebih satu minggu, semua pekerjaan itu dilakukan oleh sasaulu dari pihak perempuan. Pakaddei biasanya diawali dengan datangnya beberapa utusan dari keluraga pihak wanita (misalnya maniu/kebbu simanteu, bajak atau kamaman). Mereka datang disertai dengan seekor ayam sebagai iba paruru`. Dalam paruru` tersebut disampaikan maksud kedatangan mereka yakni bermaksud menyelenggarakan pakaddei, dan kepada keluarga pihak pria disarankan untuk tidak meninggalkan tempat/pergi jauh-jauh menjelang hari yang ditentukan itu. Beberapa hari (2 atau 3 hari) sebelum pesta pakaddei dilaksanakan, kedua pengantin (suami istri) harus sudah berada di rumah orangtua pihak wanita/istri yang diantar oleh 2 atau 3 orang kerabat dekat pihak pria/suami (biasanya mereka berstatus taliku/menantu). Pasangan suami istri dan pengiringnya (tataliku) biasanya akan dijamu dengan makan bersama dengan memotong ayam atau babi. Para pengantar itu kemudian tetap berada di rumah kediaman kerabat wanita untuk membantu mempersiapkan pesta. Sejak berada dirumah orangtua istri, suami yang akan dipakaddeikan tadi mulai diperolok-olok atau dipermainkan oleh para sasaulu dan saeira hingga saat pesta berlangsung.
                  Sebagaimana halnya pengantin, kedua pasangan suami istri tersebut akan didandani dengan pakaian adat dengan aksesoris yang didominasi oleh dedaunan dan bunga-bungaan. Kegiatan ini disebut muogok (berdandan). Pengantin pria biasanya akan didandani oleh kamaman dari istrinya. Sedangkan pengantin wanita (istri) akan didandani oleh istri kamamannya sendiri (kameinan). Pakaian dan apa yang melekat ditubuh pengantin pria akan menjadi milik orang yang mendandani yakni kamaman, demikian juga dengan pengantin wanita, pakaian yang dikenakannya sebelum acara muogok akan menjadi milik kameinan-nya.
                  Jika acara muogok sudah selesai, acara akan dilanjutkan dengan makan bersama (paruru ngungu). Setelah itu pengantin pria di-kerei-kan atau disuru menari layaknya seorang kerei (dukun) yang akan dipandu oleh saulu (suami dari kakak istri). Tari kerei dilakoni berdua (dengan saulu) sambil sesekali (melalui arahan/bimbingan saulu) menunjuki para hadirin (kerabat-kerabat dari pihak istri) dengan mengajukan pertanyaan: “apa sibabara?” (apa yang bisa anda sumbangkan dalam acara ini). Yang ditunjuk biasanya akan menjawab:”ne`ne sibabara” (ini yang bisa saya berikan) sambil menunjukkan barang/benda yang akan disumbangkan. Kadangkala hadirin yang ditunjuki akan menjawab: “tak pei maeru turukna, ulang bicca” (tarianmu belum sempurna, ulang lagi). Jika kalimat itu yang muncul dari hadirin yang ditunjuki, berarti sang penari belum akan mendapatkan hadiah/kado dari anggota kerabat istri yang hadir, dan ia harus lebih menyempurnakan tariannya hingga hadirin puas. Tidak jarang pria penari itu mendapat cacian atau olokan dari para hadirin tersebut, tetapi cacian atau olokan itu sifatnya gurauan agar acara pesta lebih meriah dan paling utama untuk lebih mendekatkan hati pria penari dengan anggota kerabat istri yang hadir.
                  Setelah acara muturuk (mukerei) selesai, pasangan tersebut siap-siap menuju rumah orangtua pihak pria. Demikian juga halnya dengan pengiring yang masing-masing akan membawa iba toga yang nanti akan diserahkan kepada pihak pria sebagai balasan alak toga. Jumlah pengiring akan disesuaikan dengan jumlah iba toga yang dipersiapkan. Iba toga biasanya akan terdiri dari beberapa ekor babi, dan atau beberapa long ayam. Semua iba toga yang terdiri dari babi dan ayam serta barang-barang lainnya disebut enungakenen. Rombongan pengantin dan pembawa enungakenen ditata sedemikian rupa, sehingga akan membentuk sebuah barisan dimana kedua pengantin berada diposisi terdepan, sambil mengepit dua ekor ayam di bawah ketiak masing-masingnya (ayam jantan dan betina). Dengan susunan sebagai berikut:

  1. Pengantin pria
  2. pengantin wanita
  3. Bajak, yang menyediakan iba toga (enungakenen) yang paling besar/banyak sambil memegang janur (daun enau)
  4. Tataliku (menantu-menantu dari pelaksana pesta pakaddei), baik pria maupun wanita, dan mereka akan membawa iba toga baik berupa babi ataupun ayam.
                  Sementara itu, di rumah orangtua pengantin pria, sudah menunggu sipanilok (penyambut tamu) biasanya adalah orang tertua/dituakan (sikebbukat) dari keluarga/kerabat tersebut. Kedua pengantin kemudian akan menyerahkan ayam-ayam yang dibawanya kepada sipanilok tersebut. Demikian pula halnya para tataliku akan meletakkan bawaannya berupa iba toga (babi dan ayam) pada tempat yang disediakan tuan rumah, lalu setelah itu mereka dilayani dengan makan dan minum. Pada saat yang sama, tuan rumah penerima iba toga akan mulai mengeluarkan barang-barang (berupa pasi-pasi/perkakas rumah tangga dari besi) untuk dijadikan tumbak (balasan) atas iba toga yang mereka terima. Tumbak dalam bentuk pasi-pasi itu biasanya terdiri dari kuali, kampak, parang, periuk, dan lain-lain sesuai dengan nilai iba toga yang mereka terima, tetapi kadang-kadang tumbak tersebut nilainya bisa  lebih besar dari iba toga. Barang-barang tumbak tersebut hari itu juga dibawa pulang oleh para tataliku menuju rumah orangtua pengantin wanita. Kedua pengantin yang semula mengenakan baju adat dan aksesorisnya (yang dibawa dari rumah pengantin wanita) boleh melepaskannya untuk dikembalikan kepada periasnya, yang akan dibawa pulang bersama rombongan pembawa tumbak tersebut. Kecuali untuk kabit (cawat pria), pakaian tradisional yang satu itu tersebut boleh dimiliki  pengantin pria. Bunga-bunga (ogok) yang sudah layu disimpan dirumah pria hingga kering.
                  Tataliku dari keluarga pengantin pria mulai sibuk bekerja, yakni mulai dari menyemblih, membersihkan, memotong-motong dan memasak hewan-hewan iba toga. Iba toga berupa babi diserahkan dalam bentuk potongan-potongan kecil yang sudah diasapi (timbok) kepada anggota kerabat yang menyediakan pasi-pasi untuk tumbak sebagai occai (jatah), sedangkan iba toga berupa ayam  tersebut diserahkan atau dibagi-bagikan kepada anggota kerabat yang beragama Islam. Pasi-pasi sebagai tumbak yang telah dibawa pulang oleh tataliku juga akan dibagi-bagikan kepada anggota kerabat pihak wanita yang ikut menyumbang atau menyediakan iba toga. Setelah acara makan bersama barulah pakaddei dinyatakan selesai.
Contoh kasus:
         Responden ini bernama Agustinus warga desa Malancan, dia adalah seorang guru dan  keluarga berpendidikan di desanya. Setelah perkawinannya berjalan 9 tahun dia dan anak- istrinya berkunjung ke desa Simalegi menengok mertua (orangtua istri). Setelah beberapa hari berada di desa istrinya,  bajak dari istri meminta supaya sang menantu datang/mampir kerumah karena ada yang mau disampaikan. Bajak menyampaikan maksudnya agar sang menantu menyiapkan 20 lembar kain sarung, 1 buah periuk no.12, uang 300 ribu, dan piring 2 lusin. Sekembali dari rumah bajak, pembicaraan dengan bajak disampaikan kepada bapak mertua, lalu beliau menanggapi bahwa keinginan bajak tersebut tidak wajib dipenuhi, penuhi saja apa sesuai kemampuan ananda. Responden sendiri tidak tahu apa maksud semua permintaan tersebut karena adat Malancan sedikit berbeda dengan Simalegi. Responden baru tahu maksud permintaan itu  setelah hal tersebut ditanyakan kepada beberapa orang tetangga di kampung itu bahwa pihak istri berkeinginan mengadakan pesta pakaddei. Menurut penuturan tetangga, semua permintaan itu tidak mesti dipenuhi, sebab jika dipenuhi akan menyebabkan pihak istri terbebani karena semua pemberian itu akan dibalas dengan pemberian yang lebih besar jumlah dan nilainya.  Ternyata uang dan barang itu adalah syarat untuk sebuah pakaddei yang harus dipenuhi dulu oleh pihak responden/kerabatnya. Sesampai di Malancan, syarat-syarat tersebut mulai diusahakan oleh responden kecuali kain sarung 20 lembar karena dianggap permintaan itu terlalu berat. Karena responden tidak punya waktu untuk mengantarkan syarat-syarat itu, responden meminta pihak mertua/utusannya menjemput barang dan uang itu di Malancan. Sehari sebelum keberangkatan, pihak utusan (bajak) menyampaikan pesan agar pada hari...tanggal...bulan....menantu, anak dan istri serta kandei (bisa) datang ke Simalegi menghadiri pesta pakaddei.
         Menurut responden, pesta pakaddei bertujuan mengikat hubungan dua keluarga menjadi erat sebagai kaddei (kandei=besan). Dalam pesta itu pihak perempuan (mertua perempuan dan kerabatnya) membalas semua pemberian responden dengan 5 (lima) ekor babi dewasa sebagai iba toga. Babi-babi itu diserahkan hidup-hidup untuk kemudian dipotong dan diasapi. Daging babi yang sudah diasapi itu kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang terbuat dari rotan (bolokbok=oorek). Dihadapan responden, orangtua dan kerabat dijelaskan bahwa wadah 1 adalah balasan atas uang 300 ribu, wadah ke-2 sebagai balasan atas piring 2 lusin, wadah ke-3 sebagai pengganti 1 buah periuk, wadah ke-4 untuk menghormati kandei (besan), dan wadah terakhir buat sasaulu yang bekerja menyelenggarakan pakaddei. Setelah acara penyerahan iba toga itu selesai, maka dilanjutkan dengan makan bersama dengan menu babi dan ayam yang sudah disediakan khusus untuk dikonsumsi. Sedangkan potongan-potongan babi dalam 4 wadah tersebut disimpan untuk dibawa ke desa Malancan.
         Disamping bermakna menyatukan dua keluarga (besanan), pakaddei juga mengandung arti menjaga harga diri. Jika pakaddei tidak/belum dilaksanakan maka selama itu pula hubungan perbesanan dipenuhi dengan kekakuan. Karena antara menantu dengan mertua masing-masing saling menjaga sikap. Menantu sebelum pakaddei dilaksanakan tidak boleh makan dan minum sembarangan baik dirumah mertua ataupun dirumah orang lain. Selama itu pula sang menantu tidak akan pernah meminta sesuatu (misalnya makan dengan daging babi) diluar kemampuan mertua. Pakaddei berfungsi membahagiakan anak, menantu dan besan, serta semua anggota kerabat kedua belah pihak karena dengan begitu hubungan mereka semakin bertambah erat seperti saudara/kerabat sendiri termasuk dengan sasaulu.




[1]       Penulis adalah dosen tetap pada Fakultas Hukum USU Medan-SUMUT. Artikel ini merupakan resume kecil hasil penelitian lapangan yang penulis lakukan pada bulan September – November 2005 di beberapa desa di  Kabupaten  Kepulauan Mentawai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih