Kamis, 01 Oktober 2009

PRINSIP KEHATI-HATIAN (PRUDENT BANKING PRINCIPLE) DALAM KERANGKA  UU PERBANKAN DAN PERMASALAHANNYA




Oleh: Mulhadi[1]

ABSTRAKSI

Prudent banking principles are important factors in the effort to realize healthy banking system.  The available of rule of law  and regulations, especially concerning to  prudent banking  principles in the reality not enough yet guaranteed national banks fee from  the  problems. Bad behavior of bankers and  the  organizers and also the lack of Indonesia Bank control are  supplementary factors of national banking system to be damaged.

I. PENDAHULUAN

          Pembangunan nasional memerlukan sumber pendanaan yang tidak kecil guna mencapai sasaran-sasarannya: pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, kesempatan kerja, distribusi pendapatan, dan lain-lain. Sasaran ini terus diupayakan untuk ditingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu. Untuk itu upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan khususnya industri perbankan menjadi sangat penting.
     Sektor perbankan memiliki peran yang sangat vital, antara lain sebagai pengatur urat nadi perekonomian nasional.[2]Lancarnya aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Dengan demikian, kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari kebijakan disektor perbankan. Peran sektor perbankan dalam pembangunan juga dapat dilihat pada fungsinya sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Disamping itu, perbankan merupakan alat yang sangat vital dalam menyelenggarakan transaksi pembayaran, baik nasional maupun internasional. Mengingat pentingnya fungsi  ini, maka upaya menjaga kepercayaan masyarakat [3]terhadap perbankan menjadi bagian yang sangat penting untuk dilakukan.[4]
          Bisnis perbankan merupakan bisnis yang penuh resiko, disamping menjanjikan keuntungan yang besar jika dikelola secara baik dan prudent. Dikatakan sebagai bisnis penuh resiko (full risk business) karena aktivitasnya sebagian besar mengandalkan dana titipan masyarakat, baik dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito.
          Besarnya peran yang diemban oleh sektor perbankan, bukan berarti membuka kran sebebas-bebasnya bagi siapa saja untuk mendirikan, mengelola ataupun menjalankan bisnis banknya tanpa didukung atau diback-up dengan aturan perbankan yang baik dan sehat. Pemerintah melalui otoritas keuangan dan perbankan berwenang menetapkan aturan dan bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha dan aktivitas perbankan. Oleh karenanya, kebijakan pemerintah disektor perbankan harus diarahkan pada upaya mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan kokoh. Hal ini mengingat kebijakan di bidang perbankan ini tidak lagi semata-mata memegang peranan penting dalam pengembangan infrastruktur keuangan dalam rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan investasi tetapi juga berperan penting dalam memelihara kestabilan ekonomi makro melalui keterkaitannya dengan efektivitas kebijakan moneter.[5]
          Pemerintah telah cukup mencurahkan perhatian pada penyempurnaan peraturan-peraturan hukum di bidang perbankan. Mulai dari undang-undang hingga peraturan yang sifatnya teknis sudah cukup tersedia. Bahkan peraturan yang berhubungan dengan prinsip kehati-hatian pun (prudential regulation) sudah sangat memadai. Namun demikian, kelengkapan peraturan terutama menyangkut prinsip kahati-hatian tidaklah cukup untuk dijadikan ukuran bahwa perbankan nasional lepas dari segala permasalahan. Buktinya sebagian besar bank-bank nasional (khususnya bank swasta) merupakan bank bermasalah, yang satu persatu masuk kandang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), bahkan lebih tragis lagi beberapa bank swasta nasional terpaksa dilikuidasi pada masa awal krisis ekonomi dan keuangan melanda Indonesia.[6]
          Salah satu faktor yang membuat sistem perbankan nasional keropos adalah akibat perilaku para pengelola dan pemilik bank yang cendrung mengeksploitasi serta mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam berusaha (etika bisnis). Disamping faktor penunjang lain yakni lemahnya  pengawasan dari Bank Indonesia (BI).[7]
          Pelaksanaan prinsip kehati-hatian merupakan hal penting guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat, kuat dan kokoh. Krisis perbankan yang melanda Indonesia sepanjang tahun 1997 hingga saat ini menunjukkan betapa lemahnya komitmen untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dikalangan pelaku bisnis perbankan.
          Berdasarkan pengalaman tersebut,  dan beberapa negara lain, tampaknya kegiatan perbankan tidak bisa seluruhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, karena kenyataannya pasar tidak selalu mampu membetulkan dirinya sendiri (self correcting) bila terjadi sesuatu diluar dugaan.[8] Oleh karena itu, dukungan kontrol  terhadap aktivitas perbankan oleh BI dengan kewajiban melaksanakan prinsip kehati-hatian merupakan solusi terbaik dalam rangka menjaga dan mempertahankan eksistensi perbankan, yang pada akhirnya akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan itu sendiri.
          Dari latar belakang tersebut di atas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan: pertama, Bagaimana kondisi perbankan Indonesia saat ini, apakah mencerminkan pelaksanaan  prinsip kehati-hatian sebagai faktor utama dan menentukan dalam menjaga eksistensi dan/atau kepercayaan masyarakat ?; kedua, bagaimana pengaturan prinsip kehati-hatian ini mendapat pengaturan di dalam UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan ?; dan ketiga, mengingat UU No.10 tahun 1998 juga mengakomodasi kehadiran perbankan dengan prinsip syariah, apakah dalam sistem perbankan syariah (yang aturan dasarnya mengacu pada ketentuan syariah Islam) memuat prinsip-prinsip kehati-hatian dimaksud ?

II. KONDISI PERBANKAN INDONESIA SAAT INI

          Mengetahui secara lengkap kondisi perbankan Indonesia saat ini tidak bisa tidak kembali harus mencermati perkembangan yang terjadi pada masa munculnya kebijakan-kebijakan  (deregulasi) di bidang perbankan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terutama sekali ketika dikeluarkannya paket deregulasi pada tanggal 27 Oktober 1988 .
          Paket deregulasi sektor perbankan Oktober 1988 (pakto’88), merupakan paket deregulasi yang sangat kontroversial sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Walau sebelumnya pemerintah pernah mengeluarkan  kebijakan yang sama bulan Juni 1983, yang merupakan tonggak pendorong meningkatnya peranan perbankan dalam upaya mengerahkan dana masyarakat. Pakto 88 dikatakan kontroversial karena pada paket tersebut pemerintah memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk mendirikan bank-bank umum baru dengan hanya bermodalkan 10 milyar rupiah, kemudahan membuka kantor cabang serta kemudahan memperoleh izin untuk merobah status bank menjadi bank devisa.[9]
          Pada sisi positif, pakto’88 disamping bertambahnya jumlah bank, kehadirannya telah memacu pertumbuhan jumlah dan nilai transaksi perdagangan, dan pada akhirnya meningkat pula jumlah dan nilai transaksi perbankan dan keuangan.[10]  Namun pada sisi negatif, persaingan diantara pemilik dan pengelola bank pun meningkat. Disamping itu, upaya pembajakan manajer-manajer bank serta iming-iming hadiah kepada nasabah  juga mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan. Pada akhirnya pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian pun seolah-olah sebagai sesuatu hal biasa, seperti pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit) yang disalurkan baik kepada nasabah debitur perorangan  maupun kepada debitur dalam kelompok (group) usaha bank yang bersangkutan.[11] Menurut Fuady, perkembangan perbankan setelah pakto’88 sangat pesat tetapi kurang terkontrol, sehingga menimbulkan berbagai maalah dalam praktek, dan pengabaian sama sekali prudent banking principle. Akibatnya pada sekitar tahun 1991, Bank Duta terancam bangkrut karena banyak rugi dalam permainan valas. Hal yang sama juga terjadi pada Bank Umum Majapahit karena kejahatan yang dilakukan oleh pimpinan sekaligus pemiliknya dan beberapa bank lain yang hampir terganggu likuiditasnya tetapi dapat diselamatkan dengan berbagai cara serta yang paling monumental adalah dilikuidasinya Bank Summa.[12]
          Untuk menyempurnakan pakto’88, dikeluarkan paket 2 Maret 1989 yang antara lain memuat ketentuan-ketentuan penilaian kesehatan bank hasil merger, komponen modal untuk perhitungan Capital Adequacy Ratio lebih diperjelas, ketentuan Legal Lending Limit dan memberi kesempatan bagi bank untuk melakukan penyertaan dana pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi  jangka menengah dan jangka panjang.[13]
          Pengaturan substansi prinsip kehati-hatian (CAR, dan BMPK) dalam paket 25 Maret 1989 dianggap masih “setengah hati”, karena tidak memberi arti signifikan bagi upaya meredam efek-efek negatif atas munculnya pakto’88.  Menyadari hal itu, untuk  meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang terkenal dengan paket Februari 1991 (pakfeb). Paket februari ini menyangkut kecukupan modal (CAR), pembatasan pemberian kredit yang tidak didukung oleh dana masyarakat (LDR), persyaratan kepemilikan dan kepengurusan, ketentuan legal lending limit dan pembentukan cadangan untuk menutupi resiko.[14]
          Meski dinilai banyak kalangan terlambat, pakfeb ternyata mampu  mencegah pertumbuhan bank dan ekspansi kredit yang cendrung tidak terkendali. Dengankata lain, ketentuan tersebut memaksa bank untuk mengurangi ekspansinya, sehingga keuntungan bank tidak dapat lagi digunakanuntuk membuka kantor cabang baru, melainkan digunakan untuk menyetor modal. Biaya lain jugga harus diperhitungkan untuk memenuhi ketentuan CAR 8 %.  [15]
          Secara perlahan pakfeb 91 sedikit membawa pengaruh. Bank-bank mulai sibuk konsolidasi untuk memenuhi ketentuan modal agar posisi CAR mencapai 8% pada akhir 1993, LDR maksimum 110 %, dan ketentuan penyaluran kredit dalam bentuk kredit usaha kecil 20 %. Khusus persoalan pemenuhan CAR,   meskipun beberapa bank telah mampu mencapai CAR 8 %, namun aangka rata-rata CAR pada banyak bank masih berada dibawah 7 %.  Keadaan ini dengan sendirinya juga menimbulkan kekuatiran baaru terhambatnya kegiatan perekonomian yang selanjutnya akan semakin mempersulit perbankan sendiri. Untuk melonggarkan ruang gerak perbankan dalam menyalurkan kredit, BI kemudian memberi keluwesan kepada bank untuk memiliki CAR 4,25 % setelah memenuhi ketentuan CAR 5 % pada akhir Maret 1992. Dengan demikian kegiatan ekonomi akan lebih bergairah, tetapi pada sisi lain muncul persoalan  membengkaknya  kembali kredit macet.[16]
          Kredit macet sempat menghantui perbankan nasional, mencapai klimaksnya setelah Gubernur BI mengumumkannya secara resmi dalam pertemuan BI-DPR pada bulan Mei 1993. Meskipun angka-angka diseputar besarnya kredit macet tersebut bervariasi mulai 5 triliun rupiah sampai 14 triliun rupiah, tetapi besarnya kredit macet sudah menggambarkan bahwa posisi perbankan nasional mengalami kelesuan dan ini akan menjadi ancaman serius terhadap sektor riil.
          Ada sejumlah faktor penyebab membengkaknya kredit macet:
  1. perbankan umumnya kurang hati-hati dalam memberikan pinjaman dalam tahun-tahun boom investasi (sejak  keluarnya Pakto’88);
  2. pelanggaran terhadap ketentuan batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit) yang disyaratkan Pakfeb’91;
  3. pengaruh kebijaksaan uang ketat, sehingga menurunkan kemampuan perusahaan nasabah bank untuk membayar pinjaman.[17]
Hingga saat ini, kondisi perbankan nasional masih sangat rapuh dan rawan kredit bermasalah (non-performing loan). Fenomena negatif spread  (selisih antara pendapatan bunga dan biaya bunga), terutama akibat tingginya suku bunga dan gejolak nilai tukar rupiah, masih terus mengancam permodalan bank, dan hal ini bisa  memicu krisis atau  rekapitalisasi bank jilid dua.[18] Fungsi intermediasi juga belum berjalan, tercermin dari masih rendahnya rasio antara kredit yang disalurkan dengan dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan  (loan to deposit ratio/LDR). Menurut   Dradjad H Wibowo, untuk mempercepat pulihnya proses intermediasi, BI harus berani mengurangi jumlah bank secara radikal, melakukan percepatan restrukturisasi kredit, baik yang ada diperbankan maupun di BPPN, dan mempercepat  penyelesaian persoalan hukum, khususnya berkaitan dengan proses  kepailitan di pengadilan niaga.[19]
Gambaran diatas  setidaknya memberikan pemahaman bahwa krisis ekonomi, keuangan dan perbankan yang terjadi sejak tahun 1997 hingga saat ini tidaklah akibat perilaku investor asing. Kalupun itu ada , itu hanyalah pemicu api yang memang sudah membara. Kondisi ekonomi, keuangan dan perbankan Indonesia sebelum itu sebagaimana digambarkan di atas sangatlah tidak stabil. Swasta-swasta besar berlomba ekspansi tetapi tidak mengindahkan etika dan kaidah bisnis. Untuk sektor perbankan khususnya, pelaku bisnis perbankan cendrung mengabaikan atau melanggar  prinsip-prinsip berusaha yang baik dan sehat sebagaimana telah ditetapkan baik dalam UU Perbankan maupun di dalam peraturan-peraturan di bawahnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kondisi perbankan Indonesia hingga saat ini mencerminkan betapa buruk dan rendahnya komitmen untuk melaksanakan  prinsip kehati-hatian   dikalangan pelaku bisnis perbankan, disamping lemahnya kontrol (pengawasan) [20]dari Pemerintah melalui Bank Indonesia.
Saat ini BI tengah melakukan penyempurnaan sistem pengawasan bank, dari sistem compliance (kepatuhan pada regulasi) menjadi pengawasan risiko (risk based supervision). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui  permasalahan bank sejak dini. Selama ini BI melakukan pengawasan reaktif, yakni berdasarkan peraturan saja (compliance), sehingga jika ada permasalahn di sebuah bank, baru akan diketahui kemudian.[21] Penyempurnaan pelaksanaan fungsi pengawasan ini merupakan salah satu agenda pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi melalui kebijakan (pemberdayaan) perbankan. Upaya pemberdayaan dimaksud meliputi empat aspek, yakni rekapitalisasi bank-bank, restrukturisasi kredit perbankan, pengembangan infrastruktur perbankan, dan penyempurnaan pelaksanaan fungsi pengawasan bank.[22]
III.   PENGATURAN PRUDENT BANKING PRINCIPLE DALAM UU PERBANKAN
          Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas atau prinsip yang mmenyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya.[23] Hal ini disebutkan dalam pasal 2  UU  Nomor 10 tahun 1998 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
          Ada satu pasal dalam UU Perbankan  yang secara eksplisit mengandung substansi  prinsip kehati-hatian, yakni pasal   29 ayat 2, 3 dan 4 UU Nomor 10 tahun 1998.
Pasal 29 :
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian
(3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak mmerugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan danannnyya kepada bank
(4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
          Jika memperhatikan  judul Bab V UU Perbankan (terdiri dari pasal 29 s/d pasal 37B), maka pasal 29 merupakan pasal yang termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan pengawasan. Artinya, ketentuan prudent banking sendiri merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Lebih khusus lagi menurut Anwas Nasution, ketentuan prudent banking  termasuk dalam ruang lingkup  pembinaan bank dalam arti sempit.[24]
            Sebenarnya pengaturan prinsip kehati-hatian ini ternyata termaktub juga pada bagian pasal sebelumnya, seperti pasal 8, 10 dan 11 UU Perbankan.
Pasal 8 : “Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajiib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Pasal 10 : “Bank Umum dilarang :
a.    melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b dan huruf c;
b.    melakukan usaha perasuransian;
c.    melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7.
Pasal 11 :
(1)      Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam elompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
(2)      Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3)      Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit  atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada :
a.    Pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank;
b.    Anggota dewan komisaris;
c.    Anggota direksi;
d.    Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e.    Pejabat bank lainnya; dan
f.     Perushaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4)      Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10 % (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
(4A) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiaayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
          Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian, oleh UU Perbankan sama sekali tidak dijelaskan, baik pada bagian ketentuan maupun dalam penjelasannya. UU Perbankan hanya menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya saja sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2, 3, dan 4 di atas. Dalam bagian akhir ayat 2 misalnya disebutkan bahwasanya bank wajib menjalankan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pengertian, bank wajib untuk tetap senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank.[25] Apa saja yang dimaksud dengan aspek lain itu tidak dijelaskan.
          Dalam pada itu, dalam rangkamendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan  bank yang sesuai dengan prisnsip kehati-hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern[26] dalam bentuk self regulations.[27]
          Anwar menyebutkan bahwa ruang lingkup aturan prudent banking (pembinaan dalam arti sempit) meliputi persyaratan modal awal maupun rasio modal terhadap kemungkinan resiko yang dihadapinya, BMPK (batas maksimumpemberian kredit), rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) maupun posisi luar negeri (NOP), rasio cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva produktif (kredit macet), transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit.[28]
          Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehatia-hatian bank ini adalah adanya kewajiban bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 4  pasal  29  diatas.
          Penyediaan informasi mengenai kemungkinan  timbulnya resiko kerugian nasabah dimaksudkan  agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan. Informasi tersebut dapat memuat keadaan bank termasuk kecukupan modal, dan kualitas aset. Apabila informasi tersebut telah tersedia atau disediakan, bank dianggap telah melaksanakan ketentuan ini. Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara penempatan danan  dari nasabah atau pembelian/’ penjualan Surat Berharga untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.[29]
          Walaupun ketentuan ini terkesan berlebihan, tetapi ketentuan ini menunjukkan bahwa bank benar-benar memiliki tanggungjawab terhadap para nasabahnya.  Hal ini penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab, jika sekali  nasabah dirugikan akibatnya nasabah selamanya tidak akan percaya kepada bank bersangkutan.  Hal ini juga relevan dengan konsep hubungan antara bank dan nasabahnya, yang bukan hanya sekedar hubungan debitur-kreditur semata, melainkan lebih dari itu sebagai hubungan kepercayaan (fiduaciary relationship).[30]
          Dalam sejarah perbankan Indonesia, ketentuan prudent banking pernah diatur secara khusus dalam beberapa Paket deregulasi, misalnya Paket deregulasi 25 Maret 1989 dan Paket deregulasi Februari 1991, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Salah tujuan atau tugas yang diemban Paket Februari 1991 misalnya, berupaya mmengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan permodalan minimum 8 % dari kekayaan. Yang diharapkan dari paket itu adalah adanya peningkatan kualitas perbankan Indonesia.[31]
          Kewajiban bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan dalam Paket deregulasi diatas, tampaknya tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus collapsnya beberapa bank umum nasional, seperti Bank Perbankan Asia, Bank Duta danBank Umum Majapahit.
          Pengaturan prudent banking saat ini sudah cukup banyak, bahkan sudah seringkali dilakukan revisi atau pergantian, baik stelah lahirnya UU No.7 tahun 1992 maupun ketika pemerintah mengundangkan UU No.10 tahun  1998. Regulasi tersebut sebagian besar diwujudkan dalam bentuk Surat Edaran dan SK Direksi Bank Indonesia. Aturan-aturan tersebut misalnya :
1.    SK BI 30/11/KEP/DIR/1997, tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan bank
2.    SK BI 30/12/KEP/DIR/1997, tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat
3.    SK BI 30/46/KEP/DIR/1997, tentang pembatasan pemberian kredit oleh bank umum untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah
4.        SE BI 31/16/UPPB/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum
5.        SK BI 31/177/KEP/DIR/ tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum
6.        SE BI 31/17/UPPB/1998 tentang posisi devisa neto bank umum
7.        SE BI 31/18/UPPB/1998 tentang pemantauan likuiditas bank umum
8.        SK BI 31/179/KEP/DIR tentang pemantauan likuiditas bank umum
9.        SK BI 31/148/Kep/DIR/1998 tentang pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif
10.     SK BI 31/147/KEP/DIR/1998 tentang kualitas aktiva produktif
11.     SK BI 331/178/KEP/DIR/1998 tentang posisi devisa neto bank umum
12.     Peraturan BI 2/16/PBI/2000 tentang perubahan SK Direksi BI 31/177/KEP/DIR/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit
13.     Peraturan BI 3/21/PBI/2001 tentang kewajiban penyediaan modal minimum bank
14.     Peraturan BI 3/22/PBI/2001 tentang transparansi kondisi keuangan bank


Sebagaimana halnya bank-bank di negara-negara maju dan berkembang lainnya, dalam kaitannya dengan  pemenuhan standar kesehatan bank, mengikuti ketentuan Bassel International Standart (BIS). Dalam rangka pemenuhan kondisi perbankan di Indonesia, BI telah menyepakati 25 aturan BIS . Sampai saat ini baru 12 aturan BIS yang siap diterapkan di Indonesia. Diantaranya ketentuan CAR 8 %, dan NPL/Non Performing Loan (kredit macet) 5 % yang harus segera dipenuhi bank-bank sebelum akhir 2001.[32]
Ketentuan BIS tersebut dalam garis besarnya merupakan prinsip dasar  pembinaan dan pengawasan bank yang efektif, yang telah disetujui untuk diterapkan di Indonesia melalui komitment yang dilakukan oleh BI dengan IMF. 25 butir ketentuan BIS tersebut adalah sebagai berikut :
1.        Mempunyai wewenang, tanggung jawab dan tujuan yang jelas, bersifat independent dan memiliki sumber daya yang cukup
2.        Kegiatan yang diizinkan
3.        Kriteria perizinan
4.        Otoritas untuk mengkaji dan menolak usul
5.        Otoritas untuk menetapkan kriteria ketentuan kehati-hatian (prudential)
6.        Kecukupan modal
7.        Standar kredit dan monitoring
8.        Kebijakan dan prosedur evaluasi terhadap kualitas aset
9.        Sistem informasi manajemen bank
10.     Ketentuan pinjaman terkait (BMPK)
11.     Monitoring terhadap resiko
12.     Memiliki sistem yang memadai untuk memantau situasi pasar
13.     Mempunyai prosedur penegndalian resiko manajemen yang komprehensip
14.     Sistem pengendalian internal
15.     Meningkatkan kode etik profesional metode pengawasan bank
16.     Meliputi off site dan on site
17.     Senantiasa melakukan hubungan dengan manajemen bank
18.     Mempunyai teknik untuk melakukan analisis data/laporan
19.     Mempunyai  independensi
20.     Mampu melakukan pengawasan secara konsolidasi informasi perbankan
21.     Seluruh bank diharuskan memiliki sistem pencatatan yang lengkap dan akurat
22.     Pengawasan diharuskan mempunyai alat ukur yang cukup dan mampu melakukan perbaikan serta melakukan tindakan aturan dan kerjasama pengawasan internasional
23.     Menerapkan praktik pengawasan konsolidasi
24.     Melakukan kerjasama antar pengawas, dan
25.     Menerapkan standar yang sama antar bank lokal dengan bank asing[33]
Pembinaan dan pengawasan yang berlandaskan kepada ketentuan BIS tersebut, layak diimplementasikan tidak hanya terhadap prbankan, tetapi juga lembaga keuangan non-bank. Hal ini relevan dipertimbangkan mengingat empiris historis di Indonesia memperlihatkan cukup banyak kasus perbankan yang notabene di bawah pengawasn bank sentral sesungguhnya berkaitan dengan kegiatan lembaga keuangan non-bank.[34]
III. PRINSIP PRUDENT BANKING DALAM SISTEM PERBANKAN SYARIAH


          Salah satu jenis bank yang dikenal di Indonesia dilihat dari sistem atau tata cara operasionalnya adalah Bank Islam, yang lebih populer dengan sebutan Bank Syariah.[35] Bank Syariah ini merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya (sebagaimana halnya dengan Bank Konvensional) menarik dan memberikan kredit (pembiayaan) dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariah Islam.[36]
          Prinsip Syariah, dalam pasal 1 butir 13 UU Perbankan dijelaskan sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang disesuaikan dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
          Ketentuan diatas, yang penting digarisbawahi adalah redaksi atau pernyataan ”aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam”. Hukum Islam mengatur secara lengkap mengenai prinsip-prinsip muamalat umumnya dan perjanjian khususnya. Saat ini sebagian dari prinsip-prinsip tersebut sudah terkonkretisasi dalam beberapa produk bank, baik produk pengerahan dana maupun produk pembiayaan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Produk-produk Bank Syariah tersebut merupakan produk pilihan yang dirancang secara prudent yang didalamnya juga mengandung prinsip-prinsip perlindungan bagi nasabahnya. Secara historis, produk-produk tersebut sudah dipraktekkan dalam dunia perniagaan di masa Nabi dan Sahabat-sahabatnya. Disamping produk-produk utama tersebut, saat ini juga telah muncul beragam produk lain yang dalam pengembangannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah dari masing-masing bank yang dikendalikan oleh Dewan Syariah Nasional yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
          Sebenarnya banyak ketentuan didalam hukum Islam yang bermuatan prinsip-prinsip kehati-hatian atau prinsip berusaha yang beretika Islami yang mau tidak mau juga harus diadopsi dan diterapkan dalam praktek perbankan syariah, sesuai dengan komitmen awal seperti diatur dalam pasal 1 butir 13 UU Perbankan. Ketentuan tersebut antara lain diatur dalam QS.5 : 49 dan Hadits Riwayat Ath Thabrani, yang artinya sebagai berikut :
“Dan hendaklan kamu memutuskan perkara diatara mereka (menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka.  Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagain apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (QS.5 : 49)
“Sikap hati-hati itu datangnya dari Allah, sebaliknya sikap ceroboh itu datangnya dari syetan” (HR. Ath Thabrani)
          Prinsip-prinsip tersebut akan semakin sempurna jika dalam prakteknya berbarengan dengan prinsip-prinsip berusaha sebagaimana dituntun oleh Qur’an dan Sunnah Nabi. Apabila prinsip-prinsip ini dijalankan maka resiko yang bersifat merugikan, baik kepada bank   itu sendiri maupun terhadap para nasabahnya. Implementasi ketentuan (prinsip-prinsip) tersebut secara konsisten  akan membawa dan/atau menjamin eksistensi bank , yang pada akhirnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan  akan semakin kuat dan kokoh. Prinsip-prinsip berusaha (yang beretika Islam) dimaksud antara lain :
-          Prinsip pelarangan riba (bunga), sering juga dikonotasikan sebagai prinsip bagi hasil. (QS.ar-Ruum : 39; QS.an_Nisaa’ ; 160-161; QS. Ali-Imran ; 130; dan QS. Al-Baqorah : 275-279)
-          Prinsip ‘itikad baik dan kejujuran (QS. Al’Araf :33; QS. Huud :84 dan QS. Al-Muthaffifin : 1-3)
-          Prinsip keseimbangan/keadilan (QS. Asy Syuara’ :183; QS. Al-Isra’ :29; QS.Ar-Rahman : 9; QS. Al-Isra’ : 35 dan QS. Al-Imran :15)
Meskipun bank syariah itu dapat bersifat universal banking, namun mereka tidak akan dapat menghindar dari keharusan memilih segmen pasar tertentu. Pemilihan itu tidak saja ditentukan oleh adanya potensi pasar yang dapat mereka jangkau, tetapi juga dipengaruhi oleh kapasitas masing-masing bank, seperti permodalan, kapasitas sumber daya manusia (SDM), sistem dan teknologi yang mereka miliki dan sebagainya. Bank syariah wajib memiliki sistem organisasi, sistem administrasi danmanajemen yang baik, serta sumber daya insani yang berakhlak baik (siddiq), amanah, dan fathanah (profesional).[37]
Bank wajib melakukan analisa dan penilaian yang terus menerus mengenai sektor ekonomi, segmen pasar, kegiatan usaha dan nasabah yang beresiko tinggi. Paling tidak bank harus menghindari melakukan kegiatan pembiayaan dan investasi pada :
-       Usaha yang tidak sesuai dengan prinsip syariah;
-       Usaha yang bersifat spekulatif (maisir) dan mengandung ketidakpastian yang tinggi (gharar);Usha yang tidak mempunyai informasi keuangan yang memadai;
-       Bidang usaha yang memerlukan keahlian khusus, sedang aparat bank tidak memiliki keahlian atau mmenguasai bidang usaha tersebut;
-       Pengusaha yang bermasalah [38]
Jika dilakukan perbandingan,maka perbankan syariah akan lebih safe dan terjamin kemampuan berusahanya karena operasiona bank ini dibingkai oleh ketentuan-ketentuan dan/atau prinsip-prinsip syariah. Retriksi-retriksi syariah sebagai dasar operasionalnya sekaligus merupakan dan menjadi prudential regulation (prinsip kehati-hatian) bagi bank syariah.
Dengan demikian, tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat. Dengan kata lain agar selalu dalam keadaan likuid dan solvent. Diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank.[39]
Prinsip kehati-hatian ini harus dijalankan oleh bank, bukan hanya karena dihubungkan dengan kewajiban agar bank tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank dan masyarakat (melalui penyaluran kredit bank), melainkan juga berkaitan erat dengan sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat, (bukan semata-mata nasabah penyimpan).[40]
IV. KESIMPULAN
1.      Bahwa kondisi perbankan   nasional  saat ini masih sangat rapuh dan rawan kredit bermasalah (non-performing loan). Fenomena negatif spread, terutama akibat tingginya suku bunga dan gejolak nilai tukar rupiah, masih terus mengancam permodalan bank, dan hal ini disebabkan karena perilaku para pemilik dan pengelola bank yang cendrung mengabaikan prinsip kehati-hatian (prudent banking regulatioan) dalam berusaha, disamping kontrol yang lemah dari Bank Indonesia.
2.      Bahwa UU Perbankan telah mengatur adanya pprinsip kehati-hatian, terutam hal tersebut tercantum dalam pasal 29 ayat 2, 3 dan 4, jo pasal 8, 10, dan 11 UU No.10 tahun 1998. Kemudian hal itu diperjelas secara sempurna didalam beberapa peraturan pelaksananya 
3.      Prinsip kehati-hatian ternyata tidak hanya diatur di dalam UU Perbankan  dan peraturan pelaksananya. Secara khusus hal tersebut  juga ditemukan dalam hukum Islam sebagai landasan hukum operasional bank dengan prinsip syariah.




DAFTAR  PUSTAKA


Arifin, Zainul, 2000, Mekanisme Kerja Perbankan Syariah dan Permasalahannya, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 11, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta
Asikin, Zainal, 1997, Pokok-pokok  Perbankan di Indonesia, PT. .Raja Grafindo Persada, Jakarta
Danusaputro, Marjanto, “Ibarat Melaju di Jalan Tol Tanpa Rambu-rambu”dalamhttp://www. tempo.co.id/ang/min/02/14/ekbis1.htm
Deregulasi Perbankan: Sejumlah Aturan Tambal Sulam, dalam http://www. Tempo.co.id/ang/min/01/52/utama3.htm
Fuady, Munir, 1999, Hukum Perbankan Modern, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung Iljas, Achjar, 2000, “BLBI dan Penyelamatan Sistem Perbankan”, Media 31 Januari 2000 (Opini)
Juwana, Hikmahanto, 1998, “Analisa Ekonomi atas Hukum Perbankan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Edisi Nomor 1-3 Tahun XXVIII Januari – Juni 1998
Kondisi Umum Sektor Perbankan, dalam http://n21.ac-id.net/content/n21-bank/bab_2.html


Lovett William A., 1997, Banking and Financial Institutions Law, Westpublishing Co., USA
Masassya, Elvyn G., Indepedensi Bank Indonesia, dalam http://www.cides.or.id/ekonomi/ek0001040.asp
Muchtar, Darmiyanti, Biang Keladi Kredit Macet: Dilema Perbankan Indonesia, Majalah Bank dan Manajemen Edisi Juli/Agustus  1991
Nasution, Anwar, Pokok-pokok Pikiran tentang Pembinaan dan Pengawasan  Perbankan dalam rangka Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat terhadap Industri Perbankan, Makalah disampaikan pada Seminar tentang “Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah”, Departemen Kehakiman, BPHN, Hotel Indonesia Jakarta, tanggal 24-25 Juni 1997
Nurdiana, Titis dan Ahmad Febrian, Memenuhi Janji dan Membuat Koreksi,dalamhttp://www.kontan_oonline.com/05/31/aktual/akt1.htm
Perbankan Masih Rapuh, Selasa 5 Maret 2002, dalam  http://www.kompas.com/kompascetak/0203/05/UTAMA/perb01.htm
Usman, Rachmadi, 2001, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Sabirin, Syahril, “Kebijakan Moneter dan Perbankan dalam Mendukung Pembangunan Nasional”, dalam http://www.publikasiBI
Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagu Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta
_______, BI Sebagai Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundang-undangan, Pidato Ilmiah dalam rangka Penerimaan Jabatan Guru Besarb Ilmu Hukum pada Faakultas Hukum UNAIR Suarabaya tanggal 16 Desember 1996,
________, 2001, “Upaya Keluar dari  Krisis Ekonomi dan Moneter”, Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Wisuda Sarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat tanggal 29 September 2001 di Padang
Supraptomo, Heru, 1997,”Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan”, Jurnal Hukum Bisnis , Volume 1/1997,Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta
Sumitro, Warkum, 1997, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, PT.  Raja Grafindo Persada, Jakarta
Susidarto,“Reposisi Pengawasan Bank”,dalam http://www.Kompas.com/kompas-cetak/0204/26/opini/menu33.htm.
Tobing,Elwin,“Asal Mula Krisis” Februari 2002, dalam http://www.theindonesiainstitute.org/our view feb1.htm







[1]        Staf  Pengajar  Fakultas Hukum USU Medan
[2]        Sebagai salah satu sub-sistem industri jasa keuangan, industri perbankan sering dianggap sebagai jantungnya dan  motor penggerak perekonomian suatu negara. Dalam kaitan ini Lovett mengatakan : “bank and financial institutions collect money and deposits from all elements of society and invest these funds in loans, securities and various other productive assets. Periksa William A Lovett, 1997, Banking and Financial Institutions Law, Westpublishing Co., USA, hal.1
[3]        Industri perbankan merupakan suatu industri yang sangat bertumpu pada kepercayaan (fiduciary) masyarakat yang memiliki uang untuk disimpan. Kepercayaan masyarakat bagi industri perbankan adalah segalanya. Hikmahanto Juwana, 1998, “Analisa Ekonomi atas Hukum Perbankan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Edisi Nomor 1-3 Tahun XXVIII Januaru – Juni 1998, hal.86
[4]        Syahril Sabirin, Kebijakan Moneter dan Perbankan dalam Mendukung Pembangunan Nasional, dalam http://www.publikasi BI
[5]        Syahril Sabirin, 2001, Upaya Keluar dari  Krisis Ekonomi dan Moneter, Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Wisuda Sarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat tanggal 29 September 2001 di Padang, hal.5
[6]        Krisis ekonomi, keuangan yang diikuti dengan krisis perbankan, mulai melanda Indonesia sejak Juli 1997. Krisis tersebut menyebabkan terjadinya capital flight, devaluasi nilai rupiah, tingkat suku bunga yang sangat tinggi, melonjaknya tingkat inflasi dan resesi ekonomi dalam negeri, telah menimbulkan dampak yang berat terhadap industri perbankan nasional. Hampir seluruh bank umum nasional, termasuk sebelum terjadi gejolak dalam kondisi sehat, menghadapi kesulitan likuiditas dalam jumlah besar. Puncaknya pada bulan November 1997 dimana 16 bank swasta nasional dilikuidasi ole pemerintah. Lihat Achjar Iljas, 2000, “BLBI dan Penyelamatan Sistem Perbankan”, Media 31 Januari 2000 (Opini)
[7] Susidarto, Reposisi Pengawasan Bank, dalam http://www.Kompas.com/kompas-cetak/0204/26/opini/menu33.htm.
[8]        Heru Supraptomo, 1997, ”Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan”, Jurnal Hukum Bisnis , Volume 1/1997, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, hal. 63


[9]        Zainal Asikin, 1997, Pokok-pokok  Perbankan di Indonesia, PT. .Raja Grafindo Persada, Jakarta,hal.3
[10]         Kondisi Umum Sektor Perbankan,  dalam http://n21.ac-id.net/content/n21-bank/bab_2.html
[11]       Setelah pakto’88, disamping terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, adalah munculnya uang beredar yang mengalami kenaikan hingga 30 , serta angka kredit yang melaju pesat hingga 45 %. Baca Marjanto Danusaputro, “Ibarat Melaju di Jalan Tol Tanpa Rambu-rambu” dalam http://www. tempo.co.id/ang/min/02/14/ekbis1.htm
[12]       Munir Fuady, 1999, Hukum Perbankan Modern, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.30
[13]       Elwin Tobing,   “Asal Mula Krisis” Februari 2002, dalam http://www.theindonesiainstitute.org/our view feb1.htm,hal.1
[14]       Ibid.,hal.2
[15]       Ibid.
[16]       Ibid.
[17]       Ibid, hal.3. Munculnya kredit macet merupakan indikasi bahwa bank-bank mengalami masalah, terutama kewajibannya dalam memenuhi segala ketentuan Bank Indonesia.Dalamkaitan ini Marjanto mengatakan bahwa ada 3 faktor penyebab bank-bank bermasalah. Pertama, akibat kebijakan makro pemerintah; kedua, kebijakan otoritas moneter dalam hal ini BI secara kelembagaan; dan ketiga, disebabkan oleh pemilik dan pengelola bank itu sendiri. Kredit macet lebih banyak berhubungan dengan faktor penyebab ketiga. Periksa Marjanto Danusaputro, “Ibarat Melaju di Jalan Tol Tanpa Rambu-rambu” dalam http://www. tempo.co.id/ang/min/02/14/ekbis1.htm. Mengenai faktor penyebab munculnya kredit macet ini, Darmiyanti Muchtar menyebut 2 (dua) faktor penyebab. Pertama, faktor eksternal  yang berkaitan dengan perilaku debitur dan lingkungan (ekonomi, kebijakan pemerintah, pasar internasional, dan lain-lain). Kedua, faktor internal yang berkaitan  dengan manajemen dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh sebuah bank. Periksa Darmiyanti Muchtar, “Biang Keladi Kredit Macet: Dilema Perbankan Indonesia,” Majalah Bank dan Manajemen Edisi Juli/Agustus  1991, hal.35
[18]       Perbankan Masih Rapuh, Selasa 5 Maret 2002, dalam  http://www.kompas.com/kompas-cetak/0203/05/UTAMA/perb01.htm
[19]       Ibid.


[21]       Susidarto,Loc.Cit.
[22]       Syahril Sabirin, 2001, “Upaya Keluar dari  Krisis Ekonomi dan MoneterOp.Cit,hal.19
[23]       Rachmadi Usman, 2001, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.18
[24]       Anwar Nasution, Pokok-pokok Pikiran tentang Pembinaan dan Pengawasan  Perbankan dalam rangka Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat terhadap Industri Perbankan, Makalah disampaikan pada Seminar tentang “Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah”, Departemen Kehakiman, BPHN, Hotel Indonesia Jakarta, tanggal 24-25 Juni 1997, hal.2
[25]       Periksa kembali bagian awal ayat 2 pasal 29 UU Perbankan.
[26]       Periksa penjelasan pasal 29 ayat 1,  2, dan 3 UU Perbankan
[27]       Self regulation merupakan peraturan intern bank yang dibuat dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Dalam kebijakan Pemerintah disektor perbankan tahun 1994 disebutkan bahwa perbankan tetap diarahkan untuk mempercepat proses penyelesaian kredit bermasalah dan bank bermasalah, mempercepat proses konsolidasi, mendorong perbankan untuk melaksanakan prinsip pengaturan sendiri (self regulation principple) dan kehati-hatian dalam usahanya serta memantapkan langkah-langkah pembinaan dan pengawasan perbankan guna mengembangkan sistem perbankan yang sehat dan tangguh.  Untuk itu BI melakukan penyempurnaan rencana kerja bank dan laporan pelaksanaannya yang kemudian dituangkan dalam SK Direksi BI No.27/117/KEP/DIR, tanggal 25 Januari 1995 termasuk juga salahstunya SK Direksi Bi No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Mmaret 1995 tentang ketentuan kewajibanbank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan pperkreditan dabnk berdasarkan Pedoman Penyususnan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB).
[28]       Anwar Nasution, Loc.Cit.
[29]       Periksa penjelasan ayatb 4 dari pasal 29 UU Perbankan
[30]       St.Remy Sjahdeini, BI Sebagai Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundang-undangan, Pidato Ilmiah dalam rangka Penerimaan Jabatan Guru Besarb Ilmu Hukum pada Faakultas Hukum UNAIR Suarabaya tanggal 16 Desember 1996,  Tulisan yang sama dapat dibaca dalam Majalah Bank dan Manajemen, Edisi November/Desember 1996, hal.17 .Alvin C. Herrell setelah melakukan penelitian terhadap putusan-putusan pengadilan di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa hubungan antara bank dan nasabah merupakan fiduciary relationship karena status bank yang istimewa didalam masyarakat sebagai lembaga yang jasa-jasanya berpengaruh besar terhadap kesejahteraan masyarakat      
[31] Deregulasi Perbankan: Sejumlah Aturan Tambal Sulam, dalam http://www. Tempo.co.id/ang/min/01/52/utama3.htm
[32]       Titis Nurdiana dan Ahmad Febrian, Memenuhi Janji dan Membuat Koreksi, dalam http://www.kontan_oonline.com/05/31/aktual/akt1.htm
[33]    Elvyn G.Masassya, Indepedensi Bank Indonesia, dalam http://www.cides.or.id/ekonomi/ek0001040.asp
[34]       Ibid.
[35]       Perbankan dengan prinsip Syariah pertama kali diperkenalkan melalui UU No.7 tahun 1992, yang secara ekplisit ditemukan dalam Pasal 1 butir 12 serta pasal 6 huruf (m). Kemudian ditindaklanjuti dengan PP No.72 tahun 1992 tentang Bank umum dengan prinsip bagi hasil. Saat ini, dalam UU Perbankan terbaru No.10 tahun 1998 juga mendpatkan pengaturan yang lebih lengkap dari UU Perbankan sebelumnya, dengan istilah bak dengan prisip Syariah, yang juga telah ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya SK Direksi BI No.32/34/KEP/DIR/1999 dan SK Direksi BI No.32/36/KEP/DIR/1999, masing-masing mengenai Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
[36]       Warkum Sumitro, 1997, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, PT.  Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.5
[37]       Zainul Arifin, 2000, Mekanisme Kerja Perbankan Syariah dan Permasalahannya, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 11, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, hal.48
[38]       Ibid.
[39]       Sutan Remy Sjahdeini, dalam Rachmadi Usman, Op.Cit, hal.19
[40]       Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagu Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta,hal.175

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih