Rabu, 30 September 2009

PRINSIP-PRINSIP  PERLINDUNGAN NASABAH DEBITUR BERDASARKAN SISTEM
 PERBANKAN SYARIAH


Mulhadi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Abstract: Position of debtor customers are unfortunate on the perspective of contractual relationship with the bank. For instance, in credit contracts, debtor customers are always placed in dilemma position. Their position more uncertain due to the rule of law in banking field  neither view them  as party should be protected in the contract. The present of  Shariah Bank gave new hope for debtor customers, due to it`s developed on system base which placed them as a party should be aided (protected), not to be oppressed.
Kata kunci: Prinsip, Nasabah Debitur, Perbankan Syariah

PENDAHULUAN
            Sejak dilaksanakannya deregulasi sektor perbankan oleh pemerintah pada tanggal 1 Juli 1983, terutama setelah dikeluarkannya Paket Oktober 1988 (Munir Fuady.1996), industri perbankan Indonesia mengalami perkembangan pesat. Bank-bank baru bermunculan dan bank-bank yang sudah mapan bebas membuka kantor-kantor.
            Perkembangan industri perbankan setelah Pakto`88 sangat menggembirakan dan positif. Namun pada sisi nasabah, kondisi demikian telah menimbulkan kekhwatiran dan kebingungan akibat meningkatnya aneka ragam produk perbankan. Seiring dengan perkembangan itu, telah memicu meningkatnya praktek terselubung dari bank untuk mengambil manfaat dari keawaman nasabah. Meningkatnya resiko yang dihadapi para nasabah juga tidak diimbangi dengan tersedianya informasi yang cukup tentang kesehatan bank yang terbuka untuk umum.
            Sayangnya, perkembangan pesat di industri perbankan tidak disertai dengan tersedianya perangkat perlindungan bagi nasabah, khususnya nasabah debitur. Dalam perjanjian kredit misalnya, tidak jarang nasabah debitur ditempatkan pada posisi dilematis. Perjanjian kredit yang bersifat baku (standard contract) senantiasa membebani nasabah debitur dengan berbagai macam kewajiban, termasuk tanggung jawab atas resiko yang ditimbulkan selama perjanjian berlangsung. Kondisi ini menimbulkan tanggung jawab minus di pihak bank dan tanggung jawab tidak terbatas di pihak nasabah debitur. Klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit seringkali dimanfaatkan bank, padahal beban bunga yang tinggi sudah cukup membebani nasabah debitur. Jika diperhatian dengan seksama, beban bunga yang tinggi sebenarnya akan berpengaruh pada faktor psikologis nasabah, karena akan menimbulkan ketidaktenangan dalam menjalankan usahanya, sehingga beresiko besar pada kegagalan usaha nasabah bersangkutan.
            Bila ditelaah secara seksama, UU Perbankan (UU No.10 Tahun 1998) secara eksplisit sama sekali tidak mengatur perlindungan bagi nasabah debitur, beberapa pasal dari UU Perbankan hanya mengatur kedudukan bank maupun kedudukan nasabah penyimpan dana. Perlindungan nasabah debitur sepenuhnya diserahkan kepada nasabah debitur yang bersangkutan dengan cara bersikap hati-hati dalam melakukan hubungan kontraktual dengan bank. Namun cara ini dianggap tidak fungsional mengingat proses dan bentuk kontrak itu sendiri yang bersifat baku dan kecilnya posisi tawar nasabah dalam mempengaruhi isi kontrak yang telah ditentukan sepihak oleh bank penyedia kredit.
            Kehadiran bank syariah sebagai sebuah sistem perbankan baru yang pada pokoknya mengacu pada ketentuan-ketentuan ekonomi dan perniagaan Syariah Islam, dipandang mengandung banyak sisi positif terutama sekali terhadap kedudukan nasabah debitur. Hal ini beralasan karena perbankan syariah dijalankan dengan berpedoman pada etika bisnis Islami yang diadopsi dari ketentuan-ketentuan ekonomi syariah Islam yang digariskan oleh Al Quran dan Hadits. Oleh karena itu, melalui tulisan ini dicoba mengungkap asas-asas perlindungan bagi nasabah debitur dengan cara menelaah ketentuan-ketentuan perbankan syariah. Ini penting artinya dalam rangka memberi solusi alternatif bagi nasabah debitur untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman yang selama ini tidak diperoleh dari sistem perbankan konvensional.
KONSEP HUBUNGAN EKONOMI BERDASARKAN SYARIAH ISLAM
            Konsep dasar dari sistem keuangan dan perbankan syariah adalah ketentuan syariah, yaitu hukum-hukum syariah yang bersumber pada Al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW. Konsep ini merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi dan perniagaan Islam, dimana tujuannya untuk memperkenalkan sistem dan nilai etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar-dasar etika inilah maka sistem keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan muslim bukan sekedar sistem transaksi komersial, melainkan juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan restriksi-restriksi agamis yang digariskan oleh Islam (Zainul Arifin. 2000 : 44).
            Muhammad SAW dalam kurun waktu sebelum diangkat menjadi Nabi telah meletakkan dasar-dasar etika, moral, dan etos kerja yang mendahului zamannya. Dasar-dasar etika bisnis tersebut telah mendapat legitimasi keagamaan setelah beliau diangkat menjadi Nabi. Prinsip-prinsip etika bisnis yang Nabi wariskan semakin mendapat pembenaran akademis pada penghujung abad ke-20 atau awal abad ke-21. Prinsip bisnis modern, seperti customer oriented, strife for excellent, kompetensi, efisiensi, transparansi, persaingan sehat, dan kompetitif, kesemuanya telah menjadi gambaran pribadi dan etika bisnis Muhammad SAW ketika masih muda. Bila sistem ekonomi modern cenderung berpikir dikotomis antara sistem kapitalisme dan sosialisme maka secara konseptual dalam Islam terdapat sintesis antara keduanya yang kemudian ditransendensikan. Artinya, keuntungan dan kemakmuran materi bukan ditempatkan sebagai tujuan terakhir melainkan sebagai sarana untuk tujuan yang lebih agung lagi yang jangkauannya bahkan melewati batas bisnis duniawi (Latief. 2004).
            Konsep dasar perbankan syariah bertolak belakang dengan nilai-nilai dasar sistem ekonomi kapitalis dan sosialis (marxisme), karena konsep perbankan syariah memiliki asas filsafat Tauhid. Tauhid memiliki konteks etika yang menunjuk pada integrasi antara aspek-aspek spritual dan temporal dalam eksistensi manusiawi. Sedangkan etika merupakan hal terpenting dalam sistem muamalah Islam. Diantara dua sifat tersebut, yang pertama jelas menjadi prasyarat bagi yang kedua, tetapi juga akan menjadi tidak tulus dan tidak akan menjadi keimanan sejati tanpa yang kedua. Tauhid bukanlah sekedar tujuan (obyek), tetapi pedoman bagi proses dinamis, suatu hal yang sangat relevan bagi ilmu ekonomi saat ini (Muhammad. 2000: 22).
            Menurut Saefuddin (Muhammad. 2000: 22), ada tiga nilai-nilai dasar ekonomi yang berfalsafah Tauhid, yaitu : kepemilikan (ownership); keseimbangan (equilibrium); dan keadilan (justice). Ketiga nilai dasar ekonomi syariah ini merupakan kesatuan nilai yang tidak dapat dipisahkan. Nilai-nilai dasar tersebut merupakan pangkal bertolak untuk mengungkap prinsip-prinsip (asas-asas) instrumental ekonomi syariah.
            Menurut Arifin, ada beberapa prinsip yang sekarang dijadikan sebagai prinsip utama perbankan syariah. Pertama, larangan riba dalam berbagai bentuk atau transaksi. Kedua, menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah. Ketiga, penyucian harta (berbagi kesejahteraan kepada golongan lemah, penulis) yang diperoleh dari keuntungan bisnis yang dijalankan dalam bentuk zakat (Zainul Arifin. 1999: 2).
            Sedangkan Sya`dullah, dalam tulisannya berjudul “Prospek Sistem Bank Syariah di Indonesia”, mengatakan bahwa sistem bank syariah disusun berdasarkan asas-asas:
  1. Dalam melakukan aktivitas ekonomi dan keuangan sesama manusia tidak boleh memakan atau melakukan intervensi ekonomi-keuangan yang bertentangan dengan ketentuan Allah (Q.S. 2:188);
  2. Dalam hukum Islam, beban bunga yang harus dibayar dalam rangka pinjam-meminjam uang adalah haram (Q.S.2:275-279; Q.S.30:39);
  3. Sistem perbankan Islam dalam operasinya harus menghilangkan elemen-elemen yang bersifat eksploitatif/penganiayaan;
  4. Dalam menjalankan usaha agar senantiasa berpanduan pada prinsip keadilan yang sejak awal disetujui kedua belah pihak (Q.S. 2:275 dan Q.S. 4:29); dan
  5. Hendaknya menjauhi untuk membiayai kegiatan yang tidak sejalan dengan syariah, seperti membangun tempat perjudian, minum minuman keras, dan lain-lain (Sya`dullah. 1988: 25).
            Pelaksanaan prinsip ekonomi atau perbankan syariah harus pula diwarnai dengan akhlak (etika) Islam. Etika bisnis Islam mengajarkan bahwa di dalam melaksanakan prinsip ekonomi atau perbankan syariah, pelaku bisnis hendaknya memperhatikan beberapa hal berikut ini:
  1. Meyakini bahwa dirinya adalah khalifah, fungsionaris Allah di bidang ekonomi-perbankan (QS.al Baqarah: 30 dan QS. Al An`am: 165);
  2. Melaksanakan profesinya karena Allah, dan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan Allah (QS.al An`am: 162 dan QS. Adzdzariyat: 56);
  3. Wajib berlaku adil dadlam ucapan, hubungan dengan Khaliknya, dan hubungan dengan sesama manusia (QS. Al Araf: 29, Asy Syu`raa: 5, dan an-Nahl: 90);
  4. Selalu memegang amanat (QS.al Baqarah:283, dan al Mu`minun: 8); serta
  5. Melaksanakan profesinya berlandaskan keimanan agar jangan digolongkan kepada orang-orang merugi (QS. al Ashr) (Djumhana. 1994: 49).
            Menurut Sugiharti (2005 ), Etika bisnis Islami merupakan tatacara pengelolaan bisnis berdasarkan Al-Qur’an, hadist, dan hukum yang telah dibuat oleh para ahli fiqih. Terdapat empat prinsip etika bisnis Islami: (1) Prinsip tauhid yang memadukan semua aspek kehidupan manusia, sehingga antara etika dan bisnis terintegrasi, baik secara vertikal (hablumminallah) maupun secara horizontal (hablumminannas). Sebagai manifestasi dari prinsip ini, para pelaku bisnis tidak akan melakukan diskriminasi di antara pekerja, dan akan menghindari praktik-praktik bisnis haram atau yang melanggar ketentuan syariah. (2) Prinsip pertanggungjawaban. Para pelaku bisnis harus bisa mempertanggungjawabkan segala aktivitas bisnisnya, baik kepada Allah SWT maupun kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memenuhi tuntutan keadilan. (3) Prinsip keseimbangan atau keadilan. Sistem ekonomi dan bisnis harus sanggup menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. (4) Prinsip kebenaran. Dalam prinsip ini terkandung dua unsur penting, yaitu kebajikan dan kejujuran. Kebajikan dalam bisnis ditunjukkan dengan sikap kerelaan dan keramahan dalam bermuamalah, sedangkan kejujuran ditunjukkan dengan sikap jujur dalam semua proses bisnis yang dilakukan tanpa adanya penipuan sedikitpun.
            Dengan demikian, kesatupaduan antara nilai-nilai ekonomi-perbankan dengan nilai-nilai etika akan melahirkan konsep ekonomi-perbankan yang berkharakter religius, humanis, dan bermoral, yakni ilmu ekonomi-perbankan yang mampu menjaga keselamatan seluruh manusia dan alam semesta, memiliki nilai-nilai kebenaran (logic), kebaikan (ethic), dan keindahan (aesthetic), membebaskan diri dari penindasan, penekanan, kemiskinan, kemelaratan, dan segala bentuk keterbelakangan serta dapat meluruskan aksi ekonomi-perbankan dari kharakter yang tidak manusiawi, kepada ekonomi-perbankan yang berkeadilan dan melenyapkan ketimpangan (Muhammad. 2000: 114).
            Konsep hubungan ekonomi-perbankan dikembangkan dari konsep hubungan ekonomi/perniagaan Islam pada umumnya yang pada asasnya ditentukan oleh hubungan akad (perjanjian). Jenis-jenis akad utama yang mungkin bisa dikembangkan lebih khusus tergambar pada ragaan dibawah ini:


 






BEBERAPA PRINSIP PERLINDUNGAN NASABAH DEBITUR BANK SYARIAH
            Di Indonesia, landasan hukum operasional perbankan syariah pertama kali mendapatkan pengaturan melalui UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Untuk mengidentifikasi jenis bank syariah, UU ini menggunakan istilah “bank dengan prinsip bagi hasil”.
            Istilah prinsip bagi hasil dapat dijumpai dalam Pasal 1 butir 12, Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c UU No. 7 Tahun 1992. UU ini kemudian diperbaharui dengan menggantinya menjadi UU No.10 Tahun 1998, tentang Perubahan Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam UU Perbankan baru ini, istilah prinsip bagi hasil dirobah dan dipertegas menjadi “prinsip syariah”. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah (Pasal 1 angka 13 UU No.10 Tahun 1998).
            Upaya mengimplementasikan UU No.10 Tahun 1998, pemerintah kemudian mengeluarkan PP No.30 Tahun 1999 sebagai pengganti dari PP No.72 Tahun 1992, tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Disamping itu juga dikeluarkan SK Direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR/tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan SK Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/tanggal 12 Mei 1999, tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
            Ketentuan perlindungan nasabah debitur dalam beberapa peraturan hukum di atas sangat implisit sifatnya, sehingga dipandang tidak memberi jaminan kepastian hukum kepada nasabah debitur. Oleh karena itu berikut ini akan diperkenalkan beberapa prinsip perlindungan kepada nasabah debitur yang ditarik/bersumber dari ketentuan-ketentuan syariah (Al-Quran dan Hadits) sebagai landasan utama praktek perbankan syariah. Beberapa prinsip tersebut antara lain:
Prinsip pelarangan bunga atau prinsip bagi hasil.
            Pemberlakuan prinsip bagi hasil dalam sistem perbankan syariah merupakan wujud perlawanan terhadap prinsip bunga (dalam sistem bank konvensional) yang diperintahkan dalam sistem perekonomian/perniagaan menurut ajaran Islam. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam beberapa ayat dalam Al-Quran, meliputi:
Al-Baqarah : 278, artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Aallah dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
Ali Imran : 130, artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
            Dalam ajaran Islam, pemungutan bunga merupakan salah satu bentuk riba (riba nasiah) yang dalam berbagai bentuk perniagaan tidak diperbolehkan (haram), karena bunga menjadi salah satu faktor penghalang hubungan secara jujur diantara pemilik modal dan peminjam. Disamping itu, adanya unsur eksploitasi juga menjadi alasan kenapa bunga dilarang dalam Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Daphne dalam bukunnya “Islamic Banking an Overview”, antara lain berbunyi: “interest is also a factor which prevents a fair interaction between the financier and his client...He knows that he will get his interest irrespective of the success of the project. If the project fails, the client still has to pay both the principal and interest, which is clearly unfair. A part from exploitation, another reason for prohibiting interest is to increase production” (Buckmaster. 1986: 168).
            Sebelum masa kerasulannya, Muhammad meski tidak memiliki uang untuk berbisnis sendiri tetapi ia banyak menerima modal dari para janda kota Mekkah dan anak-anak yatim yang tidak sanggup menjalankan sendiri dana mereka berdasarkan kerjasama (kemitraan), baik dengan upah maupun berdasarkan persetujuan bagi hasil.
            Setelah menikah dengan Khadijah, Nabi Muhammad tetap melangsungkan usaha perniagaan seperti biasa, namun ketika itu Nabi bertindak sebagai manajer sekaligus mitra dalam usaha istrinya (Al Husaini. 1995: 235).
            Penerapan prinsip bagi hasil pada masa kerasulan Nabi Muhammad SAW yang menonjol dan dijadikan sebagai basis hingga saat ini oleh bank-bank syariah adalah ketika tanah-tanah Khaibar diserahkan pengelolaannya kepada kaum Yahudi. Keterangan tersebut dijumpai dalam beberapa hadits Rasulullah, yang artinya sebagai berikut:
“Bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (orang Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman daripadanya” (HR. Bukhari dan Ibnu Hajar).
“Bahwa Rasulullah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memungut sebagian dari hasil buah-buahan dan tanaman” (HR. Muslim).
Prinsip itikad baik
            Itikad baik (good faith) atau kehendak yang bersih dalam sistem perbankan syariah ialah kreditur dan debitur dalam melakukan transaksinya harus sama-sama memiliki kehendak yang jauh dari tujuan-tujuan jahat (Abdul Rachim.1991: 46). Keduanya harus membinan hubungan secara timbal balik dan saling menguntungkan dalam memenuhi kebutuhannya masing-masing.
            Dasar berpijak yang bisa dikemukakan dalam kaitan ini adalah al Quran surat al `Araf ayat 33, yang artinya: “Katakanlah hai Muhammad Tuhanku hanyalah mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”.
            Sebagai pengejawantahan dari firman Allah SWT di atas ditegaskan bahwa niat merupakan titik awal bagi pelaksanaan perbuatan dan sekaligus menjadi ukuran baik buruknya perbuatan itu. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya pekerjaan itu dengan niat, dan setiap sesuatu tergantung kepada niatnya” (H.R.Bukhari).
            Salah satu wujud konkrit dari prinsip itikad baik ini adalah kejujuran (fairness), bahkan Wirjono mengatakan itikad baik ini diartikan sama dengan kejujuran (Projodikoro. 2000: 102). Dalam Islam, kejujuran merupakan pangkal dasar keberhasilan suatu usaha. Bila seseorang bersifat jujur, maka rekanan usaha akan selalu percaya terhadap perkataan dan perjanjian yang dilakukannya, tetapi bila berkhianat maka jatuhlah nama baiknya dan tidadk akan ada yang percaya lagi terhadap perkataan dan perjanjiannya.
            Banyak ketentuan hukum yang diperintahkan kepada umat manusia agar berlaku jujur dalam perniagaan, diantaranya dalam al Quran surat al Muthaffifin ayat 1-3, yang artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (tidak jujur), yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka menguranginya”.
            Jika diperhatikan, prinsip itikad baik ini bisa dipersandingkan dengan prinsip itikad baikketentuan Pasal 1328 jo 1338 KUHPerdata. Bila prinsip ini diterapkan dengan sungguh-sungguh dalam praktek bank syariah, bukan tidak mungkin memberi perlindungan kepada nasabah debitur.
Prinsip kesepakatan
            Prinsip kesepakatan diamanatkan dalam surat  An-Nisa` ayat 29, yang artinya sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan sia-sia (batil), kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”.
            Hadits Rasulullah yang memperkuat ayat di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi, yang artinya: “Dari Abu Said al Hudri bahwa Rasulullah bersabda, sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan secara suka sama suka”.
            Bank Syariah harus memiliki tanggung jawab yang besar dan peka terhadap kepentingan mereka yang memerlukan pertolongan, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah nasabah debitur. Atas dasar itu maka segala persetujuan yang tertuang dalam akad-akad Bank Syariah wajib dipenuhi. Argumen demikian dapat diperhatikan dalam al Quran surat al Maidah ayat 1, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”.
            Ketentuan ayat di atas diperkuat oleh sebuah Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad, yang artinya: “...orang-orang Islam wajib memenuhi syarat-syarat yang mereka sepakati, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram”.


Prinsip keseimbangan/keadilan
            Dalam al Quran, kata yang terbanyak disebut setelah Allah dan Ilmu Pengetahuan adalah Keadilan. Kata keadilan disebut lebih dari 1000 kali. Hal ini menunjukkan betapa prinsip keadilan/keseimbangan memiliki bobot yang sangat dimuliakan dalam ajaran Islam.
            Ada beberapa ayat al Quran dan Hadits yang dapat dikemukakan sebagai landasan dari prinsip keseimbangan/keadilan, antara lain:
-          Q.S. Asy Syu`araa` ayat 183 atau Q.S.Huud ayat 85:
“Dan janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kalian merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”.
-          Q.S. al Isra` ayat 29:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela”.
-          Q.S. ar Rahman ayat 9:
“Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”.
-          Q.S. al Isra` ayat 35:
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar, itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.


-          Q.S. al Muthaffifin ayat 1, 2, dan 3:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar/menimbang untuk orang lain mereka kurangi”.
-          Q.S. al An`aam ayat 15:
“...dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun ia kerabatmu. Dan penuhilah janji Allah, yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat”.
-          Q.S. an Nahl ayat 90:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berllaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dadn Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
            Disamping itu, terdapat sebuah Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim, yang artinya:”Wahai manusia, takutlah akan kezaliman (ketidakadilan), sebab sesungguhnya dia akan menjadi kegelapan pada hari pembalasan nanti”. Dalam konteks Hadits Rasulullah SAW di atas, bank syariah tidak diperkenankan mengambil keuntungan dari aktivitas bisnis nasabah dengan cara mengabaikan prinsip-prinsip keadilan.  Walaupun Islam menghalalkan jual beli, tetapi bank Islam tidak boleh menetapkan margin yang berlebihan yang bersifat atau mengarah kepada kezhaliman. Yang dibolehkan oleh Islam adalah mengambil keuntungan (margin) dalam batas-batas yang wajar (adil) yang dilandasi oleh prinsip ridha sama ridha sesuai dengan Firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan cara perdagangan berdasarkan saling ridha daripada kamu." (QS An-Nisaa` : 29)
            Melalui keterlibatannya di dalam aktivitas bisnis, seorang muslim hendaknya berniat untuk memberikan pengabdian yang diharapkan oleh masyarakat dan manusia secara keseluruhan. Cara-cara eksploitasi kepentingan umum, atau berlaku menciptakan sesuatu kebutuhan yang sangat artificial, sangat tidak sesuai dengan ajaran Al Quran. Agar seorang muslim mampu menjadikan semangat berbakti mengalahkan kepentingan diri sendiri, maka ia harus selalu mengingat petunjuk-petunjuk atau berada dalam gari-garis: (a) mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan orang lain; (b) memberikan bantuan yang bebas bea dan menginfakkannya kepada orang yang membutuhkannya; dan (c) memberikan dukungan dan kerjasama untuk hal-hal yang baik (Gamal.2006)
Prinsip kebersamaan /kemitraan
            Salah satu perbedaan utama antara Bank Syariah dan Bank Konvensional adalah diterapkannya prinsip kebersamaan dan kemitraan. Keduanya saling mendukung satu sama lain, oleh karena prinsip kebersamaan dipandang sebagai sesuatu yang paling penting dalam kemitraan, demikian juga sebaliknya.
            Ada beberapa dalil yang bisa dijadikan rujukan sebagai dasar kerjasama ekonomi syariah, yaitu:

-          Q.S. an Nisaa` ayat 12:
“Jikalau saudara-saudara itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu”
-          Q.S. Shad ayat 24:
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian lain kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh”.
            Bila prinsip kebersamaa/kemitraan ini dipahami dan dilaksanakan secara konsisten oleh institusi perbankan syariah, maka akan tertutup kemungkinan timbulnya kerugian pada salah satu pihak, terutama pihak debitur yang selama ini terkesan menempati posisi yang sangat lemah dan dilemahkan. Padahal kerjasama tersebut semestinya bermuatan tolong-menolong sepanjang hal itu menyangkut kebajikan, bukan saling merugikan atau menjatuhkan, sebagaimana diperintahkan kepada manusia dalam Q.S. al Maidah ayat 2, yang artinya:”...dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...”
Prinsip persaudaraan dan tolong-menolong
            Islam melarang pengumpulan atau menyimpan harta semata-mata untuk kepentingan sendiri. Karena keadaan demikian akan menghambat perkembangan ekonomi dan seterusnya menyebabkan keadaan sosial menjadi tidak seimbang.
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Hart yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak dilehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan yang ada di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Ali Imran : 180).
            Ayat di atas merupakan ancaman bagi mereka yang kikir dan tidak mau menafkahkan hartanya pada kebaikan (kemaslahatan). Ayat di atas juga merupakan perintah bagi umat manusia untuk saling tolong menolong diantara sesama, karena dari sudut pandang ekonomi Islam, tolong-menolong itu dapat meringankan beban yang satu terhadap yang lain, antara pemilik modal  dengan pengusaha yang membutuhkan dana untuk menjalankan roda bisnisnya, atau antara bank dengan nasabah peminjam.
            Ada beberapa dalil yang bisa dijadikan landasan  bagi prinsip tolong-menolong dalam ekonomi syariah, antara lain:
-          Q.S. an Nisaa` ayat  36:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, mereka yang memerlukan pertolongan (orang-orang miskin), tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.
-          Q.S. al Baqarah ayat 215:
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan/belanjakan. Jawablah “apa saja harta yang kamu nafkahkan /belanjakan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin (orang-orang yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja yang kamu buat maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”.
-          Q.S.al Maidah ayat 2:
“...dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...”
            Ayat pertama dan kedua memberi pengajaran bahwa bank syariah perlu peka akan keperluan mereka yang memerlukan pertolongan/pinjaman (miskin modal), dan berusaha sebisanya membantu golongan ini. Dari segi perbankan, pertolongan ini mungkin diperlukan oleh dua pihak, salah satunya adalah pihak yang menjadikan bank syariah sebagai sumber untuk mendapatkan bantuan kemudahan pembiayaan. Tetapi melalui ayat terakhir (al Maidah ayat 2) mengajarkan kepada bank syariah untuk membatasi pertolongan/pinjaman itu hanya pada obyek-obyek yang dibolehkan (kebajikan) oleh syariah, bukan pada obyek-obyek yang diharamkan.
            Prinsip persaudaraan dan tolong-menolong ini semakin sempurna dengan kehadiran dua buah Hadits Rasulullah SAW, yang artinya sebagai berikut:
“Orang Islam itu adalah saudara orang Islam lainnya. Tidak patut ia menganiaya dan menghinanya. Barangsiapa menolong kebutuhan saudaranya, Allah senantiasa menolong kebutuhannya. Dan barang siapa membukakan suatu kesusahan dari seorang muslim, Allah akan membukakan daripadanya satu dari kesusahan-kesusahan kelak di hari kiamat” (H.R.Bukhari).
“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidak boleh dianiaya dan dibiarkan sengsara/terlantar. Siapa yang menyampaikan keperluan saudaranya maka Allah akan menyampaikan keperluannya. Siapa yang melapangkan seorang muslim dari kesulitan, nanti Allah akan melapangkan kesulitannya diantara kesulitan-kesulitan di hari kiamat”. (H.R.Muslim)
            Berdasarkan beberapa ayat  al Quran dan Hadits di atas, bank syariah sebagai agent of development harus bisa menerapkan prinsip persaudaraan dan tolong-menolong dalam rangka membantu serta meringankan beban mereka yang membutuhkan pembiayaan. Melalui bank syariah niat para pemilik modal yang menitipkan dananya di bank untuk membantu saudaranya yang lain yang kesulitan modal dapat terimplementasikan.
            Agar misi tersebut terwujudkan, maka segala produk pembiayaan bank syariah, baik yang sudah ada ataupun yang akan diadakan harus senantiasa berorientasi pada prinsip persaudaraan/tolong-menolong terutama pemihakan pada kaum lemah. Sebab salah satu tujuan pendirian bank syariah adalah untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana (ekonomi lemah).
LANDASAN FILOSOFIS PENTINGNYA PERLINDUNGAN NASABAH DEBITUR BANK SYARIAH
            Sistem perbankan syariah yang merupakan eliminasi dari sistem ekonomi Islam pada dasarnya berlandaskan pada keadilan, disamping kedermawanan, kemanfaatan dan kemakmuran (Akhtar. 1997: 85). Pernyataan ini tidak berlebihan, karena keadilan merupakan inti semua ajaran yang ada di dalam al Quran. Al Quran sendiri secara tegas menyatakan bahwa maksud diwahyukannya (ajaran Islam) adalah untuk membangun keadilan dan persamaan.
            Hanya Islam-lah yang mampu menghadirkan sebuah sistem yang realistis dan keadilan sosial yang sempurna (Mustaq Ahmad. 2001: 99). Kehadiran institusi Islam seperti bank syariah adalah dalam rangka memenuhi dan mewujudkan keadilan.
            Islam menyerukan kepada pemeluknya untuk membela kepentingan kaum dhu`afa, kaum lemah, fuqara dan masakin, anak-anak yatim dan lain sebagainya. Al Quran dengan transparan menerangkan hal demikian, misalnya dalam surat an Nisaa` ayat 75, dengan arti “Mengapa kamu tidak mau berjuang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo`a: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari yang zhalim penduduknya dan berikanlah kami seorang penolong dari sisi Engkau”.
            Ketentuan serupa bisa ditemukan dalam surat yang sama ayat 36, artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu”.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada celah sedikit pun dalam konteks Islam untuk melanggar kepentingan/hak-hak orang lemah atau orang-orang yang membutuhkan pertolongan, baik dikalangan terdekat, seperti ibu-bapak, karib kerabat, maupun anak-anak yatim, fakir miskin, dan lain-lain orang-orang yang membutuhkan pertolongan, tanpa memandang status mereka sedikitpun.
            Pengertian orang-orang lemah/miskin dan membutuhkan pertolongan, dalam konteks perbankan syariah dikategorikan sebagai orang-orang yang membutuhkan pinjaman/modal usaha, yang lebih populer disebut nasabah debitur. Kelompok orang-orang ini harus dibantu, tidak sebaliknya dibebani atau dizhalimi (Sudin Haron. 1996: 61).
            Penegasan terhadap larangan untuk berbuat tidak adil terhadap orang-orang yang membutuhkan pertolongan, dari sudut pandang moral pun jelas tidak dibenarkan, apalagi dari sudut pandang hukum. Islam sendiri memandang dan menekankan rasa persaudaraan diantara sesama muslim. Muslim yang satu merupakan saudara bagi muslim lainnya. Sehingga tidaklah pantas jika mereka berlaku zhalim terhadap sesama saudaranya sendiri.
            Ada sebuah Hadits Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berkaitan dengan pertolongan sesama ini, yang artinya: “Perumpamaan orang mukmin di dalam cinta mencintai, kasih mengasihi dan sayang menyayangi adalah bagaikan satu tubuh, manakala salah satu anggota tubuh ada yang sakit maka seluruh anggota tubuhnya yang lain akan terasa sakit”.
            Berdasarkan pandangan di atas, tugas bank syariah selayaknya menjadi penyambung tali ukhwah Islamiyah yang berwujud kerjasama ekonomi. Bank berdasarkan syariah seharusnya berfungsi untuk mengumpulkan dana dan mengelola pendistribusian kekayaan dan modal secara produktif dari mereka yang mampu (pemilik modal) kepada mereka yang kekurangan modal, sebagaimana dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya Muhammad SAW.
            Dengan demikian, prinsip pemihakan atau pengayoman kepada kaum lemah yang berintikan keadilan dapat dijadikan sebagai landasan filosofis pentingnya perlindungan kepada nasabah debitur.
KESIMPULAN
            Kedudukan nasabah debitur dalam hubungan kontraktual dengan bank sangat lemah. Debitur harus bisa melindungi dirinya sendiri dengan cara bersikap hati-hati ketika ingin melakukan hubungan dengan bank pemberi kredit atau pembiayaan. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat perlindungan terhadap nasabah debitur dalam beberapa peraturan perundang-undangan perbankan juga tidak dianggap penting. Oleh karena itu, perlu dicarikan alternatif solusi agar nasabah debitur bisa mendapatkan perlakuan hukum yang adil  terutama melalui penemuan prinsip-prinsip perlindungan dalam aturan-aturan Al-Qur`an dan Hadits sebagai dasar pengaturan bisnis Perbankan Syariah.
            Ada beberapa prinsip utama berkaitan dengan perlindungan kepada nasabah debitur menurut sistem Perbankan Syariah. Pertama,  prinsip pelarangan bunga/prinsip bagi hasil. Kedua, prinsip prinsip itikad baik (good faith). Ketiga, prinsip kesepakatan. Keempat, prinsip keseimbangan/keadilan. Kelima, prinsip kebersamaan/kemitraan. Keenam, prinsip persaudaraan/tolong-menolong.
            Islam menyerukan kepada pemeluknya untuk membela kepentingan kaum dhu`afa, kaum lemah, fuqara dan masakin, anak-anak yatim dan lain sebagainya. Al Quran dengan transparan menerangkan hal demikian, misalnya dalam surat an Nisaa` ayat 36 dan ayat 75.
            Pengertian orang-orang lemah, miskin dan membutuhkan pertolongan dalam dua ayat di atas, dalam konteks perbankan syariah dikategorikan sebagai orang-orang yang membutuhkan pinjaman/modal usaha, yang lebih populer disebut nasabah debitur. Kelompok orang-orang ini harus dibantu, tidak sebaliknya dibebani atau dizhalimi. Oleh karenanya, pemihakan atau pengayoman kepada kaum lemah yang berintikan keadilan menjadi landasan filosofis pentingnya perlindungan kepada nasabah debitur.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mustaq. 2001. Business Ethics in Islam. diterjemahkan oleh Samson Rahman. Pustaka al Kautsar. Jakarta.
Al Husaini, M.H. Al Hamid. 1995. Riwayat Kehidupan Nabi Muhammad SAW. Yayasan Al Hamidy. Jakarta.
Akhtar, Amin. 1997. Etika Ekonomi Islam : Kerangka Kerja Struktural Sistem Ekonomi Islam. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya.
Arifin, Zainul. Problem Hukum atas Kelembagaan dan Operasional Bank Syariah di Indonesia. Makalah Seminar Prospek Bank Syariah sebagai Sistem Perbankan Alternatif dalam Menyongsong Era Persaingan Bebas di Indonesia. Tanggal 30 November 1999. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.
-----------------.Mekanisme Kerja Perbankan Islam dan Permasalahannya. Jurnal Hukum Bisnis. Volume II/ 2000. Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis. Jakarta.
Buckmaster, Daphne. 1986. Islamic Banking an Overview. The Institute of Islamic Banking and Insurance. London-UK.
Djumhana, Muhammad. 1994. Rahasia Bank, Ketentuan dan Penerapannya di Indonesia. PT.Citra Aditya Bhakti. Bandung.
Fuady, Munir. 1996. Hukum Perbankan Modern. PT.Citra Aditya Bhakti. Bandung.
Gamal, Merza. Etika Bisnis Syariah. Juni 2006.  (http://www.mailarchive.com/ekonomi-nasional@yahoogroups.com/msg05884.html)
Haron, Sudin. 1996. Prinsip dan Operasi Perbankan Islam. Berita Publishing SDN.BHD. Kuala Lumpur-Malaysia.
Latief, Dochak. Perdagangan yang Islami. Suara Merdeka. Minggu, 31 Oktober 2004.
Muhammad. 2000. Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer. Penerbit UII Press. Yogyakarta.
Projodikoro, Wirjono. 2000. Asas-asas Hukum Perjanjian. CV.Mandar Maju. Bandung.
Rachim, Abdul. Hubungan Kreditur dan Debitur pada Masa Rasulullah dan Sahabat. Jurnal UNISIA. 1991.
Sugiharti, Sri. Menuju Bisnis Beretika Islam. Banjarmasin Post. Jumat, 18 Februaru 2005. (http://www.indomedia.com/bpost/022005/18/opini/opini1.htm)
Sya`dullah, Makmun. Prospek Sistem Bank Syariah di Indonesia. Jurnal Bank dan Manajemen. Edisi September/Oktober 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih