Rabu, 07 Oktober 2009

 HUKUM SEBAGAI SARANA PEMBAHARUAN  SOSIAL:
SEBUAH TEORI EFEKTIVITAS HUKUM

Mulhadi[1]

      Ilmu pengetahuan hukum modern sebenarnya merupakan ilmu pengetahuan terapan (applied science), jadi merupakan suatu teknologi. Di dalam menjalankan fungsinya sebagai suatu teknologi haruslah mendasarkan kegiatannya pada penemuan-penemuan dari ilmu pengetahuan murni (pure science) dan dalam hal ini ilmu pengetahuan hukum menerimanya dari ilmu-ilmu sosial. Menurut Cairns, ilmu pengetahuan hukum sebagai suatu socio-technique harus mampu membuat dan menerapkan peraturan-peraturan hukum yang diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan sosial yang diharapkan.[2]
      Salah satu tujuan sosial yang diharapkan dari penerapan hukum adalah bagaimana hukum bisa memberikan perubahan pada perilaku hukum masyarakat, sehingga dengan perubahan tersebut tercapailah peningkatan kualitas hidup masyarakat. Pencapaian peningkatan kualitas hidup ini baru bisa dilakukan dengan cara memfungsikan hukum sebagai sarana pembaharuan atau perubahan sosial. 
      Sebuah teori fungsional hukum yang terkenal dari aliran Sociological Jurisprudence,[3] terutama pandangan dari Roscoe Pound menyatakan bahwa “hukum sebagai suatu sarana bagi pembaharuan atau rekayasa sosial (law as a tool of social engineering)”.[4] Menurut Pound, tugas pokok pemikiran modern mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial,[5] yakni to construct as efficient a society as possible, one which ensures the satisfaction of the maximum of interests with minimal friction and waste of resources.[6] Untuk memudahkan dan menguatkan tugas rekayasa sosial ini, Pound merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial yang harus dilindungi, dimana keseimbangan pelaksanaannya menyebabkan perkembangan hukum[7] dan yang paling penting adalah terwujudnya cita-cita rekayasa sosial sebagaimana yang diharapkan. Kepentingan-kepentingan tersebut adalah kepentingan-kepentingan umum, kepentingan-kepentingan sosial, dan kepentingan-kepentingan pribadi.[8]Tetapi hukum yang akan digunakan sebagai sarana tersebut harus memenuhi satu syarat penting dalam pembuatannya yaitu bahwa substansinya harus mengakomodir nilai-nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Teori ini di Indonesia kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam istilah “hukum sebagai sarana pembangunan”.
                  Menurut Mochtar, hukum sebagai suatu kaedah sosial, tidak lepas dari nilai-nilai (values) yang berlaku di dalam masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.[9]
      Menurut aliran sociological jurisprudence, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai serta kesadaran hukum yang berlaku dalam masyarakat itu. Dalam pandangan Soekanto, faktor ini merupakan faktor filosofis dalam menilai baik tidaknya sebuah kaedah hukum. Disamping faktor filosofis di atas, terdapat dua faktor lain yang dianggap penting yaitu faktor yuridis dan faktor sosiologis. Secara yuridis, hukum berlaku apabila hukum tersebut dibentuk melalui prosedur tertentu, dan oleh badan-badan tertentu. Misalnya menurut UUD 1945, undang-undang dibuat oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan di dalam arti sosiologis, maka hukum dianggap baik apabila dipatuhi oleh warga-warganya.[10] Namun dari ketiga faktor di atas, faktor filosofis merupakan faktor yang sangat menentukan.
      Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan  bahwa dalam suatu masyarakat yang sedang dalam peralihan (intransition) dari suatu masyarakat yang tertutup, statis dan terbelakang, ke suatu masyarakat yang terbuka, dinamis, maju (modern) - nilai-nilai itupun mestinya dalam perubahan pula. Nilai-nilai itu tidak lepas dari sikap (attitude) dan sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota masyarakat yang sedang membangun itu. Tanpa perubahan sikap-sikap dan sifat kearah yang diperlukan oleh suatu kehidupan yang modern, segala pembangunan dalam arti benda fisik, akan sedikit sekali artinya.[11]
      Oleh karenanya Pound menegaskan kembali bahwa fungsi utama hukum pada masyarakat berkembang adalah sebagai sarana “social engineering” yaitu sebagai sarana yang ditujukan untuk mengubah tingkah laku warga-warga masyarakat agar sesuai dengan tujuan-tujuan yang semula telah ditetapkan sebelumnya.[12]Jadi, inti perubahan atau pembaharuan sosial yang dimaksud dalam konteks “social engineering” Pound adalah terwujudnya perubahan perilaku hukum masyarakat.
                  Apa yang dikemukakan oleh Pound mengenai fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan sosial (social engineering) berkaitan erat dengan fungsi integrasi yang dimiliki oleh hukum dalam teori sistem sosial (tindakan) dari Talcott Parsons. Menurut Parsons, sistem sosial adalah suatu sistem interaksi, yang pada intinya merupakan suatu tindakan (action) manusia. Tindakan manusia sebagai suatu sistem, tersusun atas sejumlah bagian (sub-sistem) yang saling berkaitan dan saling mendudukung. Tiap bagian atau sub-sistem mempunyai fungsi tertentu terhadap sistem yang meliputinya. Parsons menyebutkan empat fungsi dari tindakan (demikian juga hukum), yaitu fungsi adaptasi (adaptation); fungsi pencapaian tujuan (goal attainment); fungsi integrasi (integration); dan fungsi pemeliharaan pola atau latensi (patterns maintenance atau latency). [13] Dari ke-4 fungsi tersebut, fungsi integrasi menempati kedudukan sentral bagi perorganisasian masyarakat, dan titik berat hukum terletak pada fungsi integrasi ini. Atas dasar itu pulalah kemudian Parsons mengatakan bahwa fungsi hukum sebagai social engineering hanyalah bagian dari fungsi integrasi hukum.
                  Bagi Otje Salman, pengertian fungsi hukum sebagai sarana integrasi masih perlu dijabarkan lagi ke dalam berbagai fungsinya yang berlainan, yakni fungsi hukum sebagai sarana kontrol sosial dan fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan sosial (sosial engineering). Pada fungsi kontrol, masalah-masalah pengintegrasian tampak menonjol. Dengan terjadinya perubahan-perubahan pada faktor tersebut di atas, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa sehingga konflik-konflik serta kepincangan-kepincangan yang mungkin timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat.[14]  
                  Berbeda dengan fungsi hukum sebagai sarana kontrol sosial, maka fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan sosial ini, hukum dihadapkan pada persoalan bagaimana menciptakan perubahan dalam masyarakat sehingga mampu mengikuti perubahan sosial yang sementara itu telah berjalan dalam masyarakat. Persoalannya disini adalah bagaimana menggerakkan perubahan pada bagian-bagian dari masyarakat sehingga dapat tercapai kesesuaian dengan bagian-bagian lain yang telah berubah.[15] Dengan kata lain, hukum sebagai sarana integrasi mengandung arti bahwa hukum berupaya melakukan pengintegrasian (penyatupaduan) beragam perilaku masyarakat ke dalam satu tatanan perilaku sebagaimana diinginkan, agar sejalan dengan perubahan yang sudah dialami oleh bagian-bagian lain masyarakat.
                  Dalam bukunya yang berjudul “The Law and Social Control” (1962), Parsons menunjukkan hubungan antara struktur dari suatu sistem sosial sesuai dengan proses “integrasi” dalam hukum. Ia pun menguraikan bagaimana hukum berfungsi untuk mengatur, memelihara, dan menjaga hubungan sosial di dalam sistem tersebut. Sesungguhnya yang menjadi masalah utama dalam tulisannya bukanlah mengenai bagaimana suatu hukum atau suatu sistem hukum tertentu mengatur hubungan di dalam suatu sistem sosial, akan tetapi apa yang terlibat di dalam suatu sistem sosial. Secara lebih spesifik, Parsons tertarik untuk menganalisis kondisi-kondisi yang menyebabkan aturan-aturan dalam suatu sistem bisa berjalan secara efektif. Kondisi-kondisi ini, yang merupakan suatu keharusan untuk membentuk proses integrasi agar eksistensi sistem tetap berlangsung, merupakan karakteristik abstrak dari suatu sistem aturan normatif. Menurutnya, sanksi hukum sebagai bagian dari sistem normatif merupakan salah satu bentuk fungsi integrasi dari hukum.   Berdasarkan fungsi integrasi ini timbul pertanyaan, apa persyaratan fungsional dari proses hukum agar hukum dapat bereksistensi dan dapat terus menerus bereksistensi. Atau dengan perkataan lain, jika dikatakan bahwa hukum memiliki fungsi integrasi, maka bagaimana proses hukum berlangsung agar hukum itu dapat memiliki fungsi tersebut? Untuk menganalisa apakah suatu hukum itu efektif atau tidak, bisa dilihat apakah hukum tersebut mampu atau tidak untuk mengatur interaksi di dalam sistem sosial dimana hukum itu berlaku.[16]
                  Konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat di negara yang sedang membangun, hukum dapat berperan sebagai sarana yang mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern.   
                  Walaupun demikian harus disadari juga bahwa konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat memiliki pengertian yang lebih luas dari konsepsi “law as a tool of social engineering” sebagaimana yang berlangsung di Negara-negara Anglo American.[17] Konsepsi ini membawa konsekuenasi bahwa perubahan yang diinginkan berjalan dengan teratur dan direncanakan. Hukum disini mungkin dapat mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Sebagai contoh, pada tahun 1970-an, Pemerintah melancarkan suatu operasi pelarangan pemakain koteka di daerah Irian Jaya. Ini dimaksudkan agar terjadi perubahan sosial dalam masyarakat, dari pola kebiasaan yang dipandang sangat tradisional  ke pola perilaku yang dianggap pantas dan memenuhi rasa moralitas dalam pergaulan masyarakat pada umumnya.[18] Contoh lain juga bisa dilihat pada tindakan yang dilakukan Pemerintah untuk memberangus kepercayaan tradisonal masyarakat asli Mentawai “Arat Sabulungan” pada tahun 1954 hingga awal tahun 1980-an. Semuanya bertujuan untuk melakukan perubahan sikap dan pola berperilaku masyarakat, dari sikap dan perilaku tradisional menuju sikap dan pola perilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap modern.
      Pada hakikatnya, masalah pembangunan nasional (khususnya pembangunan hukum) adalah masalah pembaharuan cara berpikir dan sikap hidup. Tanpa sikap dan cara berpikir yang berubah, pengenalan (introduction) lembaga-lembaga modern dalam kehidupan tidak akan berhasil.[19] Dalam kaitan inilah dikatakan bahwa hukum memiliki fungsi sebagai sarana rekayasa, pembaharuan, atau perubahan sosial.[20]
      Schuyt dalam bukunya Rechtssociologie mengungkapkan bahwa hukum merupakan sarana yang dipergunakan orang untuk menimbulkan suatu keadaan di dalam masyarakat. Kadang-kadang orang ingin menggunakan hukum (terutama undang-undang) untuk menimbulkan suatu perubahan sosial yang nyata. Penguasaan atau pengarahan proses sosial ini disebut “social engineering”.[21]
      Satjipto Rahardjo menyebutkan bahwa “salah satu ciri menonjol dari hukum pada masyarakat modern adalah penggunaanya secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya.[22] Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai suatu instrumen atau sarana.[23]
      Sebelumnya, Sorokin secara extrem telah menggambarkan pandangan dari masyarakat modern tentang hukum itu, yaitu sebagai “buatan manusia yang sering hanya  berupa instrumen untuk menundukkan dan mengeksploitasi suatu golongan oleh golongan lain. Tujuannya adalah sepenuhnya utilitarian, yakni keselamatan hidup manusia, keamanan harta benda dan pemiliknya, keamanan dan ketertiban, kebahagiaan dan kesejahteraan.[24] Norma-normanya bersifat relatif, bisa dirubah dan tergantung pada keadaan. Dalam sistem hukum yang demikian itu tidak ada yang dianggap abadi dan suci”.[25]
      Berdasarkan pandangan Sorokin ini hukum tidak lagi dimaksudkan hanya sebagai sarana untuk mengatur ketertiban dan keamanan serta kepastian hukum dalam masyarakat, tetapi lebih jauh bagaimana supaya hukum itu berfungsi sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang maksimal.[26]
      Satjipto[27] mengemukakan adanya 4 (empat) langkah sistematis yang dapat diambil dalam social engineering, dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahannya, yaitu :
1.   Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk didalamnya mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut.
2.    Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam hal social engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti: tradisional, madya atau modern.
3.      Membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.
4.      Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.
      Langkah ini dapat dijadikan arah bagi menjalankan fungsi hukum[28] sebagai sarana pembaharuan sosial. Bagaimana supaya hukum dapat merombak pemikiran, kultur, maupun sikap ataupun cara hidup seseorang agar dapat bertindak dan berbuat sesuai tuntutan kehidupan.[29] Pound dalam ajarannya lebih menekankan pada efektivitas bekerjanya hukum, dan untuk itu ia sangat mementingkan beroperasinya hukum di dalam masyarakat. Atas dasar itu pulalah Pound membedakan pengertian law in books di satu pihak dan law in action di pihak lain.[30]
      Dengan demikian, berbicara mengenai berfungsinya hukum sebagai sarana pembaharuan sosial tidak lepas kaitannya dengan persoalan efektivitas sebuah peraturan hukum. Kalau hukum itu dikehendaki untuk melakukan perubahan pada perilaku masyarakat, maka harus dilacak lebih dahulu dengan seksama bagaimana ia bekerja di dalam masyarakat, dan hal ini berarti mempersoalkan efektivitasnya.[31] Dengan demikian, agar hukum berjalan efektif dan berfungsi dengan baik, diperlukan keserasian dalam hubungan antara empat faktor :
1.  Hukum atau peraturan itu sendiri. Kemungkinannya adalah terjadi ketidakcocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lain adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan.
2.    Mentalitas aparat yang menegakkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang sudah baik, harus didukung oleh mental penegak hukum yang baik, maka akan terjadi kelancaran pada sistem penegakan hukum. Hal inilah yang dimaksudkan perlunya penggunaan etika dan moral dalam penegakan hukum
3.    Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum. Jika peraturan perundang-undangan dan mentalitas penegak hukum sudah baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
4.    Kesadaran hukum dari para warga masyarakat.[32]Oleh karena kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat merupakan semacam jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan hukum dengan tingkah laku hukum anggota-anggota masyarakat, maka peranan nilai-nilai, pandangan-pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum (budaya hukum) sangatlah menentukan.[33]
      Kesadaran hukum merupakan faktor yang penting dalam menilai tingkat efektivitas hukum di masyarakat. Untuk melihat itu, terdapat 4 (empat) indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu :
1.      Pengetahuan hukum. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis
2.      Pemahaman hukum. Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Pemahaman hukum merujuk kepada suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan hukum tertentu, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.
3.      Sikap hukum. Sikap hukum adalah suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. 
4.      Pola perilaku hukum. Perilaku hukum adalah perilaku yang diinginkan oleh hukum. Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum. Seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat.[34]


DAFTAR PUSTAKA
       
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:  PT. Toko Gunung Agung,Tbk, 2002)
Chairuddin, O.K., Sosiologi Hukum, (Jakarta:  Penerbit Sinar Grafika, 1991)
Darmodiharjo, Darji; Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1995)
Dias, R.W.M., Jurisprudence, (London: Butterworths, 1976)
Friedman, Lawrence M.,  American Law, (New York: W.W. Norton  & Company, 1930)
Friedmann, W., Teori dan Filsafat Hukum (Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan), (Jakarta:  PT. RajaGrafindo Persada, 1994)
Johnson, Alvin S., Sosiologi Hukum, diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994)
Johnson, Doyle P., Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT.Gramedia, 1986) 
Kemp Allen, Sir Carleton, Law in The Making,  6th Edition (Oxford : The Clarendon Press, 1958)
Kusumaatmadja, Muchtar, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Masyarakat, (Bandung: CV. Putra A bardin, 1976)
---------------------------------, Hukum dan Pembangunan, (Jakarta : BPHN – Departemen Kehakiman, 1995)
---------------------------------, Konsep-konsep  Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: Penerbit PT.Alumni, 2002)
Paton, George Whitecross, A Text book of Jurisprudence, (London: Clarendon Press, 1955)
Pound, Roscoe, New Path of  the Law,  (Nebraska: The University  of  Nebraska  Press, 1950) 
-------------------, An Introduction to the Philosophy of Law, (New Heaven : Yale University Press, 1954) 
Podgorecki, Adam; Christopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987)
Purwadi, Ari, “Pokok-pokok Strategi Pembangunan Hukum di Indonesia”, Majalah Hukum dan Pembangunan, (Jakarta:  Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Juni 1990)
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, (Bandung:  Penerbit Angkasa, 1980)
-----------------------, Hukum Dalam Perspektif Sosial, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981)
------------------------, Aneka  Persoalan Hukum dan Masyarakat,  (Bandung:  Penerbit Alumni,1983)
------------------------,  Ilmu  Hukum,  (Bandung:  Penerbit Alumni, 1986)
Rasjidi, Lili; Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001) 
Salman, R. Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983)
---------------------, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1989)
---------------------, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1993)
Schuyt, C.J.M, Rechtssociologie – een terreinverkenning,  (Rotterdam:  Universitaire Pers,1971
Soemitro, Ronny Hanitijo, “Hukum dan Fungsi-fungsi Dasar dari Hukum di dalam Masyarakat”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Edisi No.4 Tahun ke IX, (Jakarta:  Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Juli 1980) 
Soekanto, Soerjono, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV.Rajawali, 1982)
-------------------------, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Cetakan ke IX, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999
Schur, Edwin M., Law and Society, A Sociological View, (New York:  Random House, 1968)
Tandeko, Soleman B., Pokok-pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993
Wacks, Raymond, Jurisprudence, (Great Britain – London: Blackstone Press Limited 1995)
Weinberg, Lee S.; Judith W. Weinberg, 1980, Law and Society (An Interdiciplinary  Introduction), (New York: University Press of America, 1980)


        [1]       Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
        [2]       George Whitecross Paton, A Text book of Jurisprudence, (London: Clarendon Press, 1955), pg. 22
        [3]       Inti ajaran Sosiologial Jurisprudence adalah bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Periksa Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal.66-67. Lihat juga Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1995), hal.127. Menurut Soleman B. Taneko, teori ini (hukum sebagai sarana pembaharuan sosial) sering sekali digunakan untuk melakukan studi terhadap efektivitas hukum, impak/dampak sosial hukum serta studi sejarah hukum sosiologis. Lihat Soleman B. Tandeko, Pokok-pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 7. Bandingkan juga dengan Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 152
        [4]       Roescoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, (New Heaven : Yale University Press, 1954), pg.47.  Pengertian “a tool of social engineering”  atau “social engineering by law” menurut Soerjono Soekanto adalah …hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin digunakan sebagai alat oleh agent of change. Agent of change  adalah seseorang/sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Baca Soerjono Soekanto dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:  PT. Toko Gunung Agung,Tbk, 2002), hal. 90
        [5]       W.Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan), (Jakarta:  PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal.141
        [6]       Raymond Wacks, Jurisprudence, (Great Britain – London: Blackstone Press Limited 1995), pg.155. Bandingkan dengan Sir Carleton Kemp Allen, Law in The Making,  6th Edition (Oxford : The Clarendon Press, 1958), pg. 36
        [7]       W.Friedmann. Loc.Cit.
        [8]       Disamping kepentingan-kepentingan sosial yang harus dilindungi, Pound juga merumuskan 6 hubungan sosial yang penting yaitu : (i) social interests in the general security; (ii) social interests in the security of social institutions; (iii) social interests in general morals; (iv) social interests in the conservation of social resources; (v) social interests in the general progress; and (vi) social interests in individual life. Namun kepentingan-kepentingan sosial  ini bisa berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat (bersifat dinamis). Ibid.,hal.156
        [9]       Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep  Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: Penerbit PT.Alumni, 2002), hal. 10. 
        [10]     Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Cetakan ke IX, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 151
        [11]     Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit.
        [12]     Roscoe  Pound, New Path of  the Law,  (Nebraska: The University  of  Nebraska  Press, 1950), pg.47. Bandingkan dengan R.W.M. Dias, Jurisprudence, (London: Butterworths, 1976), pg. 492. Dias mengatakan bahwa the main function of laws is to give guidance by prescribing how people ought to behave. Berkaitan dengan hal ini  Ronny Hanitijo Soemitro mengemukakan bahwa konsepsi operasional dari social engineering dengan menggunakan hukum sebagai sarana sebenarnya didasarkan pada dua konsepsi lain yaitu konsepsi tentang ramalan dari akibat-akibat yang dikemukakan oleh Lunberg dan Lansing dalam tahun 1937 dan konsepsi Hans Kelsen dalam tahun 1967 mengenai aspek rangkap dari peraturan hukum. Pendapat Lunberg dan Lansing mengenai prediction of consequences (ramalan dari akibat-akibat yang terjadi) adalah : “The consequences of any proposed rule of law that is significant for social change is the behavior it induces in various role occupants. The behavior of any individual ia a function of th entire “field” within which he operates “. Sementara itu, Hans Kelsen mengemukakan bahwa peraturan hukum yang diundangkan oleh penguasa yang berwenang di dalam suatu negara modern mempunyai aspek rangkap. Peraturan hukum yang ditujukan pada seorang anggota masyarakat, yang menunjukkan padanya suatu cara tertentu dalam bertingkah laku, sekaligus ditujukan pula pada hakim yang memerintahkan bahwa apabila menurut pendapat hakim itu anggota masyarakat tadi melanggar aturan hukum, maka hakim tersebut hendaknya menjatuhkan sanksi  terhadap anggota masyarakat itu. Periksa lebih lanjut Ronny Hanitijo Soemitro, “Hukum dan Fungsi-fungsi Dasar dari Hukum di dalam Masyarakat”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Edisi No.4 Tahun ke IX, (Jakarta:  Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Juli 1980), hal.378-379
        [13]     Doyle P. Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT.Gramedia, 1986), hal.128-144.  
        [14] R. Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1989), hal.85
        [15]     Ibid.
        [16]     Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hal. 120-122
        [17]     Pengembangan konsepsionil berfungsinya hukum dalam masyarakat sebagai sarana pembaharuan sosial di Indonesia, pengertiannya lebih luas dari tempat kelahirannya sendiri, karena: (1) Lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia, walaupun yurisprudensi juga memegang peranan. Berlainan dengan keadaan di Amerika Serikat, dimana teori Pound itu ditujukan terutama pada peranan pembaharuan dari keputusan-keputusan pengadilan, khususnya Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi; (2) Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat menolak aplikasi “mechanistics” daripada konsepsi “law as a tool of social engineering”. Aplikasi mekanistis demikian yang digambarkan dengan kata “tool” akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda daripada penerapan “legisme” yang dalam sejarah hukum Indonesia telah ditentang keras. Dalam pengembangannya di Indonesia, konsepsi teoritis hukum sebagai sarana pembangunan dipengaruhi pula oleh pendekatan-pendekatan filsafat budaya dari Northrop dan pendekatan “policy-oriented” dari Laswell dan Mc. Dougal. (3) Apabila dalam pengertian “hukum” termasuk pula hukum internasional, maka kita di Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas “hukum sebagai alat pembaharuan” jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan hukum. Dengan demikian, maka perumusan resmi ini sesungguhnya merupakan perumusan pengalaman masyarakat dan bangsa Indonesia menurut sejarah. Periksa: Muchtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Masyarakat, (Bandung: CV. Putra A bardin, 1976):9-10.
        [18]     Ibid.
        [19]     Mochtar Kusumaatmadja. Loc.Cit.
        [20]     Lee dan Judith juga membedakan fungsi hukum atas tiga macam. Pertama, fungsi hukum untuk menyelesaikan sengketa. Kedua Fungsi hukum sebagai kontrol sosial. Ketiga, fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial. Lee S. Weinberg and  Judith W. Weinberg, 1980, Law and Society (An Interdiciplinary  Introduction), (New York: University Press of America, 1980), Page.205-261.
        [21]     C.J.M Schuyt, Rechtssociologie – een terreinverkenning,  (Rotterdam:  Universitaire Pers,1971), hal. 51. Periksa juga Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung:  Penerbit Angkasa, 1980), hal. 117-118.
        [22]     Satjipto Rahardjo,  Ilmu  Hukum,  (Bandung:  Penerbit Alumni, 1986), hal. 168-169
        [23]     O.K. Chairuddin, Sosiologi Hukum, (Jakarta:  Penerbit Sinar Grafika, 1991), hal. 142
        [24]     Pendapat Sorokin ini sejalan dengan pendapat Muchtar yang mengatakan bahwa hukum merupakan alat untuk ketertiban kehidupan negara, dan sekaligus sebagai alat untuk mendapatkan kesejahteraan sosial. Jadi bukan semata-mata untuk keamanan dan ketertiban masyarakat melainkan juga untuk mengukuhkan dan merekayasa kesejahteraan sosial. Baca Muchtar, “Hukum dan Pembangunan”, di dalam Himpunan Karya Tulis Bidang Hukum Tahun 1995, (Jakarta : BPHN – Departemen Kehakiman, 1995), hal.167
        [25]     Edwin M. Schur, Law and Society, A Sociological View, (New York:  Random House, 1968), pg.115
        [26]     O.K.Chairuddin. Loc.Cit
        [27]     Satjipto Rahardjo. Op.Cit, hal. 170-171
        [28]     Di dalam pembicaraan ilmu hukum, dikenal adanya dua istilah yang berbeda artinya tetapi antara keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, yaitu “tujuan hukum dan fungsi hukum”. Apabila kita berbicara mengenai “tujuan hukum”, maka yang dibicarakan adalah cita hukum yang hendak dicapai (aspek statikanya). Sedangkan untuk “fungsi hukum”, maka yang dibicarakan adalah bagaimana bekerjanya hukum  dalam masyarakat untuk mencapai tujuan hukum tersebut (aspek dinamikanya). Apabila tujuan hukum adalah ketertiban, maka aspek dinamikanya (fungsi hukum) diarahkan pada fungsi hukum sebagai kontrol sosial. Di lain pihak, bila aspek dinamika hukum (fungsi hukum) diarahkan sebagai sarana pembaharuan atau perubahan sosial, maka ia akan berpasangan dengan tujuan hukum (aspek statika) yang lain. Tujuan hukum yang lain tersebut adalah pencapaian peningkatan kualitas hidup manuasia. Tujuan tersebut merupakan tujuan sekunder setelah tujuan primer yakni ketertiban telah tercapai. Periksa kembali Ari Purwadi, “Pokok-pokok Strategi Pembangunan Hukum di Indonesia”, Majalah Hukum dan Pembangunan, (Jakarta:  Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Juni 1990), hal.266
        [29]     O.K. Chairuddin. Op.Cit, hal 143
        [30]     R. Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1993), hal.35
        [31]     Satjipto Rahardjo, Aneka  Persoalan Hukum dan Masyarakat,  (Bandung:  Penerbit Alumni,1983), hal. 174
        [32]     Sorjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah SosialLoc.Cit.
        [33]     Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sosial, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hal. 124. Menurut Friedman, budaya hukum (legal culture) diartikan sebagai sikap orang terhadap hukum dan sistem hukum, berupa kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, ide-ide dan harapan-harapan.  Dengan kata lain, budaya hukum merupakan suasana  pemikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari dan dilanggar.  Periksa:  Lawrence M. Friedman,  American Law, (New York: W.W. Norton  & Company, 1930), hal. 6-7
        [34]     R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hal. 40,41 dan 42. Bandingkan juga dengan  pendapat Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV.Rajawali, 1982), hal.140

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih