Selasa, 06 September 2011

Pengertian Dasar Hukum Dagang


PENGERTIAN DASAR HUKUM DAGANG
1. PENGERTIAN  
            Bila ingin mengetahui definisi hukum dagang, maka hal tersebut tidak akan ditemukan di dalam KUHD, karena hal itu sama sekali tidak diatur secara khusus seperti layaknya pengertian pedagang dan perbuatan perniagaan. Selama ini definisi hukum dagang hanya mengacu pada beberapa pendapat sarjana hukum, seperti berikut ini:
(1).       Soekardono, mengatakan hukum dagang adalah bagian dari hukum perdata pada umumnya, yakni yang mengatur masalah perjanjian dan perikatan-perikatan yang diatur dalam Buku III BW. Dengan kata lain, hukum dagang adalah himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam kegiatan perusahaan yang terutama terdapat dalam kodifikasi KUHD dan KUHPerdata.
(2).       HMN. Purwosutjipto, mengatakan hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan.
(3).       Achmad Ichsan, mengatakan hukum dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal perdagangan yaitu soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia dalam perdagangan atau perniagaan.
(4).       Fockema Andreae (Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia), mengatakan hukum dagang atau Handelsrecht adalah keseluruhan dari aturan hukum mengenai perusahaan dalam lalu lintas perdagangan, sejauhmana diatur dalam KUHD dan beberapa undang-undang tambahan.
            Saat ini, beberapa pasal dari Buku I KUHD tentang pedagang pada umumnya, sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam dunia perdagangan. Hal ini berkaitan dengan pencabutan Pasal 2 s/d Pasal 5 perihal pedagang dan perbuatan perniagaan.[1] Menurut Pasal 2 KHUD (lama), pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai pekerjaan sehari-hari. Perbuatan perniagaan itu selanjutnya diperjelas oleh Pasal 3 KUHD (lama), yaitu perbuatan pembelian barang-barang untuk dijual kembali. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 KUHD (lama) tersebut, HMN. Purwosutjipto mencatat bahwa:[2]
  1. Perbuatan perniagaan hanya perbuatan pembelian saja, sedangkan perbuatan penjualan tidak termasuk didalamnya, karena penjualan adalah tujuan pembelian; dan
  2. Pengertian barang di sini berarti barang bergerak. Tidak termasuk di dalamnya barang tetap.
            Pasal 4 KUHD (lama) kemudian memerinci lagi beberapa kegiatan yang termasuk dalam kategori perbuatan perniagaan, yang salah satunya adalah perbuatan jual-beli perlengkapan kapal dan keperluan kapal. Dengan demikian, bila mengacu pada pendapat Purwosutjipto di atas mengenai ketentuan Pasal 3 KUHD (lama), kelihatan bertentangan dengan Pasal 4 KUHD (lama) yang menyebut jual-beli sebagai perbuatan perniagaan.
            Sedangkan Pasal 5 KUHD (lama) hanya menambahkan kegiatan-kegiatan yang termasuk perbuatan perniagaan khususnya perbuatan-perbuatan perniagaan di laut, seperti perbuatan yang timbul dari kewajiban–kewajiban menjalankan kapal untuk melayari laut, kewajiban-kewajiban mengenai tubrukan kapal, tolong-menolong dan menyimpan barang di laut, dan lain-lain.
            Berdasarkan atas kelemahan-kelemahan dalam prinsip Hukum Dagang seperti di atas, maka akhirnya Pasal 2 s/d Pasal 5 dicabut dengan Stb.1938/276, yang mulai berlaku sejak tanggal 17 Juli 1938. Selanjutnya istilah perbuatan perdagangan atau perniagaan diganti menjadi istilah “Perusahaan.
            Istilah Perusahaan lahir sebagai wujud perkembangan yang terjadi dalam dunia usaha yang kemudian diakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Masuknya istilah Perusahaan dalam KUHD tentu saja diawali dengan ditemukannya beberapa kekurangan/kelemahan dalam KUHD. Namun istilah Perusahaan ini tidak dirumuskan secara eksplisit seperti apa yang terjadi dalam istilah Pedagang dan Perbuatan Perdagangan. Pengertian  Perusahaan  dibiarkan berkembang sendirinya sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam duania usaha. Namun demikian, beberapa ahli hukum sudah memberikan beberapa rumusan sebagai pegangan yang akan dipaparkan lebih lanjut di bawah ini.
            Ada beberapa keberatan yang dapat dicatat berkaitan dengan prinsip Hukum Dagang yang pada pokoknya diperuntukkan bagi kaum pedagang (koopmanrecht):[3]
1.      Perkataan “barang” dalam Pasal 3 KUHD (lama) berarti barang bergerak. Padahal dalam lalu lintas perniagaan sekarang, barang tetap juga merupakan obyek perniagaan.
2.      Perbuatan “menjual” dalam Pasal 3 KUHD (lama), tidak termasuk dalam pengertian perbuatan perniagaan, tetapi bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 4 KUHD (lama), yang menyebutkan perbuatan menjual adalah termasuk dalam pengertian perbuatan perniagaan. Jadi, ada pertentangan antara Pasal 3 dan Pasal 4 KUHD (lama).
3.      Bila terjadi perselisihan antara pedagang dengan non-pedagang, muncul beberapa pendapat mengenai pemberlakuan hukum dagang:
a.       Menurut H.R, hukum dagang baru berlaku bila bagi tergugat perbuatan yang dipertentangkan adalah perbuatan perniagaan. Ini artinya bila tergugat adalah pedagang, dan penggugat bukan pedagang, maka disini akan berlaku hukum dagang. Akhirnya hukum dagang juga diberlakukan bagi non-pedang. Pendapat H.R ini telah melanggar prinsip hukum dagang bagi pedagang. (pendapat ini bertitik tolak pada subjek hukum di pihak tergugat)
b.      Pendapat kedua, menyatakan bahwa hukum dagang berlaku kalau perbuatan yang disengketakan itu bagi kedua belah pihak merupakan perbuatan perniagaan. (pendapat ini bertitik tolak pada obyek sengketa)
            Dari pendapat di atas terlihat dengan jelas bahwa prinsip Hukum Dagang Bagi Pedagang (koopmanrecht) tidak bisa dipertahankan lagi dalam situasi saat ini. Karena pedagang berpeluang melakukan sengketa dengan siapapun termasuk yang bukan pedagang. Oleh karena itu, sejak tanggal 17 Juli 1938, hukum dagang (KUHD) mulai diberlakukan bagi semua orang, baik pedagang maupun bukan pedagang.
            Menurut Soekardono, Perusahaan adalah salah satu pengertian ekonomi yang juga masuk ke dalam lapangan Hukum Perdata, khususnya Hukum Dagang. Melalui Staatblad 1938/276, istilah Perusahaan masuk ke dalam Hukum Dagang dengan menggantikan istilah pedagang dan perbuatan perdagangan.[4]
            Istilah Perusahaan di dalam bahasa Indonesia mempunyai 3 (tiga) pengertian yang diadopsi dari istilah Belanda, yaitu: [5]
1.      Onderneming. 
Dalam istilah onderneming tercermin seakan-akan adanya suatu kesatuan kerja (wekeenheid), namun ini terjadi dalam suatu perusahaan.
2.      Bedrijf
Bedrijf diterjemahkan dengan “perusahaan”, yang mana dalam hal ini tercermin adanya penonjolan pengertian yang bersifat ekonomis yang bertujuan mendapatkan laba, dalam bentuk suatu usaha yang menyelenggarakan suatu perusahaan. Dengan kata lain, bedrijf ini merupakan kesatuan teknik untuk produksi, seperti misalnya Huisvlijt (home industri/industri rumah tangga), Nijverheid (kerajinan/keterampilan khusus), Fabriek (pabrik).
3.      Vennootschap   
Vennootschap mengandung pengertian juridis karena adanya suatu bentuk usaha yang ditimbulkan dengan suatu perjanjian untuk kerja sama dari beberapa pesero.[6]
            Dengan demikian dapat disimpulkan perbedaan pengertian bedrijf (perusahaan) dan onderneming yaitu jika bedrijf mengandung pengertian kesatuan finansial-ekonomis, maka onderneming merupakan suatu kesatuan kerja (werkeenheid) yang semata-mata mengandung pengertian ekonomis saja, dan kedua-duanya mengandung pengertian yang bersifat non juridis.  Sedangkan vennootschap mengandung pengertian yang bersifat juridis. [7]
Beberapa ahli atau ilmuan memberikan pendapat tentang istilah Perusahaan, sebagai berikut:
1.      Pemerintah Belanda (Mentri Kehakiman Belanda) ketika membacakan Memorie van Toelichting (rencana undang-undang) Wetboek van Koophandel (WvK) di depan parlemen, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba.[8]
2.      Molengraaff (dalam bukunya Leindraad I halaman 38) berpendapat bahwa perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan. Di sini Molengraaff memandang perusahaan dari sudut ekonomi.[9]
3.      Polak (dalam bukunya Handboek I halaman 88) memberikan pendapat bahwa sebuah perusahaan dianggap ada bila diperlukan adanya perhitungan-perhitungan tentang laba-rugi yang dapat diperkirakan, dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan. Di sini Polak memandang perusahaan dari sudut komersil.[10]
            Dalam beberapa undang-undang juga ditemukan uraian mengenai definisi perusahaan, antara lain:
1.      Pasal 1 huruf  b UU No.3 Tahun 1992, tentang Wajib Daftar Perusahaan, mendefiniskan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba.
2.      Pasal 1 butir 2 UU No.8 Tahun 1997, tentang Dokumen Perusahaan, menyebutkan bahwa perusahaan adalah bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dangan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh perseorangan maupun badan usaha, baik berbentuk badan hukum ataupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
            Kalau meneliti Bab I (Pasal 2 s/d Pasal 5 yang sudah dihapuskan) KUHD, maka istilah perbuatan dagang meliputi perbuatan membeli dan menjual barang-barang saja. Berdasarkan definisi ini, bisa dipahami bahwa istilah Perusahaan lebih luas artinya daripada istilah perbuatan dagang. Maka segala sesuatu yang dapat menghasilkan keuntungan secara materil dapat dimaksudkan dengan Perusahaan. Besar kecilnya, ataupun bentuk perusahaan tidak menjadi soal.[11]
            Dalam pada itu, Mahkamah Agung Belanda ( Hoge Raad) telah memberi definisi dalam arrestnya 25 Nopember 1925, bahwasanya “dianggap ada suatu perusahaan kalau seseorang menyelenggarakan sesuatu secara teratur, yang ada hubungannya dengan menjalankan perdagangan untuk mendapatkan keuntungan berupa uang”.[12]
Salah satu istilah yang muncul saat ini sebagai bagian penting dari perkembangan dalam Hukum Dagang adalah munculnya istilah Hukum Perusahaan. Istilah Hukum Perusahaan jelas tidak bisa dipisahkan dengan istilah Perusahaan yang muncul berkaitan dengan penghapusan beberapa pasal dalam Buku I KUHD. Bahkan saat ini Hukum Perusahaan sudah dijadikan materi kuliah wajib dibeberapa perguruan tinggi yang terkesan berdiri sendiri berdampingan dengan Hukum Dagang. Disamping itu, Hukum Perusahaan merupakan istilah yang lebih berkembang dibandingkan dengan istilah lama Hukum Dagang, walaupun secara substansi materinya merupakan bagian khusus dari Hukum Dagang. 
Berbicara mengenai pengertian Hukum Perusahaan, maka hal ini juga tidak bisa dipisahkan dengan pengertian Hukum Dagang dan pengertian Perusahaan. Sudah diketahui bahwa Hukum Dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. Selanjutnya, bila merujuk pada pendapat salah satu ahli tentang istilah Perusahaan sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa  Hukum Perusahaan adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan dalam lapangan perusahaan, yang dilakukan secara tidak terputus-putus,  bertindak keluar,  terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba atau penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan.
Berkembangnya dunia usaha dan atau perdagangan membawa akibat berkembangnya  pengertian perusahaan, baik menyangkut bentuk, bidang kegiatan/usaha dan sebagainya. Dalam perkembangan ini muncullah apa yang disebut Hukum Perusahaan atau Corporate Law.[13]
Di lihat dari obyek pengaturannya, maka Hukum Perusahaan ini diatur di dalam:[14]
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD); dan
3.      Peraturan Perundang-undangan lainnya.
            Dengan demikian, Hukum Perusahaan dapat dikatakan merupakan pengkhususan dari beberapa bab di dalam KUHPerdata dan KUHD, ditambah dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang Perusahaan.[15]
            Apabila Hukum Dagang merupakan hukum khusus (lex specialis) dari Hukum Perdata (yang bersifat lex generalis), maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hukum Perusahaan merupakan pengkhususan lebih lanjut dari Hukum Dagang. Dari sudut pandang ini (kedudukan), Hukum Perusahaan diartikan sebagai hukum yang secara khusus mengatur tentang bentuk-bentuk badan usaha (perusahaan) serta segala aktivitas yang berkaitan dengan perusahaan.[16]
            Mengacu pada Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan (Pasal 1 huruf b UU No.3 Tahun 1992, tentang Wajib Daftar Perusahaan), maka perusahaan dapat didefinisikan sebagai “setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, terus-menerus, dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia dengan tujuan meperoleh keuntungan dan atau laba”. Bertitik tolak dari definisi tersebut, maka lingkup pembahasan Hukum Perusahaan meliputi dua hal pokok, yaitu bentuk usaha dan jenis usaha. Dengan demikian, Hukum Perusahaan adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur tentang bentuk usaha dan jenis usaha.[17]
Dari beberapa definisi perusahaan yang dikemukakan di atas, sesuatu disebut perusahaan apabila memenuhi unsur-unsur di bawah ini:
  1. Ia merupakan bentuk usaha
  2. Bentuk usaha itu diselenggarakan oleh perseorangan maupun badan usaha, baik berbentuk badan hukum ataupun bukan badan hukum;
  3. Melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus;
  4. Bertindak keluar dengan cara memperniagakan barang-barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian;
  5. Membuat perhitungan tentang laba-rugi yang dicatat dalam pembukuan
  6. Bertujuan memperoleh keuntungan atau laba
            Dengan demikian, ketika bicara perusahaan sudah dipastikan hal itu berhubungan dengan  bentuk-bentuk usaha dan segala hal yang berkaitan dengan bentuk usaha (hukum perusahaan) yang kesemuanya berujung pada laba sebagai unsur mutlak. Unsur laba ini juga menjadi tujuan bagi perbuatan perniagaan. Namun demikian, perbuatan perusahaan lebih luas dari perbuatan perniagaan, sebab ada beberapa perbuatan yang termasuk dalam pengertian perusahaan tetapi tidak termasuk dalam pengertian perbuatan perniagaan, seperti dokter, pengacara, notaris, juru sita, akuntan, dan lain-lain.


                [1] Selain Buku I (khusus Pasal 2 s/d Pasal 5), Buku III KUHD juga sudah dicabut dan digantikan oleh undang-undang khusus, yakni UU No. 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sebelum UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU diberlakukan, terdapat sejumlah UU Kepailitan yang pernah berlaku, yakni Failissement Verordening (UU Kepailitan) Stb. 1905/217 jo Stb. 1906/348; Kemudian Perpu No.1 Tahun 1998, tentang Perubahan Undang-undang Kepailitan; selanjutnya Perpu ini pun ditetapkan menjadi UU No.4 Tahun 1998.
                [2] H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang  Indonesia 1: Pengetahuan  Dasar Hukum Dagang,  (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995),  Cetakan 11, hal.10
                [3] Ibid.,hal.13
                [4] R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1 (Bagian Pertama), (Jakarta: Dian Rakyat, 1981), hal.17
                [5] R. Rochmat Soemitro, Himpunan Kuliah-kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi, (Bandung: PT. Eresco, 1966), hal. 37-38.
                [6]M.Natzir Said, Hukum Perusahaan di Indonesia I (Perorangan), (Bandung: Alumni, 1987), hal. 29
                [7] Ibid., hal. 36-37
                [8] R. Soekardono, Op.Cit., hal. 20. 
                [9] H.M.N. Purwosutjipto, Op.Cit., hal.15.
                [10] Ibid., hal. 16
                [11] R. Suryatin, Hukum Dagang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal.7
                [12]Ibid., hal.12
                [13] R.T. Sutantya R. Hadhikusuma dan Sumatoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan : Bentuk-bentuk perusahaan yang berlaku di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), Cetakan 1, hal. 7
                [14] Ibid.
                [15] Ibid.
                [16] Ibid., hal. 8
                [17] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 1. Bandingkan C.S.T. Kansil, dan Christine S.T.Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia: Aspek Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), Cetakan ke 7, hal. 68

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih