Rabu, 30 September 2009

KEDUDUKAN TERTANGGUNG DALAM KEPAILITAN  ASURANSI

Mulhadi[1]
Abstraksi
UU Kepailitan banyak menyinggung masalah hak-hak kreditur,namun tidak menempatkan tertanggung sebagai salah satu kreditur yang memiliki hak yang diutamakan (preferen). Namun sebaliknya, UU Usaha Perasuransian (Pasal 20 ayat (2)), menyebutkan kedudukan nasabah asuransi dalam perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit merupakan kreditur yang diutamakan. Masalah ini menjadi dilema bila tidak secara hati-hati memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang sudah ada khususnya ketentuan Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata dan asas lex specialis derogat lex generalis. Dengan asas ini penerapan Pasal 20 ayat (2) UU Usaha Perasuransian sebagai ketentuan khusus sudah tepat guna mengenyampingkan ketentuan  umum yang tertuang dalam KUHPerdata maupun UU Kepailitan.

A. PENDAHULUAN
            Bagi masyarakat pengguna jasa asuransi (tertanggung atau nasabah asuransi),istilah kepailitan merupakan sebuah terma yang menakutkan. Menakutkan karena ada rasa khwatir dana yang sudah ditanamkan dalam bentuk premi tidak bisa ditagih, baik yang sudah jatuh tempo ataupun yang sedang berjalan. Ketakutan itu beralasan karena besar kemungkinan skenario kepailitan sengaja dilakukan oleh debitur (perusahaan asuransi) itu sendiri dalam rangka melepaskan diri dari tanggung jawabnya selaku debitur (penanggung). Tetapi bisa juga skenario itu datang dari satu atau lebih kreditur, baik yang berstatus tertanggung maupun diluar tertanggung yang memiliki hak tagih (piutang) yang tidak bisa dipenuhi oleh perusahaan asuransi sebagai debitur. Kepailitan asuransi ini tentu membawa dampak tidak menguntungkan bagi tertanggung-tertanggung lain yang jumlahnya begitu banyak yang terlanjur memiliki hubungan hukum dengan perusahaan asuransi yang dipailitkan.
            Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua orang atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan baik atas permohonannya sendiri (debitur) maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
            Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 ini bisa menjadi senjata ampuh bagi perusahaan asuransi (penanggung) yang beritikad buruk untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya dengan alasan tidak mampu membayar utang-utangnya, dan hal ini tentu saja akan merugikan para tertanggung secara keseluruhan.
Akan tetapi, kekhwatiran itu sesungguhnya terlalu berlebihan karena  lembaga hukum kepailitan itu sendiri (menurut undang-undang) berupaya memberikan keadilan[2] dan kedudukan yang seimbang antara debitur dan kreditur. Sehingga sangat dimaklumi bila dua asas di atas menjadi asas utama pembentukan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU sebagaimana dapat dipahami dalam Penjelasan Umumnya.[3]
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.[4] Dalam perkembangannya kemudian, Undang-Undang Kepailitan juga bertujuan untuk melindungi debitur dengan memberikan cara untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar secara penuh, sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.[5] Adanya lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan perdamaian (accoord) adalah bukti bahwa Undang-Undang juga memperhatikan kepentingan debitur yang tidak mampu membayar utangnya.
                  Masih berkaitan dengan tujuan kepailitan, dalam penjelasan umum UUK baru, dijabarkan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (maksud dan tujuan kepailitan):
1.      Untuk menghindari perebutan harta debitor, apabila dalam kurun waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.
2.      Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya
3.      Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.Misalnya debitor berusaha memberikan keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor  tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan sebagian atau semua harta kekayaannya dengan maksud melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.
            Namun demikian, perlu dipertegas bahwa kepailitan sama sekali tidak bermaksud membebaskan seseorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban  untuk membayar utang-utangnya.[6]
            Ada beberapa alasan mengapa hak-hak tertanggung dianggap penting dilindungi khususnya dalam kasus kepailitan perusahaan asuransi. Pertama, besarnya peranan tertanggung dalam membesarkan industri perasuransian (dengan kumpulan preminya) dipandang wajar bila perhatian dan perlakuan hukum terhadap tertanggung ditempatkan pada porsi yang layak dan adil. Selama ini nasib tertanggung belum mendapat perlakuan yang proporsional sesuai dengan sumbangsihnya dalam menghidupkan industri perasuransian. Kedua, posisi dan kedudukan tertanggung dalam banyak hal selalu lemah disebabkan dominasi penanggung (perusahaan asuransi) dalam menentukan syarat-syarat dan janji-janji khusus dalam polis/perjanjian asuransi dengan kontrak bakunya. Padahal menurut definisi asuransi, penanggunglah yang sangat berkepentingan (mengikatkan diri pada tertanggung untuk mendapatkan premi) dengan polis asuransi yang ditandatangi penanggung sendiri.Oleh karena itu sangat manusiawi bila tertanggung perlu diberi perlindungan hukum yang wajar dalam bingkai hukum yang kuat. Ketiga, keluarnya UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menjadi momentum yang tepat untuk memperkuat posisi tertanggung dengan segala kepentingannya, baik sebagai kreditur konkuren maupun sebagai kreditur preferen.
            Namun demikian, agar asumsi diatas bisa diterima kebenarannya bahwa kepailitan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang seimbang bagi kedua belah pihak (debitur dan kreditur), maka perlu dicari jawaban dari beberapa masalah berikut ini. Pertama, apakah  kepailitan benar-benar menjamin hak-hak tertanggung? Kedua, bagaimana kedudukan dan atau model perlindungan hukum terhadap tertanggung dalam undang-undang kepailitan serta undang-undang perasuransian? Ketiga, upaya atau tindakan hukum apa saja yang bisa dilakukan oleh para tertanggung dalam rangka melindungi hak-haknya pada perusahaan asuransi yang dipailitkan?
            Tidak sedikit kasus tuntutan klaim asuransi yang diajukan tertanggung berakhir dengan sia-sia dengan kekalahan di pihak tertanggung. Keadaan ini menjadi presedent yang kurang baik sehingga masyarakat merasa enggan  dan antipati berhubungan dengan perusahaan asuransi. Dari kasus-kasus yang dialami tertanggung tersebut muncul pendapat dikalangan masyarakat bahwa asuransi adalah bisnis tipu-tipuan dan cendrung memanfaatkan kelemahan tertanggung. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu alasan sehingga asuransi dalam pandangan sekelompok ulama Islam hukumnya haram, disamping ada juga sekelompok lain yang membolehkannya.[7]
            Salah satu senjata pamungkas yang sering digunakan oleh penanggung dalam melindungi dirinya adalah ketentuan Pasal 251 KUHD perihal notification (duty of disclosure) atau sering juga disebut sebagai prinsip itikad baik yang sempurna (principle of utmost good faith). Prinsip ini menyatakan bahwa tertanggung berkewajiban memberitahukan sejelas-jelasnya, lengkap dan teliti serta sukarela mengenai segala fakta-fakta penting (materil) yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan,[8] baik diminta maupun tidak diminta. Kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku:
-          Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak asuransi selesai dibuat, yaitu pada saat kedua belah pihak menyetujui kontrak tersebut.
-          Pada saat perpanjangan kontrak asuransi.
-          Pada saat terjadi perubahan pada kontrak asuransi dan mengenai hal-hal yang ada kaitannya dengan perubahan-perubahan itu.[9]
            Di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, pemberlakuan prinsip utmost good faith [10](uberrimae fidei)[11] atau prinsip duty of disclosure tidaklah sekaku yang berlangsung di Indonesia saat ini. Tuntutan untuk bersifat terbuka atau beritikad baik tidak semata-mata tanggung jawab dari pihak tertanggung, melainkan juga menjadi tanggung jawab pihak penanggung. Artinya, di negara Anglo Saxon seperti Inggris,  permberlakuan prinsip ini  secara kaku dan mutlak sudah lama ditinggalkan dan bahkan sudah berlangsung lama. Hal ini bisa dibuktikan dengan diaturnya prinsip ini dalam kodifikasi Hukum Asuransi Laut Inggris (Marine Insurance Act 1906). Dalam section 17 Marine Insurance Act (MIA) 1906 Inggris dikatakan bahwa:  'A contract of marine insurance is a contract based upon the utmost good faith and, if the utmost good faith be not observed by either party, the contract may be avoided by the other party'.[12] Di Australia, ketentuan yang serupa   dijumpai dalam Section 13 Insurance Contracts Act 1984 (ICA).[13]
            Menurut Section 13 MIA 1906 di atas, sebuah kontrak asuransi (laut) adalah kontrak yang didasarkan pada itikad baik yang sempurna, bila itikad baik ini tidak diperhatikan oleh salah satu pihak, maka pihak lainnya boleh melepaskan diri untuk tidak terikat dengan  kontrak tersebut. Prinsip ini kemudian diberlakukan dalam segala jenis asuransi dan diadopsi oleh hampir semua negara di dunia.
            Permberlakuan prinsip itikad baik yang sempurna dari tertanggung ini boleh dikatakan sudah kembali bergeser ke arah apa yang sudah dikenal umum dalam Hukum Perdata Indonesia (Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata) yakni prinsip itikad baik kedua belah pihak dalam perjanjian. Jadi sebenarnya itikad baik yang sempurna oleh tertanggung yang diatur secara khusus dalam Pasal 251 KUHD dipandang sudah tidak pantas  diberlakukan bila berkaca pada praktek asuransi yang sedang berlangsung di negara-negara maju.
            Ketika terjadi kepailitan asuransi, terutama bila kepailitan tersebut disponsori atau direncanakan sendiri oleh penanggung, patut diajukan sebuah pertanyaan, sejauhmana itikad baik dari penanggung dan apakah dalam hal ini itikad baik yang sempurna (sebagaimana dimaksud di atas) masih harus dibebankan kepada pihak tertanggung?
            Minimnya perlindungan hukum bagi tertanggung terkait dengan penerapan secara kaku dan sempit prinsip tersebut di atas, semakin diperparah dengan terjadinya pemailitan perusahaan asuransi, baik atas permohonan (gagasan) sukarela dari penanggung maupun gagasan dua atau lebih tertanggung (kreditur). Karena sebagaimana diketahui, UU Kepailitan masih belum berpihak secara nyata pada tertanggung, tetapi sebaliknya masih menjunjung tinggi ketentuan dalam KUHPerdata yang tetap menempatkan kreditur separatis pemegang jaminan kebendaan sebagai kreditur utama. Walaupun pemailitan beberapa perusahaan asuransi beberapa waktu yang lalu tidak berakhir pada tindakan pemberesan, tetapi kejadian tersebut telah membuat goncangan amat dahsyat dikalangan nasabah asuransi (tertanggung) dan sempat mengikis kepercayaan masyarakat pada industri asuransi.
            Sebagaimana diketahui, sejak diberlakukannya Undang-undang No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, pada medio September 1998 tercatat beberapa perkara pailit diputuskan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyangkut perusahaan asuransi, antara lain China Trust Commercial Bank vs PT. Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), dan perkara Frederick Rahmat HS vs PT.Asuransi Wataka. Disamping itu terdapat kasus PT.Dharmala Sakti Sejahtera,Tbk vs PT.Asuransi Jiwa Manulife Indonesia[14] dan terakhir kasus Lee Boon Siong vs PT.Prudential Life Assurance.[15] Dua kasus kepailitan asuransi terakhir ini merupakan kasus fenomenal yang menyita banyak perhatian dan sempat mengusik kenyamanan masyarakat pengguna jasa asuransi.
            Lembaga perasuransian, sama halnya dengan lembaga perbankan, akan dipercaya apabila dapat memberikan jaminan kepercayaan kepada masyarakat. Ini artinya perusahaan asuransi harus benar-benar dapat memberikan jaminan bahwa dana yang dikumpulkan (premi dan keuntungannya) akan dikembalikan di kemudian hari sesuai dengan hak tertanggung. Masyarakat harus dapat diyakinkan bahwa perusahaan asuransi akan dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar ganti kerugian atau uang pengembalian sehubungan dengan terjadinya evenemen  (peristiwa yang tidak pasti) sebagaimana yang diperjanjikan dalam polis.[16]
Sebenarnya, munculnya kasus-kasus kepailitan asuransi (termasuk kasus-kasus asuransi biasa-diluar kepailitan) dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kondisi perasuransian, baik pertumbuhan maupun peranannya dalam perekonomian nasional. Semakin sedikit kasus asuransi yang muncul mencerminkan bahwa industri asuransi dikelola dengan baik dan kondisi ini akan menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat tertanggung. Sebagai gambaran, jumlah pengaduan kasus-kasus asuransi berdasarkan data dari departemen keuangan per agustus 2003 adalah 243 kasus. yang sudah terselesaikan 115 kasus dan belum terselesaikan 128 kasus. Diindikasikan banyak masalah asuransi yang dihadapi oleh masyarakat tertanggung yang tidak dilaporkan resmi ke departemen keuangan karena alasan-alasan tertentu.[17]
B. KEPAILITAN SEBAGAI SARANA PERLINDUNGAN BAGI TERTANGGUNG
Dari perspektif kreditur, proses kepailitan terhadap suatu perusahaan telah merupakan salah satu cara penagihan utang, disamping berbagai cara penagihan utang  lainnya yang dikenal oleh hukum, seperti penagihan melalui somasi, eksekusi jaminan utang, atau tagihan melalui prosedur pengadilan dengan prosedur biasa. Sementara itu, dari kaca mata perusahaan pailit, proses kepailitan telah menjadi salah satu cara kreditur untuk menekan atau menakut-nakuti debitur[18] untuk segera membayar atau merestrukturisasi utang-utang, disamping sebagai salah satu cara bagi perusahaan pailit untuk menyelesaikan utang-utangnya, terutama jika dia sudah dalam keadaan tidak mampu membayar utang, misalnya jika jumlah utangnya sudah jauh melebihi asetnya, sedangkan prospek usaha debitur juga sudah semakin suram. Dalam hal ini yang dilakukan oleh debitur adalah mengajukan sendiri permohonan pailit ke pengadilan niaga melalui proses yang dikenal dengan istilah permohonan pailit secara sukarela (voluntary bankruptcy).[19]
Benarkah pendapat yang mengatakan bahwa kepailitan pada hakekatnya bertujuan memberikan perlindungan hukum atau kedudukan yang seimbang antara debitur dan kreditur?  Pertanyaan ini menjadi stimulan bagi penulis untuk tahu lebih banyak tentang peranan lembaga kepailitan dalam melindungi kepentingan kreditur/tertanggung dalam kasus kepailitan asuransi.
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator.[20] Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.
Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan  tidak mampu membayar lunas hutang-hutangnya. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:[21]
Pertama, kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
            Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Pasal 1131[22] dan 1132[23] KUHPerdata merupakan perwujudan adanya jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh debitur terhadap kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang proporsional, kecuali kreditur dengan hak mendahului (hak Preferen).
            Bertolak belakang dengan apa yang telah diuraikan di atas, dalam pandangan Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia (YLKAI), UU Kepailitan dan PKPU sama sekali tidak memberikan perlindungan hukum kepada pihak tertanggung. Hal ini bisa dilihat pada Pasal 2 ayat (5) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang hanya memberikan kewenangan yang bersifat limitatif kepada Mentri Keuangan untuk mengajukan permohonan pailit pada perusahaan asuransi. Masih menurut YLKI, ketentuan ini tentu saja dinilai sangat merugikan hak konstitusional para pemegang polis untuk mengajukan pailit terhadap perusahaan asuransi. Keadaan inilah yang menjadi pendorong bagi YLKAI atas nama konsumen asuransi untuk mengajukan uji materil atas UU Kepailitan dan PKPU. Pencabutan hak konsumen asuransi untuk mengajukan permohonan pailit merupakan pelanggaran hak konstitusional konsumen asuransi atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum yang diatur dalam pasal 27 ayat (1) jo. pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi Mahkamah Konstitusi menolak permohonan YLKAI khususnya berkaitan dengan Pasal 2 ayat (5) UU No.37 Tahun 2004. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan oleh ketuanya Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa “permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan. "Pembatasan itu dimaksudkan demi melindungi kepentingan yang lebih besar,".Majelis Konstitusi menilai pembatasan hak untuk mengajukan pailit dibenarkan. Sebab perusahaan asuransi, menurut Majelis, menyangkut berbagai kepentingan pemegang polis yang jumlahnya jutaan orang dan menyangkut kepentingan perusahaan asuransi itu sendiri. Disamping itu,pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi dapat menggoncangkan kehidupan ekonomi masyarakat,".[24]
Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut sebenarnya tidak disepakati secara bulat oleh sembilan Hakim Konstitusi. Laica Marzuki (salah seorang Hakim Konstitusi yang tidak setuju) misalnya menyampaikan pendapat berbeda mengenai kewenangan Menteri Keuangan. Menurut dia, setiap kreditur dapat secara bebas menggunakan haknya untuk menggugat debitur cedera janji. Secara konstitusional,ia menilai, kewenangan Menteri Keuangan itu mengandung perlakuan diskriminatif tehadap kreditur lainnya.[25]
Hal yang sama diutarakan kuasa hukum pemohon yang mengatakan bahwa putusan Majelis Konstitusi itu tidak menganut asas keadilan bagi setiap orang, hak –hak pemegang polis masih terpasung dengan adanya keputusan tersebut.[26]
Bagi penulis, disatu sisi, adanya pembatasan dalam hal pengajuan permohonan pailit merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak konstitusi pemegang polis atau tertanggung tertentu yang kebetulan memiliki hak tagih yang sudah jatuh tempo. Namun disisi lain, sebagai konsekuensi dari asas kehidupan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, maka selalu ada kepentingan yang bersifat pribadi (kelompok) yang harus dikorbankan demi mendahulukan kepentingan bersama (publik). Barangkali hal itulah yang menjadi pertimbangan mendasar  keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menolak uji materil yang diajukan oleh YLKAI khususnya berkaitan dengan Pasal 2 ayat (5) UU No.37 Tahun 2004.
C. KEDUDUKAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM KEPAILITAN ASURANSI
            Ketentuan hukum penyelesaian hutang piutang, khususnya dalam rangka melindungi kepentingan kreditur (tertanggung), hukum positif Indonesia sebenarnya sudah memberikan jalan keluar dengan beberapa alternatif pilihan, yaitu berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Kepailitan dan ketentuan Undang-Undang Perasuransian (Usaha Perasuransian).
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
            Pada dasarnya, persoalan yang dihadapi seorang tertanggung dalam kasus kepailitan asuransi merupakan persoalan hak, tagihan atau piutang yang dilakukan dengan proses sita massal dengan menempatkan harta debitur dalam  budel pailit. Sita massal melalui permohonan pernyataan pailit ini hanya bisa dilakukan bila terbukti secara sederhana (sumir) melalui putusan Pengadilan Niaga bahwa debitur memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.[27]
             Selain melalui sita massal seperti disebutkan di atas, sebenarnya terdapat tata cara pembayaran utang-utang debitur melalui prosedur biasa (diluar kepailitan) yaitu melalui lembaga jaminan pembayaran utang secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Tata cara pembayaran utang secara umum ini bisa ditempuh kreditur bila kreditur tersebut sepakat tidak menempuh jalur atau prosedur kepailitan, atau apabila syarat yang ditentukan oleh Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan tidak terpenuhi atau tidak terbukti secara sederhana. Pasal ini menyatakan bahwa: “segala kebendaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya secara perseorangan”.   
            Dari ketentuan Pasal di atas, pada prinsipnya segala harta kekayaan debitor akan menjadi jaminan atas utang-utangnya kepada semua kreditor. Kekayaan debitor meliputi benda bergerak maupun benda tidak bergerak (tetap), demikian juga dengan benda-benda yang sudah ada pada saat perjanjian utang-piutang diadakan maupun benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari (menjadi milik debitor) setelah perjanjian utang-piutang diadakan. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata ini, seluruh harta kekayaan debitor tanpa kecuali akan menjadi jaminan umum atas pelunasan utang-utangnya, terlepas apakah sebelumnya hal itu telah diperjanjikan atau tidak. Jaminan ini bersifat umum, lahir karena undang-undang, sehingga tidak perlu diperjanjikan sebelumnya.[28]
            J.Satrio menyatakan,bahwa dari Pasal 1131 KUHPerdata dapat disimpulkan asas-asas hubungan eksternal kreditor sebagai berikut:
a.       seorang kreditor boleh mengambil perlunasan dari setiap bagian harta kekayaan debitor;
b.      setiap bagian kekayaan debitor dapat dijual guna perlunasan tagihan kreditor;
c.       hak tagihan kreditor hanya dijamin dengan harta benda debitor saja, tidak dengan “person debitor”.[29]
            Dalam jaminan yang bersifat umum, semua kreditor pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama. Perlunasan utang, dengan sendirinya dibagi menurut asas keseimbangan, yaitu berdasarkan besar-kecilnya jumlah piutang masing-masing kreditor. Besar-kecilnya dibandingkan dengan jumlah keseluruhan utang debitor. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mempunyai piutang kepadanya; pendapatan dari penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila seorang kreditor mempunyai alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.[30]
            Pasal 1132 KUHPerdata juga memberikan kemungkinan ada kreditor yang kedudukannya diutamakan[31]. Selanjutnya menurut Pasal 1133 KUHPerdata, kreditor yang diutamakan tersebut adalah mereka yang memiliki hak-hak yang dilahirkan karena piutang yang diistimewakan (privilege), dari gadai (pand), dan dari hipotik, termasuk hak tanggungan dan jaminan fidusia. Dengan demikian, kedudukan para kreditor terhadap harta kekayaan milik debitor ditentukan oleh jenis jaminan yang dipegangnya.[32] Dari ketentuan di atas (Pasal 1132 dan Pasal 1133 KUHPerdata) jelas bahwa pemegang polis asuransi tidak termasuk kreditor yang diutamakan atau diistimewakan. Dengan kata lain, tertanggung bukanlah termasuk kreditur yang memegang jaminan kebendaan seperti gadai, hipotik, fidusia ataupun hak tanggungan, sehingga karenanya tertanggung tidak bisa dikelompokkan sebagai kreditur preferen karena tidak cukup alasan untuk menyebutnya sebagai kreditur preferen,istimewa,separatis atau istilah lain yang sama dengan itu. Maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan tertanggung menurut KUHPerdata adalah sebagai kreditur konkuren.
            Tata cara penyelesaian utang debitur melalui KUHPerdata ini tidak menjamin hak-hak tertanggung dan terdapat banyak kelemahan yang memungkinkan kreditur konkuren (seperti halnya tertanggung) semakin tidak mendapatkan jaminan kepastian hukum. Oleh karenanya, dalam praktik  penyelesaian utang, tata cara ini cendrung dihindari dan kreditur lebih memilih tata cara sita massal melalui prosedur kepailitan.
2. Undang-Undang Kepailitan
            Walaupun dalam Pasal 2 butir (5) UU No.37 Tahun 2004 menyinggung masalah kepailitan perusahaan asuransi, tetapi dalam pasal-pasal berikutnya tidak ditemukan satupun pasal yang menyinggung perihal kedudukan pemegang polis asuransi, apakah sebagai kreditur preferen atau kreditur konkuren.
            Bila ditelaah satu persatu, pasal-pasal dari UU Kepailitan memang lebih banyak berbicara mengenai kepentingan para kreditur. Dalam kaitannya dengan kepailitan perusahaan asuransi, maka salah satu kreditur adalah pemegang polis asuransi yang lebih dikenal dengan tertanggung.
            Namun yang menjadi soal adalah, apakah benar tertanggung dilindungi secara wajar oleh UU Kepailitan? Bagaimana posisinya dalam hal mendapatkan pengembalian piutang dari harta pailit perusahaan asuransi? Apakah sebagai kreditur preferen atau hanya sebagai kreditur konkuren?
            Satu hal yang tidak bisa disangkal bahwa materi UU Kepailitan banyak menyinggung masalah pengembalian/pembayaran utang-utang debitur kepada para krediturnya, tetapi UU Kepailitan tidak secara eksplisit menyinggung kedudukan tertanggung atau pemegang polis asuransi sebagai kreditur preferen. UU Kepailitan tidak menempatkan tertanggung sebagai salah satu kreditur yang memiliki hak-hak yang diutamakan (preferen), bahkan tetap mempertahankan konsep perlindungan hukum yang dianut oleh Pasal 1133 KUHPerdata yang menempatkan kreditur pemegang jaminan kebendaan seperti pemegang gadai (pand), hipotik, termasuk hak tanggungan dan jaminan fidusia sebagai kreditur separatis yang pembayaran hak-haknya diutamakan,[33] walaupun hak-hak tersebut baru bisa direalisasikan setelah melewati masa penundaan lebih kurang 90 hari (Pasal 56 ayat (1) UUK baru). Bila demikian halnya jelas bahwa tertanggung masih merupakan kreditur biasa (konkuren) yang harus bersaing mendapatkan pemenuhan tagihan (hak) dengan kreditur-kreditur konkuren lainnya, namun setelah kurator menyelesaikan pembayaran kepada para kreditur yang tergolong istimewa (privilege) dan separatis.
            Bila UU Kepailitan ditelaah secara lebih dalam, kedudukan tertanggung sebagai kreditur konkuren bisa dipahami dari ketentuan Pasal 56 ayat (2) UUK lama (UU No.4 Tahun 1998). Ketentuan Pasal 56 ayat (2) UUK lama ini kemudian dipertegas oleh Pasal 127 ayat (1) dan (2).
Pasal 56 ayat (2) :
Bila tagihannya merupakan hal yang dimaksud dalam Pasal 126 dan Pasal 127, barulah tuntutan ini dapat dilaksanakan setelah terjadinya pencocokan utang piutang, dan tuntutannya hanya merupakan sejumlah uang yang tagihannya memang dapat diakui kebenarannya.
Pasal 127:
(1)         Suatu piutang yang pada saat penagihannya masih belum dapat ditentukan atau yang memberikan hak untuk diangsur secara berkala, dalam pencocokan dihitung jumlah harganya pada hari pernyataan pailit itu diputuskan.
(2)         Semua piutang yang penagihannya dalam waktu satu tahun terhitung sejak kepailitan, dalam pencocokan dihitung seakan-akan piutang tersebut dapat ditagih pada saat itu pula. Semua piutang yang penagihannya dalam waktu lebih dari satu tahun kemudian dalam pencocokannya harus dapat ditagih dengan jumlah harga dalam setelah lewat satu tahun sejak kepailitan.
            Mengenai kedudukan tertanggung sebagai kreditur konkuren, hal demikian masih dipertahankan di dalam UUK baru (UU No.37 Tahun 2004), dimana hal itu diatur dalam Pasal 55 ayat (2) yang kemudian diperjelas di dalam Pasal 137 ayat (1), (2), dan (3) berikut ini:
Pasal 55 ayat (2):
Dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan Pasal 137 maka mereka hanya dapat berbuat demikian setelah dicocokkan penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui dari penagihan tersebut.
Pasal 137:
(1)          Piutang yang saat penagihannya belum jelas atau yang memberikan hak untuk memperoleh pembayaran secara berkala, wajib dicocokkan nilainya pada tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
(2)          Semua piutang yang dapat ditagih dalam waktu (satu) tahun setelah tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, wajib diberlakukan sebagai piutang yang dapat ditagih pada tanggal tersebut.
(3)          Semua piutang yang dapat ditagih setelah lewat (satu) tahun setelah tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, wajib dicocokkan untuk nilai yang berlaku 1 (satu) tahun setelah tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
            Menurut ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU Kepailitan lama atau Pasal 55 ayat (2) UU Kepailitan baru, piutang para pemegang polis asuransi tidak bisa dieksekusi langsung seperti layaknya piutang para kreditur separatis atau yang diistimewakan. Melainkan piutang tersebut baru bisa dibayarkan setelah melalui proses pencocokan utang-piutang yang batas waktunya ditentukan oleh Hakim Pengawas. Dengan kata lain, pembayaran piutang kepada para nasabah asuransi (tertanggung) baru dibayarkan setelah Kurator atau BHP menuntaskan proses pembayaran kepada para kreditor yang diutamakan atau memiliki hak didahulukan.
            Menurut Pasal 127 UU Kepailitan lama atau Pasal 137 UU Kepailitan baru, piutang tertanggung tersebut bisa dikelompokkan sebagai jenis piutang  yang saat penagihannya belum jelas atau piutang yang memberikan hak untuk memperoleh pembayaran secara berkala. Demikian juga bisa dikelompokkan sebagai jenis piutang yang dapat ditagih dalam waktu (satu) tahun setelah tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan atau piutang yang dapat ditagih setelah lewat (satu) tahun setelah tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Hal ini berkaitan dengan saat jatuh tempo polis yang dimiliki oleh tertanggung.
            Seorang tertanggung yang polis asuransinya belum jatuh tempo atau evenemen-nya belum terjadi ketika putusan pernyataan pailit dibacakan, maka piutangnya bisa dikelompokkan sebagai piutang yang saat penagihannya belum jelas. Sedangkan tertanggung yang memegang polis asuransi pendidikan misalnya, bisa dikelompokkan sebagai piutang yang pembayarannya dilakukan secara berkala, maka nilai tagihannya wajib dicocokkan pada saat putusan pailit dibacakan. Tetapi bisa juga piutang tertanggung asuransi termasuk kelompok piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) dan (3) bila polisnya memang baru jatuh tempo satu tahun atau setelah lewat satu tahun setelah putusan pernyataan pailit diucapkan. Namun yang jelas, hak-hak atau piutang tertanggung asuransi kedudukannya merupakan kreditur konkuren atau bersaing.
3. Undang-Undang Usaha Perasuransian
            Pasal 20 ayat (2) UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, menyebutkan bahwa kedudukan nasabah asuransi dalam perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit merupakan kreditur yang diutamakan. Tetapi ketentuan dalam UU Perasuransian ini jelas tidak sejalan dengan apa yang dianut oleh UU Kepailitan.
            Ada pendapat yang menyatakan bahwa untuk tertanggung yang pembayaran premi asuransinya telah jatuh tempo dan berhak atas pembayaran klaim asuransi, maka tertanggung yang bersangkutan menempati kedudukan sebagai kreditur yang diutamakan (preferen), sedangkan bagi tertanggung yang belum berhak atas pembayaran klaim asuransi, baik karena polisnya belum jatuh tempo (asuransi jumlah) atau peristiwanya (evenemen) belum terjadi, maka kedudukannya adalah sebagai kreditur biasa (konkuren).[34]
            Secara logika, pendapat tersebut di atas boleh saja diterima bila kesepakatan untuk menyelesaikan perkara kepailitan asuransi atau pemberesan harta pailit perusahaan asuransi mengacu pada ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU Usaha Perasuransian, sehingga otomatis tertanggung ditempatkan sebagai kreditur preferen. Tetapi masalahnya akan lain bila Kurator atau BHP memiliki pandangan sendiri dan bertolak belakang dengan apa yang dimaksud di atas.  Yang paling mengkhwatirkan adalah bila Kurator atau BHP secara mutlak berpedoman pada  ketentuan Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata, dimana sepanjang masih ada kreditur pemegang hak jaminan kebendaan (kreditur separatis yang berada diluar tertanggung), maka kedudukan tertanggung sebagai kreditur istimewa/privilege menjadi tidak berarti. Karena menurut ketentuan Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata, kedudukan kreditur pemegang hak jaminan kebendaan (gadai, hipotik, fidusia dan hak tanggungan) lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan (privilege). Ini artinya bahwa kedudukan tertanggung pemegang polis atau yang memiliki hak menikmati (beneficiary) atas polis adalah sebagai kreditur nomor dua.  Walaupun namanya tetap sebagai kreditur preferen yang diistimewakan (privilege), tetapi hak-haknya baru dibayarkan setelah hak-hak para kreditur preferen yang separatis diselesaikan lebih dahulu.
            Sebenarnya ada penggalan kalimat terakhir dari Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata yang perlu dicermati lebih dalam sehingga keberadaan  Pasal 20 ayat (2) UU Usaha Perasuransian dalam penerapannya tidak menimbulkan dilema. Penggalan kalimat terakhir Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata tersebut berbunyi “…kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya”.
Bila merujuk pada ketentuan di atas jelaslah bahwa ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU Usaha Perasuransian yang menempatkan tertanggung pemegang polis asuransi sebagai kreditur yang diutamakan menjadi tegas. Artinya, keberadaan Pasal 20 ayat (2) UU Usaha Perasuransian ini tidak perlu dipertentangkan lagi dengan UU Kepailitan atau pun dengan ketentuan KUHPerdata. Hal ini sejalan dengan asas hukum yang berlaku, yakni asas lex specialis derogat lex generalis, dimana ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU Usaha Perasuransian sebagai ketentuan atau aturan hukum khusus harus dikedepankan pelaksanaannya dengan cara mengabaikan  (mengenyampingkan) ketentuan hukum umum yang tertuang dalam Pasal 1133 dan Pasal 1134 KUHPerdata. Demikian juga halnya dengan ketentuan UU Kepailitan, harus dikesampingkan, karena UU Usaha Perasuransian sendiri secara khusus telah mengatur dan menempatkan kedudukan tertanggung secara tegas sebagai kreditor yang diutamakan atau didahulukan pembayaran hak-haknya (preferen). Namun perlu diingat bahwa kedudukan tertanggung yang dimaksud di atas tentu saja sebagai kreditor preferen yang istimewa (privilege),[35] bukan kreditor preferen yang separatis, karena tertanggung memang bukan pemegang jaminan kebendaan seperti gadai, hipotik atau fidusia. Jadi ketentuan KUHPerdata dan UU Kepailitan harus tunduk kepada ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU Perasuransian bila terjadi kepailitan suatu perusahaan asuransi.

Namun, bila menyimak ketentuan Pasal 1139 maupun Pasal 1149 KUHPerdata mengenai jenis-jenis hak yang termasuk hak istimewa (privilege), maka tertanggung pemegang polis asuransi atau penikmatnya (ahli warisnya) tidak termasuk didalamnya. Oleh karena itu, menurut hemat penulis ketentuan pasal-pasal ini tidak bisa dipertahankan seutuhnya mengingat terbatasnya jenis-jenis hak yang diatur dalam dua pasal tersebut, sedangkan dalam kenyataannya terdapat jenis hak-hak lain seperti hak pemegang polis asuransi atau hak-hak lain yang muncul dikemudian hari sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan hak-hak itu sendiri.
            Menurut hemat penulis, penyelesaian utang-piutang dalam perkara kepailitan asuransi akan menjadi dilema bila tidak secara hati-hati memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang sudah ada khususnya ketentuan Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata (sebagaimana telah disinggung di atas). Dilema itu muncul terutama mengenai penerapan UU Kepailitan dan UU Perasuransian secara bersamaan. Pada satu sisi, UU Kepailitan tidak secara tegas mengatur hak-hak tertanggung, akan tetapi tetap menjunjung tinggi eksistensi hak-hak kreditor preferen sebagaimana dimuat dalam Pasal 1133 dan 1134 KUHPerdata, yang mana tertanggung  tidak termasuk salah satu didalamnya. Sedangkan disisi lain, UU Perasuransian mengatur secara tegas kedudukan tertanggung sebagai kreditor preferen (walaupun untuk kategori kreditor privilege) sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU Perasuransian. Penerapan asas hukum lex specialis derogat lex generalis diatas sudah tepat dilakukan mengingat kedua produk hukum tersebut berada pada tingkat atau kedudukan yang sama (undang-undang), dimana yang satu mengatur hal yang bersifat umum (kepailitan pada umumnya) dan yang lainnya mengatur hal yang bersifat khusus (kepailitan asuransi). Tentu saja semuanya tergantung pada pengetahuan/pemahaman Kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP). Bila para pemberes ini memahami prinsip-prinsip hukum (sebagaimana dimaksud di atas) maka atas pengetahuan/pemahamannya itu akan melahirkan keputusan dan tindakan hukum yang tepat sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Karena Kurator atau BHP-lah pihak yang paling berwenang dalam mengurus dan/atau membereskan harta milik debitor pasca putusan pailit  Pengadilan Niaga.
            Namun, bila Kurator atau BHP punya pemahaman bertolak belakang dengan apa yang dipaparkan di atas, maka harapan para pemegang polis asuransi (tertanggung) untuk mendapatkan kedudukan sebagai kreditur preferen akan jauh panggang dari api. Dengan kata lain, bila Kurator atau BHP bersepakat (memilih) menerapkan secara mutlak UU Kepailitan dalam proses pemberesan harta perusahaan asuransi yang dipailitan, maka impian para pemegang polis (tertanggung) untuk mendapatkan peringkat atau kedudukan sebagai kreditur yang diutamakan (sebagaimana diamanatkan oleh UU Usaha Perasuransian) tidak bisa diwujudkan, karena UU Kepailitan tidak mengatur/menempatkan pemegang polis asuransi (tertanggung) sebagai kreditur yang diutamakan (preferen).
            Dengan demikian, perlu adanya pemahaman yang sama mengenai hal ini dikalangan para penegak hukum (khususnya Hakim Pengawas dan Kurator), sehingga tidak salah dalam mengambil keputusan dan/atau menerapkan hukum (peraturan perundang-undangan) yang ada, sehingga apa yang diharapkan mayoritas  pencari keadilan (seperti pemegang polis/tertanggung) agar hak-haknya terlindungi secara wajar bisa terwujudkan.
Akhirnya, karena UU Usaha Perasuransian sudah secara tegas menyatakan tertanggung pemegang polis asuransi sebagai kreditur yang diutamakan, maka dalam kasus kepailitan asuransi, ketentuan dalam Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa gadai dan hipotik (termasuk jaminan kebendaan lain) lebih tinggi kedudukannya daripada hak istimewa, tidak berlaku.  
Jadi, UU Usaha Perasuransian sudah dengan tegas mengatur kebalikannya,, bahwa tertanggung/pemegang polis asuransi adalah kreditur yang utama, yang harus terlebih dahulu dibayar hak-hak (piutangnya) dan mengambil alih kedudukan utama  kreditur separatis (pemegang gadai,hipotik,fidusia, dan hak tanggungan).
D. TINDAKAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM MELINDUNGI
      HAK HAKNYA.
             UU Kepailitan sepenuhnya belum mengakomodasi kepentingan tertanggung yang terikat perjanjian asuransi yang bersifat timbal balik dengan perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit. UU Kepailitan yang berlaku sekarang ini masih bersifat mencegah terjadinya pemailitan secara mudah. Namun demikian, tanpa sengaja UU Kepailitan sebenarnya telah mengatur banyak hal berkaitan dengan tindakan-tindakan hukum yang bisa dilakukan oleh seorang tertanggung walau harus melalui Kurator atau BHP dalam rangka melindungi hak-haknya, antara lain:
1.      Memohon kepada kurator untuk melakukan tindakan actio paulina.
            Actio paulina adalah lembaga perlindungan hak kreditor dari perbuatan debitor pailit yang merugikan para kreditor. Dalam kaitannya dengan kepailitan, actio paulina adalah semacam legal recourse yang diberikan kepada kurator untuk membatalkan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan debitor sebelum penetapan pernyataan pailit dijatuhkan apabila kurator menganggap bahwa tindakan-tindakan hukum (seperti perikatan-perikatan) yang dilakukan debitor tersebut merugikan kepentingan para kreditor.
            Actio paulina menurut ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata hanya dapat dilaksanakan jika syarat-syarat yang ditetapkan dalam pasal tersebut terpenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah:
 a).        kreditor harus membuktikan bahwa debitor melakukan tindakan yang tidak diwajibkan;
 b).        kreditor harus membuktikan bahwa tindakan debitor merugikan kreditor;
 c).        terhadap perikatan timbal balik yang dibuat oleh debitor dengan suatu pihak tertentu  dalam perjanjian, yang mengakibatkan berkurangnya harta kekayaan debitor, maka kreditor harus dapat membuktikan pada saat perjanjian itu dilakukan, debitor dan orang yang dengannya debitor itu berjanji, mengetahui bahwa perjanjian itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditor;
 d).       sedangkan untuk perjanjian atau perbuatan hukum yang bersifat Cuma-Cuma (tanpa ada kontra prestasi dari pihak lain), cukuplah kreditor membuktikan bahwa pada waktu membuat perjanjian atau melakukan tindakan itu, debitor mengetahui bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditor, tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak.
            Dalam hal demikian, actio paulina hanya dapat dilakukan dan dilaksanakan berdasarkan putusan hakim pengadilan. Dengan demikian berarti setiap pembatalan perjanjian apapun juga alasannya, pihak manapun juga yang mengajukannya tetap menjadi wewenang pengadilan.
            UU No.37 tahun 2004, tentang Kepailitan mengatur ketentuan actio paulina ini dalam Pasal 30, 41 s/d Pasal 47. Menurut Pasal 41 dan 42, terdapat paling tidak empat syarat yang harus dipenuhi untuk bisa melakukan actio paulina, yaitu:
 a).        debitor telah melakukan perbuatan hukum yang tidak wajib dilakukannya;
 b).        perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan;
 c).        perbuatan hukum tersebut telah merugikan kepentingan para kreditur;
 d).       kurator dapat membuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor/para kreditor.
            Kurator atau Balai Harta Peninggalan adalah satu-satunya pihak yang dapat membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur pailit berdasarkan konsep actio paulina. Berdasarkan wewenang tersebut, kurator secara aktif mempelajari dan menyelidiki seluruh perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur pailit sebelum terjadinya kepailitan, terutama terhadap perbuatan hukum yang dilakukan/dilaksanakan dalam jangka waktu satu tahun sebelum terjadi Kepailitan. Demikian juga, kurator harus mendengar petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Panitia Kreditur mengenai kemungkinan adanya perbuatan hukum yang dapat dibatalkan dengan actio paulina. Semuanya itu dilakukan oleh kurator demi kepentingan para kreditur.
2. Meminta verifikasi/pencocokan piutang  
            Proses pencocokan piutang adalah penentuan klasifikasi tentang tagihan-tagihan yang masuk terhadap harta pailit debitur, guna diperinci berapa besarnya  piutang-piutang yang dapat dibayarkan kepada masing-masing kreditur, yang diklasifikasikan menjadi daftar piutang yang diakui atau yang sementara diakui. Proses pencocokan piutang ini dilakukan dalam suatu pentahapan yang disebut Rapat Verikasi.[36] Dalam proses ini, kreditur (tertanggung) punya hak meminta dilakukan verifikasi atas piutangnya sesuai dengan kwitansi atas premi yang telah dibayarkannya kepada debitur (Perusahaan Asuransi). Tentu saja piutang yang diajukan pencocokannya tersebut diklasifikasi lebih dahulu oleh kurator apakah termasuk dalam kelompok piutang yang diakui atau kelompok piutang yang sementara diakui. Bila piutang tertanggung tersebut masuk kategori diakui, maka selanjutnya akan mudah menentukan kedudukannya, apakah sebagai kreditur preferen atau konkuren. Apabila kedudukannya sebagai kreditur preferen, tentu saja pelunasan piutangnya tidak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya, karena dijamin oleh undang-undang untuk didahulukan. Lain halnya bila tertang bersangkutan termasuk dalam daftar kreditur konkuren yang suka atau tidak suka harus bersaing dengan kreditur konkuren lainnya, sebab untuk jenis kreditur ini jumlahnya biasanya sangat banyak. Berdasarkan urutan dan kedudukan itulah tertanggung baru bisa mendapatkan pembayaran hak-hak (piutangnya) sesuai dengan kwitansi/bukti-bukti pembayaran premi yang pernah dilakukannya kepada penanggung yang pailit.
3. Mengusahakan perdamaian (accoord)
            Ada dua jenis perdamaian yang diatur dalam UU Kepailitan, yaitu perdamaian dalam Kepailitan dan perdamaian dalam PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Pasal 144 UUK baru menyebutkan bahwa Debitor pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor (perdamaian dalam Kepailitan).Ketentuan yang sama juga bisa dijumpai dalam Pasal 265 (perdamaian dalam PKPU), yang menyebutkan bahwa Debitor berhak pada waktu mengajukan permohonan PKPU atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada Kreditor.Namun demikian, hak utama pengajuan tawaran rencana perdamaian dalam kepailitan (maupun dalam PKPU) berada ditangan Debitor. Walaupun terbuka kemungkinan tawaran perdamaian diajukan oleh kreditur (terutama dalam PKPU). Perdamaian dalam Kepailitan dilakukan setelah adanya putusan pailit, oleh karena itu inisiatif untuk melakukan perdamaian dalam kepailitan selalu datang dari pihak yang dipailitkan (debitur) baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan dari para krediturnya. Sedangkan perdamaian dalam PKPU bisa dilakukan atas inisiatif kreditur sehingga dalam proses ini para kreditur dimungkinkan untuk mendapatkan kembali hak-haknya, baik dalam bentuk kumpulan premi ataupun hak lain sebagai akibat dari terjadinya perikatan antara tertanggung dan penanggung seperti yang diperjanjikan dalam polis. Perdamaian akan berfaedah bagi kedua belah pihak yaitu Debitor pailit dan Kreditor. Di satu pihak, Debitor pailit tidak usah membayar bagian-bagian lain dari tagihan-tagihan itu dan harta kekayaan Debitornya tidak dilelang. Debitor juga masih dapat menjalankan perusahaannya. Jika perdamaian tidak mencapai kata sepakat, barulah harta kekayaan bisa dijual. Di lain pihak, perdamaian ini memberikan keuntungan bagi para Kreditor. Alasannya,penyelesaian atau likuidasi kemungkinan akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Tidak ada jaminan bahwa semua tagihan-tagihan para Kreditor akan bisa terpenuhi dari hasil pelelangan/penjualan harta pailit. Sebaliknya, perdamaian biasanya menganjurkan pembayaran yang lebih tinggi daripada pembayaran yang diharapkan dalam likuidasi/pemberesan.
PENUTUP
            Dalam rangka menjamin perlindungan hukum yang adil bagi tertanggung terkait dengan kepailitan perusahaan asuransi, menjadi hal penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum yang tegas, baik di dalam UU Usaha Perasuransian maupun UU Kepailitan dan PKPU. Dengan kondisi peraturan perundang-undangan yang ada saat ini tidaklah cukup untuk menyatakan bahwa tertanggung telah terjamin hak-haknya, akan tetapi perlu segera melakukan revisi atau amandemen terhadap UU Kepailitan dan PKPU agar ketentuannya sejalan dan seirama dengan UU Usaha Perasuransian. Hal ini dilakukan demi mempertegas kedudukan tertanggung sebagai kreditur yang diutamakan.   
DAFTAR BACAAN
Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Penerbit Kencana, Jakarta, 2004
Fuady, Munir, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
Hartono, Sri Redjeki, “Hukum Perdata sebagai dasar hukum kepailitan modern”, Majalah Hukum Nasional, No. 2  Tahun 2000
History of the duty and remedies  dalam http://www.aar.com.au/pubs/insur/insmay01a.htm
Insurance and Savings Ombudsman (ISO), The Law – Duty of Disclosure, Consumer Information Sheet No.4, November  2005.
Juwana, Hikmahanto, “Pailitnya Prudential, Harga Mahal Panasea IMF”, Kompas, Rabu, 19 Mei 2004
Kusumaningdiah, Perlindungan Hukum kepada Tertanggung Sehubungan dengan Pernyataan Pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Tesis (Abstrak), Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, dalam http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s2-2004-kusumaningdiah2c-1053pailit&q=++kepailitan&PHPSESSID=0629b7ba39f6f4430c9571ce837f55fa
Lotulung,Paulus E., Pencocokan Piutang, dalam Rudy A.Lontoh, dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-Piutang, Penerbit Alumni, Bandung, 2001
Marpaung, Kapler A, “Kepercayaan Publik dan Kasus dalam Perasuransian”, Kompas Kamis, 24 Juni 2004
Nating,Imran, “Kepailitan di Indonesia (Pengantar)”, Solusi Hukum Dot Kom, Tahun 2004
Prinsip-prinsip Dasar Asuransi, dalam http://ryaniskandar.wordpress.com/2007/07/01/prinsip-dasar-asuransi
Pailitnya Prudential dan Keputusan Pembatalan oleh MA,  dalam http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=10493&cl=Wawancara
Pemailitan Perusahaan Asuransi Hanya Dilakukan Menkeu, TempoInteraktif.com, Selasa, 17 Mei 2005
Permohonan Kasasi Dikabulkan, Manulife Batal Pailit, Hukumonline.com, Sabtu, 2 Agustus 2008
Radjagukuguk, Erman, “Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan”, di dalam Ruddhy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Piutang melaui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang  (Bandung: Alumni, 2001) 
Sastrawidjaja,Man Suparman, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Penerbit Alumni, Bandung, 2003
Situmorang, Morgan “Tinjauan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang  Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 menjadi Undang-Undang”. Majalah Hukum Nasional, No. 1 Tahun 1999
Tulloch, Andrew, Utmost Good Faith, Part II CMI Yearbook 2003, dalam http://www.Comitemaritime.org/future/pdf/utm-g-faith.pdf
Usman,Rachmadi, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.12-13




[1] Penulis adalah  Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan  
[2] Lihat Konsideran UU Nomor 37 Tahun 2004, poin (a) menyebutkan: “ bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dapat mendukung dan menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran”.
[3] UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini, (selanjutnya di sebut UUK baru) didasarkan pada beberapa asas:
 a).    Asas Keseimbangan. UUK ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
 b).    Asas Keadilan. Dalam kepailitan, asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing kepada debitor, dengan tidak mempedulikan kreditor lainnya.
 c).    Asas Kelangsungan. Dalam UUK ini terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan, terutama yang menyangkut hajar hidup orang banyak.
 d).    Asas Integrasi. Asas integrasi dalam undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara nasional.
[4] Erman Radjagukuguk. “Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan”,  di dalam Ruddhy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Piutang melaui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang  (Bandung: Alumni, 2001) hlm. 181.
[5] Imran Nating, “Kepailitan di Indonesia (Pengantar)”, Solusi Hukum Dot Kom, Tahun 2004
[6] Baca paragraf 8 Penjelasan Umum UU Nommor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
            [7] Keberatan ulama terhadap  asuransi modern disebabkan karena  asuransi mengandung unsur perjudian, mengandung unsur ketidakpastian, mengandung unsur riba yang dilarang dalam Islam dan mengandung unsur eksploitasi yang bersifat menekan. Baca: AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Penerbit Kencana, Jakarta, 2004, hal. 142-143.
            [8] Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, hal.69
[9]Prinsip-prinsip Dasar Asuransi” dalam http://ryaniskandar.wordpress.com/2007/07/01/prinsip-dasar-asuransi
            [10] It is a fundamental principle of insurance law that the parties to a contract of insurance act  with the “utmost good faith” in their dealings with each other. This means that the insured and the insurer are obliged to clearly and accurately inform each other about all of the important information relating to the proposed insurance. In the case of a consumer, the principle of utmost good faith means that he/she (the insured) must inform the insurer about any facts, which may be material to the insurance cover sought, such as criminal or traffic convictions, previous claims history, or bankruptcy, in fire and general policies; and medical advice, treatment, medication and any pre-existing health conditions, in life and disability policies. This is referred to as the “duty of disclosure”. Information is “material'” and must be disclosed, if it would influence the mind of a prudent insurer in deciding whether or not to accept an application for insurance and, if so, on what terms. Baca: Insurance and Savings Ombudsman (ISO), The Law – Duty of Disclosure, Consumer Information Sheet No.4, November  2005.
            [11] Uberrima fides (sometimes seen in its plural form, Uberrimae fidei) is a Latin phrase meaning "utmost good faith" (or translated literally, "most abundant faith"). It is name of a legal doctrine which governs insurance contracts. This means that all parties to an insurance contract must deal in good faith, making a full declaration of all material facts in the insurance proposal.
            [12] Andrew Tulloch, Utmost Good Faith, Part II CMI Yearbook 2003, dalam http://www.Comitemaritime.org/future/pdf/utm-g-faith.pdf
         [13] History of the duty and remedies, dalam http://www.aar.com.au/pubs/insur/insmay01a.htm
            [14] Kasus Manulife yang mayoritas sahamnya dimiliki Manulife Financial Corporation, perusahaan asuransi terbesar Kanada, dipailitkan pada 13 Juni 2002 dengan argumentasi bahwa Manulife tidak membayarkan dividen tahun buku 1999 berikut bunganya kepada PT. Dharmala Sakti Sejahtera,Tbk sebesar Rp.32,7 milyar. Selanjtunya permohonan kasasi Manulife dikabulkan dikabulkan MA pada 5 Juli 2002.  Akibatnya, perusahaan asuransi tersebut tidak jadi pailit dan dapat beroperasi kembali seperti biasa. Baca: Permohonan Kasasi Dikabulkan, Manulife Batal Pailit, Hukumonline.com, Sabtu, 2 Agustus 2008.
            [15] Pada kasus Prudential, perusahaan yang 94,6 % sahamnya dikuasai oleh The Prudential Assurance Co Ltd ini dipailitkan berkaitan dengan gugatan yang diajukan Lee Boon Siong  (mantan agen asuransinya) yang dianggap tidak memenuhi kewajiban membayar bonus dan biaya perjalanan sekitar Rp. 6 milyar.  Pada 7 Juni 2004 MA membatalkan putusan pengadilan niaga No.13/Pailit/PN Niaga. Jkt.Pst yang sebelumnya menyatakan Prudential pailit. Menurut majelis kasasi, adanya hutang Prudential kepada Lee Boon Siong tidak dapat dibuktikan secara sederhana. Sebab,  meski Lee Boon Siong mendalilkan adanya hutang Prudential yang timbul dari perjanjian keagenan (pioneering agency agreement), namun Prudential menyangkal hal tersebut. Oleh majelis kasasi, adanya tidaknya hutang belum terbukti dan masih dalam taraf perselisihan dan tidak bisa dibuktikan secara sederhana. Baca: Pailitnya Prudential dan Keputusan Pembatalan oleh MA  dalam http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=10493&cl=Wawancara
[16] Kapler A Marpaung,Kepercayaan Publik dan Kasus dalam Perasuransian”, Kompas Kamis, 24 Juni 2004
[17] Ibid.
[18] Menurut Hikmahanto Juwana, UU Kepailitan belakangan digunakan oleh kreditor kecil untuk mengancam, bahkan memailitkan, debitor besar yang secara finansial dalam keadaan sehat dan tidak sedang mengalami distress. Proses pemailitan dilakukan bila terjadi sengketa cedera janji atau wanprestasi antara pembeli dan penjual, sengketa antarpemegang saham, ataupun sengketa yang muncul berdasarkan kontrak. Padahal, berbagai sengketa ini seharusnya diselesaikan melalui pengadilan (perdata) ataupun arbitrase. Situasi inilah yang dialami oleh Prudential. Pailitnya Prudential bukanlah karena Prudential dalam kondisi keuangan yang tidak sehat, tetapi lebih karena adanya sengketa kontraktual antara Prudential dan mitranya. Baca: Hikmahanto Juwana,Pailitnya Prudential, Harga Mahal Panasea IMF”, Kompas, Rabu, 19 Mei 2004
[19] Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal.209
[20] Morgan Situmorang. “Tinjauan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang  Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 menjadi Undang-Undang”. Majalah Hukum Nasional, No. 1 Tahun 1999,hlm. 163
[21] Sri Redjeki Hartono, “Hukum Perdata sebagai dasar hukum kepailitan modern”, Majalah Hukum Nasional, No. 2  Tahun 2000, hlm. 37.
[22] Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan: “segala kebendaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya secara perseorangan”.
[23] Berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata ini seluruh harta kekayaan debitor-tanpa kecuali-akan menjadi jaminan umum atas pelunasan perutangannya, terlepas apakah sebelumnya hal itu telah diperjanjikan maupun belum. Jaminan ini bersifat umum, lahir karena undang-undang, sehingga tidak perlu ada perjanjian jaminan sebelumnya.
[24]Pemailitan Perusahaan Asuransi Hanya Dilakukan Menkeu, TempoInteraktif.com, Selasa, 17 Mei 2005
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Syarat pernyataan pailit diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004
[28] Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.12-13
[29] Ibid, hal.13
[30] Ibid.
[31] Menurut Pasal 1132 KUHPerdata, ada dua macam kreditor yang dikenal secara umum, yaitu pertama, kreditor biasa/bersaing (konkuren) dan kedua, kreditor yang diutamakan atau didahulukan (preferen). Dalam Pasal 1133 KUHPerdata selanjutnya diperjelas bahwa kreditor preferen itu sebenarnya dibagi dua, pertama, kreditor yang memiliki hak istimewa (privilege) dan kedua, kreditor yang memiliki atau pemegang hak jaminan kebendaan (separatis) seperti hipotik, gadai, fiduasia dan hak tanggungan.
[32] Ibid.
[33] Periksa Pasal 55 ayat  (1) UU No.37 Tahun 2004
[34] Kusumaningdiah, Perlindungan Hukum kepada Tertanggung Sehubungan dengan Pernyataan Pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Tesis (Abstrak), Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, dalam http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s2-2004-kusumaningdiah2c1053pailit&q=++kepailitan&PHPSESSID=0629b7ba39f6f4430c9571ce837f55fa
[35] Menurut Pasal 1134 KUHPerdata, hak istimewa (privilege) adalah suatu hak yang diberikan oelh undang-undang kepada seorang kreditor yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Namun demikian, tetap saja kedudukan kreditor separatis (pemegang gadai, hipotik,fidusia, dan hak tanggungan) lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali undang-undang secara tegas menentukan sebaliknya.
[36] Paulus E. Lotulung, Pencocokan Piutang, dalam Rudy A.Lontoh, dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-Piutang, Penerbit Alumni, Bandung, 2001, hal.389

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih