Selasa, 29 September 2009

Kedudukan Anak Perempuan dan Janda Pasca Putusnya Perkawinan pada Masyarakat Asli Mentawai

KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DAN JANDA PASCA PUTUSNYA PERKAWINAN 
PADA MASYARAKAT ASLI MENTAWAI


Mulhadi[1]
ABSTRAK
Kedudukan anak perempuan dan janda pada masyarakat asli Mentawai sangat lemah berkaitan dengan harta warisan. Anak perempuan, walaupun memiliki hak mewaris dari orangtuanya, tetapi senantiasa diperlakukan tidak adil dalam hal pembagian harta warisan. Dengan kata lain, anak perempuan hanya diberi hak dalam jumlah yang sangat sedikit dan bahkan dengan bentuk barang/harta yang tidak bernilai. Sedangkan seorang janda dalam hukum adat waris Mentawai tidak dipandang sebagai ahli waris dari suaminya. Walaupun sang janda memiliki hak untuk menikmati, tetapi hal itu bersifat sangat terbatas sepanjang dia masih bersedia tinggal dalam lingkungan kerabat suaminya.


1. Pendahuluan
              Lazimnya, perkawinan bisa putus karena “kematian” dan “perceraian”; dalam bahasa Mentawai yang pertama disebut “kalalango; kamateijat” dan yang kedua disebut “pagagalag atau pasara”. Berbeda dengan putusnya perkawinan karena perceraian, putusnya perkawinan karena kematian tidak disebabkan oleh perilaku salah satu pihak selama berumah tangga melainkan karena kejadian diluar kuasa manusia atau tindakan Tuhan (kalulu Taikamanua), baik karena sakit, kecelakaan, terbunuh atau dibunuh, maupun karena bencana alam.
              Walaupun peristiwa kematian (kalalango; kamateijat) dan perceraian (pagagalag; pasara) sebagai penyebab putusnya  perkawinan, namun peristiwa-peristiwa tersebut tidak menyebabkan putusnya hubungan kekerabatan yang telah terjalin  (hubungan affina) diantara mereka, apalagi jika pasangan tersebut sudah memiliki anak- keturunan.
              Seorang istri (janda) yang kehilangan suami akibat kematian, tetap memiliki hak tinggal di lingkungan kerabat suaminya, demikian juga hak menikmati semua harta peninggalan suaminya. Istri dengan status janda tersebut berhak menggunakan harta peninggalan suami untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Posisi janda itu akan lebih kuat bila dia bersedia dipersunting oleh salah seorang anggota kerabat suaminya, baik kakak ataupun adik almarhum suami, termasuk dalam hal ini saudara sepupu dekat suaminya. Perkawinan janda yang kedua kali dengan salah seorang anggota kerabat almarhum suaminya akan menjadi sarana untuk mempertahankan kelestarian hubungan kesanak-saudaraan antara dua kerabat atau uma[2] berbeda. Perkawinan kedua ini dalam ilmu antropologi disebut perkawinan leviraat. Menurut Bambang Rudito, perkawinan ganti suami (leviraat) dan ganti istri  (sororat) di Mentawai disebut silittubu mukebbukat.[3] Dalam istilah yang lebih khusus, silittubu mukebbukat terdiri dari masialak babaliu (leviraat) dan masialak sasaulu (sororat). Namun demikian perkawinan jenis ini prakteknya sudah jarang ditemukan.
              Dalam peristiwa perkawinan leviraat tidak diwajibkan lagi melakukan pembayaran ala toga (jujuran), karena ala toga sudah pernah dibayar oleh almarhum suaminya dahulu. Namun, akan berbeda masalahnya jika janda tersebut menikah lagi dengan pria lain di luar kerabat suaminya. Akibatnya si janda harus meninggalkan kediaman dan semua harta peninggalan suaminya, kecuali beberapa bagian yang menjadi haknya, baik berupa harta bawaan maupun harta pribadi, seperti  pakaian, pereman (tempat tidur), pariok (periuk), telle (lading), opa (keranjang rotan), panu (penangkap ikan), dan lain-lain yang menjadi perlengkapan hidupnya sehari-hari. Sedangkan harta peninggalan suaminya dalam wujud mone (ladang), polak (tanah), lalep (rumah) dan benda-benda lain yang berharga untuk sementara berada dalam penguasaan kerabat suaminya yang nanti akan diwariskan atau diserahkan penguasaannya kepada anak-anaknya ketika mereka sudah beranjak dewasa atau menikah.
2. Faktor penyebab putusnya perkawinan
              Menurut Ter Haar, pada umumnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang sekali dilangsungkan dapat bertahan buat selama-lamanya. Tetapi dapat timbul keadaan-keadaan dimana kepentingan kerabat dan masyarakat menghendaki putusnya perkawinan. Disamping itu, juga ada hal-hal yang bersifat perseorangan oleh masyarakat dianggap sebagai alasan-alasan untuk bercerai. Menurutnya, perceraian bisa terjadi karena sebab-sebab: 1) istri mandul, cacat badan; 2) zinah yang dilakukan si istri; 3) atas permufakatan dan kemauan kedua belah pihak; 4) salah satu pihak melakukan kesalahan (schuldvraag), misalnya suami atau istri melanggar salah satu larangan-larangan adat, suami bepergian sekian lama atau istri pergi kerumah orangtuanya dan ia tidak kembali lagi pada suaminya; dan 5) demi kepentingan masyarakat, berdasarkan atas keadaan yang membahayakan dipandang dari sudut sihir (magie).[4]
              Ada beberapa sebab terjadinya perceraian dikalangan masyarakat asli Mentawai, antara lain:
  1. Katai arat, yakni salah satu pihak melakukan tindakan asusila seperti perzinahan atau perselingkuhan
  2. Pulalaje, yakni kondisi ekonomi yang tidak baik yang disebabkan suami tidak bertanggung jawab. Tidak bertanggung jawab disini bisa disebabkan suami yang pemalas (mabeili atau tak mamalak). Sebab kedua ini dahulu tidak ada.
c.    Mananakkou.  Salah satu pihak tidak jujur dan suka mencuri
  1. Tak mutoga. Salah satu pihak ditengarai tidak bisa memberikan keturunan karena mandul.
  2. Pagogolu. Adanya perselisihan (percekcokan) yang berkepanjangan yang sulit diatasi.
  3. Katutuitui. Istri pergi (minggat) tanpa izin suami
3. Akibat terhadap Harta Peninggalan
              Ada beberapa istilah yang sering dipakai untuk menyebut “harta” atau “kekayaan”, yaitu bibilet, gileijet, pukayoat atau tarimeu. Namun istilah “tarimeu” bagi orang Sipora dan Pagai sifatnya lebih khusus, yakni berupa harta kekayaan dalam bentuk binatang peliharaan (ternak). Dalam kebanyakan literatur hukum waris, sebagai konsekuensi dari kehidupan berumahtangga muncul istilah harta perkawinan atau harta pencarian bersama. Istilah-istilah itu secara khusus tidak dikenal oleh orang Mentawai kecuali istilah bibilet, gileijet, atau pukayoat.  Walaupun belum disepakati bersama, sebagian besar orang di Sipora ada yang menyebut harta pencarian bersama dengan istilah bibilet sigaba sikere, atau bibilet sigalai sikere.  
              Harta peninggalan sebagai obyek warisan dalam bahasa Mentawai disebut   dengan istilah rubeijat, yakni segala harta perkawinan dalam bentuk apapun yang ditinggalkan oleh pewaris untuk seterusnya dikuasai ahli waris, baik kerabat dekat maupun anak-anak pewaris. Disamping itu juga dikenal istilah pusako. Tetapi istilah pusako adalah istilah khusus untuk menyebut warisan dalam bentuk tanah atau ladang yang diperoleh dari pihak bapak secara turun temurun beberapa generasi (paling tidak tiga generasi). Namun tidak dibedakan antara pusako tinggi dengan pusako rendah sebagaimana dikenal dalam hukum waris adat Minangkabau. Dengan demikian, harta  peninggalan lain, seperti rumah, perkakas rumah tangga, dan benda-benda lain termasuk tanah atau ladang yang diperoleh langsung dari kedua orangtua disebut sebagai rubeijat  biasa, bukan pusako.
              Mengenai harta peninggalan, Soepomo mengemukakan: “dalam peristiwa-peristiwa pembagian harta peninggalan tidak diperiksa terlebih dahulu apa yang merupakan barang guna kaya (harta pencarian bersama) dan apa yang merupakan barang asal, tetapi seluruhnya dianggap sebagai kesatuan harta peninggalan”.[5] Masih menurut Soepomo, “segala harta keluarga, dengan tidak mengindahkan asalnya, baik barang asal suami, barang asal istri, maupun barang gono-gini, barang pencarian, akan dioper kepada anak-anak”.[6] Dari apa yang dikemukakan oleh Soepomo di atas, menunjukkan bahwa semua harta peninggalan, tanpa mengindahkan asalnya, akan jatuh kepada anak-anak pewaris, baik laki-laki maupun perempuan.
              Menurut aturan waris adat Mentawai pada masa Arat Sabulungan, yang memiliki hak mewaris hanyalah anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan hanya memiliki akses untuk menikmati saja. Demikian juga halnya dengan janda (istri) yang ditinggalkan, menurut hukum waris adat Mentawai, janda bukanlah ahli waris dari suaminya.
              Setelah Arat Sabulungan ditinggalkan, hukum waris adat mengalami perubahan, khususnya bagi orang Mentawai yang mendiami Pulau Sipora dan Pagai. Di dua Pulau ini berlaku ketentuan bahwa pewaris utama terhadap harta peninggalan adalah anak-anak kandung (bakkat toga), tidak dibedakan antara anak laki-laki maupun anak perempuan. Namun di Pulau Siberut, ketentuan waris Arat Sabulungan masih bertahan.
              Pada asasnya, warisan diberikan setelah pewaris meninggal dunia. Tetapi proses pengalihannya bisa dilakukan sejak orangtua masih hidup. Pemberian tersebut umumnya dilakukan terhadap anak-anak yang telah dewasa atau akan berumah tangga. Pemberian tersebut memiliki sifat sebagai suatu pewarisan. Bagi orang Mentawai, sebelum orangtua (pewaris) meninggal dunia, proses pengalihan harta peninggalan sudah dimulai dan harus diselesaikan sebelum pewaris meninggal dunia. Karena orang Mentawai menganut sistem kebapaan, maka proses pewarisan sudah diselesaikan sebelum bapak (ukkui; ama) meninggal dunia.


4. Kedudukan anak perempuan dan janda 
              Ketika terjadi kematian atau perceraian yang menyebabkan putusnya hubungan perkawinan, dikalangan masyarakat asli Mentawai berlaku ketentuan bahwa anak-anak tetap berada dibawah tanggung jawab ayah kandungnya atau semua orang yang menjadi anggota kerabat ayah kandungnya. Dengan kata lain, anak-anak berkedudukan dalam kekerabatan ayah kandungnya. Demikian juga halnya seorang janda yang ditinggal mati suaminya, tetap memiliki hak tinggal dalam kekerabatan suaminya selama ia tidak memutuskan untuk menikah lagi dengan pria lain di luar kerabat suaminya. Artinya, seorang janda yang ditinggal mati suaminya, tidak boleh dipaksa meninggalkan kerabat suaminya bila bukan atas kemauan sendiri.
              Seorang janda yang ditinggal mati suaminya memiliki kewenangan untuk menikmati ataupun mengelolah harta peninggalan suaminya untuk kepentingan dirinya dan anak-anaknya Janda dalam keadaan ini tidak dibenarkan meninggalkan tempat kediaman suami dan melepaskan tanggung jawabnya terhadap harta perkawinan walaupun ia tidak memiliki keturunan.[7] Kewenangan tersebut tidak terbatas pada harta bergerak saja, tetapi juga mencakup harta yang tidak bergerak, seperti tanah, ladang, maupun rumah. Namun demikian, ada etika yang harus dipatuhi oleh seorang janda, bahwa ia tidak boleh menempatkan harta-harta peninggalan tersebut dalam kekuasaannya, apalagi menjual atau mengalihkan harta tersebut kepada pihak lain.
              Pada masyarakat asli Mentawai, janda yang ditinggal mati suaminya, boleh memilih untuk tetap tinggal di lingkungan kerabat suaminya, tetapi kebanyakan mereka lebih merasa nyaman untuk tinggal/kembali pada kerabat asalnya. Jika janda tersebut masih memiliki orangtua, maka ia akan memilih tinggal di rumah orangtuanya. Tetapi jika orangtua sudah tidak ada, si janda biasanya akan bergabung dan tinggal dengan keluarga saudara laki-lakinya yang sudah menikah. Janda yang memutuskan kembali pada kerabat asalnya, baik disertai dengan anak-anak ataupun tidak, merupakan tanggung jawab saudara laki-lakinya. Banyak juga janda yang memilih tinggal sendiri di rumah yang khusus dibangunkan untuknya (lalep silumang), atau memutuskan tinggal di ladang yang jauh dari perkampungan atas permintaan sendiri. Kebanyakan janda-janda tua akan lebih senang tinggal di ladang menghabiskan waktu memelihara ternak babi milik keluarga atau milik anak-anaknya. Tragisnya, jika si janda memutuskan tinggal di ladang, maka besar kemungkinan ia akan menempati rumah sekaligus kandang babi yang disebut lalep sainak. Kebiasaan ini banyak dan masih ditemukan di daerah pedalaman pulau Siberut. Berbeda dengan kebiasaan yang ada di pulau Sipora maupun Pagai, janda-janda yang tinggal di kandang babi adalah janda-janda yang memang kebetulan sudah tidak memiliki saudara atau keturunan yang saat ini sudah sangat sulit ditemukan.
              Ada kecendrungan, bahwa janda-janda tua di Mentawai lebih senang hidup menyendiri, baik dirumah ataupun di ladang miliknya. Walau  janda tersebut memiliki anak-anak yang sudah menikah atau hidup berkecukupan, sang janda akan merasa dihormati bila ia diberi kebebasan memilih untuk tinggal sendiri di rumah atau di ladangnya. Biasanya janda (demikian juga duda tua), baru akan keluar dari pengasingannya pada saat-saat tertentu seperti punen,  atau pada saat ada penyelenggaraan lia kelompok di kampung.
              Seorang janda (teteu) di Mentawai, bukanlah ahli waris dari suaminya. Janda tidak memiliki hak mewaris terhadap harta peninggalan suaminya. Ketika terjadi kematian, seorang janda yang memutuskan kembali kepada kerabat asalnya hanya akan berhak atas benda-benda bergerak miliknya yang sama sekali tidak berharga, seperti tilagbung (kelambu), panairi (penangkap ikan), opa dan oorek (sejenis keranjang sandang dari rotan). Selebihnya, baik itu rumah, sampan, beling, kapak dan benda-benda berharga lainnya termasuk tanah dan ladang tetap berada dibawah penguasaan anggota kerabat suaminya. Tetapi banyak juga kasus dimana janda pergi tanpa membawa apa-apa. Semua harta peninggalan suaminya, bahkan harta pribadinya terpaksa ditinggalkan karena keserakahan kerabat suami.
              Hanya anak-anak kandung dari pewarislah yang mempunyai hak mewaris untuk mengambil alih harta peninggalan suaminya, tetapi hak itu baru ada bila anak laki-laki sudah dianggap dewasa atau sudah menikah, maka satu persatu harta tersebut dikembalikan kepadanya. Sedangkan bagi anak perempuan, justru setelah menikah itulah ia kehilangan akses terhadap harta peninggalan ayahnya. Selanjutnya dia akan hidup dibawah naungan dan nafkah dari suaminya.
              Banyak kasus dimana anak-anak pewaris hidup berkekurangan.Walaupun mereka punya warisan, warisan tersebut sudah dikuasai dan diambil alih oleh bajak (saudara pria ayah) mereka. Mereka hanya diberi sedikit saja dari sekian banyak warisan yang ditinggalkan oleh ayah mereka. Kondisi ini terutama terjadi bila anak-anak pewaris terdiri dari anak-anak perempuan saja.
              Menurut Ter Haar, janda dianggap sebagai orang asing yang tidak berhak atas warisan atau harta peninggalan suaminya, tetapi sebagai istri dia ikut memiliki harta benda yang diperoleh selama perkawinan dalam batas-batas yang telah ditetapkan, demikian pula dia memiliki hak atas nafkah dari harta peninggalan suaminya itu seumur hidup.[8] Tetapi Ter Haar tidak menjelaskan alasan-alasan nafkah seumur hidup itu. Menurut hukum adat Mentawai, pemberian nafkah itu akan berhenti dengan sendirinya bila janda itu memutuskan keluar dari lingkungan kerabat almarhum suaminya, baik karena menikah lagi dengan pria lain ataupun tidak. Kondisi janda tersebut akan lebih tragis bila dia tidak memiliki anak kandung hasil perkawinan dengan almarhum suaminya, sehingga tidak ada harapan untuk bisa tetap menikmati hasil dari harta peninggalan suaminya melalui anak laki-lakinya yang sudah dewasa (menikah).
              Masih menurut Ter Haar, seorang janda yang tidak memiliki keturunan dari suaminya yang meninggal, maka harta peninggalan dalam bentuk harta perkawinan bersama (gemene huwelijksboedel) seluruhnya jatuh kepada janda yang bersangkutan. Bila janda ini meninggal juga, maka harta peninggalan dibagi dua, separoh jatuh kepada sanak-saudaranya suami dan separoh kepada sanak-saudaranya istri atau dua pertiga kepada sanak-saudara suami dan satu pertiga kepada sanak saudaranya istri . Asas dalam pembagian harta warisan di atas oleh Ter Haar di sebut sebagai asas sepikul segendong.[9]
              Menurut Penulis, apa yang dikemukakan oleh Ter Haar mengenai asas “sepikul segendong[10] itu tidak berlaku dalam hukum adat waris Mentawai, khususnya bagi masyarakat asli Mentawai yang berdiam di Pulau Siberut. Pemikiran Ter Haar itu lebih banyak didasarkan pada kasus dimana pasangan tersebut berasal dan atau menganut sistem bilateral atau yang menundukkan diri pada hukum waris Islam.
              Hukum waris adat Mentawai menentukan bahwa anak-anak kandung (khususnya laki-laki) adalah sebagai pewaris utama atas harta peninggalan orangtuanya. Jika anak-keturunan tidak ada, maka harta peninggalan jatuh ke tangan anggota kerabat suami, terutama saudara laki-laki dari suami yang meninggal. Apabila saudara laki-laki tidak ada, harta-harta tersebut jatuh ke tangan saudara perempuan dari pewaris. Apabila saudara baik laki-laki ataupun perempuan tidak ada, maka hak waris jatuh ke tangan orangtua. Seterusnya sampai kepada paman, bibi dan keturunannya (sepupu) dari pewaris dalam garis ayah.
              Pada kondisi anak-anak masih di bawah umur, bila janda memutuskan menikah lagi dengan pria lain di luar kerabat suami asalnya, maka kewenangan mengelolah harta peninggalan beralih kepada  anak-anak kandungnya. Tetapi bila anak-anak itu masih dibawah umur, pengelolaan itu untuk sementara berada dibawah kendali saudara laki-laki kandung dari ayah mereka. Dalam hal anak-anak itu memilih mengikuti ibunya (karena masih dibawah umur), maka keputusan anak-anak itu tidak menyebabkan hubungan dan hak mereka  putus atau hilang begitu saja. 
              Pada dasarnya, aturan adat Mentawai tidak pernah membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam prateknya, ada kesenjangan perlakuan yang cukup besar dalam hal warisan. Anak laki-laki, karena fungsi dan tanggung jawabnya  lebih besar, kepadanya diberi akses lebih dominan dalam mendapatkan harta warisan orangtuanya. Hal ini juga dikarenakan adanya pendapat bahwa anak perempuan suatu saat nanti akan menikah dan menjadi anggota kerabat suaminya, sehingga menjadi tanggung jawab suaminyalah untuk menghidupi dan memfasilitasi istri dan anak keturunannya. Disamping itu, laki-laki memiliki tanggungan untuk menghidupi (menafkahi) istri dan anak-anaknya. Sedangkan anak perempuan hartanya hanya untuk dinikmati sendiri. Maka wajar bila bagian laki-laki lebih besar daripada bagian perempuan. Apabila anak perempuan diberi akses yang sama, dikhawatirkan harta-harta tersebut akan bercampur dengan harta suami atau kerabat suaminya. Dengan kata lain, hanya akan menambah volume kekayaan  suami atau kerabatnya. Walaupun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar, tetapi pendapat itu sudah menjadi pendapat umum dikalangan masyarakat asli Mentawai.
              Setelah orang Mentawai meninggalkan Arat Sabulungan hingga saat ini, tetap saja masih ada pendapat atau tanggapan sebagian masyarakat yang mengecilkan kedudukan anak perempuan dan janda dalam hal akses terhadap harta peninggalan (warisan). Pendapat-pendapat tersebut bisa dilihat dalam matrik berikut ini:


No.
Pertanyaan
Pendapat/tanggapan




1.


Apakah menurut bapak, anak perempuan dan janda memiliki hak terhadap harta peninggalan?




1.    Anak perempuan dan janda sama sekali tidak berhak atas harta peninggalan
2.    Mereka (anak perempuan dan janda) hanya boleh menikmati hasil saja, khususnya tanaman tua.
3.    Anak perempuan dan janda punya hak tetapi porsinya sangat kecil, tergantung keputusan anak laki-laki.
4.    Anak perempuan dan janda hanya boleh mendapatkan sejumlah harta yang sama sekali tidak berharga, seperti tanaman keladi, dan ladang pisang.


2.


Kenapa mereka dibedakan dengan anak laki-laki?


1.    Sudah merupakan ketentuan adat sejak dahulu.
2.    Karena peran dan tanggung jawab laki-laki lebih besar, sehingga ia berhak mendominasi dan menguasai harta peninggalan.
3.    Karna janda kemungkinan akan menikah lagi.
4.    Bila sudah tua, janda akan dinafkahi oleh anak-anaknya
5.    Anak perempuan suatu saat juga akan menikah, dan tanggung jawab menafkahi ada pada suaminya.
6.    Bila kepada anak perempuan diberikan bagian seperti anak laki-laki, dikhwatirkan akan mengurangi kekayaan kerabat asal dan akan menambah kekayaan suami dan kerabatnya


             
              Pada matrik di atas, bisa diketahui kedudukan anak perempuan, walaupun secara prinsip tidak dibedakan dan punya hak mewaris seperti anak laki-laki, tetapi pada kenyataannya anak perempuan mendapat perlakuan yang berbeda dalam hal warisan. Hal itu disebabkan karena anak perempuan yang sudah menikah akan mengikuti suaminya. Tetapi anggapan seperti itu saat ini sudah mulai menipis, tidak ada lagi perbedaan yang mencolok antara anak-laki dan perempuan, bahkan seorang menantu pun juga sudah dianggap anak sendiri sehingga tidak menjadi hal yang merugikan bila kepadanya diberikan bagian harta, seperti ladang untuk dimanfaatkan guna menyokong ekonomi keluarga intinya, apalagi jika kondisi ekonominya memang memprihatinkan. 
              Masih mengacu pada matrik di atas, janda bukanlah ahli waris dari suaminya. Ketika suami meninggal, janda tetap bisa menikmati harta suaminya. Bila janda memiliki anak-anak yang sudah dewasa, maka ia bisa menompang sama anak-anaknya dan bisa tetap menikmati harta peninggalan suaminya. Tetapi jika pewaris tidak memiliki anak kandung maka harta warisan itu jatuh atau kembali ketangan kerabat almarhum suaminya. Kalaupun anak perempuan dan janda diberi bagian dari harta warisan, mereka dipastikan mendapat harta yang wujudnya tidak berharga, seperti ladang keladi dan ladang pisang (suksuk).
              Dengan kata lain, umumnya orang Mentawai berpendapat sama mengenai kedudukan anak perempuan dan janda sebagai pihak yang tertindas dan memiliki akses yang terbatas terhadap harta warisan. Walaupun demikian, terlontar keinginan dikalangan generasi muda Mentawai berpendidikan agar anak perempuan dan janda ditempatkan secara adil sebagai ahli waris dari orangtua dan atau suaminya.
              Bagaimana dengan kedudukan anak angkat (toga siurau), anak tiri (toga sialih) maupun anak tidak sah (toga sitakkou)? Aturan hukum waris adat Mentawai asli menempatkan mereka sebagai orang-orang yang tidak memiliki hak untuk mendapatkan warisan. Namun demikian, perkembangan di masyarakat saat ini menunjukkan adanya perubahan pola perilaku dalam hal waris-mewaris. Kenyataan menunjukkan bahwa anak angkat, anak tiri maupun anak tidak sah (anak haram) juga mendapat bagian dari orangtua angkat, tiri atau bapak biologisnya. Tetapi menurut sebagian masyarakat bagian-bagian harta yang diperoleh baik oleh anak angkat, anak tiri maupun anak tidak sah tersebut  bukanlah warisan (rubeijat), melainkan hanyalah pemberian biasa. Sedangkan sebagian anggota masyarakat lain tetap menyebutnya sebagai warisan (rubeijat). Menurut penulis, kedua pendapat masyarakat di atas ada benarnya, dengan cara menelusuri kondisi pewaris. Bila pewaris memiliki anak kandung, maka pemberian bagian harta kepada anak angkat, anak tiri dan anak tidak sah dipandang sebagai pemberian biasa. Sebaliknya, bila pewaris yang meninggal dunia itu tidak memiliki anak kandung, dan hanya memiliki anak angkat, anak tiri atau anak haram, maka pemberian tersebut bisa dipandang sebagai warisan (rubeijat).
     Namun demikian, terdapat beberapa kriteria atau sebab seorang anak angkat, anak tiri maupun anak tidak sah berpeluang mendapatkan bagian harta dari pewaris, diantaranya:
  1. Pewaris tidak memiliki keturunan, ia sudah menganggap anak angkat, dan anak tiri sebagai anak sendiri.
  2. Pewaris walaupun memiliki anak kandung, pernah berwasiat (ngunguat; pasegekat) kepada anak-anaknya untuk menyerahkan sebagian harta tertentu kepada anak angkat atau anak tirinya, karena sudah dianggap sebagai anak atau anggota keluarga.
  3. Pewaris memiliki kedekatan emosional khusus dengan anak angkat, anak tiri ataupun anak tidak sahnya, seperti memiliki tabiat yang baik (matopit), patuh pada orangtua yang membesarkannya (iagai mueppu),bertanggung jawab merawat ketika sakit, dan bertanggung jawab terhadap adik-adiknya. Sehingga atas dasar tersebut dan atas persetujuan anak-anak kandung, memberikan sebagian dari harta rubeijat kepada anak-anak yang dimaksud di atas.
  4. Sebagai wujud rasa kasih sayang (nuttu baga), atau karena faktor belas kasihan mengingat kondisi ekonomi yang kurang baik dari anak angkat, anak tiri ataupun anak tidak sah yang sudah diakuinya.  
              Di desa Matotonan, walaupun anak angkat tidak selalu mendapatkan harta pemberian dari orangtua angkatnya, tetapi ada kebiasaan bagi masyarakat di sana   memberikan bantuan kepada anak angkatnya yang mau menikah berupa pembayaran ala toga (jujuran) atau setidak-tidaknya meringankan beban ala toga-nya. Bantuan orangtua angkat ini disebut bibibli atau pasibibli (bantuan). Dengan kata lain, pasibibli ini merupakan suatu bentuk bantuan yang biasa diterima oleh seorang anak angkat tetapi sepanjang orangtua angkat tersebut mampu, bersedia dan masih hidup. Jadi pasibibli bukan termasuk dalam kelompok warisan atau sebuah kewajiban.
              Mengenai anak tidak sah (toga sitakkou), yakni anak yang diperoleh dari hubungan gelap (zinah). Pada asasnya anak dengan status demikian tidak berhak menjadi ahli waris ayah biologisnya, melainkan hanya memiliki hubungan dan hak mewaris dari ibunya. Akan tetapi akan lain persoalannya jika anak itu diakui oleh ayah biologisnya sehingga atas kebijaksanaannya memberikan bagian (rubeijat) kepada toga sitakkou tersebut. Dalam beberapa kasus yang penulis amati, anak tidak sah tersebut memiliki hak yang sama dengan saudara-saudaranya yang lain (seayah), bahkan jika yang bersangkutan anak tertua (dituakan) dari saudara-saudaranya yang lain, bukan tidak mungkin ia menjadi pengendali dari seluruh harta peninggalan ayahnya.
              Sepanjang menyangkut harta pencarian tertentu, anak tidak sah mempunyai hak yang sama dengan saudara-saudaranya yang seayah. Lebih dari itu, anak tidak sah juga  bisa menuntut bagiannya atas harta tersebut, sehingga dengan demikian saudara-saudaranya yang seayah tidak punya wewenang menghalangi apalagi menghilangkan haknya. Tetapi harta tersebut sifatnya khusus yang terpisah dari harta perkawinan. Harta  hasil pencarian sendiri ini disebut pasikeleiat, yang disisihkan secara khusus untuk anak tidak sah. Dengan cara inilah orang Mentawai menghindari konflik antara anak sah dan tidak sah. Secara tersirat bisa dikatakan bahwa orang Mentawai hingga saat ini masih membedakan antara anak sah dan tidak sah berikut hak-hak yang mengikutinya.
               Anak hasil hubungan gelap tidak memiliki hak sama sekali terhadap harta pusako, melainkan hanya anak kandung saja. Ketentuan ini harus dipertahankan agar tidak mengaburkan status anak sah dan tidak sah, sehingga tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. 
     Pusako adalah harta benda yang sifatnya turun temurun minimal tiga keturunan. Pusako yang dikenal di Mentawai adalah berupa mone (ladang). Mone (ladang) adalah tanah dan tanaman yang ada diatasnya. Tanaman tersebut biasanya tanaman tua seperti buah-buahan (buat kaju), kelapa (toitet) atau sagu (sagaik). Tidak ada pusako yang hanya terdiri dari polak (tanah) saja. Pusako adalah mone muntogat yakni mone simigi (milik bersama seketurunan). Dengan demikian, mone dilihat dari asalnya bisa dibagi atas beberapa macam:
  1. mone muntogat, yakni mone (ladang) yang berasal dari peninggalan sibubua (kakek dan kakek lain diatasnya) yang sifatnya turun-temurun, inilah yang disebut pusako.
  2. mone sigalai, yakni mone (ladang) hasil pencarian bersama selama hidup berumah tangga.
  3. mone utag, yakni mone (ladang) yang berasal dari utag atau denda
  4. mone siadde, yakni mone (ladang) yang dulunya berasal dari pembayaran ala toga. Kecuali di Siberut, mone yang sejenis dengan ini sudah jarang dijumpai.
              Di Sipora, istilah untuk toga sitakkou ini disebut juga toga kabebe. Menurut beberapa pihak, pembagian warisan kepada anak-anak tersebut (siurau, sialih, maupun sitakkou) harus dilakukan secermat mungkin. Hak-hak mereka harus lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan anak-anak kandung, karena ada kecendrungan anak-anak tersebut baik siurau, sialih, maupun sitakkou memiliki sifat  maalau baga (rakus; tamak). Dalam prakteknya, mereka hanya diberi bagian jika memiliki tabiat baik (matopit) atau memiliki hubungan yang baik dengan orangtua dan saudara-saudara angkatnya (iagai mueppu; muukkui; atau musaraina).
              Seorang pria yang mengawini seorang janda beranak biasanya akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Sehingga harus ada komitmen awal antara suami itu dengan istrinya mengenai harta, agar terhindar dari masalah atau pertengkaran dengan anggota kerabat suami terutama menyangkut harta kerabat atau pusako. Karenanya ditegaskan dari awal bahwa anak-anak tiri (sialih) hanya boleh menikmati dan mengerjakan ladang-ladang yang diusahakan sendiri oleh ayah tirinya, tidak boleh memasuki atau menggarap ladang-ladang lain dalam bentuk pusako tanpa izin dari ayah tiri atau kerabat ayah tiri lainnya. 
Kesimpulan
1.  Ada beberapa sebab terjadinya perceraian dikalangan masyarakat asli Mentawai, antara lain:
a.    Katai arat, yakni salah satu pihak melakukan tindakan asusila seperti perzinahan atau perselingkuhan
b.    Pulalaje, yakni kondisi ekonomi yang tidak baik yang disebabkan suami tidak bertanggung jawab. Tidak bertanggung jawab disini bisa disebabkan suami yang pemalas (mabeili atau tak mamalak). Sebab kedua ini dahulu tidak ada.
c.    Mananakkou.  Salah satu pihak tidak jujur dan suka mencuri
d.    Tak mutoga. Salah satu pihak ditengarai tidak bisa memberikan keturunan karena mandul.
e.    Pagogolu. Adanya perselisihan (percekcokan) yang berkepanjangan yang sulit diatasi.
f.     Katutuitui. Istri pergi (minggat) tanpa izin suami
2.    Menurut aturan waris adat Mentawai pada masa Arat Sabulungan, yang memiliki hak mewaris hanyalah anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan hanya memiliki akses untuk menikmati saja. Demikian juga halnya dengan janda (istri) yang ditinggalkan, menurut hukum waris adat Mentawai, janda bukanlah ahli waris dari suaminya. Setelah Arat Sabulungan ditinggalkan, hukum waris adat mengalami perubahan, khususnya bagi orang Mentawai yang mendiami Pulau Sipora dan Pagai. Di dua Pulau ini berlaku ketentuan bahwa pewaris utama terhadap harta peninggalan adalah anak-anak kandung (bakkat toga), tidak dibedakan antara anak laki-laki maupun anak perempuan. Namun di Pulau Siberut, ketentuan waris Arat Sabulungan masih bertahan.
3.    Seorang janda (teteu) di Mentawai, bukanlah ahli waris dari suaminya. Janda tidak memiliki hak mewaris terhadap harta peninggalan suaminya. Ketika terjadi kematian, seorang janda yang memutuskan kembali kepada kerabat asalnya hanya akan berhak atas benda-benda bergerak miliknya yang sama sekali tidak berharga, seperti tilagbung (kelambu), panairi (penangkap ikan), opa dan oorek (sejenis keranjang sandang dari rotan). Selebihnya, baik itu rumah, sampan, beling, kapak dan benda-benda berharga lainnya termasuk tanah dan ladang tetap berada dibawah penguasaan anggota kerabat suaminya. Tetapi banyak juga kasus dimana janda pergi tanpa membawa apa-apa. Semua harta peninggalan suaminya, bahkan harta pribadinya terpaksa ditinggalkan karena keserakahan kerabat suami. Hanya anak-anak kandung dari pewarislah yang mempunyai hak mewaris untuk mengambil alih harta peninggalan suaminya, tetapi hak itu baru ada bila anak laki-laki sudah dianggap dewasa atau sudah menikah, maka satu persatu harta tersebut dikembalikan kepadanya. Sedangkan anak perempuan, kedudukannya juga sangat lemah, justru setelah menikah itulah ia akan kehilangan akses terhadap harta peninggalan ayahnya. Selanjutnya dia akan hidup dibawah naungan dan nafkah dari suaminya.
Daftar Pustaka:
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990)
Rudito, Bambang, Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai, (Padang: Laboratorium Antropologi `Mentawai` Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, 1999)
Schefold, R, “Kebudayaan Tradisional Siberut”, di dalam G.A Persoon and R.Schefold (eds.), Pulau Siberut: Pembangunan Sosio Ekonom, Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1985)
Soepomo, R., Hukum Perdata Adat Jawa Barat, (Jakarta: Djambatan, 1982)
__________, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983)
Ter Haar Bzn, B., Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Paradnya Paramita, 1994)
Wignjodipoero,R. Soerojo, Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat stelah Kemerdekaan, (Jakarta: PT.Gunung Agung, 1983)





[1]       Penulis adalah dosen  tetap pada Fakultas Hukum USU Medan-SUMUT. Artikel ini merupakan resume kecil hasil penelitian lapangan yang penulis lakukan pada bulan September - November 2005  di beberapa desa di  Kabupaten  Kepulauan Mentawai.
[2]       Uma adalah rumah besar sebagai tempat berdiam bersama bagi orang-orang yang terikat dalam satu hubungan kekerabatan patrilineal. Sebuah Uma didiami oleh beberapa keluarga inti, keluarga inti  merupakan kelompok kekerabatan orang Mentawai yang terkecil yang merupakan kesatuan yang disebut Lalep.  Uma tersebut saat ini hanya bisa dijumpai di beberapa daerah/desa di pedalaman pulau Siberut. Di dalam Uma rasa solidaritas kelompok tidak diragukan lagi. Periksa R.Schefold, “Kebudayaan Tradisional Siberut”, di dalam G.A Persoon and R.Schefold (eds.), Pulau Siberut: Pembangunan Sosio Ekonom, Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1985), hal. 19. Disamping itu Uma juga memiliki fungsi sebagai tempat penyelesaian segala konflik diantara anggota Uma. Bila terjadi konflik, seluruh anggota Uma datang bersama, termasuk wanita dan anak-anak guna membicarakan hal itu bersama-sama. Suatu penyelesaian dianggap telah ditemukan apabila semua pihak yakin akan adilnya hasil keputusan  itu, yakni mufakat. Hal ini disebabkan karena semua anggota Uma (dalam pengertian sempit) dan masyarakat (pengertian luas) memiliki kedudukan sederajat dan tidak mengenal adanya pembagian kasta serta tidak adanya kepemimpinan yang bersifat otoriter. Hubungan masyarakat lebih bersifat egaliter bahkan demokratis
[3]       Bambang Rudito, Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai, (Padang: Laboratorium Antropologi `Mentawai` Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, 1999), hal. 123
[4]       B.Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Paradnya Paramita, 1994), hal.183-184
[5]       R. Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, (Jakarta: Djambatan, 1982), hal.98
[6]       R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal.82
[7]       Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 188
[8]       B.Ter Haar Bzn, Op.Cit.,hal.217
[9]       Ibid., hal 218
[10]     Asas sepikul segendong memiliki arti bahwa istri hanya mendapatkan separoh abagian suaminya. Periksa R. Soerojo Wignjodipoero, Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat stelah Kemerdekaan, (Jakarta: PT.Gunung Agung, 1983), hal.116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih