Kamis, 01 Oktober 2009

RELEVANSI TEORI SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
DALAM UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA




Oleh: Mulhadi[1]




ABSTRAKSI


Renewal of law in Indonesia the core important addressed to realize social construction which is welfare, quiet and peace and also bring good changes to life structure. But on the other side, renewal of this law also become impeller to fluency of development process. Therefore, existing weakness in effort of renewal of law during the time must be overcome. This matter  to create a national law contruction ideally, have harmony among  society interests with the goals of  national development.

I.    PENDAHULUAN

              Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu kondisi dari suatu tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada tingkat kualitas yang dianggap baik atau paling baik.[2] Pembangunan yang dilaksanakan tentu saja pembangunan yang memiliki pijakan hukum yang jelas, bisa dipertanggungjawabkan, terarah serta proporsional antara aspek fisik (pertumbuhan) dan non- fisik. 
              Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan, bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur.[3]
              Istilah “pembaharuan hukum” sebenarnya mengandung makna yang luas mencakup sistem hukum. Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure), substansi/materi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture).[4] Sehingga, ketika bicara pembaharuan hukum maka pembaharuan yang dimaksudkan adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi struktur hukum, materi hukum dan budaya hukum. Karena luasnya cakupan sistem hukum, maka dalam tulisan ini, hanya dibatasi pada salah satu elemen sistem hukum yakni substansi/materi hukum.Namun demikian, dalam uraian berikutnya istilah “pembaharuan hukum” tetap dipertahankan yang sebenarnya mengandung makna lebih khusus atau sepadan dengan istilah “pembentukan hukum”.
          Dalam prosesnya, pembangunan ternyata ikut membawa konsekuensi terjadinya perubahan-perubahan atau pembaharuan pada aspek-aspek sosial lain termasuk di dalamnya pranata hukum. Artinya, perubahan yang dilakukan (dalam bentuk pembangunan) dalam perjalanannya menuntut adanya perubahan-perubahan dalam bentuk hukum. Perubahan hukum ini memiliki arti yang positif dalam rangka menciptakan hukum baru yang sesuai dengan kondisi pembangunan dan nilai-nilai hukum  masyarakat.
              Pada satu pihak, pembaharuan hukum merupakan upaya untuk merombak struktur hukum lama (struktur hukum pemerintahan jajahan) yang umumnya dianggap bersifat eksploitatif dan diskriminatif. Sedangkan pada pihak lain pembaharuan hukum dilaksanakan dalam kerangka atau upaya memenuhi  tuntutan pembangunan masyarakat.
              Bidang hukum diakui memiliki peran yang sangat strategis dalam memacu percepatan pembangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka memenuhi tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga meliputi pembangunan jangka menegah dan jangka panjang, walaupun disadari setiap saat hukum bisa berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menghendakinya.
          Di negara-negara berkembang pembaharuan hukum merupakan prioritas utama, terlebih jika negara dimaksud merupakan negara yang baru merdeka dari penjajahan bangsa/negara lain. Oleh karena itu, di negara-negara berkembang pembaharuan hukum senantiasa mengesankan adanya peranan ganda. Pertama, merupakan upaya untuk melepaskan diri dari lingkaran struktur hukum kolonial. Upaya tersebut terdiri atas penghapusan, penggantian, dan penyesuaian ketentuan hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional. Kedua, pembaharuan hukum berperan pula dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju, dan yang lebih penting adalah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat warga negara.[5]
              Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan-peraturan hukum yang sudah tidak up to date namun tetap dipertahankan. Dalam rangka menyongsong era global dan pasar bebas mendatang jelas peraturan-peraturan hukum tersebut memerlukan revisi dan jika perlu dirubah total dengan bobot materi yang mencerminkan gejala dan fenomena masyarakat saat ini. Masalahnya adalah apakah proses perubahan atau pembaharuan hukum yang berlangsung di Indonesia telah dilakukan sesuai dengan kaedah-kaedah normatif dan atau sesuai dengan nilai-nilai hukum dalam masyarakat? Sebagaimana disarankan oleh para ahli hukum Sociological jurisprudence. Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat fungsi hukum tidak semata-mata sebagai alat kontrol sosial (control social) tetapi juga memiliki fungsi sebagai sarana rekayasa atau pembaharuan sosial atau lebih dikenal sebagai “law as a tool of social engineering”.

II.  PANDANGAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE TENTANG PEMBAHARUAN (PEMBENTUKAN) HUKUM



 Banyak teori yang mencoba menemukan skema atau ide dasar pembentukan atau pembaharuan hukum.Masing-masing teori berupaya mengemukakan argumentasi atas pendapatnya dengan menonjolkan sisi keunggulan masing-masing. Biasanya teori yang disusun tersebut dipengaruhi oleh teori-teori lama atau bisa juga sebagai bentuk kritik (penyempurnaan) dan dukungan terhadap teori-teori sebelumnya. Aspek waktu, kondisi psikologis masyarakat/negara maupun tempat memiliki peran yang signifikan bagi perumusan bentuk/materi dari teori tersebut. Sehingga sering terjadi bahwa teori-teori itu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing manakala teori itu dihadapkan pada kondisi atau situasi masyarakat yang berbeda. Teori Sociological Jurisprudence yang dikemukakan oleh Eugen Erlich misalnya, merupakan hasil dari sintesa  dari teori-teori atau pandangan-pandangan hukum yang lahir sebelumnya seperti aliran historicalpositivisme. maupun
Menurut Erlich dalam bukunya yang berjudul “grundlegung der sociological rechts” (1913), mengatakan bahwa masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk menandakan semua hubungan sosial, yakni keluarga, desa, lembaga-lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi maupun sistem hukum dan sebagainya. Erlich memandang semua hukum sebagai hukum sosial, tetapi dalam arti bahwa semua hubungan hukum ditandai oleh faktor-faktor sosial ekonomis. Sistem ekonomis yang digunakan dalam produksi, distribusi dan konsumsi bersifat menentukan bagi pembentukan hukum.[6]
Dari uraiannya mengenai timbulnya hukum kelihatan bahwa Erlich mengaku sebagai suatu proses naturalisme belaka. Semua gejala dunia termasuk hukum didekati seperti benda-benda alam, dan hubungan antara gejala-gejala itu dianggap bersifat alamiah juga. Dengan demikian, hukum merupakan kenyataan saja, dengan kata lain bahwa norma-norma hukum berasal dari kenyataan dalam masyarakat.[7] Jika demikian menurut Erlich dapat disimpulkan bahwa hukum yang baik (ideal) adalah hukum yang dasar (ide) pembentukannya berasal atau sesuai dengan kenyataan hukum masyarakat.[8]
Teori Erlich yang mengambil masyarakat sebagai ide dasar pembentukan hukum tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Leon Duguit (1839-1928) yang mengatakan bahwa semua hukum positif berakar dalam suatu hukum fundamental masyarakat. Hukum fundamental adalah apa yang menguasai seluruh hidup bersama. Seluruh hidup bersama pada masyarakat modern dikuasai oleh solidaritas sosial. Maka solidaritas sosial merupakan hukum fundamental masyarakat sekarang.[9] 
Namun demikian terdapat perbedaan pendapat antara Duguit dan Erlich terutama menyangkut peran negara dalam pembentukan hukum. Jika Duguit menyatakan bahwa tidak ada tempat bagi suatu kehendak dari seorang yang berkuasa yang berdaulat yang dipandang satu-satunya sumber hukum positif. Kekuasaan yang berdaulat sama sekali tidak ada. Lebih lanjut Duguit mengatakan, bahwa negara tidak mempunyai kedudukan sendiri sebagai kolektivitas social. Jika demikian kata Duguit, maka  negara tidak memiliki fungsi/kewenangan sebagai lembaga tertinggi yang mengesahkan  hukum, yang menetapkan (memutuskan) keberlakuan hukum yang nilai-nilai dasarnya berasal dari masyarakat. Akhirnya pendapat Duguit ini membawa konsekuensi tidak danya hukum publik yang mengatur kehidupan bernegara juga hukum privat sebagai sarana perolehan hak sipil subjektif atas barang pribadi yang dikenal dalam konsep hukum modern saat ini.
Erlich tidak spendapat dengan mereka yang menganggap negara sebagai alat kekuasaan yang harus dihapus atau ditiadakan. Menurut Erlich, fungsi negara yang semula ialah menjadi alat yang wajar untuk menguasai hubungan social masyarakat melalui paksaan, lama kelamaan negara menjadi berwibawa juga dalam bidang-bidang lain, seperti dalam bidang pembentukan uu dan pengadilan. Sebab hubungan-hubungan social yang bermacam-macam bidang tersebut satu sama lain hidup saling terjalin.
Bukti adanya pengakuan atas fungsi negara dalam menetapkan dan/atau mengesahkan aturan hukum, dapat dilihat dari pembagian norma-norma hukum yang diajukan Erlich, yaitu rechtsnormen sebagai aturan-aturan/norma-norma hukum yang hidup dan lahir dari kenyataan sosial masyarakat, dan entscheidungnormen sebagai norma-norma keputusan yang tidak termasuk hukum yang hidup. Peraturan-peraturan tersebut katanya berasal dari karya-karya ilmiah para hakim, sarjana, anggota MPR, pegawai negara dan sebagainya. Ia mengatakan baik norma-norma hukum maupun norma-norma keputusan dapat menjadi peraturan-peraturan hukum atas penetapan atau pengesahan dari suatu instansi yang bernama negara.
Pandangan paling moderat dalam sociological jurisprudence adalah yang lahir/berkembang di Amerika, dikemukakan oleh Roscoe pound (1870-1964). Ia mengatakan bahwa hukum sebagai suatu unsur dalam hidup masyarakat harus memajukan kepentingan umum.[10] Kalimat “hukum sebagai suatu unsur dalam hidup masyarakat” menandakan konsistensi Pound dengan pandangan ahli sebelumnya seperti Erlich maupun Duguit. Artinya hukum harus dilahirkan dari konstruksi hukum masyarakat yang dilegalisasi oleh penguasa. Ia harus berasal dari konkretisasi nilai-nilai  yang hidup dalam masyarakat.
Kemajuan pandangan Pound dibandingkan dengan ahli-ahli sebelumnya, ia lebih banyak menekankan arti dan fungsi pembentukan hukum. Dimana hal itu bisa dilihat dari pernyataan di atas yaitu “bahwa hukum harus memajukan kepentingan umum”. Statement inilah yang kemudian dikenal dengan teorinya “law as a tool of social engineering” (hukum sebagai alat atau sarana ekayasa/pembaharuan sosial).[11]
Hukum itu ditandai olehnya sebagai suatu teknik (rekayasa) sosial (social engineering) di dalam suatu masyarakat politik yakni negara. Tujuannya ialah untuk sebaik-baiknya mengimbangi kebutuhan-kebutuhan sosial dan individual yang satu dengan yang lain. Cita-cita keadilan yang hidup dalam hati rakyat dan yang ditujui oleh pemerintah merupakan simbol dari harmonisasi yang tidak memihak antara kepentingan-kepentingan individual yang satu terhadap yang lain. Ideal keadilan ini didukung oleh paksaan. Paksaan disini digunakan oleh negara demi kontrol sosial yaitu untuk menjamin keamanan sosial, dan dengan demikian memajukan kepentingan umum sebaik-baiknya. Pentingnya peran negara dalam mewujudkan kontrol sosial sama dengan apa yang dikemukakan Erlich, karena dalam kondisi masyarakat modern yang ditandai beragamnya kepentingan, penguasa memegang peranan penting agar tercipta stabilitas sosial.
Baik Erlich maupun Pound tidak setuju dengan pandangan Duguit apalagi pandangan ahli historical yang mengatakan bahwa kewenangan itu hanya ada pada masyarakat, dan negara tidak diperlukan campur tangannya.
Dari pandangan Pound ini dapat disimpulkan bahwa unsur normatif (ratio) dan empiric (pengalaman) dalam suatu peraturan hukum harus ada. Kedua-duanya adalah sama perlunya. Artinya, hukum yang pada dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian dikonkretisasi  menjadi norma-norma hukum melalui tangan-tangan para ahli hukum sebagai hasil kerjanya ratio, yang seterusnya di legalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh negara. Yang penting adalah bahwa cita-cita keadilan masyarakat dengan cita-cita keadilan yang ingin dituju oleh penguasa harus selaras dan itu termanifestasikan dalam hukum.


III.        PEMBAHARUAN (PEMBENTUKAN) HUKUM  DI INDONESIA
Erlich sebagaimana dikemukakan di atas menyatakan bahwa hukum yang ideal adalah hukum yang sesuai dengan ide-ide hukum masyarakat; cita-cita hukum masyarakat yang dikonkretisasi dari nilai-nilai sosial budaya masyarakat.
Atas dasar pernyataan Erlich tersebut, apakah pembaharuan (pembentukan) hukum dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia telah sejalan dan selaras dengan nilai-nilai hukum masyarakat? Apakah masyarakat sebagai warga negara tetap masih diberi kewenangan untuk menyatakan persetujuannya atas suatu produk hukum yang baru dikeluarkan oleh pemerintah, sebagaimana diinginkan oleh teori perjanjian masyarakat dari Hobbes dan Locke? Sudahkah muatan materi peraturan hukum itu dipastikan dapat mengkompromikan konflik-konflik kepentingan di dalam masyarakat, sehingga tidak ada satu  golongan masyarakat  pun yang merasa dirugikan sebagaimana  dicita-citakan Pound ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan ungkapan kekhwatiran yang senantiasa muncul di kalangan ahli-ahli hukum hingga saat ini. Jika hukum dipandang sebagai kebudayaan yang merupakan suatu refleksi dari cara berpikir,  pandangan dan kharakter bangsa, mestinya hukum harus mengandung muatan materi tentang apa yang menjadi harapan masyarakat tanpa mengenyampingkan soal-soal baru yang menuntut untuk diadaptasikan demi mengisi kekosongan aturan hukum yang saat ini (beberapa persoalan hukum) telah menjadi bagian dari kesepakatan dunia atau telah diterima dan diaplikasikan lebih dahulu oleh negara-negara lain dalam konteks hubungan atau kerjasama internasional.
Sampai hari ini hukum yang berlaku di negara kita sebagian masih bukan refleksi dari cara berpikir, pandangan hidup dan kaharakter bangsa kita, yakni masih peninggalan hukum kolonial. Pentingnya ungkapan ini karena dalam upaya menyusun hukum nasional mau tidak mau, suka atau tidak, kita harus melihat atau bercermin pada kebudayaan masyarakat sendiri. Seberapa pun megahnya kebudayaan orang lain, itu tetap tidak akan sesuai dengan kondisi masyarakat kita. Apalagi di bidang hukum, ia harus dapat menampung aspirasi masyarakat Indonesia. [12]
Albert Hasibuan dalam sebuah wawancara dengan wartawan Kompas mengatakan, “dulu orang merumuskan rule of law sukup sebagai ketaatan pada hukum”, artinya segala sesuatu harus didasarkan pada hukum. Tetapi sebenarnya rule of law juga mengandung makna bahwa hukum yang ditaati itu harus berisi aspirasi masyarakat, bukan aspirasi golongan masyarakat tertentu, atau hukum itu harus benar-benar dirasakan adil oleh masyarakat.
Jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat saat ini, apakah hukum yang berlaku  sekarang telah berstruktur sosial Indonesia  serta adaptif dengan  situasi globalisasi yang melingkupinya sebagaimana dimaksudkan oleh Albert.[13] Realitas yang ada di Indonesia saat ini adalah adanya mis-sinkronisasi antara nilai-nilai dengan norma-norma hukum yang berlaku. Antara nilai-nilai dan norma-norma hukum tidak “jumbuh”. Nilai-nilai yang ingin dimunculkan adalah nilai-nilai sosial budaya Indonesia, tetapi norma-norma hukum yang muncul adalah norma-norma yang bernuansa Eropah yang nota bene adalah liberal-kapitalis. Contoh faktualnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1994, yang memperlihatkan menguatnya konglomerasi, monopoli, buruh yang digaji di bawah UMR dan lain-lain.[14] Ini semua adalah gambaran belum sinkronnya antara nilai-nilai yang dikehendaki dengan norma-norma yang muncul. Apabila  hal ini tidak disadari, maka bangsa kita akan menjadi bangsa dengan “kepribadian terbelah”, dimana terjadi ketimpangan antara nilai-nilai yang dikehendaki dengan struktur dan normanya.[15]
Pada kesempatan yang sama Adnan Buyung mengatakan, “dalam negara hukum yang dianut sekarang ada kecendrungan terjadinya pergeseran ke arah formal legalitas, tanpa melihat segi substansinya”.[16] 
Ungkapan Buyung inilah yang dimaksudkan dengan hukum telah kehilangan makna. Penguasa melalui aparat pembentuk hukumnya lebih mengedepankan segi keberlakuan hukum dengan mengabaikan materi yang diatur. Penguasa sudah tidak mau tahu apakah materi yang diatur dalam aturan hukum dimaksud sesuai dengan aspirasi masyarakat atau tidak. Ini juga sekaligus menandakan bahwa faktor aksesibilitas (campur tangan)  masyarakat dalam pembentukan hukum sudah tidak dipertimbangkan, apalagi untuk menyatakan persetujuannya. Padahal secara teori sudah diketahui bahwa aksesibilitas  masyarakat merupakan faktor yang sangat  penting serta menentukan di dalam menilai keberhasilan sebuah usaha pembaharuan hukum. Berkaitan dengan hal ini Romli  pernah mengatakan bahwa masalah aksesibilitas masyarakat dalam pembangunan hukum di Indonesia sudah harus dipertimbangkan sejak tahap penyusunan Prolegnas (Program Legislasi Nasional) hingga ke tahap implementasi peraturan perundang-undangan dan pemberlakuannya di tengah-tengah masyarakat. Menurutnya, ada 3 (tiga) tolok ukur etika dan moral yang patut dijadikan pertimbangan dalam pembangunan hukum di Indonesia terutama dalam rangka mewujudkan fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan sosial (law as atool of social engineering), yaitu hak asasi manusia, keadilan, dan aksesibilitas masyarakat ke dalam Prolegnas.[17]
Pengabaian campur tangan masyarakat dalam pembentukan hukum dewasa ini terlihat jelas, dimana tuntutan agar materi tertentu di masukkan atau dihapuskan  dari rancangan peraturan perundang-undangan ataupun dari peraturan perundang-undangan yang sudah jadi tidak diperhatikan. Kondisi ini berimplikasi pada munculnya demonstrasi di mana-mana sebagai wujud penolakan masyarakat yang dikomandai oleh Mahasiswa dan LSM menentang  keangkuhan penguasa  pemberlakuan beberapa kebijakan di bidang hukum. Contoh kecil bisa dilihat pada kasus privatisasi atau penjualan BUMN kepada investor swasta yang jelas-jelas merugikan negara dan rakyat. 
Kembali pada pernyataan dua orang tokoh hukum di atas dan kaitannya dengan teori social engineering Pound, maka hukum seideal mungkin mewujudkan apa yang menjadi tuntutan dan rasa keadilan masyarakat atau setidak-tidaknya antara cita-cita hukum masyarakat harmonis dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah, sehingga karenanya persoalan substansi hukum perlu mendapat perhatian lebih. Bagaimana mungkin hukum bisa difungsikan sebagai sarana pembaharuan sosial yang intinya merobah watak dan perilaku masyarakat jika materinya bertolak belakang dengan cita-cita hukum masyarakat itu sendiri.
Di Indonesia, pembaharuan (pembentukan) hukum itu memang lebih menampakkan wujudnya dalam bentuk undang-undang. Walaupun bentuk-bentuk lain juga tidak semestinya diabaikan, seperti putusan pengadilan (yurisprudensi) yang menjadi konsepsi hukum utama yang berlaku di negara-negara Anglo Saxon seperti Amerika.
Namun yang pasti, pengembangan konsepsionil daripada hukum sebagai sarana pembaharuan sosial di Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di tempat kelahirannya sendiri (Amerika), karena beberapa hal:
1.    Lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia, walaupun yurisprudensi juga memegang peranan, berlainan dengan di Amerika Serikat dimana teori Pound itu ditujukan terutama pada peranan pembaharuan yang diharapkan dari keputusan-keputusan pengadilan, khususnya keputusan Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi.
2.    Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat menolak aplikasi “mechanistis”  dari konsepsi “law as a tool of social engineering”. Aplikasi mekanistis demikian yang digambarkan dengan kata “tool” akan mengakibatkan hasil  yang tidak banyak berbeda dengan penerapan “legisme” yang dalam sejarah hukum di Indonesia (Hindia Belanda) telah ditentang dengan keras.  Dalam penegembangannya di Indonesia, maka konsepsi (teoritis) hukum sebagai alat/sarana pembaharuan ini dipengaruhi pula oleh pendekatan-pendekatan filsafat budaya dari Northrop dan pendekatan “policy-oriented” dari Laswell dan Mc.Dougal.[18] 
              Jika persoalan-persoalan dalam rangka pembaharuan hukum tidak diatasi, mustahil hukum sebagai sarana yang berfungsi mengkompromikan konflik-konflik sosial masyarakat sebagaimana dikehendaki Pound akan terwujud. Padahal ke depan menurut Pound, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol semata melainkan lebih dari itu berfungsi membawa atau menggerakkan masyarakat ke suasanan yang lebih baik. Hal ini bisa dipahami dari pernyataannya yang mengatakan bahwa tugas pokok pemikiran modern mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial,[19] yakni  to construct as efficient a society as possible, one which ensures the satisfaction of the maximum of interests with minimal friction and waste  of resources (menata masyarakat secara efisien dan baik, dimana kepada setiap warga masyarakat dijamin pemuasan maksimum dari setiap kepentingan-kepentingannya dengan friksi (pertentangan) dan pemborosan sumber daya seminimal mungkin).[20]

IV. KESIMPULAN

              Pembaharuan hukum di Indonesia utamanya ditujukan untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil-sejahtera, tentram dan damai serta membawa perubahan-perubahan yang baik pada struktur kehidupan. Tetapi disisi lain, pembaharuan hukum ini juga menjadi pendorong bagi lancarnya proses pembangunan. Oleh karena itu, kelemahan-kelemahan yang ada dalam proses pembaharuan hukum selama ini mesti ditanggulangi. Hal ini guna menciptakan suatu tatanan hukum nasional yang ideal, selaras antara kepentingan-kepentingan masyarakat dengan tujuan-tujuan pembangunan nasional yang diidamkan, dan lebih penting lagi memiliki dampak internasional. Jika tidak, maka ketertinggalan Indonesia dalam kompetisi global dengan segala macam perangkat hukumnya akan terlihat. 
              Dengan demikian, jalannya pembaharuan hukum dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia boleh jadi belum relevan sebagaimana dikehendaki dalam konsep sociological jurisprudence.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, Sir Carleton Kemp, Law in The Making, 6th Edition (Oxford : The Clarendon Press, 1958)
Atmasasmita, Romli, “Moral dan Etika Pembangunan Hukum Nasional : Reorientasi Politik Perundang-undangan RI”,  Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh  BPHN (Bali: 14 – 18 Juli 2003)
Chairuddin, O.K., Sosiologi Hukum, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1999)
Fakrulloh, Zudan Arif, Membangun Hukum yang Berstruktur Sosial Indonesia dalam Kancah Trends Globalisasi, dalam Wajah Hukum di Era Reformasi (Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,SH), (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2000)
Friedman, Lawrence M., American Law, (New York: W.W. Norton  & Company, 1930)
Friedmann, W., Teori dan Filsafat Hukum (Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan), (Jakarta:  PT. RajaGrafindo Persada, 1994)
Huijbers, Theo,  Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Penerbit Kanisuius, 2001)
Kusumaatmadja,Mochtar, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, 1986)
___________________ Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Putra Bardin, 1976)
Nusantara, Abdul Hakim dan Nasroen Yasabari, Pembangunan Hukum: Sebuah Orientasi (Pengantar Editor) dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Idonesia, Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari (Eds.) (Bandung : Penerbit Alumni, 1980)
Pound, Roescoe, An Introduction to the Philosophy of Law, (New Heaven : Yale University Press, 1954)
Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2001)
Suparni, Niniek, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992)
Wacks, Raymond, Jurisprudence, (Great Britain – London: Blackstone Press Limited 1995),  



[1]     Staf  Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU)
[2]     Niniek Suparni, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal.36
[3]     Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, 1986), hal. 1
[4]     Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton  & Company, 1930), pg.5-6
[5]     Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari, Pembangunan Hukum: Sebuah Orientasi (Pengantar Editor) dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Idonesia, Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari (Ed.) (Bandung : Penerbit Alumni, 1980), hal. 2
[6]     Theo Huijbers,  Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Penerbit Kanisuius, 2001), hal. 213
[7]     Ibid.
[8]     Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal.66
[9]     Theo Huijbers, Op.Cit.,hal.210
[10]    Ibid., hal. 180
[11]     Roescoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, (New Heaven : Yale University Press, 1954), pg.47
[12]     O.K. Chairuddin, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1999), hal.109
[13]    Ibid.
[14]    Zudan Arif Fakrulloh, Membangun Hukum yang Berstruktur Sosial Indonesia dalam Kancah Trends Globalisasi, dalam Wajah Hukum di Era Reformasi (Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,SH) : (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal.55
[15]    Ibid.
[16]    O.K. Chairuddin, Loc.Cit.
[17]    Romli Atmasasmita, “Moral dan Etika Pembangunan Hukum Nasional : Reorientasi Politik Perundang-undangan RI”,  Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh  BPHN (Bali: 14 – 18 Juli 2003), hal.342


[18]    Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Putra Bardin, 1976), hal. 9
[19]    W.Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan), (Jakarta:  PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal.141
[20]    Raymond Wacks, Jurisprudence, (Great Britain – London: Blackstone Press Limited 1995), pg.155. Bandingkan dengan Sir Carleton Kemp Allen, Law in The Making,  6th Edition (Oxford: The Clarendon Press, 1958), pg. 36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih