Rabu, 04 November 2009


ADAT PEMINANGAN DAN PERTUNANGAN PADA 
MASA ARAT SABULUNGAN DI MENTAWAI


1.      Memasuki Masa Usia Dewasa
                  Banyak orang Mentawai mengatakan bahwa kehidupan yang terindah adalah pada masa belum ada ikatan, sewaktu masih pemuda (silainge) dan gadis (siokko). Pada masa itu belum ada keharusan mematuhi pantangan-pantangan yang demikian ketat seperti yang berlaku bagi mereka yang sudah dewasa. Kendati demikian, mereka sudah mulai diikutsertakan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan dan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan di lingkungan lalep maupun uma. Semenjak masih anak-anak mereka pada dasarnya sudah diajari dan dibiasakan bekerja keras. Keuletan mereka semakin terlihat (terlatih) ketika mereka beranjak remaja, terutama dalam hal beternak serta dalam melakukan persiapan-persiapan untuk perayaan, pesta atau upacara (puliaijat). Menariknya, dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut mereka diberi keleluasaan bertindak. Hal ini membangkitkan perasaan bertanggung jawab, serta sikap memandang rendah pada anak-anak yang mulai saat itu boleh diperintah-perintah. Saat itulah  lingkungan kehidupan secara lambat laun menjadi bertambah luas, serta mulai mendapat kesempatan mengenal, bergaul dan mendapat teman baru dari uma-uma lain.
                  Umumnya pihak orangtua sendiri yang menyuruh anak-anak mereka mulai melakukan kegiatan yang bercorak mandiri. Bagi seorang gadis muda, saat itu mulai melakukan kegiatan-kegiatan yang biasa ditangani oleh seorang wanita dewasa, seperti mugette (membuat ladang keladi), manairi (mencari ikan di sungai), muogbug (mencari bambu untuk wadah memasak), maupun mungaimang (mencari kayu bakar). Walaupun demikian, pihak orangtua tetap masih terus memberikan bimbingan dan petunjuk tentang hal yang dilakukan itu, tetapi prosedur pelaksanaannya diserahkan pada anak-anak mereka sendiri, dengan takaran keleluasaan yang semakin besar. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan itu mulai nampak perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Sampai saat pernikahan (biasanya seorang gadis berusia 13 hingga 15 tahun), gadis-gadis tersebut diserahi ternak (beberapa ekor ayam) yang harus dipelihara sendiri olehnya.  Tetapi mereka masih tetap sepenuhnya merupakan bagian dari rumah tangga orangtuanya. Apabila kemudian menikah, semua hasil pekerjaan dan miliknya (kecuali sejumlah perabot pribadi) ditinggal di rumah orangtuanya. Sementara kegiatan para pemuda sejak saat itu ditujukan untuk memupuk harta milik sendiri. Bila pria remaja itu sudah cukup kuat tenaganya, ia mulai diajak membabat hutan untuk dijadikan ladang miliknya sendiri. Sejak pra-remaja, pemuda sudah mulai menanam kelapa sendiri, menanam beberapa macam tanaman tua seperti durian (doriat), duku (samung), rambutan (kapa), maupun tanaman tua lainnya. Untuk melakukan pekerjaan itu mereka mendapat parang (telle; tegle) dari ayah masing-masing. Apabila seorang remaja sudah berumur sekitar empat belas tahun, ia diberi oleh ayahnya beberapa ekor ayam untuk dipelihara; dengan bantuan sang ayah mereka mendirikan pondok kecil tempat memelihara ternak ayam (sapou gou`gou`) ditempat tertentu atau di ladang. Ternak ayam itu tetap merupakan milik sang ayah, tetapi anak-anak ayam menjadi milik si anak. Keturunan induk-induk ayam itu bisa dijadikan sumbangan untuk hidangan perayaan besar. Anak muda yang sudah mempunyai beberapa ekor ayam miliknya sendiri tidak lagi tergantung pada orangtuanya jika ingin mendapatkan tembakau, hiasan manik-manik, serta kain berwarna-warni untuk dirinya sendiri, atau kemudian untuk dijadikan hadiah pertunangan untuk seorang gadis. Pada saat yang bersamaan, ia mulai bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan keahlian/keterampilan khusus, seperti membuat rumah (masigalai lalep), membuat sampan (masigalai abag), membuat pendayung (masigalai luga) maupun membuat keranjang sandang dari rotan (opa dan oorek).  Seorang pria muda juga sudah mulai memiliki dasar-dasar pengetahuan dan kecakapan mengenai seluk-beluk penyelenggaraan ritual agama (puaranan) maupun upacara-upacara atau perayaan (puliaijat). Namun tugas utama pemuda masih tetap bergerak di lingkungan  rumah tangga orangtua masing-masing. Sementara sang ayah semakin menua, pekerjaan yang harus dilakukan makin lama makin banyak diambil alih anak-anaknya yang laki-laki. Bagian tugas mereka dalam mengurus ternak babi pun semakin besar. Barulah pada usia sekitar 18 hingga 25 tahun, seorang pemuda Mentawai biasanya diizinkan dan dianggap pantas memasuki kehidupan rumah tangga dengan menikahi seorang gadis pilihannya sendiri.
            Singkatnya, pada masa Arat Sabulungan, seorang pria atau wanita yang telah dianggap dewasa dan pantas memasuki jenjang perkawinan biasanya ditandai dengan adanya tato (ti`ti`) yang hampir memenuhi sekujur tubuhnya.[1] Bagi pria (silaige) secara khusus sudah memiliki dasar-dasar pengetahuan dan kecakapan yang cukup mengenai seluk-beluk penyelenggaraan ritual agama (puaranan) seperti memukul kateuba, mutuddukat, patiti dan lain sebagainya. Sudah bisa mengerjakan segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan layaknya seorang pria dewasa, seperti memiliki ternak ayam (mugougou), mumone (berladang), masigalai lalep (membuat rumah), masigalai abag (membuat sampan), masigalai luga (membuat pendayung), dan mesigalai opa atau oorek (membuat keranjang rotan). Bagi seorang gadis (siokko), sudah bisa menari (muturu), sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumah, memiliki ladang keladi (gette) maupun beberapa ekor ternak ayam (gougou). Orangtua yang menyaksikan perkembangan anaknya demikian, akan mendorong anaknya untuk segera mencari pasangan hidup dan tidak akan merasa khawatir melepas anaknya menuju ke jenjang perkawinan. Pria yang sudah merasa dewasa tersebut akan hidup mandiri dengan membuat rumah sendiri yang disebut rusuk (lalep silainge). Sedangkan untuk seorang gadis, rusuk (lalep siokko) biasanya akan dibuatkan sendiri oleh bapak atau saudara laki-lakinya. Dengan begitu, mereka akan lebih leluasa menjalin hubungan dengan pasangan (gadis atau pria) yang akan menjadi calon pendamping hidupnya kelak. Tetapi banyak juga anak-anak muda pada saat itu yang tetap memilih tinggal di rumah orangtuanya.
2.      Penjajakan  (parere)
                  Bagi mereka yang sudah mantap dengan pasangan hidup pilihannya, orangtua hanya akan merestui dan menindaklanjutinya dengan peminangan. Tetapi banyak diantara mereka yang  tidak berhasil menemukan pasangan hidupnya selama hidup di rusuk.
                  Sebelum proses peminangan, orang Mentawai juga mengenal istilah penjajakan. Proses penjajakan ini di Sipora dan Pagai sering disebut dengan masirere (parere). Sedangkan di Siberut khususnya desa Malancan disebut mainese (masinese) dan pasisuki. Penjajakan ini selalu dilakukan untuk menimba informasi mengenai keadaan (latar belakang) masing-masing pihak dan kemungkinan adanya kecocokan atau keinginan untuk melanjutkan hubungan tersebut kejenjang yang lebih serius. Biasanya dalam penjajakan itu akan diketahui apakah pihak wanita benar-benar tertarik kepada pihak pria dan berkeinginan kuat menindaklanjuti hubungan itu kejenjang perkawinan.  Proses penjajakan ini merupakan proses observasi, oleh karenanya  dalam proses ini cukup dilakukan oleh ibu pria  atau orang tertentu (utusan) yang merupakan anggota keluarga atau kerabat perempuan dari pihak pria. Dalam prakteknya, proses penjajakan ini banyak melibatkan orangtua perempuan (ibu) dari kedua belah pihak.[2] Namun ada juga diantara  pasangan tersebut yang sudah menganal baik pasangannya satu sam lain melalui proses musurua (pacaran) sehingga tidak perlu melibatkan orangtua atau kerabat.[3]
                  Dahulu di Matotonan, keinginan untuk memperistri seorang siokko` (gadis) harus dilakukan melalui proses yang panjang. Jika keinginan itu sudah ada pada diri seorang silainge (bujang; perjaka), maka keiginan itu cukup disampaikan kepada orang tuanya. Keinginan silainge ini kemudian ditindaklanjuti oleh sang ibu (ina) dengan melakukan penjajakan kepada kedua orangtua siokko`. Dalam pertemuan tidak resmi tersebut si ibu akan mengatakan maksudnya antara lain berbunyi: “kipangan ukkui-ina, nuobak leu kam ku alak kai togamui (si okkok mui) pei ibara pagugulet mai” [4](bagaimana bapak-ibu jika anak gadis kalian kami ambil sebagai menantu kami atau yang akan membantu-bantu pekerjaan/pesuruh kami). Apabila ada pernyataan setuju dari pihak orang tua si gadis maka mereka akan meminta tanda jadi (alaket) dalam wujud satu macam barang pemberian, misalnya sehelai kain (gan-gan), seekor babi (saina`;sakkoilok; sakkokok) atau bentuk lain disepakati kedua belah pihak. Perlu digarisbawahi, bahwa bentuk alaket itu ditentukan oleh pihak keluarga wanita, berbeda dengan kebiasaan di Sipora maupun di Pagai, alaket (biasa disebut galangen, sesere atau panere) sepenuhnya ditentukan dan disesuaikan dengan kemampuan  pihak pria. Di Siberut Utara, proses penjajakan ini juga dianggap penting karena dalam proses inilah tando diserahkan. Berbeda dengan daerah lain seperti Sipora dan Pagai, di daerah Siberut alaket atau tando bisa diminta atau ditentukan sepihak oleh keluarga wanita ataupun berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
                  Di daerah Sipora maupun Pagai penjajakan atau parere biasanya dilakukan oleh utusan (sitalagaji) yang ditunjuk dari salah satu anggota kerabat dekat (sasaraina) pihak pria seperti kebbu (maniu), maman, kalabai atau baja. Penunjukan utusan tersebut memiliki tujuan yakni jika pihak wanita menolak maka tidak akan terlalu membuat malu pihak pria. Oleh karena itu pria yang bersangkutan dalam tahap ini tidak dibolehkan hadir. Penjajakan biasa dilakukan langsung melalui ibu sigadis. Keinginan atau maksud kedatangan utusan akan disampaikan dalam rentetan kalimat sebagai berikut: “aikoite ooiku kurere buakku ele momoikku (pasikat nia) ka samomoikta kodda sianu togatta buleuk kipapaak makere patuatmui, patuatta kek nuobakkamnia togatta nee buakku sianu kurerekainia sigalai kanta, sigalaipurimanuajatta”. Permintaan utusan tersebut tidak langsung diiyakan oleh orangtua si gadis melainkan tergantung kepada si gadis sendiri sehingga harus ditanyakan dahulu kepadanya apakah ia bersedia dijadikan calon istri atau tidak. Biasanya jawaban orangtua pihak yang direre (ditanya, dijajaki) adalah: ”erangan kurere kai nia buaknu ele soibok paak, iobak geti buaknu tak anai galainia”. Setelah utusan tersebut pergi, kepada anak gadis mereka akan diberitahukan kedatangan utusan yang berkeingan menjadikannya sebagai calon istri. Amoi te bajaknu ekeute irere apatibo kai, ekeu tak ina - tak matei ama ibara sigalai kanra”.[5] Setelah melewati masa berpikir lebih kurang satu minggu, si ibu akan kembali bertanya kepada anak gadisnya tentang bersedia tidaknya ia menerima permintaan orang untuk menjadikannya sebagai calon istri. Jika sigadis bersedia biasanya ia akan memberikan jawaban: “kauan ina tai ooitubukku ngan lee, ele ibaranganle era taimamalakku”. Persetujuan yang diberikan anak gadisnya tersebut selanjutnya akan dikhabarkan kepada pihak pria oleh ibu si gadis. Pihak keluarga pria akan merencanakan waktu yang tepat dan secepat mungkin untuk melakukan lamaran resmi (masinonou) kepada pihak wanita. Jika waktu yang tepat  sudah ditetapkan maka diundanglah pihak ninik mamak di pihak pria termasuk unsur pemerintah dan agama untuk menghadiri atau mengikuti acara lamaran/peminangan. Namun sebelum acara lamaran resmi dilakukan, orangtua pria akan mengundang atau mengumpulkan anggota kerabatnya untuk memberi masukan dan bermusyawarah apakah lamaran patut dilanjutkan atau tidak. Anggota kerabat terutama kakek, nenek, baja, dan kamaman baik dari pihak bapak maupun pihak ibu  akan diberi kesempatan untuk memberi masukan menyangkut hubungan dengan keluarga calon menantu dimasa dahulu. Jika setelah diteliti terdapat kendala atau halangan untuk dilanjutkan, misalnya dimasa kakek mereka masih muda dahulu pernah bertikai, yang berlanjut pada tindakan saling menjatuhkan tulou (denda) dengan salah satu anggota kerabat pihak wanita yang hingga saat ini belum selesai, maka hubungan yang kurang harmonis dimasa lalu itu biasanya akan menjadi sebab dibatalkannya hubungan dua anak manusia (generasi cucu) tersebut ke jenjang pelaminan. Jika hubungan itu ingin diteruskan ketingkat perkawinan, maka persoalan lama harus diselesaikan lebih dahulu dengan cara berdamai (paabad). Penyelesaian perselisihan dimasa lalu (paabad) biasanya akan diakhiri dengan punen paabanan, yakni syukuran. Menurut kepercayaan orang Mentawai (sabulungan), jika perkawinan diteruskan tanpa diawali dengan paabad maka pasangan tersebut nanti tidak akan hidup bahagia karena selalu didera oleh pangoringan (penderitaan).[6]
                  Alaket atau tando yang berarti tanda pengikat yang berlaku di Siberut juga berlaku atau dikenal di daerah lain dengan sebutan sesere; galangen (Sipora); dan panere (Pagai). Pemberian tando ini dilakukan melalui ibu si gadis, namun bukan berarti adanya pemberian tanda pengikat otomatis keinginan sipasirere (pihak yang melakukan penjajakan) diterima karena harus dimusyawarahkan lebih dahulu dengan sang bapak dan persetujuan dari anak gadisnya. Dengan demikian ada kemungkinan keinginan pihak sipasirere ditolak dan tando dikembalikan. Walaupun proses penjajakan juga berlaku di daerah Sipora dan Pagai, namun sesere  atau panere baru bisa diserahkan pada saat atau setelah lamaran diterima. Hal ini disebabkan karena sesere atau panere sekaligus berfungsi sebagai mas kawin (jujuran). Tidak ada lagi pemberian barang-barang lain hingga perkawinan diselenggarakan. Masyarakat Mentawai di Sipora maupun di Pagai tidak mengenal jujuran yang dikenal dengan sebutan ala toga. Hal itu sudah berlangsung sejak lama semasa nenek moyang pertama dahulu datang ke Sipora dan Pagai. Namun demikian, sebagian orang mengatakan bahwa pemberian jujuran (ala toga) itu juga pernah dilakukan diawal-awal kedatangan pertama nenek moyang orang Sipora dan Pagai ke pulau-pulau tersebut, hal itu dubuktikan dengan adanya ladang (mone) yang bertitel mone siadde. Menurut penuturan beberapa responden, mode siadde merupakan harta tetap dalam bentuk ladang yang berasal dari ala toga yang dimiliki oleh keluarga pemberi wanita. 
                  Beberapa contoh pemberian tando, misalnya Ukkui Teupoiri Salimurat (+ 80 tahun) yang berasal dari desa Malancan Siberut Utara mengaku menikah di Arat Sabulungan. Penjajakan (mainese) pada masa itu dilakukan oleh ibunya melalui calon ibu mertuanya dengan memberikan tando  berupa gan-gan (kain) dan sumba (sejenis penangkap ikan yang khusus digunakan oleh kaum wanita). Semua barang dalam bentuk tando itu diperuntukkan buat calon istrinya. Pemberian tando baru bersifat tanda mau, dalam acara lamaran diputuskan bahwa Ukkui Teupoiri Salimurat harus membayar ala toga (ala kolui) berupa 2 (dua) ekor babi, dan satu buah kuali besar. Lain lagi halnya dengan  Ukkui Tamali yang berasal dari Matobe Sipora (+ 90 tahun). Ia mengaku menikah di Arat Sabulungan. Tetapi ia hanya menyerahkan sesere (galangen) berupa sehelai kain (komak). Tidak ada lagi pembayaran atau penyerahan barang hingga perkawinan dilaksanakan. Menurutnya, galangen umumnya harus dalam bentuk barang yang bermanfaat dan bisa dipakai oleh calon wanita seperti kain, pakaian, dan bahkan dahulu selalu ditambahi dengan sebuah kalung manik-manik (inu) yang sangat disukai oleh kaum wanita. Namun, seperti disebutkan diatas, penyerahan sesere atau galangen di Sipora dilakukan dalam tahap peminangan atau setelah peminangan diterima.
3. Peminangan (masinounou)  
                  Setelah melewati proses penjajakan, barulah lamaran resmi atau peminangan bisa dilakukan. Ada beberapa istilah yang sering dipergunakan dan memiliki padanan yang sama dengan istilah peminangan, antara lain masikolou akek, masinounou, masineuneu. Istilah masikolou ake lebih sering dipakai oleh orang Pagai karena bagi mereka istilah masinonou merupakan istilah sehari-hari yang memiliki makna yang sama dengan masirere atau parere. Di Sipora dan Siberut Selatan istilah masinounou  lebih populer digunakan untuk menyebut lamaran atau peminangan. Sedangkan di Siberut Utara khususnya daerah Malancan orang lebih nyaman menggunakan istilah masineuneu[7]. Istilah-istilah itu memiliki arti bertanya, meminta penjelasan, melamar (meminta), membujuk dan membicarakan. Maksudnya meminta atau membujuk pihak perempuan untuk menjadi caolon istri dari pihak laki-laki yang meminang. Namun demikian, istilah yang paling umum dipakai dan dipahami oleh orang Mentawai, baik di Sipora, Pagai maupun di Siberut adalah masinounou. 
                  Sebagai masyarakat yang menganut sistem patrilineal, lamaran atau peminangan dilakukan oleh pihak  pria. Pada saat lamaran yang wajib hadir adalah beberapa orang anggota kerabat pria, orang tua dan pria yang bersangkutan. Namun di pihak wanitanya, yang hadir dan menerima kedatangan pelamar saat itu hanyalah ibu. Aturan tersebut bertahan lama hingga ketika 3 (tiga) agama besar sudah mulai dianut oleh masyarakat Siberut. Namun demikian saat ini aturan demikian sudah tidak mutlak karena di pihak wanita sudah boleh didampingi oleh kedua orangtua termasuk anggota kerabat lainnya. Hal itu disebabkan karena dalam acara peminangan pokok pembicaraan lebih banyak menyangkut ala toga; lului kolui (jujuran). Disamping alasan diatas, alasan yang paling utama adalah anggapan bahwa perwakilan oleh sang ibu semata-mata tidak akan efektif. Kehadiran seorang bapak atau beberapa anggota kerabat lainnya (khususnya bajak) dianggap penting untuk menentukan bentuk dan jumlah ala toga. Hal ini mengingat ala toga yang dibayarkan oleh pihak pelamar nanti akan disesuaikan dengan permintaan para anggota kerabat wanita seperti orangtua, saudara laki-laki, bajak maupun kamaman. Mereka inilah nanti yang akan menerima ala toga dan kemudian bertanggung jawab dikemudian hari (secara moril dan materil) untuk menyediakan iba toga dan mensukseskan punen pakaddei ketika saatnya tiba. Ketentuan ini berlaku dan masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat Mentawai di Pulau Siberut. Jika dahulu cukup dihadiri oleh anggota kerabat kedua belah pihak, saat ini acara lamaran tersebut wajib didampingi atau dihadiri oleh unsur aparat pemerintah seperti kepala dusun dan unsur pemuka agama yakni bajak gereja atau wakilnya.
                  Di daerah Sipora dan Pagai, acara lamaran atau peminangan selalu dilakukan pada malam hari. Rombongan pelamar terdiri dari bapak, saukkui sikebbukat dan anggota kerabat tertentu lainnya. Pada saat lamaran tersebut ibu dari pria belum boleh hadir. Saat ini ketentuan tersebut masih bertahan, hanya saja peran orangtua secara langsung sudah lebih dominan, kecuali bapak tidak ada maka yang mewakili adalah sabajak atau sakamaman. Menurut Ukkui Farel Tasilipet, saat ini sebagian aturan seperti diatas masih dijalankan tetapi sebagian lagi sudah berubah. Jika dahulu yang datang melamar adalah orang-orang tertentu sebagaimana disebut diatas, saat ini sibau tubu (orang-orang muda) sudah berani melakukannya sendiri tanpa merasa perlu didampingi oleh sikebbukat seperti sabajak  atau sakamaman.  Hal itu disebabkan karena mereka tidak tahu aturan adat yang sebenarnya. Namun bagi mereka yang masih tahu aturan biasanya keinginan tersebut disampaikan dulu kepada orangtua (saeppu), lalu masalah itu dibicarakan di forum muda-mudi (parurukat sibau tubu), perkumpulan ibu-ibu (parurukat saina) dan juga bapak-bapak (parurukat saukkui). Setelah itu baru dilakukan lamaran secara resmi dihadiri oleh wakil-wakil dari parurukat tersebut disamping yang paling utama kedua pasangan tersebut dan orangtua kedua belah pihak. Namun bukan berarti semua sibau tubu melakukan pelanggaran-pelanggaran seperti itu yang mengabaikan peran sikebbukat dan orangtua, karena masih banyak juga anak-anak muda (sibau tubu) yang masih pandai menghargai peran sikebbukat dan orangtua (siobak muukkui).
                  Pembicaraan (patiboat) dalam acara lamaran pada intinya ada 2 (dua) hal. Pertama, meminta kesediaan dan kepastian dari pihak wanita apakah lamaran pihak pria diterima atau tidak. Kedua, membicarakan ala toga (jenis, jumlah dan waktu pembayarannya). Dalam dialog (patibo) tersebut pihak pelamar memalui juru bicaranya (biasanya orangtua atau sikebbukat) akan meminta kesediaan si gadis menjadi istri dari anaknya. Pembicaraan itu intinya adalah sebagai berikut: “Nia te nene kurere ake kai, oto ki pangan nurere kam nia ne togatta buleuk ioba ele tak ioba agaimaian nia”. Lalu ibu perempuan akan menjawab “Kek nera geti nia kek iobak geti toga kakai kuobak kai”, sang ibu lantas meminta persetujuan atau pernyataan dari anak gadisnya. Khusus untuk daerah Sipora dan Pagai, jika si gadis tersebut menerima/setuju, maka ia akan menjawab: “kaku geti kawan kuobaan”. Jika mereka kedua belah pihak sepakat maka pembicaraan dilanjutkan dengan masalah tanda pengikat. Tetapi pembicaraan mengenai tanda hanya basa basi saja karena pelamar sebenarnya sudah mempersiapkan atau membawa barang yang akan dijadikan tanda pengikat. Pihak yang dilamar juga tidak akan meminta atau menentukan jenis tanda karena semua itu tergantung persiapan dan kemampuan pihak pelamar. Biasanya ketika tanda pengikat akan diserahkan, juru bicara di pihak pelamar akan menyampaikan tangggapan atas jawaban persetujuan yang diberikan oleh pihak yang dilamar sekaligus menutup acara. Tanggapan yang dimaksud akan berbunyi sebagai berikut: “Kawan toik lusaik kisenean  tedda, anuobaat poik kam kataik mai tatoga, kawan...oto `ia geti sia kiseat era nia aikoik apra (panere) nia, pasikat nia kek loinak baik ia kabebe enungan pei mapaparo aian tei sia sibakkat nia...kek rarere nia sabagei kuangalek aian sia sibakkatnia”. Jika tanda pengikat sudah diserahkan dan diterima, maka proses lamaran/peminangan selesai. Berbeda halnya dengan ketentuan yang lazim berlaku di Pulau Siberut, beberapa saat setelah lamaran resmi diterima, pembicaraan (patiboat) biasanya akan berlanjut ke masalah ala toga (lului kolui).
4. Pertunangan (masingena)
      Tidak ada istilah khusus yang disepakati secara umum untuk menyebut “pertunangan” di Mentawai, seperti halnya istilah “masinonou” (meminang atau melamar). Di Sipora sebagian orang mengatakan pertunangan itu dengan istilah “masingena” yang memiliki arti menunggu atau masa menunggu. Di daerah Pagai sebagian orang menyebut tunangan dengan istilah “turuakenen”. Tetapi anehnya tidak diperoleh keterangan yang memuaskan untuk menyebut pertunangan di daerah Siberut Utara maupun  Siberut Selatan. Menurut beberapa orang tertua atau dituakan, sebenarnya orang Siberut tidak mengenal masa pertunangan. Hal ini disebabkan karena perkawinan (punen pangurei) biasanya diupayakan diselenggarakan sesegera mungkin setelah acara lamaran selesai atau setelah ala toga dibayarkan. Dan tidak ada kesulitan bagi pihak pria pada saat itu untuk mempersiapkan atau memenuhi jumlah ala toga yang diminta, karena pada masa dahulu setiap keluarga atau Uma memiliki harta kekayaan dan kuatnya rasa solidaritas antar anggota Uma untuk meringankan beban saudaranya. Kebiasaan seperti ini sangat baik untuk menghindari terjadinya hubungan pra-nikah bagi pasangan bertunangan. Tetapi saat ini besarnya jumlah ala toga menyebabkan pihak pria membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencicil atau mempersiapkan ala toga sehingga praktis masa menunggu itu diperlukan. Namun tetap saja tidak ada istilah khusus untuk menyebut pertunangan itu hingga saat ini. Bagi generasi muda saat ini  istilah-istilah “masingena” ataupun “turuakenen” sama sekali tidak mereka kenal, mereka hanya tahu  istilah “mutunangan”.
                  Menurut Hilman, pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan antara orangtua-tua pihak pria dengan orangtua-tua pihak wanita untuk maksud mengikat tali perkawinan diantara anak-anak mereka dengan jalan peminangan. Pengertian ini cukup mewakili maksud pertunangan bagi masyarakat asli Mentawai. Karena pertunangan ada keharusan orangtua-tua kedua belah pihak hadir untuk menyaksikan dan atau memberikan pertimbangannya dalam acara patiboat. Terlebih lagi menyangkut soal bentuk, jumlah dan waktu pembayaran ala toga. Disamping itu mereka yang hadir adalah mereka yang berhak menentukan dan sekaligus menerima ala toga serta memiliki kewajiban moril dan materil mensukseskan penyelenggaraan pesta pakaddei dikemudian hari, dimana setiap mereka yang menerima ala toga berkewajiban untuk menyediakan iba toga atau enungakenen yang akan diserahkan kepada pihak pria sebagai balasan atas diterimanya ala toga.
Berbeda dengan aturan yang berlaku di daerah lain di Indonesia, dimana pertunangan dimulai setelah  lamaran  diterima. Di Mentawai, pertunangan sudah dimulai sejak tando atau alaket diterima oleh pihak wanita dalam tahap penjajakan (parere). Hal ini terutama berlaku di Pulau Siberut. Namun lain halnya yang berlaku di Pulau Sipora dan Pagai, pertunangan baru dimulai setelah lamaran diterima oleh pihak wanita dalam acara peminangan (masinonou). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, di dua daerah terakhir ini tanda pengikat yang disebut galangen atau panere baru diserahkan dalam tahap atau setelah lamaran diterima. Tanda pengikat biasanya sudah dipersiapkan dan dibawa langsung pada saat acara tersebut yakni dalam bentuk pakomak-komak (sebentuk kain: dasar kain, pakaian jadi, sarung atau kain panjang), terkadang juga disertai benda-benda tambahan seperti aksesoris wanita, seperti inu (manik-manik).
Tanda pengikat tersebut ditentukan sendiri oleh pelamar, bukan diminta atau ditentukan pihak yang dilamar. Kecuali untuk daerah Siberut, pihak yang dilamar memiliki hak menentukan bentuk alaket atau tando atau jika perlu hal demikian dimusyawarahkan dan disepakati oleh kedua belah pihak. Jika tanda pengikat sudah diterima maka rombongan pelamar akan pamit dan sejak saat itu mereka sudah dianggap bertunangan. Artinya wanita yang bersangkutan sudah menjadi calon istri dari pria yang melamarnya dan tidak boleh diganggu oleh laki-laki lain kerena sudah ada tanda pengikat. Biasanya memang para pria lain tidak akan menggangu perempuan yang bertunangan karena sudah menjadi milik orang lain. Dipihak lain, wanita bertunangan juga tidak akan menerima pinangan orang lain karena ia sudah menjadi milik pria yang melamarnya yang dibuktikan dengan diterimanya tanda pengikat tersebut. Terhitung sejak saat menerima tanda inilah maka pertunangan dianggap resmi terjadi. Keadaan ini menimbulkan dua kewajiban. Pertama, kewajiban bagi si gadis bersangkutan untuk membatasi diri bergaul apalagi yang menjurus kepada hubungan serius dengan pria lain. Kedua, kewajiban yang dibebankan kepada kedua orangtua si gadis dan kerabatnya terutama kerabat laki-laki di pihak ayahnya untuk menjaga atau mengawasi agar anak gadis mereka tersebut tidak bergaul bebas dan diganggu pria lain termasuk dan paling utama larangan menerima pinangan dari pihak manapun.  Kalau ada orang lain yang mencoba mengganggu gadis pinangannya maka pria yang mengganggu bisa dikenakan denda (tulou). Jika ada pria lain yang mencoba masuk (mungkin karena tidak tahu bahwa yang bersangkutan sudah dilamar) maka orang yang mengetahui hal itu siapapun ia (kerabat, teman, orang-orangtua) akan menyarankan atau memberi nasehat kepada pria tersebut dengan kata-kata :” ba ooikam seedda, aian alaketda” artinya jangan ke sana karena sudah ada alaket orang lain. Dengan kata lain, siapapun orangnya tidak boleh mendekati, mengganggu ataupun mencoba melamar gadis yang sudah dilamar orang lain atau yang kepadanya sudah diberikan tanda pengikat. Disini kelihatan bahwa “adanya alaket, tando, galangen atau panere” menjadi hal yang mutlak ada pada masa itu untuk menunjukkan keseriusan seorang pria untuk memperistri seorang gadis Mentawai. Adapaun denda (tulou) yang dikenakan kepada laki-laki yang terbukti mengganggu calon istri orang lain ada lima macam, antara lain: seekor babi; satu petak ladang keladi; satu petak ladang sagu; satu batang durian; dan satu batang kelapa. Denda (tulou) tersebut lebih sering dikenal sebagai “tulou panuddu alaket”. Penjatuhan denda seperti ini hanya berlaku dan masih dipelihara baik di daerah Siberut Selatan khususnya daerah Sarereiket Hulu.[8]
                  Masa pertunangan merupakan masa menunggu yang kadangkala membuat jenuh salah satu pihak, apalagi jika salah satu pihak tersebut berkenalan dengan pasangan baru yang lebih cocok atau ideal. Hal ini menjadi salah satu sebab putusnya pertunangan. Itulah sebabnya di Siberut sejak dahulu pertunangan boleh dikatakan tidak dipraktekkan, tetapi  langsung membicarakan dan menyegerakan pembayaran ala toga (jujuran). Hal ini dilakukan demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kekecewaan pada salah satu pihak.
      Di Siberut, seseorang yang bermaksud membatalkan pertunangan perlu bermusyawarah lebih dulu dengan orang tua dan kerabat laki-laki ayahnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari  dampak ekonomi dan sosial di masyarakat. Akan tetapi, jika pembatalan pertunangan dianggap sebagai pilihan yang tepat, maka pihak yang bersangkutan harus membayar tulou paoloi tubu. Jumlah dendanya ada lima macam seperti yang dibebankan pada tulou panuddut alaket, tetapi bentuknya sesuai dengan permintaan pihak yang dirugikan/yang dipermalukan, misalnya babi betina satu ekor, pohon sagu, durian dan kelapa masing-masing satu batang, serta satu petak kebun talas/keladi (12x12 m)
                  Seandainya pembatalan itu dilakukan oleh pihak pria, maka cukup membayar denda atau tulou paoloi tubu, tetapi jika yang membatalkan itu pihak wanita, disamping membayar denda atau tulou ia juga berkewajiban mengembalikan tanda atau alaket yang pernah diterima sebelumnya. Lain halnya jika pembatalan pertunangan itu disebabkan oleh hal-hal lain seperti si gadis memiliki tabiat yang kurang baik misalnya suka mencuri ikan yang disimpan oleh ibunya (makom iba) atau mungkin suka marah, susah diatur atau membangkang pada perintah orang tua (marobbat nganga) atau memiliki sifat pemalas (mabeili). Hal-hal demikian biasanya menjadi alasan klasik bagi pria untuk mengakhiri hubungan pertunangan diantara mereka. Dalam kasus seperti diatas pihak pria dan kerabatnya tidak dikenakan kewajiban membayar tulou paoloi tubu.
                  Kadang-kadang ada kasus dimana pertunangan yang sudah dibatalkan itu dirajut kembali, dimana pihak pria yang membatalkan kemudian minta kembali hubungan dilanjutkan ke jenjang pernikahan, maka kepadanya diberikan kewajiban membayar syarat berupa denda  yang sering disebut tulou sipukoai, yang jumlahnya dua kali lipat dari denda yang pernah dikenakan pada tulou paoloi tubu, sehingga menjadi 10 (sepuluh) macam. Tulou sipukoai ini maksudnya tulou yang dikenakan kepada laki-laki diluar alak toga. Kalau ada kasus seperti ini maka alak toga yang dibayar pihak laki-laki tidak mendapatkan balasan dari pihak perempuan. Dengan kata lain, keluarga wanita sebagai penerima ala toga di Siberut Selatan tidak berkewajiban menyediakan punu alaket atau iba toga yang dikenal di Siberut Utara. Punu alaket atau iba toga merupakan imbalan atau hadiah balasan yang wajib disediakan oleh pihak wanita (pemberi gadis) atas ala toga yang sudah diterima kepada pihak pria (pengambil gadis).
                  Jenis tulou atau denda diatas sebenarnya hampir mirip dengan tulou katukailo piuk yang berlaku dalam masyarakat desa Malancan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa malu di pihak yang dirugikan. Dalam lamaran misalnya, Jika sipelamar dianggap tidak serius atau main-main maka kepadanya akan dibebankan katukailo piuk berupa satu ekor babi, tetapi jika serius beban tersebut bisa ditiadakan. Dalam prakteknya, katukailo piuk tersebut bisa langsung diminta pada saat lamaran sebagai jaminan bahwa si pelamar tidak main-main, tetapi ada juga yang memintanya (karena ia berbentuk denda) dibelakang hari ketika ketidakseriusan itu benar-benar terjadi.
                  Konflik yang terjadi diantara kedua belah pihak menyangkut pertunangan termasuk perceraian biasanya diselesaikan lebih dahulu secara kekeluargaan. Tetapi jika tidak tuntas secara kekeluargaan barulah diselesaikan dengan melibatkan pihak lain yang netral sebagai penengah, yakni sipatalaga. Syarat menjadi seorang si patalaga haruslah orang yang ahli dalam menyelesaikan konflik (berpengalaman), netral (tidak memihak), dan berasal dari suku yang berbeda dari kedua belah pihak yang berperkara. Ketika konflik selesai, maka si patalaga akan mendapatkan upah dari pihak yang menggugat biasanya berbentuk  benda bergerak ataupun tidak bergerak seperti satu batang kelapa atau durian.
                  Pada masa  berlakunya arat  sabulungan, pasangan yang sudah bertunangan sama  sekali belum diizinkan melakukan aktivitas  bersama, bahkan untuk  bertatap muka sekalipun sulit dilakukan. Selama masa pertunangan kedua calon pengantin tidak dibolehkan melakukan kegiatan bersama, seperti berjalan bersama, pergi ke ladang bersama, kecuali secara sembunyi-sembunyi. Sepanjang masa pertunangan biasanya pasangan  tersebut akan sulit  sekali menahan rasa  rindu satu sama lain, sehingga  mereka akan berusaha berjumpa dengan pasangannya dengan cara sembunyi-sembunyi. Pada siang hari,  pertemuan yang sifatnya  sembunyi-sembunyi tersebut selalu dilakukan di ladang (mone). Melalui orang tertentu yang dipercayai janji pertemuan itu akan disampaikan  kepada  pasangannya. Lain lagi halnya  pada malam hari, pertemuan dua insan seperti ini biasa  disebut dengan mulaibok.[9] Karena sifatnya sangat rahasia, pertemuan ini tidak boleh diketahui oleh siapapun, baik orangtua, saudara kandung (samaniu), bajak maupun maman dari si gadis. Jika rahasia itu bocor atau sampai ke telinga salah seorang yang disebut di atas, maka pria tersebut akan didenda yang disebut  tulou sipukoai. Walaupun keduanya sudah bertunangan, tulou tersebut tetap diberlakukan. 
                  Demikian juga halnya yang berlaku di Sipora, pada masa menjalani pertunangan pasangan tersebut belum boleh melakukan aktivitas bersama ataupun pertemuan-pertemuan secara terbuka, kalaupun hal itu terjadi bisa dipastikan aktivitas  tersebut dilakukan secara diam-diam. Pertemuan diam-diam ini disebut pataget yang harus dirahasiakan, bahkan berjalan bersama di depan umum (mutaraktak; muenung sikere) dipandang sebagai pelanggaran. Dahulu, jika ada seorang gadis ketahuan berduaan/berjalan bersama dengan pria yang bukan suaminya maka samaniu (saudara kandung laki-laki) dari sigadis  akan melakukan tindakan pemukulan, baik terhadap adik kandungnya sendiri maupun terhadap pria yang menjadi teman kencannya. Bahkan kasus-kasus demikian akan berlanjut pada tindakan pautag atau paraurau (penjatuhan denda).
                  Di Siberut, dalam masa pertunangan, masing-masing pihak juga belum dibolehkan saling membantu meringankan pekerjaan. Misalnya membantu calon ayah mertua membuat sampan seperti yang lazim dilakukan di Sipora dan Pagai, demikian juga seorang gadis mei ka gougou (mengurus ternak ayam) untuk tujuan membantu/meringankan pekerjaan calon suami.
                  Masa pertunangan tidak ditujukan untuk hal-hal seperti diatas, melainkan masa itu akan dimanfaatkan untuk mencukupi segala kebutuhan pesta ataupun kebutuhan ketika memasuki kehidupan berumah tangga, seperti mempersiapkan rumah, sampan, pendayung, dan lain-lain yang dibutuhkan sebagai keperluan memasuki kehidupan rumah tangga.  Jika barang-barang tersebut sudah dipersiapkan, itu pertanda masa pertunangan akan berakhir dan saatnya untuk memasuki gerbang pernikahan sudah dekat. Pada masa Arat Sabulungan, seorang pria biasanya sudah memiliki persiapan untuk menafkahi istri dan anak-anaknya karena masa mudanya sudah dihabiskan untuk membuka atau mengurus ladang, baik yang berasal dari orangtuanya maupun dari lahan baru yang dibuka sendiri. Berbeda dengan saat sekarang, persiapan-persiapan seperti diatas sudah tidak sepenuhnya dilakukan, bahkan ada silainge yang ketika memasuki gerbang pernikahan belum memiliki ladang atau mone. Jika demikian halnya, maka silainge tersebut akan dikatakan sebagai tak magalai kabei, tak mamala atau mabeili (pemalas). Khusus daerah Siberut, selain untuk tujuan mempersiapkan pesta, masa pertunangan juga akan dikonsentrasikan untuk mencukupi syarat-syarat perkawinan berupa ala toga.
                  Larangan beraktivitas selama masa pertunangan pada masa dahulu memang ketat, namun seiring dengan berjalannya waktu, perubahan-perubahan pun tidak bisa dihindari, dan akhirnya larangan-larangan itu pun secara berangsur-angsur diperlonggar. Menurut Ukkui Tamali yang pernah menjadi Rimata (pemimpin ritual di Uma) di Sipora mengatakan bahwa larangan-larangan tersebut diperlakukan sangat ketat pada masa orangtua-tua dahulu, namun pada masa remajanya (sekarang beliau berusia + 80 tahun) larangan demikian sudah diperlonggar bahkan pasangan bertunangan saat itu sudah boleh berhubungan intim sebagaimana layaknya suami istri, tetapi hubungan itu tidak dilakukan dirumah orangtua (lalep) melainkan di sebuah rusuk (rumah lajang) milik gadis pasangannya. Tapi memang hubungan dan pertemuan pasangan itu tidak  diketahui oleh orangtua maupun kerabat lainnya karena pasangan itu tingggal dirusuk masing-masing yang jauh dari kontrol orangtua, sehingga mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan anak mereka saat malam hari. Namun seandainya  anak gadisnya diketahui hamil (karena hubungan terlarang tersebut) orangtua masing-masing tidak ambil pusing lagi karena mereka memang sudah jadi calon suami istri dan bakal segera menikah. Berbeda halnya kalau hubungan itu dilakukan sebelum acara peminangan, maka pihak yang dirugikan (orangtua dan kerabat pihak wanita) biasanya akan mendenda pihak pria. Namun demikian,  hubungan serumah tanpa ikatan perkawinan (hanya ikatan pertunangan) itu akan terus berlangsung hingga pasangan itu memiliki beberapa orang anak. Pernikahan baru akan dilaksanakan jika ayah dari calon pengantin pria benar-benar merasa sudah siap, lalu keinginan itu disampaikan kepada Rimata untuk menentukan waktu yang paling baik menyelenggarakan pesta.
                  Ada banyak hal yang tidak boleh dilanggar oleh pihak yang sedang menjalani masa bertunangan, antara lain: kewajiban menjaga nama baik keluarga, tidak boleh bergunjing (patibo; masitiboi sirimanua), tidak terpengaruh dengan gunjingan orang (pakataikat nganga), tidak boleh bergaul atau melakukan hubungan dengan pria atau wanita lain, dan kedua belah pihak harus saling menjaga dan setia (maron patuat). Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan perpisahan atau pertunangan dibatalkan. Jika pihak wanita berubah pikiran dan bermaksud membatalkan pertunangan tersebut, maka pengikat (sesere) yang diterima dulu harus dikembalikan ke pihak pria. Tetapi kalau niat itu datangnya dari pihak pria sendiri, pengikat (sesere) tidak wajib dikembalikan. Khusus untuk daerah Sipora dan Pagai, masa pertunangan ini belum dikenal istilah denda mendenda atau patulou; pautag; paraurau, walaupun putusnya pertunangan itu disebabkan oleh perselingkuhan salah satu pihak. Kecuali setelah mereka resmi jadi suami istri dan salah satunya melakukan perselingkuhan dengan pihak lain, maka pihak yang dirugikan boleh menjatuhkan denda kepada pasangannya yang berselingkuh. Dan sejak saat itu mereka bisa bercerai, dimana pihak yang bersalah harus angkat kaki dari rumah mereka. Namun saat ini kebiasaan denda-mendenda (Sipora dan Pagai) sudah banyak ditinggalkan.
                  Pada dasarnya sama dengan di Siberut, pasangan yang bertunangan belum boleh melakukan aktivitas bersama seperti layaknya suami istri. Namun demikian, seringkali larangan tersebut dilanggar. Pasangan bertunangan ataupun yang belum bertunangan selalu mencari cara untuk bisa bertemu, sehingga rencana bertemua (pataget) biasanya mereka lakukan di sapou (sejenis pondok) yang letaknya jauh di ladang (mone) milik laki-laki. Sehingga akibatnya hubungan suami istri pun bisa mereka lakukan. Hubungan layaknya suami istri biasanya akan berlanjut di rusuk perempuan yang bertunangan tersebut. Menurut penuturan Ukkui Buiialak, memang hal tersebut dulu dilarang, bahkan untuk berjalan bersama di dalam kampung tidak boleh dilakukan. Namun demikian, aktivitas-aktivitas yang pada hakekatnya belum boleh dilakukan itu berangsur-angsur menjadi suatu kebiasaan bagi sebagian orang. Sehingga tidak menjadi masalah jika wanita tersebut sampai hamil/mengandung (suruket; bara suruket) dan punya anak (tatoga; bara toga) karena mereka memang sudah bertunangan atau sudah menjadi calon suami istri.
                  Walaupun  tolong-menolong yang sifatnya terbatas juga tidak dibolehkan, tetapi  oleh sebagian orang larangan tersebut dilakukan. Misalnya dalam hal meringankan atau membantu pekerjaan pria, seorang wanita bisa menggantikan pekerjaan mengurus ternak ayam (mugougou) milik pria pasangannya. Akibat pertemuan yang berkala dalam aktivitas bersama itu wajar jika selama bertunangan mereka sudah melakukan hubungan suami istri, mengandung, melahirkan bahkan punya anak 2, 3 hingga 5 orang sesuai dengan kemauan mereka.  Anak-anak tersebut tidak akan pernah tahu siapa bapaknya. Si bapak yang biasanya sering bekunjung identitasnya akan tetap dirahasiakan hingga tiba waktu yang tepat untuk mengatakannya. Mereka (anak-anak) hanya tahu atau diberitahu bahwa laki-laki yang sering berkunjung itu adalah si maman atau kamaman (maman=saudara laki-laki ibu). Masih dalam hal tolong-menolong, si laki-laki pun sebaliknya sudah tidak dilarang memberikan bantuannya, baik dalam bentuk materi ataupun non-materi. Berbentuk materi, ia boleh mencukupi kebutuhan-kebutuhan istrinya. Sedangkan dalam bentuk immateri (tenaga), ia tidak dilarang membantu calon istrinya membuka ladang keladi (manaba; masitadde loinak) tetapi dalam aktivitas seperti itu biasanya si wanita selalu didampingi oleh ibunya. Demikian pula saat  memberikan bantuan tenaga kepada calon bapak mertua, seperti membantu membuat sampan (masigalai abag), si pria akan sangat enggan jika tidak  didampingi oleh seorang sahabat dekatnya.
                  Selama hamil, melahirkan hingga memiliki beberapa orang anak, yang bertanggung jawab menjaga (memelihara) adalah ibu mereka dan tinggal dirumah orangtuanya. Namun untuk urusan nafkah si ayah bertanggung jawab sepenuhnya, walaupun dalam batas-batas tertentu dan dalam banyak kasus, tanggung jawab itu sering diabaikan. Ketika bayi itu lahir dia akan diberi nama dalam sebuah acara syukuran (punen leppenan), sang bapak biologis tidak turut hadir, dia hanya akan mengantarkan atau menyerahkan beberapa ekor ayam untuk kebutuhan selama punen berlangsung. Karena yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan punen (syukuran atas kelahiran anak) tersebut adalah keluarga dari ibu sang bayi maka punen tersebut sekaligus merupakan simbol bahwa bayi yang baru lahir itu hanya memiliki hubungan dengan kerabat ibunya. Disamping istilah punen leppenan, pesta pemberian nama bayi yang baru lahir itu disebut juga punen pamikpikat. 
                  Hubungan tersebut terus berlangsung hingga anak-anak mereka dewasa. Perkawinan biasanya baru akan dilaksanakan setelah anak-anak tahu atau mulai memanggil laki-laki yang sering berkunjung itu dengan panggilan ukkui (bapak). Jika rahasia mengenai identitas bapak mereka terbongkar maka berarti kewajiban untuk menikahi wanita pasangannya harus segera dilakukan. Membocorkan rahasia identitas bapak biologis mereka itu biasanya ibu itu sendiri akibat kelelahan menanggung serta mengasuh anak-anak mereka. Namun tidak tertutup kemungkinan rahasia itu dibongkar oleh pihak lain, baik dari kalangan kerabat sendiri maupun pihak luar.
                  Sebelum pernikahan itu dilakukan, biasanya pria (yang telah menjadi bapak) tadi mulai mempersiapkan sebuah opa (sebentuk keranjang yang pemakaiannya di sandang/digantungkan di punggung) dan sebuah pereman (tempat tidur). Setelah persyaratan itu dipenuhi, maka pesta perkawinanpun bisa dilaksanakan di Uma kerabat pria. Maka sejak saat itulah mereka secara resmi hidup serumah dan menjadi sepasang suami istri yang syah. Jika si bapak sudah mampu membuat lalep (rumah untuk keluarga yang sudah menikah) sendiri maka mereka akan menempatinya dan meninggalkan rumah orangtua mereka.
                  Jika diperhatikan dengan seksama, bisa dipahami bahwa opa dan pereman merupakan bentuk barang pengganti ala toga (mas kawin) yang wajib diserahkan sebelum pesta perkawinan. Hal ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan di Pagai dan Sipora yang sudah tidak mengenal ala toga yang menjadi kelaziman di daerah Siberut. Sedangkan opa dan pereman ditengarai sebagai penggantinya dan dianggap lebih meringankan. Namun, menurut pengamatan peneliti saat ini, pemberian mas kawin seperti disebutkan di atas sudah ditinggalkan dan digantikan dalam bentuk lain sesuai permintaan pihak wanita bahkan mas kawin sudah dianggap sesuatu  yang tidak penting dalam perkawinan sehingga tidak perlu ada. Perkawinan di Sipora maupun di Pagai saat ini hampir tidak memakai mas kawin, kecuali yang beragama Islam.
                  Lama masa menunggu tidak ditentukan, karena hal itu sangat tergantung pada kemampuan pihak pria. Jika pihak pria dan kerabatnya sudah menyatakan kesiapan untuk menyediakan dan membayar ala toga maka pesta perkawinan segera bisa diselenggarakan dan persiapan pestapun satu persatu bisa dimulai. Terkadang masa menunggu (pertunangan) dirasakan terlalu lama oleh pihak wanita dan kerabatnya, biasanya orangtua pihak wanita tersebut akan datang ke rumah calon besannya untuk menanyakan kesiapan mereka dan mendesak agar pesta sesegera mungkin dilaksanakan.  Mereka sudah tidak mampu menjaga anak gadis mereka dan tidak ingin terlalu lama menunggu. Makna kalimat yang dicetak miring tersebut sebenarnya merupakan sebuah peringatan kepada pihak calon mempelai pria dan kerabatnya untuk tidak berlama-lama menunda pernikahan, dan jika peringatan dan desakan itu tidak digubris bukan tidak mungkin anak gadis mereka akan berpaling dan menerima pinangan dari pria lain. Seandainya hal itu terjadi pihak orangtua dan kerabat wanita tidak bertanggungjawab dan pertunangan yang pernah terjadi seola-olah tidak pernah ada. Disamping itu, tidak ada hak bagi pihak pria menjatuhkan denda karena kesalahan berawal dari kelalaian mereka sendiri.
                  Mengenai ala toga biasanya sudah dibicarakan dari awal ketika proses peminangan berlangsung. Jadi masa pertunangan merupakan masa yang paling penting bagi pihak laki-laki karena ia harus bekerja keras mempersiapkan ala toga dan segala keperluan yang dibutuhkan selama pesta berlangsung, mengingat lia dan punen pangurei  biasanya menjadi kewajiban  serta diselenggarakan oleh keluarga/kerabat pria.



        [1]       Di Mentawai, proses merajah tubuh (tato) maupun mengasah gigi sudah mulai dilakukan dimasa anak-anak memasuki usia akil balig. Rajahan tubuh tersebut akan terus disempurnakan hingga mereka memasuki usia dewasa. Pada saat itu rajahan tubuh biasanya sudah hampir memenuhi sekujur tubuh mereka.
        [2]        Pada tahap penjajakan (parere) peranan seorang bapak belum diharapkan, bahkan sebuah tabu (takeikei) seorang bapak hadir dalam proses parere tersebut. . Jika si bapak tahu bahwa akan datang tamu yang bertujuan masirere anak gadisnya, maka si bapak harus sesegera mungkin meninggalkan rumah menuju Uma (rumah besar) atau bertandang ke rumah kerabat dan temannya. Barulah setelah tamu pulang si bapak kembali ke rumah, lalu si ibu melaoprkan isi pembicaraan mereka barusan kepada suaminya.
        [3]       Proses penjajakan itu sebenarnya sudah dimulai ketika pertama kali seorang pria mengenal gadis pilihan hatinya, proses itu   disebut musurua  (masa pacaran). Pada masa dahulu di Saumanganya (Pagai), bila si lainge sudah menemukan si okko yang ingin dipinangnya, ia akan membuat janji bertemu dengan si okko di pondok  (sapou) si lainge itu di tengah ladang. Untuk menyambut kedatangan kekasihnya, si lainge menyiapkan makanan berupa seekor ayam yang telah dimasaknya. Sebelumnya, si lainge tadi telah memberi tanda berupa tongkat yang dipancangkan miring di persimpangan menuju ladangnya untuk memberi tanda pada teman-temannya agar tidak datang mengganggu. Begitu juga dengan si okko, ia akan meletakkan topi atau toban leleu yang dipakainya di bawah tongkat yang telah dipancangkan si lainge untuk memberitahu teman-teman wanitanya. Setelah mereka bertemu, si lainge akan menyapa si okko sebagai tanda bahwa mereka sepakat untuk menjalin sebuah hubungan. Si lainge akan mengajak si okko mandi di sungai, tetapi di tempat yang berbeda, si lainge di hulu sedangkan si okko di hilir sungai yang berdekatan dengan sapou (pondok). Setelah selesai mandi, mereka kembali ke pondok dan makan bersama. Si lainge akan menanyakan kepada si okko apakah kedatangannya telah mendapat izin (restu) dari orangtuanya. Biasanya pada masa itu si okko baru berani menemui si lainge setelah mendapat restu dari orangtuanya. Bila mereka telah sepakat untuk menjalin hubungan lebih serius, maka si lainge akan mengeluarkan sebuah “massat” (alat penyimpan barang yang terbuat dari bambu) untuk memberikan tanda mata pada si okko, yang biasanya berupa sehelai kain. Saat itu juga, si okko akan memberikan “inu” atau seuntai kalung manik-manik kepada si lainge. Pertukaran benda-benda itu menjadi tanda bahwa mereka akan bertunangan. Baca: Ketika Silainge Ingin Meminang, Tabloid Puailiggoubat, Edisi No.91/Tahun III, 1-14 Maret 2006, (Padang: Penerbit Yayasan Citra Mandiri), hal.14.
        [4]    Istilah pagugulet mai (pembantu kami) merupakan sebuah petunjuk betapa rendahnya nilai seorang wanita dimata pria dalam kekerabatan patrilineal. Wanita atau istri hanya dipandang sebagai orang yang tidak jauh berbeda dengan seorang pembantu. Istilah pagugulet memiliki arti pesuruh; pekerja atau pembantu, yakni orang yang sehari-hari bertugas mengerjakan semua pekerjaan  di rumah tangga.
        [5]       Pengertian sigalai kanra jika diartikan secara sederhana akan berarti sebagai pekerja yang bertugas mengurus rumah tangga terutama menyangkut kebutuhan pangan/makanan. Tetapi sigalai kanra juga bisa berarti “istri” yang memang bertugas mengurus pekerjaan dapur. Pengertian yang pertama tidak bisa disangkal karena pada kenyataannya tugas istri di Maentawai, disamping mengurus rumah tangga juga memiliki tanggung jawab menyediakan pangan. Ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa seorang gadis yang akan menikah wajib memiliki ladang keladi sebagai sumber pangan keluarganya nanti setelah menikah. Bahkan jumlahnya harus lebih meningkat pada saat ia menjalani kehidupan bersama suaminya. Seorang wanita Mentawai akan dianggap aneh jika tidak memiliki ladang keladi, biasanya akan jadi buah bibir (pergunjingan) dikalangan ibu-ibu karena yang bersangkutan boleh jadi dianggap pemalas.
        [6]   Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu sepasang kekasih yang telah menjalin hubungan serius dan ingin menikah, terpaksa batal walaupun sudah dilakukan lamaran lantaran dahulu (setelah ditelusuri) terdapat pertikaian (pakaro; pagolukat) menyangkut mone (ladang) yang hingga saat itu belum pernah diselesaikan dengan baik dengan paabad. Pertikaian itu terjadi antara saudara laki-laki dari kakek pihak calon wanita dengan kakek dari pihak calon pria. Hubungan mereka menuju jenjang perkawinan terpaksa dibatalkan karena antara kakek kedua belah pihak pernah berselisih menyakut ladang yang belum diselesaikan secara baik dengan perdamaian (paabanan atau paerukat).
        [7]       Banyak istilah yang digunakan oleh orang Mentawai untuk mengidentifikasi sebuah  proses yang disebut peminangan, seperti istilah masineuneu di desa Malancan Siberut Utara. Namun demikian terdapat juga istilah lain seperti patiboat yang digunakan oleh  masyarakat daerah lain di Siberut Utara seperti di desa Sirilogui. Periksa Panulis Saguntung. Siripo`: Suatu Analisis Sosiologis Terhadap Peranannya bagi Konstruksi Interaksi Sosial dalam Masyarakat Menatawai. Thesis, (Salatiga:Program Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, 2003), hal.5. Menurut peneliti, istilah patiboat sebenarnya bukan ditujukan untuk menyebut momen atau peristiwa yang sedang terjadi yakni peminangan/pelamaran, tetapi dimaksudkan untuk menyebut kegiatan yang sedang berlangsung (pembicaraan; negosiasi) dalam peristiwa itu. Jadi tidak benar menempatkan istilah patiboat untuk mengidentifikasi sebuah peristiwa peminangan atau pelamaran. Aktivitas patiboat bisa berlangsung dalam peristiwa apa saja, seperti dalam peristiwa masinese, masinounou, pakaro ataupun paabad.
        [8]       Daerah Sarereiket Hulu merupakan daerah (desa-desa) yang berada dihulu sungai Sarereiket. Desa-desa tersebut seperti Matotonan, Madobag (termasuk di dalamnya Rogdog dan Ugai).
        [9]   Sebelum memasuki masa pertunangan, muda-mudi Mentawai juga mengenal kehidupan atau masa berpacaran seperti layaknya remaja di daerah lain yang dikenal dengan istilah uirek, uasoi (Siberut Selatan) atau musuruak (Sipora dan Pagai). Banyak sarana   dan kesempatan yang bisa dimanfaatkan untuk mencari pasangan serta menjalin hubungan lebih serius dengan lawan jenis, salah satunya adalah mulaibok.  Mulaibok berasal dari kata mei soibok, artinya bertandang  malam hari (ke rumah wanita). Kegiatan bertandang ini dilakukan oleh beberapa orang pria dengan tujuan beragam. Ada yang sekedar bertukar pikiran, bercengkrama, berkenalan, bergurau, hingga ke tingkat yang lebih serius melakukan pendekatan/hubungan yang lebih dekat dengan sang gadis yang disebut dengan istilah paukat.Tujuan mereka yang paling utama bukanlah berbuat mesum, bukan berbuat hal-hal yang tidak baik (masugalai sikataik) yang bertentangan dengan arat, melainkan bergaul, menjalin persahabatan (paalei), bertukar pikiran (patibo),bersendagurau (muangkabaga) diantara mereka layaknya muda mudi. Setelah larut malam mereka kembali pulang ke rusuk masing-masing. Kadang-kadang diantara yang datang mulaibo itu hadir juga seorang pria yang sudah memiliki hubungan dekat dengan si gadis dan telah menjadi tunangannya. Ketika kawan-kawan yang lain bubar, tidak jarang pasangan yang sudah bertunangan itu memadu kasih atau bahkan melakukan hubungan intim di rusuk  sang gadis. Hubungan intim bagi pasangan yang sudah bertunangan di rusuk merupakan sesuatu yang biasa dilakukan oleh mereka dimasa arat sabulungan, karena kemungkinan hubungan mereka gagal menuju jenjang pernikahan jarang atau bahkan tidak pernah terjadi. Selalu dipastikan bahwa mereka kemudian menjadi pasangan suami istri yang sah, walaupun pada saat menikah mereka sudah memiliki beberapa orang anak. Disamping itu, acara mulaibo tak tertutup kemungkinan juga bisa dilakukan oleh mereka yang belum memiliki hubungan/ikatan pertunangan dengan salah satu pihak, ataupun sebaliknya mereka yang sudah berkeluarga (beristri). Sebenarnya ada istilah lain yang memiliki pengertian yang persis sama dengan mulaibok yaitu murusa. Tetapi istilah ini lebih tertuju pada upaya menenangkan pikiran (mencari angin) di luar rumah,setelah seharian bekerja di ladang dalam rangka menghilangkan rasa jenuh di luar rumah di malam hari, tidak bermakna negatif seperti mulaibo dan tidak selalu diakhiri dengan pertemuan atau hubungan rahasia dengan pihak lain disebuah rempat tertentu. Tapi perlu digarisbawahi bahwa mulaibo yang diakhiri dengan hubungan percintaan merupakan sebuah kegiatan yang bersifat rahasia karena dilakukan sembunyi-sembunyi. Di daerah Siberut (Desa Matotonan), aktivitas mulaibo yang diakhiri dengan hubungan intim harus dirahasiakan  agar tidak diketahui oleh  orangtua si gadis terutama ama (bapak). Jika kejadian itu didengar oleh sang bapak melalui pembicaraan ibu dan anaknya atau dari sumber lain yang dipercaya, bisa dipastikan pria yang bersangkutan akan dikenai tulou (denda). Denda demikian biasa disebut dengan tulou sipukoai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih