Rabu, 24 Oktober 2012

Pendirian Kepemilikan dan Modal Bank Syariah


PENDIRIAN, KEPEMILIKAN 
DAN MODAL  BANK  SYARIAH

Mulhadi[1]


A.    Pendirian Bank Syariah

            Pendirian Bank Syariah harus memenuhi ketentuan perizinan,  permodalan dan  kepemilikan sebagaimana di atur di dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
            Setiap pihak yang akan mendirikan atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dari Bank Indonesia. Hal ini kemudian dipertegas dan diperjelas dalam Pasal 4 (1) PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah,  dan Pasal 4 ayat (1) PBI  No. 11/23/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang menyebutkan bahwa BUS/BPRS hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin (persetujuan prinsip dan izin usaha) Bank Indonesia. Demikian juga halnya dengan UUS, dimana pembukaan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin (hanya izin usaha) Bank Indonesia.
            Pemberian izin oleh Bank Indonesia, baik untuk pendirian BUS maupun BPRS sesunggguhnya dilakukan melalui 2 (dua) tahap, yaitu :
1.      Tahap persetujuan prinsip; dan
2.      Tahap izin usaha

1.        Persetujuan Prinsip
            Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian Bank. Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip diajukan paling kurang oleh salah satu calon pemilik BUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. Permohonan dimaksud harus disertai dengan pemenuhan setoran modal paling kurang 30%  (tiga puluh persen) dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5[2] yang dibuktikan dengan dokumen pendukung.[3]  
            Ketentuan yang sama juga berlaku dalam hal permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip BPRS, dengan disertai dokumen pendukung sebagai berikut :
a.       akta pendirian atau rancangan akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT), termasuk anggaran dasar atau rancangan anggaran dasar;
b.      daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masingmasing kepemilikan saham;
c.       daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan anggota DPS disertai dengan dokumen yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia;
d.      studi kelayakan mengenai potensi ekonomi dan peluang pasar;
e.       rencana bisnis (business plan); dan
f.       bukti setoran modal paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
            Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip diberikan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip diberikan Bank Indonesia berdasarkan pada:
a.       penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b.      analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar Bank dan Unit Usaha Syariah, tingkat kejenuhan jumlah Bank dan Unit Usaha Syariah serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan
c.       uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi, serta wawancara terhadap calon anggota DPS.
            Selain ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, pihak-pihak yang mengajukan permohonan pendirian BUS wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana pendirian Bank.  Hal-hal yang harus dipresentasikan antara lain:
a.       tujuan dan alasan pendirian Bank,
b.      sumber permodalan dan kepemilikan,
c.       pangsa utama penghimpunan dana,
d.      pangsa utama penyaluran dana, serta
e.       rencana struktur dan personil organisasi.
            Tidak jauh berbeda dengan kewajiban bagi calon pemilik BUS di atas, bagi calon pemilik BPRS juga harus memberikan presentasi atau penjelasan mengenai sumber dana, rencana dan tujuan pendirian serta kemampuan keuangan dalam rangka memelihara solvabilitas dan pertumbuhan BPRS.
            Persetujuan prinsip sebagai salah satu syarat pendirian BUS atau BPRS, berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip diterbitkan. parena Persetujuan prinsip sifatnya baru merupakan persetujuan untuk melakukan “persiapan” pendirian Bank, pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip belum diperkenankan (dilarang)  melakukan kegiatan usaha Bank, sebelum mendapat izin usaha. Apabila setelah jangka waktu 1 (satu) pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip  belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Bank Indonesia, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak berlaku.
2.        Izin Usaha
            Izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
            Untuk memperoleh izin usaha, Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
a.       Susunan organisasi dan kepengurusan;
b.      Permodalan;
c.       Kepemilikan;
d.      Keahlian di bidang perbankan syariah; dan
e.       Kelayakan usaha.
            Permohonan untuk mendapatkan izin usaha diajukan oleh pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. Permohonan sebagaimana dimaksud harus disertai dengan pelunasan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang dibuktikan dengan dokumen pendukung.  Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
            Bagi Bank Umum Syariah (BUS), persyaratan dokumen yang harus dipenuhi untuk memperoleh izin usaha adalah sebagai berikut :[4]
1.        Akta pendirian atau rancangan akta pendirian badan hokum Perseroan Terbatas (PT), termasuk anggaran dasar atau rancangan anggaran dasar yang paling kurang memuat:
a.    nama dan tempat kedudukan;
b.    kegiatan usaha sebagai Bank;
c.    modal;
d.   kepemilikan;
e.    ketentuan pengangkatan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan anggota DPS dengan memperoleh persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu;
f.     ketentuan mengenai jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta persyaratan lain yang menyangkut Dewan Komisaris, Direksi, dan DPS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
g.    ketentuan Rapat Umum Pemegang Saham Bank yang menetapkan tugas manajemen, remunerasi Dewan Komisaris dan Direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia; dan
h.    ketentuan Rapat Umum Pemegang Saham yang harus dipimpin oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama;
2.        Daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham;
3.        Daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan anggota DPS disertai dengan dokumen pelengkap;
4.        Rencana susunan dan struktur organisasi serta nama-nama calon pejabat sampai dengan tingkat Pejabat Eksekutif;
5.        Studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
6.        Rencana bisnis (business plan) yang paling kurang memuat:
a.    rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta strategi pencapaiannya; dan
b.    proyeksi neraca bulanan dan laporan laba rugi kumulatif bulanan, selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Bank beroperasi;
7.        Rencana korporasi (corporate plan) berupa rencana strategis jangka panjang dalam rangka mencapai tujuan Bank;
8.        Pedoman manajemen risiko termasuk pedoman risk control system, rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi yang digunakan, dan pedoman mengenai pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance);
9.        Sistem dan prosedur kerja yang lengkap dan komprehensif yang digunakan dalam kegiatan operasional Bank;
10.    Bukti setoran modal paling kurang 30 % (tiga puluh persen) dari modal disetor dalam bentuk fotokopi bilyet deposito ib dari Bank atau Unit Usaha Syariah di Indonesia yang telah dilegalisir, atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. Salah satu PSP“ atau “qq. Salah satu pemilik“ dalam hal PSP berhalangan. Bilyet deposito ib tersebut harus mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia. Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka ketentuan mengenai bukti setoran modal dan tata cara penyetoran modal dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan
11.    Surat pernyataan dari pemegang saham bahwa sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank:
a.    tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau
b.    tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
            Bagi Unit Usaha Syariah (UUS), persyaratan dokumen yang harus dipenuhi untuk memperoleh izin usaha  adalah sebagai berikut :[5]
a.       Rancangan perubahan anggaran dasar, yang paling kurang memuat kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.      Identitas dan dokumen pendukung calon Direktur UUS;
c.       Identitas calon Pejabat Eksekutif;
d.      Daftar calon anggota Dewan Pengawas Syariah;
e.       Surat pernyataan Direksi BUK mengenai alokasi dana dari BUK untuk modal kerja UUS;
f.       Studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
g.      Rencana bisnis (business plan) UUS untuk tahun pertama dan jangka menengah (tiga tahun);
h.      Bukti kesiapan operasional;
i.        Sistem dan prosedur kerja termasuk pedoman (manual) kegiatan operasional UUS yang lengkap;
j.        Rencana struktur organisasi dan nama-nama calon Pejabat Eksekutif; dan
k.      Surat pernyataan dari BUK mengenai kesanggupan untuk menanggulangi kesulitan likuiditas yang dialami oleh UUS.
l.        Neraca intern BUK posisi bulan terakhir sebelum permohonan izin usaha UUS yang ditandatangani oleh Direksi BUK dan diketahui oleh Dewan Komisaris.
            Permohonan untuk mendapatkan izin usaha BPRS juga diajukan oleh pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip disertai dengan dokumen pendukung, antara lain:
a.       akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT), yang memuat anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang;
b.      daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang BPRS, dalam hal terjadi perubahan pemegang saham;
c.       daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang BPRS, dalam hal terjadi perubahan calon anggota Dewan Komisaris, Direksi dan/atau DPS; dan
d.      bukti pemenuhan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang BPRS.[6]
            Khusus untuk permohonan izin usaha UUS, diajukan oleh BUK disertai dengan
antara lain:[7]
a.       rancangan perubahan anggaran dasar yang paling kurang memuat kegiatan usaha UUS;
b.      identitas dan dokumen pendukung Direktur yang akan bertanggung jawab penuh terhadap UUS, calon anggota DPS dan calon Pejabat Eksekutif;
c.       studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; dan
d.      rencana bisnis (business plan) UUS untuk tahun pertama dan jangka menengah.
            Bank Umum Konvensional (BUK) yang mengajukan permohonan izin usaha UUS sebagaimana dimaksud di atas juga harus memberikan penjelasan mengenai keseluruhan rencana pembukaan UUS.
            Pasal 11 PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah menyebutkan bahwa persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha BUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diberikan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan Bank Indonesia berdasarkan pada:
a.       penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b.      uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dan wawancara terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)[8] huruf c PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah  dalam hal terdapat penggantian.
            Bank yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha Bank paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha diterbitkan. Pelaksanaan kegiatan usaha tersebut wajib dilaporkan oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama (bagi BUS) atau Direksi (bagi BPRS) kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan usaha. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas Bank belum melakukan kegiatan usaha, maka izin yang telah diberikan menjadi tidak berlaku.[9] 
Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana telah dijelaskan di atas wajib mencantumkan dengan jelas kata “Syariah” pada penulisan nama banknya, baik  sesudah kata Bank atau setelah nama bank pada penulisan namanya. Yang diwajibkan mencantumkan kata “syariah” hanya Bank Syariah yang mendapatkan izin setelah berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah. Penulisan kata “syariah” ditempatkan setelah kata “bank” atau setelah nama  bank.
            Bagi Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS juga wajib mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah setelah nama BUK dan logo iB pada kantor UUS yang bersangkutan. Hal serupa berlaku bagi BPRS, dimana  wajib mencantumkan secara jelas frase “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” atau “BPR Syariah” atau “BPRS” pada penulisan namanya dan logo iB pada kantor BPRS yang bersangkutan.
Perlu ditegaskan bahwa Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dengan izin Bank Indonesia. Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum Konvensional. Demikian juga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat. Bagi Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib membuka UUS di kantor pusat bank dengan izin Bank Indonesia.
            Berhubungan dengan pembukaan Kantor Cabang Bank Syariah dan UUS, menurut Undang-Undang Perbankan Syariah, hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Demikian juga dengan pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS  hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
            Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “kantor di bawah Kantor Cabang” adalah kantor cabang pembantu atau kantor kas yang kegiatan usahanya membantu kantor induknya.
            Bebeda halnya dengan Bank Syariah dan UUS, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri.
            Ketentuan yang lebih rinci mengenai tata cara pendirian bank syariah dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yaitu SK Direksi BI No.32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum, SK Direksi BI No.32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, SK Direksi BI No.32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Kedua SK Direktur BI yang terakhir ini telah diganti dengan Peraturan Bank Indonesia PBI No.6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah jo PBI No.7/35/PBI/2005 tanggal 25 September 2005 tentang Perubahan atas PBI No.6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan terakhir dengan PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah. Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah saat ini diatur dalam PBI No.6/17/PBI/2004 yang sudah dirobah dengan PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang diundangkan di Jakarta tanggal 1 Juli 2009. Sedangkan untuk Unit Usaha Syariah (UUS) diatur dalam PBI No.11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah (UUS)  yang ditetapkan dan atau diundangkan di Jakarta pada 19 Maret 2009.
B.       Kepemilikan Bank Syariah   
            Menurut ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Perbankan Syariah atau Pasal 6 PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah, bahwa BUS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh :
a.       Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
b.      Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing[10] secara kemitraan; atau
c.       Pemerintah daerah.
            Masih merujuk pada ketentuan yang sama, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh :[11]
a.       Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia;
b.      Pemerintah daerah; atau
c.       Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
            Apabila salah satu pihak yang akan mendirikan Bank Umum Syariah adalah badan hukum asing, yang bersangkutan terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas perbankan negara asal. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan bahwa badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan.
            Kepemilikan Bank oleh badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Perbankan Syariah paling tinggi sebesar “modal sendiri bersih” (istilah yang dipakai dalam PBI No.11/3/PBI/2009 tentang BUS) atau “modal bersih” (istilah yang dipakai dalam PBI No.11/23/PBI/2009 tentang BPRS) badan hukum yang bersangkutan. Ketentuan ini baerlaku baik bagi BUS maupun BPRS.
            Penjelasan Pasal 14 PBI No.11/3/PBI/2009 tentang BUS menguraikan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan “modal sendiri bersih”, yaitu :
a.       penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah;
b.      penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Koperasi; atau
c.       perhitungan modal sendiri bersih atau yang dapat dipersamakan dengan itu sesuai jenis badan hukum yang bersangkutan, bagi badan hukum lainnya.
            Sedangkan Penjelasan Pasal 12 PBI No.11/23/PBI/2009 tentang BPRS juga memberikan uraian lebih tegas dengan versi berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan “modal bersih” adalah:
a.       penjumlahan dari modal disetor, cadangan umum, cadangan tujuan, laba tahun lalu dan laba tahun berjalan dikurangi penyertaan dan kerugian, untuk badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah;
b.      penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian, untuk badan hukum Koperasi; atau
c.       perhitungan modal bersih atau yang dapat dipersamakan dengan itu sesuai jenis badan hukum yang bersangkutan, untuk badan hukum lainnya.
            Secara umum ketentuan dalam penjelasan dua pasal di atas sebenarnya sama. Hal yang terlihat berbeda adalah penggunaan istilah “modal sendiri bersih” yang dipakai dalam ketentuan PBI No.11/3/PBI/2009 tentang BUS, yang mana dalam PBI No.11/23/PBI/2009 tentang BPRS  istilah tersebut lebih disederhanakan menjadi “modal bersih”. Kemudian, dalam PBI No.11/23/PBI/2009 tentang BPRS, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “cadangan” adalah meliputi cadangan umum dan cadangan tujuan. Demikian juga dengan “laba” adalah terdiri dari laba tahun lalu dan laba tahun berjalan. Uraian mengenai hal ini tidak ditemui dalam penjelasan Pasal 14 PBI No.11/3/PBI/2009 tentang BUS.
            Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank, baik BUS maupun BPRS dilarang berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain[12]; dan/atau berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
            Selain itu, pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik Bank juga wajib memenuhi persyaratan integritas, yang paling kurang mencakup :
a.       memiliki akhlak dan moral yang baik;
b.      memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku; dan
c.       memiliki komitmen yang tinggi[13] terhadap pengembangan Bank yang sehat dan tangguh (sustainable).
            Pihak-pihak yang dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank wajib memenuhi persyaratan integritas dan kelayakan keuangan. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut dengan PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang :[14]
a.       memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memiliki hak suara; atau
b.      memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memiliki hak suara tetapi yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung.
            Pengendalian merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk memengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk bank, dengan cara apa pun, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengendalian terhadap Bank Syariah dapat dilakukan dengan cara-cara, antara lain, sebagai berikut:
a.       memiliki secara sendiri-sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank;
b.      secara langsung menjalankan manajemen dan/atau memengaruhi kebijakan Bank Syariah;
c.       memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank;
d.      melakukan kerja sama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain sehingga secara bersama-sama memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah, baik langsung maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian tertulis;
e.       melakukan kerja sama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah;
f.       mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank;
g.      mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan/atau memberhentikan pengurus Bank Syariah;
h.      secara tidak langsung memengaruhi atau menjalankan manajemen dan/atau kebijakan Bank Syariah;
i.        melakukan pengendalian terhadap perusahaan induk atau perusahaan induk di bidang keuangan dari Bank Syariah; dan/atau
j.        melakukan pengendalian terhadap pihak yang melakukan pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i.

            Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.[15]Uji kemampuan dan kepatutan sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia untuk menilai kompetensi, integritas, dan kemampuan keuangan pemegang saham pengendali dan/atau pengurus bank. Mengingat tujuan uji kemampuan dan kepatutan adalah untuk memperoleh pemegang saham pengendali dan pengurus bank yang dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, penilaian dalam rangka uji kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia tidak perlu dipertanggungjawabkan.
            Pemegang saham pengendali yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan wajib menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi paling banyak 10% (sepuluh persen). Kewajiban menurunkan kepemilikan saham bagi Pemilik Bank yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan adalah dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dinyatakan tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan.
            Apabila pemegang saham pengendali tidak bersedia menurunkan kepemilikan sahamnya  maka:
a.       hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham;
b.      hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan sebagai penghitungan kuorum atau tidaknya Rapat Umum Pemegang Saham;
c.       deviden yang dapat dibayarkan kepada pemegang saham pengendali paling banyak 10% (sepuluh persen) dan sisanya dibayarkan setelah pemegang saham pengendali tersebut mengalihkan kepemilikannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
d.      nama pemegang saham pengendali yang bersangkutan diumumkan kepada publik melalui 2 (dua) media massa yang mempunyai peredaran luas.

            Perubahan pemilik Bank tunduk kepada tata cara perubahan pemilik Bank yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) bank dan/atau mengenai pembelian saham bank umum. Perubahan PSP sebagai akibat adanya pewarisan tidak diperlakukan sebagai pengambilalihan (akuisisi)[16] namun tetap wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.[17] Khusus untuk BPRS, perubahan kepemilikan BPRS yang tidak mengakibatkan perubahan dan/atau terjadinya PSP baru wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)  hari setelah perubahan.[18]
            Perubahan komposisi kepemilikan Bank yang tidak mengakibatkan perubahan pengendalian, baik yang mengakibatkan maupun tidak mengakibatkan penggantian, pengurangan, dan/atau penambahan pemilik wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah perubahan dilakukan disertai dengan dokumen pendukung.  
            BUS dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Siapa saja sesungguhnya boleh memiliki atau membeli saham BUS secara langsung atau melalui bursa efek, baik yang berstatus warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia, atau pun badan hukum asing. Maksimum kepemilikan oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing paling banyak sebesar 99% (sembilan puluh sembilan persen) dari modal disetor Bank.[19]Namun pemerintah belum mebuka kemungkinan bagi warga negara asing dan/atau badan hukum asing, baik untuk mendirikan, memiliki maupun membeli saham BPRS, sesuai sifatnya sebagai bank pembiayaan yang khusus diperuntukkan bagi rakyat Indonesia kecuali undang-undang mengatur sebaliknya.
C.      Modal dan Perubahan Modal Bank Syariah
            Modal merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan dan kemajuan bank sekaligus berfungsi sebagai penjaga kepercayaan masyarakat. Menurut Zainul Arifin, modal bank mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu :
1)      Sebagai penyangga untuk menyerap kerugian operasional dan kerugian lainnya. Dalam fungsi ini modal memberikan perlindungan terhadap kegagalan atau kerugian bank dan perlindungan terhadap kepentingan para deposan.
2)      Sebagai dasar bagi penetapan batas maksimum pemberian kredit. Hal ini merupakan pertimbangan operasional bagi bank sentral sebagai regulator, untuk membatasi jumlah pemberian kredit kepada setiap individu nasabah bank. Melalui pembatasan ini bank sentral memaksa bank untuk melakukan diversifikasi kredit mereka agar dapat melindungi diri terhadap kegagalan kredit dari satu individu debitur.
3)      Modal juga menjadi dasar perhitungan bagi para partisipan pasar untuk mengevaluasi tingkat kemampuan bank secara relatif dalam menghasilkan keuntungan. Tingkat keuntungan bagi para investor diperkirakan dengan membandingkan keuntungan bersih dengan ekuitas.
            Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Perbankan Syariah, besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
            Saat ini, peraturan yang mengatur mengenai besarnya modal disetor bagi bank syariah bisa dipedomani Peraturan Bank Indonesia No.11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah dan Peraturan Bank Indonesia No. 11/10/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
            Bank sebagai sebuah Perseroan Terbatas (PT) tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. UU PT 2007, Pasal 32 ayat (1) mengatur bahwa Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp 50 juta (lima puluh juta rupiah). Tetapi mengenai jumlah ini ternyata bukan ketentuan yang kaku, karena Undang-Undang yang mengatur “kegiatan usaha tertentu” dapat menentukan jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (1). Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha tertentu” tersebut, antara lain usaha perbankan, asuransi, atau freight forwarding.[20]
            Masih menurut UU PT, ada 3 (tiga) jenis modal yang dikenal dalam pendirian PT, yaitu modal dasar, modal ditempatkan dan modal disetor. Menurut Pasal 33 UU PT,  dikatakan bahwa paling sedikit 25% dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) harus ditempatkan (issued capital) dan seluruhnya (100 % dari modal ditempatkan tersebut) harus disetorkan ke dalam kas Perseroan sebagai paid capital.[21]
Perbankan (Perbankan Syariah) sebagai jenis “kegiatan usaha tertentu” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 32 ayat (2) UU PT di atas, telah mengatur ketentuan permodalan yang lebih besar seperti yang tertuang dalam Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia No.11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah yang menentukan modal disetor untuk mendirikan Bank Umum Syariah ditetapkan paling kurang sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). Yang dimaksud dengan “modal disetor” disini adalah setoran yang dilakukan dalam bentuk setoran tunai dalam kas Perseroan yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah. Namun demikian, khusus bagi Unit Usaha Syariah (UUS) yang melakukan spin off dan beralih menjadi Bank Umum Syariah (BUS), persyaratan modal disetor minimum 1 triliun rupiah tersebut diturunkan menjadi 500 juta rupiah. Berikut bunyi Pasal 45 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia No.11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah (UUS), sebagai berikut :
“Modal disetor pendirian BUS hasil Pemisahan ditetapkan paling kurang sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus milyar rupiah)”.
            Namun demikian, dalam ayat berikutnya yakni ayat (4) ditentukan bahwa modal disetor BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditingkatkan secara bertahap menjadi paling kurang sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) paling lambat 10 (sepuluh) tahun setelah izin usaha BUS diberikan.
            Khusus bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), ketentuan permodalan minimum diatur dalam tiga segmen sesuai tempat atau wilayah beroperasinya BPRS tersebut yang selanjutnya dipertegas dalam Peraturan Bank Indonesia No.11/23/PBI/2009, Pasal 5 menentukan modal disetor BPRS sebesar :
a.       Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi;
b.      Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah ibukota propinsi di luar wilayah tersebut pada huruf a di atas;
a.       Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan di luar wilayah tersebut pada huruf a dan huruf b di atas.




                [1] Dosen Fakultas Hukum USU Medan
                [2] Pasal 5 PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah, berbunyi : “modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan paling kurang sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
[3] Lihat Pasal 7 PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah
                [4] Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/9/DPbS tentang Bank Umum Syariah tanggal 7 April 2009

                [5] Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/28/DPbS tanggal 5 Oktober 2009 tentang Unit Usaha Syariah
                [6] Pasal 5 PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang BPRS menyebutkan bahwa modal disetor BPRS paling kurang sebesar:
1)    Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi;
2)    Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah ibukota propinsi di luar wilayah tersebut pada poin 1 di atas;
3)    Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan di luar wilayah tersebut pada poin 1 dan poin 2 di atas.
                [7] Pasal 5 PBI No.11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah (UUS)
                [8] Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip … diberikan Bank Indonesia berdasarkan pada:
a.     penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b.     analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar Bank dan Unit Usaha Syariah, tingkat kejenuhan jumlah Bank dan Unit Usaha Syariah serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan
c.     uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi, serta wawancara terhadap calon anggota DPS.
                [9] Periksa Pasal 12 PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah, atau Pasal 10 PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang BPRS, atau Pasal 6 PBI No.11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah (UUS)

                [10] Dalam hal salah satu pihak yang akan mendirikan Bank Umum Syariah adalah badan hukum asing, yang bersangkutan terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas perbankan negara asal. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan bahwa badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan.
                [11] Lihat juga Pasal 6 PBI No.11/23/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
                [12] Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau lembaga yang bertugas untuk melakukan penyelamatan Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
                [13] Yang dimaksud dengan “memiliki komitmen yang tinggi” antara lain kesediaan untuk membantu mengembangkan Bank agar menjadi sehat, tangguh dan berkembang (sustainable).
                [14] Periksa Pasal 1 butir (7) PBI No.11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah atau Pasal 1 butir (10) PBI No.11/10/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
                [15] Periksa Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, tentang Perbankan Syariah
                [16] Yang dimaksud dengan “tidak diperlakukan sebagai pengambilalihan (akuisisi)” adalah penggantian PSP yang tidak melalui persyaratan dan tata cara pengambilalihan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
                [17] Periksa Pasal 18 PBI No.11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah atau Pasal 15 ayat (1) dan (2) PBI No. 11/10/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
                [18] Periksa Pasal 15 ayat (3) PBI No. 11/10/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

                [19] Pasal 6 ayat (2) PBI No.11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah
                [20] Mulhadi, Hukum Perusahaan (Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia), (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hal. 96
                [21] Ibid.,hal. 97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih