Selasa, 29 September 2009

Makna Ala Toga dalam Hukum Perkawinan Adat Mentawai

MAKNA “ALA TOGA” (JUJUR)
DALAM HUKUM PERKAWINAN ADAT MENTAWAI


Oleh: Mulhadi[1]
1. Makna Ala Toga
                  Masyarakat kebapaan merupakan suatu masyarakat yang terbagi dalam klen-klen kebapaan, yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan secara konsekuen dan berdasarkan pandangan yang bersifat religio-magis, melalui garis ayah atau laki-laki. Sebagai konsekuensinya, diadakanlah suatu sistem perkawinan yang cocok untuk mempertahankan garis bapak itu, yaitu kawin jujur atau sering disebut eksogami jujur. Ini berarti suatu keharusan bagi pria  dan wanita itu mencari pasangan diluar klen-nya, dengan pemberian barang yang bersifat religio-magis, wanita dilepaskan dari ikatan klennya dan dimasukkan ke dalam klen suaminya dan selanjutnya berhak, berkewajiban dan bertugas di lingkungan keluarga suami.[2] Dengan demikian, bagi orang Mentawai, perkawinan di dalam uma (satu uma) dipandang sebagai hal yang incestuous (sumbang/terlarang).
                  Untuk menundukkan pengertian ini secara etnologis-adat-rechtelijk, maka pemberian barang jujur oleh pihak pria kepada pihak wanita, tidaklah boleh diartikan menurut pandangan atau filsafat barat, yaitu sebagai pembayaran atau pembelian, tetapi pemberian jujur itu melambangkan suatu pengertian, hasrat atau keinginan secara hukum adat, sebagai pengganti kedudukan wanita itu didalam klennya dan di dalam keseimbangan kosmis, sehingga tidak merusak equilibrium dunia kosmis, dunia besar di luar manusia.[3] Menurut Ossenbruggen, dalam mas kawin (jujur) terdapat nilai magis dan sakti. Harta pemberian mempunyai fungsi khusus, yakni mengembalikan kegoncangan keseimbangan kekuatan sakti dalam kelompok wanita, karena seorang gadis diambil keluar dari kelompoknya.[4]
                  Mentawai yang menganut sistem kekerabatan patrilineal juga mengenal perkawinan jujur. Jujur yang dimaksud tersebut adalah ala toga; lului kolui  atau saki kolui yang sama dengan istilah tuhor, tukor, atau tukon seperti yang berlaku di daerah lain di Indonesia.
                  Ala toga berasal dari dua kata. Ala atau pasiala berarti ambil, mengambil atau pengambil, dan toga berarti anak. Jadi ala toga adalah suatu harga untuk mengambil anak (identik dengan harga beli). Barang-barang yang diminta oleh orangtua dan kerabat wanita berfungsi sebagai pembeli, pengambil atau pengganti anak mereka yang dahulunya dipelihara dengan susah payah. Demikian juga pengertian yang sama bisa dilihat dari istilah lului kolui. Lului berarti pembeli (saki), sedangkan kolui adalah istri. Jadi, lului kolui adalah pembeli  istri. Menurut penuturan orang-orang tua, dahulu ala toga/lului kolui memang dipahami dan memiliki makna sebagai harga pengganti wanita yang ingin dinikahi. Namun, sesuai dengan perkembangan masyarakat, saat ini ala toga atau lului kolui sudah mengalami pergeseran makna, dimana sekarang lebih pada ikatan. Artinya ikatan antara keluarga pihak pria dan keluarga pihak wanita.                       
                  Ala toga atau mas kawin adalah suatu zoengave atau silih, dan bukan suatu koopprijs (harga pembelian).[5] Dengan membayar ala toga tidak berarti anak tersebut terjual, sehingga orangtua/kerabatnya kehilangan dan tidak punya hubungan lagi dengan anak tersebut, melainkan sebagai bukti betapa berharganya anak wanita dimata mereka. Barang-barang yang dibayarkan sebagai ala toga itu bukan berarti pembeli dalam pemahaman sehari-hari  yang sering digunakan orang dalam berjual beli, melainkan ia memiliki makna yang lebih dalam dari itu. Ala toga adalah sebentuk persyaratan yang dibebankan kepada pihak pria untuk menghormati jerih payah orangtua dari calon istrinya yang telah bersusah payah membesarkan, membina dan mendidik dari kecil hingga dewasa. Lagi pula, setelah ala itu diterima, ada kewajiban dari pihak keluarga dan kerabat wanita untuk membalas pemberian ala tersebut yang nilainya sama atau bahkan lebih besar dari nilai ala toga. Balasan yang kemudian akan dikembalikan kepada pihak pria atas pembayaran ala toga disebut punu alaket (Siberut Selatan) dan iba toga atau enungakenen (Siberut Utara). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa fungsi pertukaran harta benda dalam perkawinan adalah untuk memperkuat hubungan baik antara kedua kelompok kerabat, karena sebagaimana diketahui bahwa perkawinan antara dua orang individu bukanlah semata-mata urusan kedua individu yang kawin saja, melainkan juga urusan dan kepentingan seluruh anggota dari masing-masing kelompok kerabat yang terlibat. Hal itulah sebabnya, dalam tradisi hukum perkawinan orang Siberut Utara dikenal istilah pakaddei. Kaddei atau kandei adalah besan, dan pakaddei/pakandei adalah perbisanan. Pesta atau punen pakaddei merupakan sarana untuk mempererat hubungan persaudaraan diantara dua kelompok yang terlibat dalam sebuah peristiwa atau hubungan perkawinan. Dalam pesta pakaddei inilah biasanya diadakan penyerahan balasan mas kawin oleh kelompok pemberi istri (wife-givers) kepada kelompok penerima  istri (wife-taker) yang dikenal dengan istilah iba toga. Daging-danging babi maupun ayam yang menjadi korban tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada seluruh anggota kerabat pria yang berpartisipasi dalam membayar ala toga, dan sisanya dibagi-bagi kepada pihak lain yang ikut menyumbang atau terlibat dalam pesta. Oleh karena itulah pesta pakaddei sering disebut sebagai pesta makan daging.
                  Sebagaimana dijelaskan Schefold dari hasil penelitiannya pada masyarakat suku sakuddei di Siberut Selatan, bahwa setelah kelompok pengantin pria membayar suatu mas kawin (bridewealth) yang disetujui setelah melalui proses tawar menawar yang cukup sulit. Sebagai balasannya, kelompok pemberi istri tersebut akan menghadiahi beberapa ekor babi korban yang besar. Babi-babi ini akan dikorbankan pada permulaan ritual dirumah pengantin wanita, yang menandai kedatangannya dari rumah kelompok ayahnya. Setelah itu, pasangan pengantin bersama-sama dengan beberapa orang teman (sinuruk-sipatalaga) mengangkat daging tersebut, membawanya ke uma pengantin pria, dimana seremoni perkawinan kedua dilaksanakan. Dengan begitu tidak ada pesta komunal atas dua kelompok.[6]
                  Pembayaran ala toga yang masih dipertahankan dalam aturan perkawinan adat Mentawai di Siberut sebagai jujuran merupakan simbol betapa anak perempuan tersebut memiliki nilai yang berharga bagi kedua orangtua dan kerabatnya. Oleh karena itu anak perempuan yang mereka titipkan tersebut harus dilindungi, tidak boleh diperlakukan semena-mena. Karena, jika dia disakiti, maka keluarganya tidak segan-segan menjatuhkan tulou; utag; raurau (denda) dalam jumlah yang cukup besar.  Menurut Saguntung, jika ada yang memaknai ala toga sebagai uang/harta pembeli seperti pemaknaan yang diberikan oleh orang luar selama ini, sebenarnya berawal dari ketidakpahaman semata. Dalam ala toga sebenarnya mengandung ajaran keseimbangan, yakni keseimbangan dalam hak maupun kewajiban. Hal itu terlihat dalam aturan adat perkawinan yang selama ini berlangsung di daerah Siberut, dimana ala toga yang diserahkan pihak pria akan mendapat balasan dari pihak wanita dalam bentuk barang-barang dan ternak dengan jumlah yang sama atau lebih.
                  Di Siberut, masa yang paling penting setelah peminangan adalah saat dimana ala toga mulai dibayarkan. Jika satu persatu ala toga dibayar maka saat itu sebenarnya tengah berlangsung proses yang paling penting dari perkawinan, karena ala toga merupakan salah satu syarat yang paling penting dan menentukan untuk terjadinya pernikahan. Tidak ada pernikahan jika tidak ada ala toga. Biasanya yang datang menyerahkan/membayar ala toga adalah bapak dari calon pria. Bentuk atau macam ala toga ditentukan oleh anggota keluarga pihak wanita yang bersedia mengambil ala atau menerima ala toga. Jika di dalam keluarga pihak wanita terdapat 5 (lima) keluarga yang mampu maka lima keluarga tersebut boleh meminta atau menerima ala, jika terdapat 10 (sepuluh) keluarga yang mampu maka ke-10 keluarga/orang itu boleh meminta/menerima ala. Dengan demikian jumlah ala toga sifatnya tidak terbatas, karena sangat tergantung pada permintaan keluarga/kerabat pihak wanita. Aturan seperti ini berlaku pada masa dahulu sebelum Arat sabulungan dilarang oleh pemerintah. Di desa Matotonan saat ini jumlah ala toga sudah dibatasi hanya sampai 5 (lima) macam saja. Sedangkan jumlah orang (ama) yang meminta juga sudah dibatasi hingga tiga orang saja. Ala toga dimaksud antara lain:
  1. Babi sebanyak 5 (lima) ekor (3 ekor induk + 2 ekor anak)
  2. Durian, 4 - 7 batang, 2 batang di lokasi/ladang dekat kampung dan sisanya boleh di lokasi/ladang lain yang jauh dari kampung. Tetapi bisa juga berada pada satu lokasi/ladang. Bagaimana bentuk atau kualitas batang durian juga ditentukan oleh penerima ala toga (biasanya dipilih yang berkualitas terbaik).
  3. Sagu 1 (satu) rumpun
  4. Kelapa 1 ( satu) batang
  5. Ladang Keladi 1  (satu) petak


                  Dahulu, kalau yang meminta ala toga itu ada 6 orang maka ke-6 orang tersebut meminta bentuk yang sama kecuali untuk babi. Jumlah ekor babi untuk orang pertama (misalnya bapak) lebih banyak dari orang kedua (bajak I), untuk bajak II lebih kecil dari bajak I, dan seterusnya. Kalau bapak meminta 5 ekor, maka bajak I cukup 3 ekor babi dewasa, bajak II meminta 2 ekor dewasa, bajak III meminta 1 ekor babi dewasa + 2 ekor anak babi, bajak IV meminta 1 ekor babi dewasa + 1 ekor anak babi,  bajak V meminta  3 ekor anak babi dan bajak terakhir meminta 2 ekor anak babi. Larangan atau pembatasan jumlah alak toga lima macam dan orang yang menerima (3 orang) itu diatur oleh pemerintah kecamatan pada tahun 1985. Namun demikian, aturan itu tidak sepenuhnya berlaku, karena masih banyak anggota masyarakat menetapkan jumlah ala toga yang besar serta jumlah orang yang menerima lebih dari 3 orang. Isi dari ketentuan baru tersebut tujuannya agar tidak memberi dampak ekonomi (memberatkan)  pada satu pihak serta disesuaikan dengan kemampuan pihak pengambil toga (pihak pria). Disamping ala toga yang ditetapkan tersebut (misalnya 6 macam), harus ditambahkan 1 (satu) macam lagi sebagai “kasusuruk”. Kasusuruk ini maksudnya sebagai pengganti riil anak gadis mereka karena nanti sang anak akan mengikuti suaminya sehingga akan jarang sekali berjumpa dengan orangtuanya. Kasusuruk ini juga berfungsi sebagai penghibur hati (untuk dilihat-lihat) disaat orangtua merasa rindu pada anak gadisnya. Menurut kepercayaan Arat Sabulungan, kepergian salah seorang anggota keluarga dari uma atau dari lalep, baik karena menikah atau meninggal akan menyebabkan dunia roh bersedih atau kehilangan. Untuk menetralisir keadaan tersebut dan agar kesedihan tidak berlarut-larut serta tidak terjadi malapetaka, maka harus diselenggarakan punen, dan calon suaminya harus meninggalkan penghibur/penggantinya (misalnya satu batang durian) sebagai kasusuruk.
                  Semua ala toga yang telah disepakati 6 (enam) macam ditambah 1 (satu) macam kasusuruk pembayarannya harus diselesaikan sebelum punen pangureijat dilangsungkan. Karena ala toga lebih banyak dalam bentuk barang tidak bergerak penetapan dan peninjauan ke lokasi paling lambat dilakukan setelah lia toga dilaksanakan, bila hal tersebut sudah tuntas barulah punen pangureijat dilangsungkan. Tetapi bukan tidak mungkin (berdasarkan kesepakatan) peninjauan ala toga dan kasusuruk tersebut dilakukan setelah punen panguireijat usai dilakasanakan.
                  Apabila pihak pria berkeinginan memboyong gadis pinangannya langsung saat itu juga, maka ia diwajibkan  lagi membayar “panilok”. Panilok ini sering juga disebut si lelepa` yang diselesaikan pembayarannya hari itu juga. Bentuk panilok bisa sama nilainya dengan ala toga yang lima macam, tetapi terkadang (bentuk dan nilainya) bisa lebih kecil dari ala toga. Panilok yang dimaksud itu adalah:
  1. babi 1 (satu) ekor
  2. kuali berukuran besar 1 (satu) buah
  3. kain satu kayu (sejenis kain berwarna putih)
                  Jika pihak pria tidak membayar panilok, maka pantang bagi wanita tersebut melakukan kunjungan ke  rumah kerabat pria apapun motif atau tujuannya. Misalnya, jika pria calon suaminya itu sakit, wanita yang menjadi calon istrinya tersebut tidak diperkenankan melakukan kunjungan karena belum menerima panilok. Ibaratnya panilok berfungsi sebagai kunci pembuka yang memberi keleluasaan bagi pria calonsuaminya untuk mendapatkan haknya termasuk hal yang paling kecil seperti perhatian. Terhadap panilok yang telah diterima itu ternyata juga harus dibalas oleh pihak perempuan dengan babi 1 ekor, ayam 1 long + 1 ekor ayam jantan
                  Setelah menyelesaikan kewajibannya membayar panilok, selanjutnya, pihak pria juga harus membayar satu jenis barang lain yang diserahkan kepada masing-masing ama yang menerima ala toga. Untuk pembayaran terakhir ini disebut puei ka bagan abag. Bentuknya bisa seperti 1 batang kelapa, atau 1 batang durian. Setelah “puei ka bagan abag” ini di bayar atau disebutkan bentuknya, maka dilakukanlah penyerahan calon pengantin wanita dan diikuti dengan penyerahan beberapa ekor ayam (1 ekor ayam untuk masing-masing ama yang menerima ala toga). Ayam-ayam tersebut merupakan bentuk imbalan/balasan atas pembayaran “puei ka bagan abag”.  Ayam-ayam ini nantinya akan dipotong untuk acara lia (punen) yang diselenggarakan oleh pihak laki-laki yang tujuannya untuk syukuran menyambut kedatangan anggota keluarga baru. Karena dalam adat Mentawai menantu wanita selalu dianggap toga atau anggota keluarga baru sehinggga selalu harus disambut dengan mengadakan punen/lia. Punen atau  lia ini disebut “lia toga sibau”. Walaupun wanita itu sudah tinggal di rumah pria akibat adanya pembayaran panilok, tetapi pasangan itu belum bisa melakukan hubungan suami-istri, hubungan itu baru boleh dilakukan setelah punen pangurei selesai.
                  Di Malancan Siberut Utara, pada masa dahulu jumlah ala toga (biasa disebut lului kolui atau saki kolui) bisa mencapai 12 (dua belas) macam. Bentuknya juga beragam baik berupa benda tetap maupun benda tidak tetap (bergerak). Bagi yang kurang mampu jumlah pembayaran lului kolui yang diminta disesuaikan dengan kondisi ekonomi mereka, sehingga dalam prakteknya lului kolui juga ada yang jumlahnya kecil seperti yang dialami oleh Ukkui Teupoiri Salimurat. Menurut Ukkui yang menikah dalam Arat Sabulungan ini, lului kolui yang dibayarnya hanya 2 (dua) macam saja  yakni berupa 2 (dua) ekor babi dan sebuah kuali besar (no.20). Babi-babi tersebut diperuntukkan bagi ama dan bajak, sedangkan satu kuali besar khusus diperuntukkan bagi calon istrinya yang disebut pino kolui. Jika mereka yang tidak memiliki ternak babi boleh menggantinya dengan barang-barang perkakas rumah tangga yang nilainya diperkirakan sama dengan dua ekor babi tersebut. Barang-barang tersebut biasanya disebut pasi-pasi.[7] Tetapi pembayaran (lului) akan bertambah jika sebelum acara lamaran dilakukan pria yang akan bertunangan itu pernah berbuat asusila atau menyangkut urusan wanita dikampung halamannya yang didengar atau sampai ke telinga  orangtua atau kerabat pihak wanita yang ingin dilamar. Untuk menutupi aib tersebut dan menjamin bahwa yang bersangkutan serius melamar, kepadanya akan dibebankan lagi kewajiban membayar denda penutup rasa malu (katukailo piuk) berupa seekor babi. Tapi jika perbuatan asusila itu langsung disaksikan oleh orangtua si gadis/kerabatnya, maka sebagai penghilang rasa malu itu harus diganti dengan seekor babi sebagai katukailo mata. Menurut Ukkui Salimurat, dimasanya dahulu, apabila pembayaran lului kolui itu dilunasi pada saat yang ditentukan, pihak pria sudah boleh memboyong gadis pinangannya langsung ke rumah orangtuanya. Persoalan kapan pesta diadakan tidak penting, yang utama adalah pembayaran lului kolui. Jika hal itu dilakukan maka si gadis sudah menjadi milik (istri) yang bersangkutan, karena pesta hanya sebuah ritual semata. Saat itu juga mereka sudah sah menjadi suami istri dan boleh berhubungan intim.
                  Sama halnya di  Siberut Selatan, di Siberut Utara jumlah ala toga/lului kolui juga sudah dibatasi menjadi 5 (lima) macam. Namun demikian, bentuk dan jenis ala toga di Siberut Selatan (Matotonan) lebih dominan benda-benda tetap seperti ladang sagu, beberapa batang durian, kelapa, rambutan atau ladang keladi. Sedangkan di Siberut Selatan (Malancan) lebih dominan benda-benda tidak tetap (bergerak) seperti kuali, periuk, beliung, kapak, kelambu, kain, atau sumba. Hal ini disebabkan adanya  aturan dari pemerintah desa setempat (dahulu kampung) yang melarang menggunakan benda-benda tetap seperti ladang sagu, durian, kelapa atau jenis tanaman keras lainnya. Disamping itu, juga dilarang menggunakan babi sebagai lului kolui karena harga atau nilainya terlalu mahal serta dianggap terlalu memberatkan salah satu pihak. Ketentuan tersebut hingga saat ini masih berlaku walaupun dalam beberapa kasus masih menyertakan ladang atau babi sebagai lului kolui.
2. Pembayaran Jujur (ala toga)
                  Penetapan jumlah dan bentuk ala toga biasanya dilakukan selang beberapa saat setelah peminangan diterima. Ada juga sebagian anggota masyarakat yang membuat kesepakatan bahwa pembicaraan mengenai ala toga baru akan dilakukan pada hari lain (misalnya dua hari; tiga hari atau seminggu) setelah acara lamaran. Pembicaraan (patiboat) mengenai ala toga biasanya akan berlangsung alot, karena masing-masing pihak dalam pertemuan itu akan mendapat giliran untuk mengemukakan pendapatnya. Namun yang banyak terlibat adalah beberapa orang laki-laki yang yang berposisi sebagai penerima dan pemberi ala toga dari delegasi masing-masing. Pihak penerima ala toga (pihak pemberi gadis) akan mengajukan permintaan berupa sejumlah harta, baik barang bergerak maupun barang tetap. Orang-orang ini, biasa disebut ama,  akan meminta sesuai dengan keinginannya. Bila jumlah ala toga yang diminta dianggap besar dan memberatkan, maka pihak pria (penerima/pengambil gadis) akan mengajukan penawaran-penawaran sesuai dengan kondisi dan kemampuan ekonominya. Tidak jarang permbicaraan ini  mengalami jalan buntu karena masing-masing pihak tetap pada pendiriannya. Dalam tawar-menawar tersebut kelihatan bahwa ala toga sangat terkait dengan persoalan harga diri. Oleh karenanya tidak jarang pula pembicaraan harus ditunda dan dilanjutkan pada hari berikutnya. Walaupun pembicaraan berjalan alot, masing-masing pihak tetap bisa mengendalikan dirinya, bahkan sesekali diwarnai dengan senda gurau.
                  Pembayaran ala toga (jujuran) sebagai syarat utama sebuah perkawinan dalam masyarakat patrilineal, saat ini hanya dijumpai dan dipraktekkan di daerah Siberut. Sedangkan di daerah Sipora dan Pagai kebiasaan penting itu sudah ditinggalkan. Hanya orang yang menganut agama Islam saja yang masih mempertahankannya dalam bentuk mahar (mas kawin). Mahar adalah suatu pemberian wajib dari seorang suami kepada seorang istri dalam kaitannya dengan perkawinan. Pemberian itu dapat berupa uang, barang, jasa ataupun hal lain yang dianggap bermanfaat oleh yang bersangkutan. Dengan catatan bukan merupakan sesuatu yang haram untuk dimakan dan dimiliki.[8] Mahar merupakan hak wanita sebagai suatu tanda bahwa sejak saat itu dia mempunyai hak milik yang sebelumnya tidak dipunyai, dan merupakan lambang penyerahan diri secara mutlak untuk digauli oleh pemberi mahar. Ini berarti mengangkat derajat kaum wanita ke atas kedudukan sosial dalam masyarakat.[9]
                  Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. Karena kelalaian menyebutkan jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula dalam keadaan mahar terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.[10] Jumlah, bentuk dan jenis mahar harus disepakati oleh kedua belah pihak dan berdasarkan atas kesederhanaan yang diajurkan oleh ajaran Islam.[11] Oleh karenanya, jumlahnya tidak sebesar ala toga sebagaimana masih dijalankan oleh masyarakat asli  Siberut. 
                  Bagi yang menganut ajaran Islam di Siberut, praktis seorang pria harus memenuhi dua kewajiban agar perkawinan itu bisa diselenggarakan. Pertama, harus membayar ala toga sebagai syarat hukum adat. Kedua, harus membayar mahar sebagai syarat hukum Islam. Sedangkan orang Mentawai yang menganut Protestan dan Katolik di Siberut, hanya berkewajiban memenuhi pembayaran ala toga sebagai syarat adat.
                  Walaupun kewajiban pembayaran ala toga masih dipertahankan, tetapi saat ini jumlahnya sudah dibatasi oleh pemerintah kecamatan yang direalisasikan melalui pemerintahan desa masing-masing, baik di Siberut Selatan maupun di Siberut Utara. Keluarnya kebijakan pemerintah tersebut tidak bisa dilepaskan dari peranan pemuka agama setempat yang merasa prihatin atas dampak yang ditimbulkan oleh aturan adat tersebut yang cendrung dianggap berlebihan serta memberatkan.
                  Walaupun pemerintah sudah membuat aturan pembatasan jumlah ala toga, tetapi masih banyak juga anggota masyarakat yang melanggarnya. Hal ini kemungkinan akibat kuatnya pengaruh hukum adat dalam kehidupan mereka, sehingga tidak rentan terhadap intervensi pemerintah ataupun pihak luar lainnya. Walaupun umumnya mereka tahu adanya kebijakan tersebut, tetapi banyak dari mereka yang memahaminya sebagai bentuk campur tangan pemerintah yang mencoba mengacaukan tatanan hukum adat.
                  Hal  menarik dari sekian banyak ala toga itu adalah masih disertakannya beberapa ekor babi, walaupun hewan-hewan tersebut termasuk kategori binatang yang dilarang (diharamkan) dalam ajaran Islam. Kondisi ini berlangsung pada kebanyakan kasus perkawinan di Desa Matotonan, walaupun warganya mayoritas memeluk agama Islam.
                  Merupakan sebuah pemandangan yang biasa bila pemeluk agama Islam di Matotonan memiliki lalep/uma saina sebagai kandang untuk memelihara babi. Bagi masyarakat Matotonan, babi (saina; sakkoilo; sakkoko) merupakan binatang ternak yang bernilai tinggi, selalu digunakan sebagai korban persembahan untuk roh-roh, demikian juga ayam (gougou) sebagai binatang kedua yang mendapat tempat dalam kehidupan ritual (puliaijat) orang Mentawai.
                  Menurut penuturan beberapa orang Sikerei, meniadakan hewan-hewan tersebut (babi dan ayam) dalam puliaijat berarti dengan sengaja mengundang kemarahan dunia roh-roh, dan pada akhirnya akan menuai malapetaka dalam kehidupan bagi yang melanggarnya. Karena alasan itulah orang Matotonan enggan melepaskan kebiasaan memelihara babi walaupun dalam agama baru yang mereka anut binatang tersebut diharamkan.
                  Disamping kebiasaan aneh dalam macam ala toga yang dibayarkan seperti disebut di atas, pada umumnya perkawinan di daerah ini dimulai atau dilangsungkan secara adat dahulu, baru kemudian  diikuti dengan prosesi ritual secara  agama. Ketentuan ini berlangsung hingga saat ini, baik terhadap pasangan yang memeluk agama Islam, Protestan maupun pasangan yang memeluk agama Katolik.
                  Mengedepankan ketentuan adat dalam mengesyahkan perkawinan di Mentawai, tidak hanya ditemui di beberapa desa di pedalaman Siberut Selatan, tetapi juga masih ditemui di daerah Simatalu  pedalaman Siberut Utara.
                  Dalam ketentuan pembatasan ala toga tersebut (baik jumlah maupun bentuknya), sebenarnya juga sudah dilarang menggunakan barang tetap, seperti ladang, kebun, ataupun tanaman. Tetapi anggota masyarakat Desa Matotonan kenyataannya tidak mengindahkan ketentuan itu. Demikian juga halnya pada masyarakat di desa tetangga seperti Desa Madobag dan beberapa desa lainnya di sepanjang sungai sarereiket hulu.
                  Berbeda kondisinya dengan di Siberut Utara,  umumnya mereka di daerah ini sedikit lebih patuh dibandingkan saudara-saudaranya di Matotonan. Mereka umumnya sudah tidak menyertakan barang tetap sebagai ala toga. Hanya beberapa kasus saja yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan itu.
                  Masyarakat di Desa Malancan misalnya, umumnya masyarakat di desa ini sudah menyadari konsekuensi dari pembayaran ala toga dengan kekayaan berupa ladang, kebun ataupun tanaman. Mayoritas masyarakatnya lebih setuju (khususnya kaum muda) jika ala toga  dibayarkan dalam bentuk barang-barang bergerak seperti  jenis pasi-pasi (barang-barang yang terbuat dari besi atau sejenisnya, misalnya kuali, periuk, beliung, kapak), dan gan-gan (jenis kain dan pakaian) serta jenis perlengkapan rumah tangga lainnya seperti perlengkapan tidur, sumba (penangkap ikan), dan lain-lain.
                        Kebiasaan membayar ala toga (lului kolui) dengan barang tetap (ladang, kebun ataupun tanaman tua) tidak saja mengakibatkan berkurangnya secara drastis harta kekayaan di satu pihak (pihak penerima gadis), tetapi juga menimbulkan masalah ketidak teraturan  letak ladang, kebun atau tanaman milik seseorang. Sebuah kenyataan bahwa di tengah ladang seseorang di Siberut terdapat ladang milik orang lain, atau di dalam ladang milik seseorang terdapat tanaman milik orang lain sebagai ala toga. Berdasarkan pertimbangan itulah pemerintah setempat menetapkan peraturan desa tentang pembatasan jumlah dan bentuk ala toga yang bertujuan untuk mempertahankan keteraturan letak status milik warganya. Disamping itu pembayaran ala toga ditengarai telah menimbulkan terjadinya pemiskinan disatu pihak dan upaya memperkaya diri di pihak lain.
                  Sebuah keluarga yang memiliki banyak anak perempuan merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri karena keluarga tersebut akan disebut kaya, karena pada saat anak-anak gadisnya menikah siempunya anak  akan dilimpahi harta kekayaan yang banyak dari pembayaran ala toga. Untungnya keadaan itu tidak dirasakan sebagai beban karena dalam aturan ala toga tersimpan unsur keseimbangan/asas timbal balik (asas resiprositas) yang diwujudkan dengan adanya kewajiban menyerahkan sejumlah hadiah balasan (iba toga) oleh pihak pemberi gadis kepada penerima gadis. Disamping itu, bertahannya aturan adat berupa tulou, juga menyebabkan efek yang sama, bahkan saat ini ada kesan tulou sebagai sarana untuk memperkaya diri oleh salah satu pihak yang bersengketa. 
                  Walaupun orang Siberut gemar menjatuhkan tulou ataupun konsisten dengan sistem ala toganya, tetapi pada kondisi tertentu mereka ternyata sangat toleran dengan saudara-saudaranya di luar Siberut, baik terhadap saudara-saudaranya yang berasal dari Pulau Sipora (sikalelegat), Pulau Pagai (sakalagan) maupun terhadap orang-orang di luar Mentawai (sasareu).
                  Sebagai wujud dari sifat toleran dan sifat keterbukaan budaya tersebut, orang Mentawai tidak mengharamkan adanya perkawinan beda etnis, suku, maupun agama. Ketentuan adat yang sangat kaku bisa menjadi lentur dan dinamis manakala perkawinan itu berlangsung antara seorang Mentawai dengan orang di luar Mentawai, atau antara orang Siberut dengan saudara-saudaranya di Sipora atau Pagai.
                  Banyak sudah kasus perkawinan seorang pria yang berasal dari Pulau Sipora dan Pulau Pagai dengan seorang gadis dari Siberut, dimana jumlah kewajiban membayar ala toga sudah diminimalisir. Demikian pula halnya ketika seorang pria Minang ataupun pria Batak  menikahi gadis Mentawai, kebanyakan jumlah ala toga-nya ternyata bisa lebih ringan, sekedar memenuhi syarat adat agar perkawinan bisa dilangsungkan. 
                  Dengan demikian, ada perubahan perilaku yang cukup baik dalam praktek pembayaran ala toga, yakni dari segi pengurangan jumlah dan bentuk ala toga yang dibayarkan. Namun yang paling penting dari semua itu adalah, adanya perubahan sikap (pandangan) terhadap makna dari ala toga di kalangan masyarakat Mentawai. Mereka memandang bahwa ala toga bukan lagi sebagai harga beli seorang perempuan yang ingin dinikahi, sebagaimana makna aslinya, tetapi ia sudah dimaknai sebagai sarana untuk mempererat hubungan (ikatan) antara dua keluarga yang berbesanan (kaddei).
                  Walaupun demikian, bukan tidak mungkin dalam tradisi hukum ala toga (demikian juga dengan iba toga) telah menimbulkan akibat-akibat negatif dalam struktur sosial bagi yang masih mempertahankannya. Ada anggapan bahwa  ala toga dan iba toga yang besar menunjukkan status sosial yang tinggi dari yang membayar maupun yang menerimanya. Pembayaran ala maupun iba toga yang berlebihan juga tidak bisa dilepaskan dari unsur ria (pamer) kemampuan. Namun ada juga yang beranggapan, ala toga (disamping tulou) memiliki dampak positif karena ikut berperan dalam menekan angka perceraian di masyarakat.
                  Pada masa Arat Sabulungan dahulu, seorang pria yang sudah melunasi pembayaran ala toga atau sudah membayar panilok boleh memboyong gadis yang dilamarnya. Bahkan pasangan tersebut sudah bisa hidup serumah layaknya suami-istri. Saat ini, sejak orang Mentawai mulai memeluk agama resmi, aturan tersebut di atas sudah ditinggalkan.
                  Namanya sebuah kebiasaan jelas sangat sulit dihapus atau dihilangkan dalam tempo yang singkat. Kebiasaan memboyong gadis setelah lamaran dalam praktiknya masih ditemukan, baik di Siberut maupun di daerah Sipora dan Pagai. Saat ini alasan boleh memboyong langsung gadis yang dilamar berbeda dengan dahulu. Dahulu, apabila seorang pria sudah selesai menyelesaikan kewajibannya membayar ala toga dan panilok, maka gadis tersebut sah menjadi miliknya. Tetapi saat ini (sejak menganut agama) alasan tersebut tidak bisa dipakai karena mereka belum resmi menikah. Pemberian izin memboyong gadis yang sudah dilamar hanya bisa dilakukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Apabila jarak tempat tinggal kedua pasangan itu sangat jauh (berbeda desa)
  2. Ada kekhwatiran dari pihak pria bahwa calon istrinya akan berubah pikiran dan membatalkan rencana perkawinan.
  3. Apabila waktu penyelenggaran pesta perkawinan sudah sangat dekat, sehingga calon pengantin wanita dibolehkan menetap di lingkungan kediaman pria.
  4. Sebagai sarana bagi calon wanita untuk mendekatkan diri dengan keluarga/kerabat calon pria.
                  Disamping itu, keinginan memboyong gadis yang sudah di lamar ke kediaman calon pengantin pria hanya bisa dilakukan setelah mendapat izin dari kedua orangtua dan beberapa orang anggota kerabat penting lainnya, seperti bajak atau kamaman. Artinya, tidak semua permintaan calon pria atau kerabatnya bisa loloskan disebabkan penolakan-penolakan beberapa pihak dari anggota keluarga/kerabat.
                  Dalam tradisi ini, seorang gadis yang sudah dilamar dan diboyong ke kediaman pria, belum dibolehkan menetap/tinggal langsung di rumah orang tua pria calon suaminya, melainkan di rumah salah seorang kerabat pria yang bersedia menjamin  keselamatan sang gadis. Persoalan nafkah menjadi tanggung jawab seluruh anggota keluarga/kerabat pria yang bersangkutan.
Daftar Pustaka
Busar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT. Paradnya Paramita, 2006)
Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2000)
Reimar Schefold,  Three Sources of Ritual Blessing in Traditional Indonesian Societies, BKI 157-II, 2001, 
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Kompilasi Hukum Islam (KHI)





[1]       Penulis adalah dosen tetap pada Fakultas Hukum USU Medan-SUMUT. Artikel ini merupakan resume kecil hasil penelitian lapangan yang penulis lakukan pada bulan September – November 2005 di beberapa desa di  Kabupaten  Kepulauan Mentawai.
[2]       Busar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT. Paradnya Paramita, 2006), hal.21
[3]       Ibid.
[4]       Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2000), hal. 6
[5]       Ibid., hal.5. Menurut Daeng, jika oleh sementara orang mas kawin diartikan sebagai harga pembelian, itu dapat dikatakan akibat salah tafsir terhadap istilah lokal untuk mas kawin. Seperti tukon (Jawa); pangoli, boli, tuhor (Batak); belis (Nusa Tenggara Timur); ala, lului, saki  (Mentawai) yang semuanya berarti beli. Kekeliruan interpretasi itu dapat terjadi karena dalam kenyataan mas kawin adalah sejumlah barang yang diserahkan untuk memperoleh seorang gadis. Namun demikian, perlu kiranya ditegaskan bahwa mas kawin bukanlah harga pembelian, karena: (1) Seandainya mas kawin adalah harga pembelian seorang gadis, maka keluarga gadis tidak akan memberi hadiah balasan untuk keluarga pria yang datang membawa mas kawin. Kenyataannya, hadiah balasan dari pihak gadis biasanya lebih besar nilainya dari mas kawin yang diberikan pihak pria; (2) Pada beberapa kelompok etnik, besarnya kecilnya mas kawin sudah digariskan sesuai dengan kedudukan sosial atau keturunan orang-orang yang berkawin. Jika terjadi tawar-menawar tentang besarnya mas kawin, sering itu diadakan sebagai suatu cara penolakan yang halus. Dengan mengajukan mas kawin yang tinggi, orang seringkali hendak sekedar memberi kesan keluar bahwa anak gadis mereka bukan murahan, dan karena itu jangan dianggap rendah; (3) Dalam kenyataan, pada banyaka kelompok etnik yang mengenal mas kawin, maka pihak pemberi gadis, hula-hula (Batak Toba), mora (Mandailing), mangohoi (Kei), opu lake (Tanimbar) dianggap lebih tinggi  dan karena itu harus diperlakukan dengan hormat. Ibid., hal. 10-11


[6]       Reimar Schefold,  Three Sources of Ritual Blessing in Traditional Indonesian Societies, BKI 157-II, 2001, Page. 361
[7]       Pasi-pasi sama dengan besi-besi, yakni segala perkakas rumah tangga yang berbentuk logam, seperti kuali, periuk, beliung, kapak, parang dan lain-lain. Saat ini bentuk lului kolui yang lazim digunakan oleh masyarakat Siberut Utara adalah jenis pasi-pasi.
[8]       Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 71
[9]       Ibid., hal.72
[10]     Pasal 34 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
[11]     Pasal 30 dan 31 KHI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih