Minggu, 29 November 2009

YAYASAN[1]


1.      Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Yayasan
            Pada masa pemerintahan Orde Baru banyak yayasan yang didirikan oleh lembaga-lembaga atau instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah termasuk BUMN dan BUMD, maupun swasta yang bergerak dalam banyak kegiatan, bahkan banyak yang cenderung komersial. Pembentukan yayasan yang dilakukan oleh pemerintah telah banyak membawa konsekuensi hukum. Sebagian keuangan negara telah "dipisahkan" dalam arti "di lepaskan penguasaannya" untuk mendirikan yayasan tersebut. Keuangan negara yang "dipisahkan" atau "dilepaskan penguasaannya" tersebut bukan lagi milik negara, karena itu negara tidak lagi memiliki kekuasaan secara nyata atas keuangan negara yang dipisahkan tersebut. Disamping itu, pendirian yayasan oleh lembaga-lembaga pemerintah termasuk BUMN dan BUMD pada umumnya juga memanfaatkan fasilitas lembaga pemerintah atau BUMN maupun BUMD yang bersangkutan, baik dalam bentuk sarana, prasarana, ataupun kewenangan-kewenangan publik yang melekat pada lembaga pemerintah atau BUMN maupun BUMD tersebut.[2]
            Kedudukan lembaga pemerintah atau BUMN maupun BUMD sebagai pendiri yayasan pada umumnya diwakili oleh pejabat pada lembaga atau BUMN dan BUMD yang bersangkutan baik secara ex offisio maupun secara pribadi, namun kewenangan-kewenangan publik yang melekat pada dirinya sering "dimanfaatkan" untuk memupuk keuntungan yayasan. Dengan demikian dalam kiprahnya yayasan tersebut tampak seperti kuasa lembaga pemerintah, BUMN atau BUMD. Demikian pula yayasan yang didirikan oleh swasta, ditengarai yayasan-yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan telah berubah arah dari tujuan sosial ke tujuan komersil, sehingga aparat pajak mulai mengincar yayasan pendidikan sebagai wajib pajak yang merupakan salah satu target pemasukan pendapatan negara.[3]
            Keinginan untuk segera memiliki UU Yayasan sebenarnya sudah lama, bahkan belakangan di era reformasi keinginan untuk segera memiliki UU Yayasan itu berbarengan dengan keinginan untuk menertibkan yayasan yang semula didirikan oleh pemerintah dan kemudian dipimpin oleh mantan tokoh-tokoh pemerintahan, seperti yayasan yang didirikan oleh mantan Presiden Suharto yang ditengarai sebagai sarang kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).[4]
            Pendirian Yayasan di Indonesia selama ini hanya berdasar atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung di balik status badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para Pendiri, Pengurus, dan Pengawas. Sejalan dengan kecenderungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiatan Yayasan yang tidak  sesuai dengan maksud dan tujuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar, sengketa antara Pengurus dengan Pendiri atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa Yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Masalah tersebut belum dapat diselesaikan secara hukum  karena belum ada hukum positif mengenai Yayasan sebagai landasan yuridis penyelesaiannya.[5]
            Bila diperhatikan konsideran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (selanjutnya disebut UU Yayasan) dijelaskan beberapa dasar pertimbangan yang menjadi latar belakang pentingnya pembentukan UU Yayasan, yaitu:
a.       Pendirian Yayasan di Indonesia selama ini masih dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Yayasan;
b.      Yayasan di Indonesia telah berkembang pesat dengan berbagai kegiatan, maksud, dan tujuan;
c.       Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat, 




2.      Pengertian
            Yayasan merupakan suatu badan yang melakukan berbagai kegiatan yang bersifat non komersial (nirlaba) yang bergerak di bidang sosial, keagamaan atau pendidikan, dan cendrung memiliki tujuan idiil. Dalam ketentuan umum UU Yayasan, Pasal 1 butir (1) dikatakan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
            Berdasarkan pengertian di atas, dapat diidentifikasi beberapa unsur penting dari Yayasan, yaitu :
a.       Yayasan adalah sebuah badan hukum;
b.      Yayasan didirikan atau dibentuk dari kekayaan yang dipisahkan, yakni dari kekayaan pendirinya;
c.       Yayasan memiliki tujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan; dan
d.      Yayasan tidak mempunyai anggota.
            Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Namun demikian, terdapat beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan oleh Yayasan, yaitu:
a.       Yayasan tidak boleh digunakan sebagai wadah usaha dan Yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana Yayasan menyertakan kekayaannya.[6]
b.      Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas.[7] 
c.       Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas, kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar Yayasan. Pengurus  yang (bila ditentukan dalam Anggaran Dasar) dibolehkan merima  gaji, upah, atau honorarium adalah Pengurus yang memiliki kriteria  tertentu yaitu Pengurus Yayasan bukan Pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas, serta melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.[8]
            Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan atau masih dalam rangka mencapai maksud dan tujuannya. Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.  Namun demikian, anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha, baik yang didirikan maupun yang dijadikan tempat penyertaan modal. Merupakan sebuah ketentuan yang tegas dan tidak boleh dilanggar adalah bahwa kegiatan usaha dari badan usaha didirikan ataupun yang dijadikan tempat penyertaan modal harus sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.[9]
3.      Pendirian Yayasan
            Pendirian Yayasan bisa dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal. Tidak berbeda dengan cara pendirian  badan hukum lain, seperti Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi, pendirian Yayasan harus dilakukan dengan akta notaris dan dalam bahasa Indonesia. Hal yang berbeda dengan badan hukum lain, Yayasan juga bisa didirikan berdasarkan surat wasiat.[10]
            Pembuatan akta pendirian Yayasan, dalam pelaksanaannya, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa. Dalam hal pendirian Yayasan dilakukan berdasarkan surat wasiat, penerima wasiat bertindak mewakili pemberi wasiat. Apabila surat wasiat itu tidak dilaksanakan, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, Pengadilan dapat memerintahkan ahli waris atau penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat tersebut.
            Pengakuan yayasan sebagai badan hukum yang berarti sebagai subyek hukum mandiri seperti halnya orang, secara teoritis selama ini hanya didasarkan pada beberapa syarat materil antara lain : karena adanya kekayaan terpisah, tidak membagi kekayaan atau penghasilannya kepada pendiri atau pengurusnya, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai organisasi yang teratur, dan didirikan dengan akta notaris. 
            Seiring dengan terbentuknya UU yayasan dan diakuinya Yayasan sebagai badan hukum,[11] maka eksistensi Yayasan semakin kuat dan ini merupakan syarat formil bagi sebuah badan  (entitas) untuk dikatakan sebagai badan hukum, disamping syarat formil lainnya yaitu pengakuan dari pemerintah melalui pengesahan dari Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia.  
            Menurut Pasal 11 UU Yayasan, Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan memperoleh pengesahan dari Menteri. Caranya adalah  pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan[12] kepada Menteri melalui Notaris yang membuat akta pendirian Yayasan tersebut. Sebagai penerima kuasa, Notaris wajib menyampaikan permohonan pengesahan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan ditandatangani. Menteri sebelum memberikan pengesahan atas akta pendirian Yayasan, dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap dan instansi terkait  dimaksud wajib menyampaikan jawaban dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima.           
            Permohonan pengesahan Yayasan sebagai badan hukum harus diajukan secara tertulis kepada Menteri. Pengesahan terhadap permohonan dimaksud diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. Dalam hal diperlukan pertimbangan dari instansi terkait,  pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban atas permintaan pertimbangan dari instansi terkait diterima. Namun, bila jawaban atas permintaan pertimbangan tidak diterima, pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan disampaikan kepada instansi terkait.[13]
            Permohonan pengesahan secara tertulis yang diajukan oleh Notaris berdasarkan surat kuasa yang diterimanya dari pendiri, dalam kenyataannya tidak selamanya diterima. Bila satu atau beberapa syarat formal yang ditentukan dalam UU Yayasan dan/atau peraturan pelaksanaannya tidak dipenuhi, maka kemungkinan Mentri akan menolak permohonan tersebut. Bila hal itu yang terjadi, Menteri wajib memberitahukan secara tertulis disertai dengan alasannya kepada pemohon mengenai penolakan pengesahan tersebut.
            Ada dua kelompok perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengurus Yayasan, yaitu perbuatan hukum sebelum Yayasan disahkan sebagai badan hukum, dan perbuatan hukum yang dilakukan Pengurus setelah Yayasan memperoleh status badan hukum. Kedua perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengurus Yayasan tersebut memiliki konsekuensi atau tanggung jawab hukum yang berbeda. Bila selama masa sebelum Yayasan disahkan sebagai badan hukum terdapat perbuatan-perbuatan hukum yang sudah terlanjur dilakukan oleh Pengurus atas nama Yayasan, maka perbuatan-perbuatan hukum itu menjadi tanggung jawab Pengurus secara tanggung renteng.[14] Ketentuan ini mirip dengan ketentuan Pasal 14  UU PT 2007 yang menentukan bahwa “perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut”.[15]
4.      Anggaran Dasar dan Perubahan Anggaran Dasar
a.      Anggaran Dasar
            Anggaran Dasar merupakan bagian dari Akta Pendirian Yayasan yang memuat aturan main dalam Yayasan, serta ketentuan-ketentuan penting lain berkenaan dengan Yayasan seperti maksud dan tujuan Yayasan, jumlah kekayaan awal yang dipisahkan, cara memperoleh dan menggunakan kekayaan Yayasan, hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan, dan lain sebagainya. 
            Undang-undang tidak menentukan satu definisi/pengertian mengenai Anggaran Dasar, baik dalam ketentuan umum maupun dalam pasal-pasal khusus yang mengatur Anggaran Dasar, demikian juga halnya dalam bagian penjelasan, tidak sedikit pun diulas mengenai apa yang dimaksud dengan Anggaran Dasar.
            Akta Pendirian Yayasan terdiri dari “Anggaran Dasar” dan “keterangan lain” yang dianggap perlu. Anggaran Dasar sebagai bagian tak terpisahkan dari Akta Pendirian Yayasan sekurang-kurangnya memuat :[16]
a)      Nama dan tempat kedudukan;
b)      Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut;
c)      Jangka waktu pendirian;
d)      Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda;
e)      Cara memperoleh dan penggunaan kekayaan;
f)       Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
g)      Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
h)      Tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan;
i)        Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
j)        Penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan
k)      Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan Yayasan setelah pembubaran.
Sedangkan “keterangan lain” sebagaimana dimaksud di atas memuat sekurang-kurangnya nama, alamat, pekerjaan, tempat dan tanggal lahir, serta kewarganegaraan Pendiri, Pembina, Pengurus, dan Pengawas.
            Pendirian sebuah Yayasan selalu ditandai dengan pemberian nama sebagai identitas yang mencerminkan maksud dan tujuan serta kegiatan Yayasan yang bersangkutan. Ketentuan pencantuman nama ini merupakan hal yang pertama diminta disebutkan dalam Anggaran Dasar Yayasan. Kata “Yayasan” hanya dapat dipakai  oleh Yayasan yang diakui sebagai badan hukum dan Yayasan tersebut didirikan sesuai dengan undang-undang. Nama Yayasan harus didahului dengan kata "Yayasan". Artinya kata “Yayasan” selalu harus dicantumkan di depan Nama Yayasan yang bersangkutan. Dalam hal kekayaan Yayasan berasal dari wakaf, kata "wakaf" dapat ditambahkan setelah kata "Yayasan". Kata “wakaf”  tidak dapat ditambahkan setelah kata “Yayasan” jika Yayasan bukan sebagai Nazhir. Namun demikian ada pembatasan dalam pemberian nama Yayasan yang baru didirikan, dimana pemakaian nama Yayasan akan ditolak jika sama dengan Nama Yayasan lain yang telah terdaftar lebih dahulu dalam Daftar Yayasan atau bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
            Menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan (selanjutnya disebut PP Yayasan), bahwa Nama Yayasan baru akan dicatat  dalam Daftar Yayasan apabila:
a.       Akta Pendirian Yayasan telah disahkan oleh Mentri;
b.      Anggaran Dasar Yayasan telah disesuaikan dengan Undang-Undang dan penyesuaian tersebut telah diberitahukan kepada Menteri; dan
c.       Akta perubahan Anggaran Dasar yang memuat perubahan Nama Yayasan telah disetujui oleh Menteri.


b.      Perubahan Anggaran Dasar
            Anggaran Dasar dapat diubah, kecuali mengenai maksud dan tujuan Yayasan. Perubahan Anggaran Dasar hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan rapat Pembina. Rapat Pembina  ini hanya dapat dilakukan, apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Pembina. Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud di atas dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.[17]  Keputusan rapat Pembina ditetapkan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Menurut Pasal 19 ayat (2) UU Yayasan, dalam hal keputusan rapat berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka keputusan rapat Pembina ditetapkan berdasarkan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari seluruh jumlah anggota Pembina yang hadir.
            Dalam hal korum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) tidak tercapai, rapat Pembina yang kedua dapat diselenggarakan paling cepat 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal rapat Pembina yang pertama diselenggarakan. Rapat Pembina yang kedua sah, apabila dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) dari seluruh anggota Pembina. Keputusan rapat Pembina yang kedua sah, apabila diambil berdasarkan persetujuan suara terbanyak dari jumlah anggota Pembina yang hadir.[18]
            Perubahan Anggaran Dasar yang meliputi nama dan kegiatan Yayasan harus mendapat persetujuan Menteri. Persetujuan dari Mentri diperlukan karena perubahan yang dilakukan adalah terkait dengan hal-hal yang substansial (urgen). Tetapi bila perubahan yang dilakukan itu hanya berkaitan dengan hal-hal yang tidak dianggap substansial dari Anggaran Dasar, maka prosedurnya cukup diberitahukan kepada Menteri.  Namun demikian ada hal yang perlu diperhatikan bahwa perubahan Anggaran Dasar tidak dapat dilakukan pada saat Yayasan dinyatakan dalam keadaan pailit, kecuali atas persetujuan kurator.  
5.      Pengumuman
            Sebagai bentuk perwujudan atas asas publisitas, sebuah badan seperti Yayasan yang sudah resmi memperoleh status badan hukum wajib melakukan pengumuman terhadap akta pendiriannya. Menurut Pasal 24 ayat (1) UU Yayasan, akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui atau telah diberitahukan wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
            Pengumuman dilakukan oleh Menteri dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan disahkan atau perubahan Anggaran Dasar disetujui atau diterima Menteri. Tata cara mengenai pengumuman dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengumuman sebagaimana dimaksud di atas, akan dikenakan biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah."
6.      Kekayaan
            Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang. Selain kekayaan dalam bentuk uang dan barang yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri tersebut, kekayaan Yayasan dapat diperoleh dari:
a.       Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat;
b.      Wakaf;
c.       Hibah;
d.      Hibah wasiat; dan
e.       Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Kekayaan Yayasan yang berasal dari sumber-sumber sebagaimana disebutkan di atas dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Khusus terhadap  kekayaan Yayasan yang bersumber dari wakaf, maka berlaku ketentuan hukum perwakafan.
            Menurut Pasal 6  PP Yayasan, jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri adalah paling sedikit “senilai” Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).[19] Sedangkan jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri adalah paling sedikit “senilai” Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
             Yang dimaksud dengan "senilai" dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) PP Yayasan di atas adalah apabila harta kekayaan yang dipisahkan tidak dalam bentuk uang rupiah, nilai harta kekayaan tersebut sama dengan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Sedangkan maksud "senilai" dalam ketentuan ayat (2) adalah apabila harta kekayaan yang dipisahkan tidak dalam bentuk uang rupiah, nilai harta kekayaan tersebut sama dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Berkaitan dengan Pemisahan harta kekayaan Yayasan sebagaimana dimaksud di atas, pendiri harus membuat surat pernyataan tentang keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan tersebut dan bukti yang merupakan bagian dari dokumen keuangan Yayasan.
            Disamping sumber-sumber kekayaan Yayasan sebagaimana disebutkan di atas, dalam hal-hal tertentu negara dapat memberikan bantuan kepada Yayasan. Bantuan negara untuk Yayasan dilakukan sesuai dengan jiwa ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 : “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Dalam konteks pasal ini kelihatan bahwa Yayasan memiliki ruang gerak hanya pada bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang obyeknya kemungkinan besar terkait dengan fakir miskin dan anak-anak terlantar. Bila berhubungan denga fakir miskin, maka negara punya tanggung jawab secara moril dan materil untuk menyelesaikannya, salah satunya dengan menyisihkan sebagian kekayaan negara (bantuan) untuk diserahkan pengelolaannya kepada pengurus Yayasan yang diperuntukkan bagi kemaslahatan masyarakat fakir miskin dan anak-anak terlantar.
            Bantuan negara menurut Pasal 20 ayat (1) PP Yayasan adalah bantuan dari negara kepada Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
            Bantuan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bantuan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
            Bantuan negara hanya dapat diberikan kepada Yayasan jika Yayasan memiliki program kerja dan melaksanakan kegiatan yang menunjang program Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah. Bantuan negara tersebut diberikan sesuai dengan alokasi dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dapat dalam bentuk uang dan/atau jasa dan/atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang yang dilakukan dengan cara hibah atau dengan cara lain.
Bantuan negara kepada Yayasan dapat diberikan tanpa adanya permohonan atau atas dasar permohonan dari Yayasan. Bantuan negara kepada Yayasan yang diberikan tanpa adanya permohonan dari Yayasan  dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[20]
Bantuan negara yang diberikan kepada Yayasan atas dasar permohonan, diajukan secara tertulis oleh Pengurus Yayasan kepada:
a.      Menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan kegiatan Yayasan; atau
b.     Gubernur, bupati, atau walikota di tempat kedudukan Yayasan dan/atau di tempat Yayasan melakukan kegiatannya.
            Permohonan sebagaimana dimaksud di atas dilampiri dokumen:
a.       Fotokopi Keputusan Menteri mengenai status badan hukum Yayasan;
c.       Fotokopi Keputusan Menteri mengenai persetujuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan, surat penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan, dan/atau surat penerimaan pemberitahuan perubahan data Yayasan, jika ada;
d.      Fotokopi Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat Anggaran Dasar Yayasan;
e.       Keterangan mengenai nama lengkap dan alamat Pengurus Yayasan;
f.       Fotokopi laporan keuangan Yayasan selama 2 (dua) tahun terakhir secara berturut-turut sesuai dengan Undang-Undang;
g.       Keterangan mengenai program kerja Yayasan yang sedang dan akan dilaksanakan; dan
h.      Pernyataan tertulis dari instansi teknis yang berwenang di bidang kegiatan Yayasan.
            Menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur, bupati, atau walikota perlu meneliti kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud di atas dan mencari fakta atau keterangan tentang keadaan Yayasan yang bersangkutan dari pihak lain yang dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Selain fakta atau keterangan tentang keadaan Yayasan yang bersangkutan dari pihak lain, masyarakat dapat pula menyampaikan data atau keterangan secara tertulis kepada menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur, bupati, atau walikota mengenai Yayasan yang akan menerima bantuan negara dengan cara mengemukakan fakta yang diketahuinya.
            Berkaitan dengan pemberian bantuan negara kepada Yayasan, terdapat batasan-batasan, dimana Menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah non-departemen, gubernur, bupati, atau walikota dilarang memberikan bantuan negara kepada Yayasan jika bantuan tersebut akan memberikan keuntungan kepada:[21]
a.       Perusahaan yang secara langsung atau tidak langsung dimiliki atau dikendalikan oleh Pembina, Pengurus, Pengawas, atau pelaksana harian Yayasan; atau
b.      Orang atau badan usaha mitra kerja Yayasan atau pihak lain yang menerima penyertaan dari Yayasan.
            Ada sebuah tugas baru bagi pengurus Yayasan pasca menerima bantuan Negara, yaitu kewajiban membuat dan menyampaikan laporan tahunan Yayasan setiap 1 (satu) tahun sekali kepada menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur, bupati, atau walikota yang memberikan bantuan tersebut. Laporan tahunan tersebut meliputi laporan kegiatan dan laporan keuangan.[22]
            Menurut Pasal 25  ayat (1) PP Yayasan, hal yang tidak boleh dilanggar dan menjadi perhatian bagi pengurus Yayasan adalah bahwa bantuan negara yang diberikan kepada Yayasan hanya dapat digunakan oleh Yayasan sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar dan sesuai dengan program kerja Yayasan. Penggunaan bantuan negara yang telah diterima oleh Yayasan tetapi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1) menjadi tanggung jawab anggota Pengurus Yayasan secara tanggung renteng.
            Hal penting lainnya adalah bantuan negara yang diterima oleh Yayasan dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas, atau pihak lain. Tanggung jawab perdata sebagaimana dimaksud di atas  tidak menghapus tanggung jawab pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
            Pengelolaan kekayaan dan pelaksanaan kegiatan Yayasan dilakukan sepenuhnya oleh Pengurus. Oleh karena itu, Pengurus wajib membuat laporan tahunan yang disampaikan kepada Pembina mengenai keadaan keuangan dan perkembangan kegiatan Yayasan. Selanjutnya, terhadap Yayasan yang kekayaannya berasal dari negara, bantuan luar negeri atau pihak lain, atau memiliki kekayaan dalam jumlah yang ditentukan dalam undang-undang ini, kekayaannya wajib diaudit oleh akuntan publik dan laporan tahunannya wajib diumumkan dalam surat kabar berbahasa Indonesia. Ketentuan ini dalam rangka penerapan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas pada masyarakat.[23]
7.      Organ Yayasan
            Sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Pemisahan yang tegas antara fungsi, wewenang, dan tugas masing-masing organ tersebut serta pengaturan mengenai hubungan antara ketiga organ Yayasan dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan konflik intern Yayasan yang tidak hanya dapat merugikan kepentingan Yayasan melainkan juga pihak lain.[24]
a.      Pembina
            Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang-undang ini atau Anggaran Dasar. Pembina Yayasan memiliki kewenangan sebagai berikut:
a)      Keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
b)      Pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas;
c)      Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
d)      Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan
penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.

            Seseorang yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina Yayasan adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Ketentuan ini dimaksudkan bahwa Pendiri Yayasan tidak dengan sendirinya harus menjadi Pembina.
            Anggota Pembina dapat dicalonkan oleh Pengurus atau Pengawas.  Apabila oleh sebab apapun Yayasan tidak lagi mempunyai Pembina, paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal kekosongan, anggota Pengurus dan anggota Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat Pembina dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan. Keputusan rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) dan ayat (4) sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai korum kehadiran dan korum keputusan untuk perubahan Anggaran Dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar.
            Anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota Pengawas. Pembina mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun. Dalam rapat tahunan, Pembina melakukan evaluasi tentang kekayaan, hak dan kewajiban Yayasan tahun yang lampau sebagai dasar pertimbangan bagi perkiraan mengenai perkembangan Yayasan untuk tahun yang akan datang.
b.      Pengurus
            Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Orang  yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum, dan pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas.[25]
            Pengurus Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali. Pengurus Yayasan dapat diangkat kembali setelah masa jabatan pertama berakhir untuk masa jabatan 5 (lima) tahun yang ditentukan dalam Anggaran Dasar. Adapun susunan Pengurus sekurang-kurangnya terdiri atas:
a)      Seorang ketua;
b)      Seorang sekretaris; dan
c)      Seorang bendahara.[26]
            Apabila Pengurus selama menjalankan tugas melakukan tindakan yang oleh Pembina dinilai merugikan Yayasan, maka berdasarkan keputusan rapat Pembina, Pengurus tersebut dapat diberhentikan sebelum masa kepengurusannya berakhir. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengurus diatur dalam Anggaran Dasar."
            Menurut Pasal 33 (lama) UU Yayasan, dalam hal terdapat penggantian Pengurus Yayasan, Pembina wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri dan kepada instansi terkait. Pemberitahuan tersebut wajib disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penggantian Pengurus Yayasan. Ketentuan Pasal 33 (lama) ini berbeda dengan ketentuan Ketentuan Pasal 33 (baru) hasil perubahan, dimana dikatakan bahwa dalam hal terjadi penggantian Pengurus, Pengurus yang menggantikan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri.
            Dalam Pasal 33 (lama) Pembina-lah yang wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Mentri perihal penggantian Pengurus Yayasan, sedangkan dalam ketentuan Pasal 33 (baru), Pengurus baru itu sendiri yang diwajibkan menyampaikan pemberitahuan kepada Mentri.
            Pengurus Yayasan sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan rapat Pembina. Dalam hal pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengurus dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian tersebut dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pembatalan diajukan."[27]
            Ada beberapa tanggung jawab yang diemban oleh Pengurus Yayasan, yaitu:[28]
a.       Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan; 
b.      Setiap Pengurus Yayasan bertanggung jawab menjalankan tugas dengan itikad baik untuk kepentingan dan tujuan Yayasan.
c.       Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi (sendiri-sendiri) apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.
d.      Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap Anggota Pengurus secara tanggung renteng (solider) bertanggung jawab atas kerugian tersebut.[29]
            Masih berkaitan dengan tanggung jawab dalam poin (d), apabila anggota Pengurus Yayasan dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, maka yang bersangkutan tidak perlu bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian yang diderita oleh Yayasan sebagaimana dimaksud dalam poin (d) di atas.
            Ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh anggota Pengurus yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengurusan Yayasan yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, atau negara berdasarkan putusan pengadilan, yaitu bahwa yang bersangkutan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengurus Yayasan manapun.
            UU Yayasan juga menentukan beberapa wewenang yang dimiliki oleh Pengurus Yayasan, yaitu sebagai berikut:
a.       Pengurus berwenang mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
b.      Pengurus berwenang mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian pelaksana kegiatan Yayasan diatur dalam Anggaran Dasar Yayasan.
            Disampimg hal-hal yang dibolehkan/diperkenankan dilakukan oleh anggota Pengurus Yayasan sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam hal-hal tertentu juga   Pengurus bisa kehilangan kewenangan dan atau tidak berwenang, yaitu apabila:
a.       Terjadi perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota Pengurus yang bersangkutan. Dalam situasi seperti ini, yang berhak mewakili Yayasan ditetapkan dalam Anggaran Dasar;[30] 
b.      Anggota Pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Yayasan.[31]
c.       Pengurus  tidak berwenang mengikat Yayasan sebagai penjamin utang;
d.      Pengurus  tidak berwenang mengalihkan kekayaan Yayasan (kecuali dengan persetujuan Pembina);
e.       Pengurus tidak berwenang membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain.[32]
f.       Pengurus Yayasan dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan, Pembina, Pengurus, dan/atau Pengawas Yayasan, atau seseorang yang bekerja pada Yayasan, kecuali perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan Yayasan[33]
            Selain ketentuan-ketentuan yang membatasi kewenangan Pengurus sebagaimana disebutkan di atas (UU Yayasan), Anggaran Dasar juga dapat membatasi kewenangan Pengurus dalam melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan. 
c.       Pengawas
            Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Pengawas yang wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar. Yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum dan  tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus.[34]
            Pengawas Yayasan diangkat dan sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan rapat Pembina. Dalam hal pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengawas dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian atau penggantian tersebut.[35]
            Pengawas dapat memberhentikan sementara anggota Pengurus dengan menyebutkan alasannya. Pemberhentian sementara  anggota Pengurus tersebut, paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pemberhentian sementara, wajib dilaporkan secara tertulis kepada Pembina. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal laporan diterima, Pembina wajib memanggil anggota Pengurus yang bersangkutan untuk diberi kesempatan membela diri.[36] Selanjutnya, menurut Pasal 43 ayat (4) UU Yayasan, dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pembelaan diri selesai dilakukan, Pembina wajib (a) mencabut keputusan pemberhentian sementara; atau (b) memberhentikan anggota Pengurus yang bersangkutan. Apabila Pembina tidak melaksanakan ketentuan pemanggilan kepada anggota Pengurus untuk diberi kesempatan membela diri dan tidak melaksanakan ketentuan Pasal 43 ayat (4), maka pemberhentian sementara tersebut batal demi hukum.
            Masa jabataan seorang Pengawas Yayasan dibatasi hanya dua periode untuk jangka waktu masing-masing lima tahun. Hal ini bisa diketahui dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU Yayasan yang menyatakan:
(1)   Pengawas Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.
(2)   Pengawas Yayasan dapat diangkat kembali setelah masa jabatan pertama berakhir untuk masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan dalam Anggaran Dasar.
            Ada kemungkinan, dalam masa jabatannya seorang Pengawas Yayasan di berhentikan sewaktu-waktu, baik karena melakukan pelanggaran terhadap wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, ataupun karena melanggar ketentuan lain dalam undang-undang Yayasan (misalnya Pengawas melakukan perbuatan yang dilarang dilakukan olehnya yang menyebabkan kedudukannya sebagai anggota Pengawas dapat diakhiri atau diberhentikan sewaktu-waktu).  Namun demikian, apabila penggantian anggota Pengawas benar-benar terjadi, maka merupakan kewajiban bagi Pengurus untuk menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri tentang adanya pergantian tersebut.  Pemberitahuan tersebut wajib disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penggantian Pengawas Yayasan.[37]
            Seorang anggota Pengawas Yayasan dapat diberhentikan sewaktu-waktu melaui keputusan rapat Pembina Yayasan. Terhadap pemberhentian tersebut, undang-undang memberikan hak kepada anggota Pengawas Yayasan lama (yang berkepentingan) yang diberhentikan sewaktu-waktu untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan, dan meminta Pengadilan untuk membatalkan pemberhentian tersebut. Bahkan terhadap hal lain seperti penggantian anggota Pengawas atau pengangkatan Pengawas baru yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar, maka pihak yang berkepentingan (yang dirugikan) dapat diberi kesempatan atau hak untuk mengajukan  permohonan kepada Pengadilan. Namun bila pemberhentian, penggantian dan pengangkatan tersebut dianggap merugikan negara (kepentingan umum), atas permintaan Kejaksaan (yang mewakili kepentingan umum), Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengawas tersebut.[38]
            Bila diperhatikan lebih seksama, akan ditemukan keagajilan dalam ketentuan Pasal 46 (baru) UU Yayasan yang berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 46 (lama). Menurut Pasal 46  (baru) ayat (1), hanya pemberhentian saja yang bisa dilakukan melalui keputusan rapat Pembina. Sedangkan mengenai pengangkatan dan penggantian tidak menjadi wewenang keputusan rapat Pembina. Sedangkan menurut versi Pasal 46 (lama), tidak dibedakan antara pemberhentian, penggantian atau pengangkatan, dan semuanya menjadi wewenang keputusan rapat Pembinan. Berikut bunyi lengkap dari Pasal 46 (lama) dan Pasal 46 (baru) UU Yayasan:
Pasal 46 (lama):
“Dalam hal pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengawas dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengawas tersebut”.
Pasal 46 (baru):
(1)   Pengawas Yayasan sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan rapat Pembina.
(2)   Dalam hal pengangkatan, pemberhentian dan penggantian Pengawas dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pengawas tersebut dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pembatalan diajukan."
            Para anggota Pengawas Yayasan mempunyai tanggung jawab secara tanggung renteng apabila kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian para anggota Pengawas dalam melakukan tugas pengawasan dan tentu saja hal ini diberlakukan bila kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut. Namun demikian, anggota Pengawas Yayasan yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, maka yang bersangkutan tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.[39]
            Sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik, maka setiap anggota Pengawas yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengawasan Yayasan yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, dan/atau negara, maka berdasarkan putusan Pengadilan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengawas Yayasan manapun. Ini merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh yang bersangkutan jika bersalah atau lalai melakukan tugas pengawasan dan membawa kerugian, tidak hanya pada Yayasan tetapi kerugian tersebut sudah merembet pada kepentingan masyarakat dan/atau negara.


8.      Laporan Tahunan
            Berkaitan dengan laporan tahunan, ada beberapa kewajiban yang harus dilaksankan oleh Pengurus Yayasan, yaitu:
a)      Membuat dan menyimpan catatan atau tulisan yang berisi keterangan mengenai hak dan kewajiban serta hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha Yayasan.
b)      Membuat dan menyimpan dokumen keuangan Yayasan berupa bukti pembukuan dan data pendukung administrasi keuangan.
c)      Menyusun laporan tahunan secara tertulis. Kewajiban ini dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) bulan terhitung sejak tanggal tahun buku Yayasan ditutup. Laporan tahunan tersebut  memuat sekurang-kurangnya:
-       Laporan keadaan dan kegiatan Yayasan selama tahun buku yang lalu serta hasil yang telah dicapai;
-       Laporan keuangan yang terdiri atas laporan posisi keuangan pada akhir periode, laporan aktivitas, laporan arus kas, dan catatan laporan keuangan.
-       Segala transaksi dengan pihak lain yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi Yayasan.
            Laporan tahunan yang sudah dibuat tersebut selanjutnya akan ditandatangani oleh Pengurus dan Pengawas sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar. Bila terdapat anggota Pengurus atau Pengawas yang tidak ikut menandatangani laporan tahunan tersebut, maka yang bersangkutan harus menyebutkan alasannya secara tertulis. Pada tahap terakhir, laporan  tahunan itu kemudian akan disahkan oleh rapat Pembina Yayasan.[40]
            Namun, adakalanya dokumen laporan tahunan yang dibuat oleh Pengurus Yayasan ternyata tidak benar dan menyesatkan, maka terhadap hal ini Pengurus dan Pengawas  secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak ketiga yang dirugikan.[41]
            Kemudian ikhtisar laporan keuangan (yang merupakan bagian dari ikhtisar laporan tahunan) yang sudah benar dan tidak menyesatkan, serta sudah ditandatangani oleh Pengurus dan Pengawas Yayasan tersebut di atas diumumkan pada papan pengumuman di kantor Yayasan. Pengumumannya wajib dilakukan  dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia bagi Yayasan yang:
a)      Memperoleh bantuan negara, bantuan luar negeri, dan/atau pihak lain sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun buku ; atau
b)      Mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih.
Saat ini, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku, Yayasan wajib diaudit oleh Akuntan Publik. Hasil audit terhadap laporan tahunan Yayasan tersebut kemudian disampaikan kepada Pembina Yayasan yang bersangkutan dan tembusannya kepada Menteri dan instansi terkait, dan yang bentuknya disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
9.      Pemeriksaan   Yayasan
            Yayasan merupakan institusi badan hukum yang dalam aktivitasnya banyak berkenaan dengan kepentingan umum. Setiap orang atau pihak ketiga yang berkepentingan atau merasa dirugikan oleh Yayasan, berhak mengajukan permohonan secara tertulis disertai alasan kepada Pengadilan-meminta Pengadilan melalui penetapannya agar dilakukan pemeriksaan terhadap Yayasan.
            Menurut Pasal 53 ayat (1) UU Yayasan, setidaknya terdapat 4 (empat) alasan sehingga pemeriksaan terhadap Yayasan bisa dilakukan, yaitu apabila terdapat dugaan bahwa organ Yayasan:
a.       melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar;
b.      lalai dalam melaksanakan tugasnya;
c.       melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan atau pihak ketiga; atau
d.      melakukan perbuatan yang merugikan Negara.
            Disamping orang pribadi atau pihak ketiga yang berkepentingan yang merasa dirugikan atas pendirian ataupun aktivitas Yayasan, Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum juga bisa mengajukan permintaan agar pemeriksaan terhadap Yayasan dilakukan tetapi tetap berdasarkan penetapan Pengadilan.
            Pengadilan wajib memeriksa permohonan atau permintaan tersebut secara cermat dan teliti agar tidak menimbulkan masalah atau kerugian di pihak Yayasan. Oleh karena itu, ada kemungkinan Pengadilan menolak ataupun sebaliknya mengabulkan permohonan dan atau permintaan itu untuk memeriksa Yayasan.[42]Apabila Pengadilan mengabulkan permohonan pemeriksaan terhadap Yayasan, Pengadilan mengeluarkan penetapan bagi pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli sebagai pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan. Namun demikian, ahli pemeriksa yang dimasudkan tersebut tidak boleh berasal dari Pembina, Pengurus, dan Pengawas serta pelaksana kegiatan atau pun karyawan Yayasan.[43]
            Untuk kepentingan pemeriksaan, Pemeriksa berwenang memeriksa semua dokumen dan kekayaan Yayasan. Kewenangan Pemeriksa ini tidak boleh dihalang-halangi, baik oleh Pembina, Pengurus, Pengawas, dan pelaksana kegiatan serta karyawan Yayasan. Tetapi sebaliknya mereka (Pembina, Pengurus, Pengawas, dan pelaksana kegiatan serta karyawan Yayasan) wajib memberikan keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan.[44]
            Ada satu hal yang tidak boleh dilakukan oleh Pemeriksa berkenaan dengan tugasnya yaitu dilarang mengumumkan atau memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada pihak lain karena hal tersebut bukan  kewenangannya dan merupakan hal yang rahasia.
            Setelah tugas pemeriksaan selesai dilakukan, Pemeriksa wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan kepada Ketua Pengadilan di tempat kedudukan Yayasan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan selesai dilakukan. Kemudian, Ketua Pengadilan memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan tersebut kepada pemohon atau Kejaksaan dan Yayasan yang bersangkutan.
10.  Penggabungan


            Meminjam definisi Penggabungan menurut versi UU PT 2007 tentang Perseoan Terbatas, Pasal 1 butir (9) menyatakan bahwa Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Yayasan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Yayasan lain yang telah ada yang mengakibatkan hak dan kewajiban atau aktiva dan passiva dari Yayasan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Yayasan yang menerima Penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Yayasan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. 
            UU Yayasan, Pasal 57 ayat (1), secara ringkas dan sederhana menyebutkan bahwa Penggabungan Yayasan adalah Perbuatan hukum yang dapat dilakukan dengan menggabungkan satu atau lebih Yayasan dengan Yayasan lain, dan mengakibatkan Yayasan yang menggabungkan diri menjadi bubar.
            Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan juga memberikan definisi yang mirip sekali dengan rumusan yang ditetapkan dalam UU PT 2007. Ketentuan mengenai hal itu dapat dilihat dalam bagian Ketentuan Umum Pasal 1 butir (2) PP Yayasan yang menyatakan bahwa Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Yayasan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Yayasan lain yang mengakibatkan beralihnya karena hukum semua aktiva dan pasiva dari Yayasan yang menggabungkan diri kepada Yayasan yang menerima Penggabungan dan Yayasan yang menggabungkan diri bubar karena hukum tanpa diperlukan likuidasi.
            Ada beberapa unsur yang terkandung dalam rumusan pengertian Penggabungan Yayasan di atas:
1)      Penggabungan dilakukan oleh satu Yayasan atau lebih dengan Yayasan lain yang sudah ada;
2)      Penggabungan menyebabkan beralihnya hak dan kewajiban atau semua aktiva dan passiva secara hukum dari Yayasan yang menggabungkan diri menjadi hak dan kewajiban atau aktiva dan passiva Yayasan yang menerima Penggabungan;
3)      Penggabungan menyebabkan Yayasan yang menggabungkan diri berakhir (bubar) tanpa diperlukan likuidasi.
            Penggabungan Yayasan tidak bisa dilakukan semena-mena, melainkan harus memenuhi ketentuan yang berlaku bagi Yayasan. Undang-undang menetapkan bahwa Penggabungan Yayasan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:[45]
a.          Ketidakmampuan Yayasan melaksanakan kegiatan usaha tanpa dukungan Yayasan lain;
b.         Yayasan yang menerima penggabungan dan yang bergabung kegiatannya sejenis; atau
c.          Yayasan yang menggabungkan diri tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Anggaran Dasarnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.
              Penggabungan Yayasan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan rapat Pembina yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota Pembina dan disetujui paling sedikit oleh 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota Pembina yang hadir.
            Pengurus dari masing-masing Yayasan yang akan menggabungkan diri dan yang akan menerima penggabungan menyusun usul rencana penggabungan. Penggabungan Yayasan dilakukan dengan cara penyusunan usul rencana Penggabungan oleh Pengurus masing-masing Yayasan. Usul Penggabungan Yayasan dapat disampaikan oleh Pengurus Yayasan kepada Pembina Yayasan masing-masing. Usul rencana Penggabungan  tersebut memuat sekurang-kurangnya:[46]
a.          Keterangan mengenai Nama Yayasan dan tempat kedudukan Yayasan yang akan melakukan Penggabungan;
b.         Penjelasan dari masing-masing Yayasan mengenai alasan dilakukannya Penggabungan;
c.          Ikhtisar laporan keuangan Yayasan yang akan melakukan Penggabungan;
d.         Keterangan mengenai kegiatan utama Yayasan dan perubahan selama tahun buku yang sedang berjalan;
e.          Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan;
f.          Cara penyelesaian status pelaksana harian, pelaksana kegiatan, dan karyawan Yayasan yang akan menggabungkan diri;
g.          Perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
h.         Keterangan mengenai nama anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; dan
i.           Rancangan perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang menerima Penggabungan, jika ada.    
            Usul rencana penggabungan sebagaimana dimaksud di atas merupakan bahan penyusunan rancangan akta Penggabungan oleh Pengurus Yayasan yang akan melakukan Penggabungan. Kemudian dituangkan dalam rancangan akta penggabungan oleh Pengurus dari Yayasan yang akan menggabungkan diri dan yang akan menerima penggabungan. Rancangan akta penggabungan harus mendapat persetujuan dari Pembina masing-masing Yayasan. Kemudian, Rancangan akta penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dituangkan dalam akta penggabungan yang dibuat di hadapan Notaris dalam bahasa Indonesia."[47]
            Apabila Penggabungan Yayasan tidak diikuti dengan perubahan Anggaran Dasar maka Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan wajib menyampaikan akta Penggabungan kepada Menteri. Penggabungan mulai berlaku terhitung sejak tanggal penandatanganan akta Penggabungan atau tanggal yang ditentukan dalam akta Penggabungan.[48]Sebaliknya, apabila Penggabungan Yayasan diikuti dengan perubahan Anggaran Dasar, akta perubahan Anggaran Dasar disusun oleh Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan dan harus mendapat persetujuan dari Pembina yang menerima Penggabungan.[49]
            Penggabungan Yayasan diikuti dengan perubahan Anggaran Dasar yang tidak memerlukan persetujuan Menteri, Pengurus Yayasan wajib memberitahukan perubahan Anggaran Dasar kepada Menteri dengan dilampiri salinan akta perubahan Anggaran Dasar dan salinan akta Penggabungan. Perubahan Anggaran Dasar Yayasan demikian mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar diterima Menteri atau tanggal kemudian yang ditetapkan dalam akta Penggabungan.
            Dalam hal Penggabungan Yayasan disertai perubahan Anggaran Dasar yang mencakup ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Yayasan, Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan wajib menyampaikan akta perubahan Anggaran Dasar kepada Menteri untuk mendapat persetujuan, dengan dilampiri salinan akta perubahan Anggaran Dasar dan salinan akta Penggabungan. Penggabungan Yayasan seperti ini mulai berlaku sejak tanggal perubahan Anggaran Dasar disetujui oleh Menteri atau tanggal kemudian yang ditetapkan dalam persetujuan Menteri. Selanjutnya, Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan wajib mengumumkan hasil Penggabungan Yayasan dalam 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia, paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Penggabungan berlaku.[50]
11.  Pembubaran
            KUHPerdata, Pasal 1663 menentukan bahwa badan hukum lain (badan hukum yang diadakan dan diperkenankan oleh kekuasaan umum) tetap berdiri sampai pada saat dibubarkannya secara tegas menurut akta pendirian, reglemen atau perjanjiannya, atau sampai pada saat berhentinya pengejaran tujuan badan hukum itu.
            Berdasarkan ketentuan KUHPerdata di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah badan hukum seperti Yayasan (badan hukum yang diperkenankan oleh kekuasaan umum) dapat bubar apabila dipenuhi syarat-syarat:
a.       Jangka waktu pendirian sebagaimana ditetapkan dalam Akta Pendirian, reglemen, atau perjanjian berakhir; atau
b.      Tujuan yang ditetapkan dalam Akta Pendirian sudah tercapai.
            Syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHPerdata tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang di atur dalam UU Yayasan, karena UU Yayasan pada hakekatnya juga mendasarkan diri pada ketentuan Pasal 1663 KUHPerdata sebagai ketentuan umum pembubaran badan hukum.
            Menurut Pasal 62 UU Yayasan menyebutkan bahwa pembubaran Yayasan bisa dilakukan apabila dipenuhi salah satu syarat berikut ini :
a)      Jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir;
b)      Tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai;
c)      Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan yakni Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan; tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut.
            Apabila Yayasan bubar karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 di atas, Pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan. Demikian juga apabila Yayasan bubar karena putusan Pengadilan, maka Pengadilan juga menunjuk likuidator. Tetapi jika tidak ditunjuk likuidator, maka Pengurus ditetapkan dan bertindak selaku likuidator. Sedangkan pembubaran Yayasan karena pailit, berlaku peraturan perundang-undangan di bidang Kepailitan
            Ada sebuah ketentuan yang berlaku terhadap Yayasan yang sudah bubar, yaitu bahwa Yayasan yang bersangkutan tidak dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana biasa, kecuali untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi.
            Likuidator atau kurator yang ditunjuk untuk melakukan pemberesan kekayaan Yayasan yang bubar atau dibubarkan, paling lambat 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal penunjukan wajib mengumumkan pembubaran Yayasan dan proses likuidasinya dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia.[51]Likuidator atau kurator dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal proses likuidasi berakhir, wajib mengumumkan hasil likuidasi dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia.[52] Selanjutnya, likuidator atau kurator dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal proses likuidasi berakhir wajib melaporkan pembubaran Yayasan kepada Pembina.  Jika laporan mengenai pembubaran Yayasan dan pengumuman hasil likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 tidak dilakukan, bubarnya Yayasan tidak berlaku bagi pihak ketiga.[53]
            Seandainya setelah proses likuidasi masih terdapat sisa kekayaan Yayasan, maka berlaku ketentuan bahwa kekayaan sisa hasil likuidasi tersebut harus diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan Yayasan yang bubar. Kekayaan sisa hasil likuidasi juga dapat diserahkan kepada badan hukum lain yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan Yayasan yang bubar, apabila hal tersebut diatur dalam Undang-undang mengenai badan hukum tersebut. Bila kekayaan sisa hasil likuidasi tersebut tidak diserahkan kepada Yayasan lain atau kepada badan hukum lain sebagaimana ditentukan di atas, kekayaan tersebut diserahkan kepada negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan kegiatan Yayasan yang bubar.[54]
12.  Yayasan Asing
            Saat ini sebagai konsekuensi adanya hubungan tanpa batas antar negara dan adanya keterkaitan dan saling ketergantungan antara satu Yayasan dengan Yayasan lain, memungkinkan Yayasan asing yang tidak berbadan hukum Indonesia dapat melakukan kegiatannya di wilayah Negara Republik Indonesia, dengan catatan bahwa jika kegiatan Yayasan asing tersebut tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia.
            Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia dapat mendirikan Yayasan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Yayasan dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 serta ketentuan peraturan perundang-undangan lain.
            Ada dua jenis atau penggolongan Yayasan yang bisa didirikan oleh orang asing di Indonesia, berikut dengan persyaratannya, yaitu :[55]
(1)       Yayasan yang didirikan oleh orang perseorangan asing harus memenuhi persyaratan dokumen sebagai berikut:
a.      identitas pendiri yang dibuktikan dengan paspor yang sah;
b.     pemisahan sebagian harta kekayaan pribadi pendiri yang dijadikan kekayaan awal Yayasan paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang dibuktikan dengan surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan tersebut; dan
c.      surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan Yayasan yang didirikan tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
(2)       Yayasan yang didirikan oleh badan hukum asing harus memenuhi persyaratan dokumen sebagai berikut:
a.      identitas badan hukum asing pendiri Yayasan yang dibuktikan dengan keabsahan badan hukum pendiri Yayasan tersebut;
b.     pemisahan sebagian harta kekayaan pendiri yang dijadikan kekayaan awal Yayasan paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang dibuktikan dengan surat pernyataan pengurus badan hukum pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan tersebut; dan
c.      surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang bersangkutan bahwa kegiatan Yayasan yang didirikan tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.


            Disamping persyaratan pendirian sebagaimana disebutkan di atas, berlaku juga ketentuan lain sebagaimana di atur dalam Pasal 12 dan 13 PP Yayasan, sebagai berikut: 
(1)         Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, salah satu anggota Pengurus yang menjabat sebagai ketua, sekretaris, atau bendahara wajib dijabat oleh warga negara Indonesia.
(2)         Anggota Pengurus Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia wajib bertempat tinggal di Indonesia.
(3)         Anggota Pengurus Yayasan yang berkewarganegaraan asing harus pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
(4)         Anggota Pengurus Yayasan yang berkewarganegaraan asing yang bukan pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan juga bukan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara, karena hukum berhenti dari jabatannya.
(5)         Dalam hal terjadi kekosongan anggota Pengurus yang menjabat sebagai ketua, sekretaris, atau bendahara dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal terjadinya lowongan jabatan tersebut harus sudah diangkat penggantinya.
(6)         Anggota Pembina dan anggota Pengawas Yayasan yang berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di Indonesia harus pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
(7)         Anggota Pembina dan anggota Pengawas Yayasan yang berkewarganegaraan asing yang bukan pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara, karena hukum harus meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia.
            Yayasan asing, dalam melakukan kegiatannya di Indonesia harus memenuhi syarat dan ketentuan sebagai berikut:[56]
(1)         Yayasan asing dapat melakukan kegiatan di Indonesia hanya di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
(2)         Yayasan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melakukan kegiatannya di Indonesia harus bermitra dengan Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan asing tersebut.
(3)         Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus aman dari aspek politis, yuridis, teknis, dan sekuriti.
(4)         Kemitraan antara yayasan asing dan Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



























                [1] Tulisan ini merupakan rangkaian bahan kuliah Hukum Dagang yang ditulis oleh Mulhadi,SH.,M.Hum
                [2]Nindyo Pramono, Kedudukan Yayasan di Indonesia, dalam http://www.mail-archive.com/rantau-net@groups.or.id/msg03892.html
                [3] Ibid.
                [4] Ibid.
                [5] Baca paragrap ke-1 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [6] Baca Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor  28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [7] Periksa Pasal  3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor  28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [8] Periksa Pasal   5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor  28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [9] Periksa Pasal  7 dan 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [10] Pendirian Yayasan berdasarkan surat wasiat harus dilakukan dengan surat wasiat terbuka. Pendirian Yayasan dengan surat wasiat  dimaksud dilaksanakan sebagai berikut:
a.    pendirian Yayasan langsung dimuat dalam surat wasiat yang bersangkutan dengan mencantumkan ketentuan Anggaran Dasar Yayasan yang akan didirikan; atau
b.    pendirian Yayasan tidak langsung dilaksanakan oleh pelaksana wasiat sebagaimana diperintahkan dalam surat wasiat oleh pemberi wasiat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ini.
                [11] Periksa kembali Pasal butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, dikatakan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
                [12] Permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan untuk memperoleh status badan hukum Yayasan diajukan dengan dilampiri dokumen-dokumen berikut ini: (a) salinan akta pendirian Yayasan; (b) fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris; (c) surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat; (d) bukti penyetoran atau keterangan bank atas Nama Yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang memuat keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan sebagai kekayaan awal untuk mendirikan Yayasan; (e) surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan kekayaan awal tersebut; (f) bukti penyetoran biaya pengesahan dan pengumuman Yayasan.
                [13] Periksa Pasal 12 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [14] Periksa Pasal 13 A Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [15] Periksa kembali Pasal 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
                [16] Periksa Pasal 14 ayat (2)  Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [17] Periksa Pasal 17 dan 18  Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [18] Periksa Pasal 20  Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [19] Periksa Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan
                [20] Periksa Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan
                [21] Periksa Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan
                [22] Periksa Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan
                [23] Baca Paragraf  ke-7 Penjelasan Umum Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [24] Baca Paragraf  ke-6 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [25] Periksa Pasal 31  Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [26] Periksa Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [27] Periksa Pasal 34 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [28] Periksa Pasal 35 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [29] Periksa Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [30] Periksa Pasal 36 ayat (1) dan (3) Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [31] Periksa Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [32] Periksa Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [33] Periksa Pasal 38 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [34] Periksa Pasal 40 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [35] Periksa Pasal 41 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [36] Periksa Pasal  43 ayat  (1) s/d ayat (3) Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [37] Periksa Pasal  45 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [38] Periksa Pasal  46 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [39] Periksa Pasal  47 ayat (1) dan (2)  Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [40] Periksa Pasal  50  Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [41] Periksa Pasal  51  Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [42] Periksa Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [43] Periksa Pasal 54 ayat (2) dan (3) Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [44] Periksa Pasal 55 ayat (1) dan (2) Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [45] Periksa Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [46] Periksa Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan
                [47] Periksa Pasal 58 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [48] Periksa Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan
                [49] Periksa Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan
                [50] Periksa Pasal 32 dan 33 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan
                [51] Periksa Pasal 65 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [52] Periksa Pasal 66 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [53] Periksa Pasal 67 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [54] Periksa Pasal 68 Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
                [55] Periksa kembali Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan
                [56] Periksa kembali Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih