Selasa, 12 Januari 2010

Persepsi Masyarakat Terhadap Lembaga Keuangan Syari’ah
oleh : Dr. H. Amir Mu’allim, MIS.

file:///D:/BANK%20SYARIAH%20_baru/Persepsi%20Masyarakat%20Terhadap%20Lembaga%20Keuangan%20Syari%E2%80%99ah.htm

MSI-UII.Net - 13/8/2004
Pendahuluan
Konferensi Negara-negara Islam sedunia, 21-27 April 1969 memberi dampak positif berupa perkembangan bank Islam atau bank syari’ah di berbagai negara yang ditengarai lebih dari 200 lembaga keuangan dan investasi syari’ah yang berkembang sejak tahun 1975. Pada tahun tersebut, perkembangan sistem ekonomi syari’ah secara empiris diakui dengan lahirnya Islamic Development Bank (IDB).
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998, disahkan Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai subsistem perbankan nasional.
Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan syari’ah, pada tahun 1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-porandakan sistem perbankan nasional. Sebagaimana diungkap oleh Warkum, mulai bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999 pemerintah menutup 55 bank, mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Pada Oktober 2001, sebagaimana laporan Majalah Investasi[1] terjadi lagi satu bank konvensional yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah.[2]
Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah, BPRS dan BMT. Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan bank-bank konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, BII Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah yang bersifat mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal wat-Tamwil).
BMT berdiri dengan gagasan fleksibilitas dalam menjangkau masyarakat kalangan bawah, yaitu lembaga ekonomi rakyat kecil. BMT berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil berdasarkan prinsip syari’ah dan prinsip koperasi. Sebagaimana diungkap oleh Pusat Inkubasi usaha kecil, BMT pada akhir tahun 1997[3] berjumlah 1.501 BMT. Perkembangan BMT ini tidak selalu bagus, bahkan ada BMT yang kemudian tumbang, gagal, rugi dan kemudian mati, tidak berjalan lagi. Penyebab kegagalan pengelolaan BMT tersebut, yaitu antara lain; Pertama, kurangnya persiapan sumber daya manusia (SDM) pengelola, baik dari sisi pengetahuan atau keterampilan dalam mengelola BMT, terutama masalah pengguliran pembiayaan. Kasus riil adalah banyaknya pembiayaan yang tidak tertagih (pembiayaan macet). Kedua, lemahnya pengawasan pada pengelolaan, terutama manajemen dana dan kurangnya rasa memiliki pengelola BMT.
Berkaitan dengan permasalahan yang pertama adalah adanya ambivalensi antara konsep syari’ah pengelolaan BMT dengan operasionalisasi di lapangan. Terdapat ketidakcocokan (kalau tidak dibilang penyimpangan) dari garis syari’ah yang telah disepakati. Hal ini menyebabkan kurangnya kepercayaan dari para nasabah ataupun masyarakat calon nasabah. Di lain pihak, pembinaan terhadap nasabah BMT juga merupakan hal yang signifikan terhadap keberlangsungan BMT. Hal ini berkaitan dengan kelancaran pembayaran uang modal dan bagi hasil dari nasabah. Kemacetan pembayaran modal atau kerugian yang dialami nasabah mempunyai dampak terhadap kesehatan BMT. Selain itu, menurut Muhammad “perkembangan sektor perbankan yang terlalu cepat dengan tidak disertai infrastruktur yang mendukungnya seperti kebijakan yang sempurna, arah kegiatan usaha, dan ketersediaan sumber daya manusia yang profesional dapat menimbulkan masalah perbankan.”[4]
Kompleksitas persoalan yang ada di sebagian lembaga keuangan syari’ah tersebut, menimbulkan dampak terhadap kepercayaan masyarakat tentang keberadaannya di antara lembaga keuangan konvensional.

Pandangan Sinis terhadap Sistem Perbankan Syari’ah
Maraknya perkembangan dan pertumbuhan bank syari’ah tersebut dipandang sinis oleh beberapa kalangan, bahkan kalangan umat Islam sendiri. Sinisme terhadap perbankan Islam tersebut dapat dilihat dari kepercayaan masyarakat Islam terhadap Bank Syari’ah sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari partisipasi umat Islam dalam investasi atau perguliran modal. Bahkan beberapa ilmuwan muslim ada yang mengecam perbankan syari’ah, mereka berpendapat bahwa bank-bank Islam dalam menyelenggarakan transaksi-transaksinya justru bertentangan dengan konsepnya. Dengan kata lain, bertentangan dengan semangat syari’ah. Dipertanyakan apakah penyelenggaraan kegiatan-kegiatan usaha-usaha bank-bank Islam tersebut, yang notabene bermaksud untuk menghindarkan pemungutan bunga dan bermaksud agar risiko dipikul bersama, apakah memang telah diselenggarakan sesuai dengan tujuan tersebut ataukah dalam pelaksanaannya ternyata hanya penggantian istilah belaka?[5]
Lebih tegas lagi, Sutan Remy menyatakan bahwa pengamatan atau penelitian beberapa ilmuwan Islam menyebutkan bahwa bank-bank Islam dalam penyelenggaraan kegiatan usahanya, ternyata bukan meniadakan bunga dan membagi risiko, tetapi mempertahankan praktek pembebanan bunga. Dengan kata lain, menghindarkan risiko dengan cara yang licik.
Para peneliti dan ilmuwan muslim tersebut juga mengemukakan ketidaksetujuannya apabila mudharabah dipakai sebagai dasar kegiatan perbankan Islam.  Mereka mengemukakan tiga alasan atas penolakan sebagai berikut: Pertama, perjanjian mudharabah telah dikembangkan di abad pertengahan sesuai keadaan-keadaan tertentu pada waktu itu. Perjanjian ini tidak memiliki dasar hukum untuk memberikan validitas kepada pelaksanaan aktivitas-aktivitas keuangan modern dalam masyarakat industri yang kompleks. Pendapat ini didasarkan kepada asumsi bahwa para ahli hukum dan ahli teologi muslim mutakhir tidak memiliki hak untuk melakukan penafsiran ulang atas asas-asas hukum yang terdahulu, yang telah merupakan ijtihad. Dengan kata lain mudharabah yang dikembangkan di abad pertengahan adalah untuk waktu dan untuk keadaan ekonomi pada waktu itu, tidak dapat ditafsirkan atau dimodifikasi oleh para ahli hukum dan ahli teologi muslim masa kini untuk keadaan ekonomi atau untuk keperluan pada waktu ini yang telah berbeda dengan keadaan ekonomi pada abad pertengahan itu. Kedua, perjanjian mudharabah juga telah ditolak berdasarkan alasan politis-ideologis (political-ideological grounds). Bank-bank Islam yang didirikan oleh kapitalis muslim, akan mengeksploitasi para penabung kecil melalui penggunaan instrumen-instrumen keuangan yang agamis sebagai sarana yang legal. Sebagaimana diuraikan di atas, risiko bank yang terjelek yang akan dialaminya sebagai mudharib bila terjadi kerugian atas transaksi mudharabah itu ialah hanya sekadar menerima remunasi atas jerih payahnya bukan berupa memikul risiko finansial. Ketiga, diperkenalkannya mudharabah sebagai alternatif dari transaksi keuangan berdasarkan bunga (interest) telah dkecam berdasarkan alasan bahwa mudharabah akan menciptakan atau meningkatkan pasar uang yang informal yang berdasarkan bunga. Para penabung akan memilih untuk meminjamkan dana untuk mereka agar memperoleh harga atau bunga yang tersembunyi di dalam pelunasan jumlah pokok daripada menyimpan dana itu pada bank yang berdasarkan mudharabah yang berisiko. [6]
Sinisme tersebut tidak terlepas dari pengaruh ekonomi kapitalis yang sudah mendarah-daging di masyarakat, terutama anggapan ekonomi kapitalis bahwa tidak ada bank tanpa bunga. Sistem ekonomi kapitalis yang sudah merajalela dan menguasai dunia seakan merupakan keadaan yang memaksa bagi umat Islam untuk menerapkan kaidah ushul Fiqh “ad dhorûrôtu tubîhul mahdlûrôt”. Seharusnya, pengamat dan peneliti muslim menyadari bahwa yang terjadi pada dunia sekarang ini adalah ketidakadilan akibat dari kesalahan sistem ekonomi yang diterapkan (salah satunya). Keadilan adalah sesuatu yang sangat prinsipil dalam Islam, oleh karenanya mereka harus menyadari bahwa ketidakadilan tersebut harus dihilangkan dengan eksplorasi sistem-sistem alternatif, dan sistem ekonomi Islam, dengan perbankan syari’ah salah satunya. Dalam eksplorasi ini, seperti ketidaktepatan (atau bahkan mungkin penyimpangan yang disadari dan diterjang) konsep mudharabah harusnya memperoleh kritik untuk menyempurnakannya, bukan kecaman.
Selain itu, kecaman-kecaman yang dialamatkan untuk sistem perbankan syari’ah, memang sebagai suatu tantangan. Hal ini karena sistem perbankan Islam dengan konsep bagi hasilnya akan mempunyai implikasi kepada menanggung beban risiko secara bersama. Dan Hal ini, sebagaimana dikatakan oleh Renald Khasali, “bahwa seseorang dalam mengkalkulasi uang akan bersifat rasional.”[7]  Artinya, dengan kalkulasi rasional apabila ada sistem yang akan merugikannya, maka ia akan bersifat depensif. Bahkan penelitian di Jordan menghasilkan temuan yang mencengangkan bahwa motivasi agama bukan merupakan faktor dominan yang dipertimbangkan untuk memilih bank syari’ah, tetapi motivasi yang kuat adalah berdasarkan pada motif profit oriented. Artinya, masyarakat Jordan lebih berorientasi profit daripada agama dalam memilih bank.[8]
Namun kasus di Jordan tersebut, tidak terjadi di sebagian negara-negara yang telah maju sistem perbankan syari’ahnya. Faktor agama merupakan faktor berpengaruh yang paling kuat. Keterpanggilan konsumen perbankan syari’ah  (bank Islam) di negara-negara tersebut lebih disebabkan oleh panggilan keagamaan untuk melakukan transaksi bisnis sesuai dengan ajaran syari’ah Islam ketimbang pertimbangan-pertimbangan lainnya. Namun tentu saja, pengaruh ini tidak bisa digeneralisir ke seluruh negara-negara yang sudah mengembangkan sistem perbankan syari’ah  lainnya.

Pandangan Masyarakat Indonesia Terhadap Lembaga Keuangan Syari’ah
Pandangan masyarakat terhadap lembaga keuangan syari’ah di antaranya dapat diwakili dengan pandangan masyarakat terhadap perbankan syari’ah. Penelitian berkaitan persepsi atau pandangan masyarakat terhadap bank syari’ah telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia[9] bekerjasama dengan beberapa lembaga penelitian yang berusaha untuk memetakan potensi pengembangan Bank Syari’ah yang didasarkan pada analisis potensi ekonomi dan pola sikap/preferensi dari pelaku ekonomi dan jasa Bank Syari’ah. Selain itu juga untuk mempelajari karakteristik dan perilaku dari kelompok masyarakat pengguna dan calon pengguna jasa perbankan syari’ah sebagai dasar penetapan strategi sosialisasi dan pemasaran bagi bank-Bank Syari’ah. Penelitian tersebut dilakukan di seluruh Pulau Jawa dengan mengambil sampel di beberapa kabupaten dan kotamadya, yang dibagi menjadi tiga wilayah penelitian: Jawa Barat, Jawa Tengah/DIY dan Jawa Timur.
Dari penelitian tersebut terungkap bahwa 95% responden berpendapat bahwa sistem perbankan penting dan dibutuhkan dalam mendukung kelancaran transaksi ekonomi. Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa kesan umum yang ditangkap oleh masyarakat tentang Bank Syari’ah  adalah (1) Bank Syari’ah  indentik dengan bank dengan sistem bagi hasil, (2) Bank Syari’ah  adalah bank yang Islami. Namun berdasarkan survey yang dilakukan di wilayah Jawa Barat 8,1% responden yang menyatakan bahwa Bank Syari’ah  secara ekslusif hanya khusus untuk umat Islam. Selain itu juga terungkap bahwa pengetahuan masyarakat tentang sistem perbankan syari’ah relatif tinggi. Meskipun demikian pemahaman mengenai keunikan produk/jasa Bank Syari’ah  secara umum masih rendah. Faktor-faktor yang memotivasi masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan syari’ah untuk masyarakat Jabar dan Jatim ternyata lebih didominasi oleh faktor kualitas pelayanan dan kedekatan lokasi bank dari pusat kegiatan. Sedangkan untuk masyarakat Jateng faktor pertimbangan agama adalah motivator penting untuk mendorong penggunaan jasa Bank Syari’ah. Penelitian yang dilakukan di Jabar mengungkapkan bahwa masyarakat non nasabah yang diberi penjelasan tentang produk/jasa Bank Syari’ah mempunyai kecenderungan yang kuat untuk memilih Bank Syari’ah, namun sebaliknya, nasabah yang telah menggunakan produk/jasa Bank Syari’ah sebagian mempunyai kecenderungan untuk berhenti menjadi nasabah karena faktor pelayanan yang kurang baik atau keraguan terhadap konsistensi penerapan prinsip syari’ah.
Pandangan atau persepsi kalangan masyarakat, adalah sebagai berikut: Penelitian di salah satu BMT di Kota Banjarmasin menyebutkan bahwa BMT mempunyai andil yang sangat besar bagi pemberdayaan dan pengembangan usaha kecil. Keberadaan BMT di Kota Banjarmasin sangat dirasakan oleh nasabahnya terutama dalam hal membantu pembiyaan modal usaha dan meningkatkan penghasilan. Kualitas hidup masyarakat yang menjadi mitra BMT semakin membaik.[10]
Selain itu, penelitian yang berjudul Penerimaan Masyarakat atas keberadaan BMT MUI dilihat dari perilaku anggotanya di Sleman Yogyakarta,[11] mendukung hasil penelitian di atas. Penerimaan masyarakat terhadap keberadaan BMT MUI, meskipun ada sebagian kecil masyarakat yang belum bisa menerima sepenuhnya, secara umum dapat dikategorikan baik, baik terhadap prinsip yang dianutnya, konsep dasar, maupun terhadap fasilitas dan pelayanannya.
 Penelitian tersebut, yang jumlah respondennya 80 orang menyebutkan bahwa masyarakat mengenal BMT (37 orang) berasal dari BMT langsung, 2 orang dari koran atau selebaran dan promosi, 22 orang dari  teman dan 4 orang dari saudara. Lebih dari Sekitar 47% responden menyatakan setuju dengan visi dan Misi BMT, 38% yang lain menyatakan setuju. Terhadap prinsip menghindari riba, 43,75% sangat setuju dan 45% setuju; terhadap sistem jual beli dan bagi hasil, 45% menyatakan sangat setuju, 37,5% menyatakan setuju. Terhadap produk BMT, 27,5% menyatakan sangat setuju, 48, 75% setuju. Artinya rata-rata responden setuju.
Penelitian di Magelang, menyatakan bahwa persepsi atau pandangan terhadap lembaga keuangan syari’ah adalah mampu menjadi alternatif lembaga keuangan konvensional. Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa masyarakat memilih lembaga keuangan syari’ah sebagai mitra adalah karena menerapkan syari’ah (40%), sedangkan sisanya memberikan klausul akan memilih kalau didukung oleh profesionalitas yang sebanding dengan bank-bank konvensional. Dari 150 responden, 72% (41 responden) menyatakan setuju atas keberadaan BMT Kharisma di Kotamadya Magelang.
Namun demikian tidak sepenuhnya masyarakat memandang bahwa lembaga keuangan syari’ah, terutama bank mempunyai dampak positif terhadap perkembangan ekonomi. Hal ini dikarenakan terjadi kasus-kasus yang menorehkan tinta hitam pada perkembangan lembaga keuangan Islam. Misalnya, di daerah Kalimantan pernah didirikan Lembaga keuangan syari’ah yang modalnya diambil dari bank konvensional yang besar. Sekitar satu tahun kemudian lembaga tersebut kolaps dan pemiliknya tidak bertanggungjawab atas kredit macetnya. Pemilik dan penanggungjawab lembaga keuangan syari’ah tersebut melarikan diri.
Kasus-kasus tersebut, menurut pengatan penulis tidak hanya terjadi sekali, namun terjadi berulang kali di tempat lain, seperti terjadi di kasus di Tegal.[12] Pada lembaga keuangan tersebut menerapkan sistem mudharabah muqayyadah fi an-nisbah bi al miyyah, yaitu asumsi perhitungan nisbah yang ditetapkan 2.5% berdasar jumlah pembiayaan yang dikelurkan, sehingga mekanisme ini menyerupai perhitungan bunga. Walaupun tidak separah seperti kasus di Kalimantan, namun hal tersebut mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap lembaga keuangan syariah, terutama tingkat kepercayaan masyarakat.
Pengelola lembaga keuangan tersebut berargumen bahwa hal tersebut dapat ditolerir karena ‘urf dan trend ekonomi global yang sudah memasyarakat. Selain itu, argumen yang lain adalah perhitungan nisbah tersebut tidak mutlak seperti perhitungan bunga (rate interest system), karena tidak ada pelipatan ganda (ad’âfan mudâfah) untuk keterlambatan mengangsur (fleksibel dan tidak kaku dalam penerapan).

Meningkatkan Profesionalitas, Mengangkat Citra & Menebarkan Rahmah
Perjuangan Sistem ekonomi Islam sebagai sistem alternatif setelah kegagalan sistem komunisme dan kapitalisme mensejahterakan manusia dan mengangkat kemanusiaan, masih sangat panjang. Rentang waktu pertengahan abad 20 sampai awal abad 21 adalah titik tolak dari perkembangan sistem ekonomi Islam. Pelan namun pasti sangat diharapkan sistem ekonomi Islam akan membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin bukan hanya di dataran ide ataupun konsep, namum terimplementasi dan membumi.
Mempelajari permasalahan-permasalahan yang melingkupi lembaga keuangan syari’ah dan nilai-nilai positif yang telah ada, maka lembaga keuangan syari’ah harus segera meningkatkan profesionalitas, sehingga akan dapat mengangkat citra. Secara detail, keterkaitan lembaga keuangan syari’ah dengan konsumennya akan sangat dipengaruhi oleh komitmen untuk inovasi yang terus menerus dan pandangan yang seimbang mengenai penelitian dalam pengambilan keputusan. Lembaga keungan syari’ah dapat melakukan manajemen pemasaran yang lebih baik. Pada prinsipnya, para pemasar dan mereka yang berusaha mempengaruhi perilaku konsumen terletak pada empat premis yang esensial:
1.      Konsumen adalah raja. Konsumen memiliki kemampuan penuh menyaring semua upaya untuk mempengaruhi mereka, dengan hasil bahwa semua yang dilakukan oleh perusahaan niaga harus disesuaikan dengan motivasi dan perilaku konsumen.
2.      Motivasi dan perilaku konsumen dapat dimengerti melalui penelitian. Prediksi yang sempurna tidak dimungkinkan, tetapi hasil strategis sangat meningkat melalui penelitian yang dijalankan dan dimanfaatkan dengan benar.
3.      Perilaku konsumen dapat dipengaruhi melalui kegiatan persuasif yang menanggapi konsumen secara serius sebagai pihak yang berkuasa dan dengan maksud tertentu.
4.      Bujukan dan pengaruh konsumen memiliki hasil yang menguntungkan secara sosial asalkan pengamanan hukum, etika, dan moral berada pada tempat untuk mengekang upaya manipulasi.
Menurut Engel (1994) setidaknya ada tiga hal yang mempengaruhi perilaku konsumen yaitu:
1.      Pengaruh lingkungan. Konsumen hidup di dalam lingkungan yang kompleks. Perilaku keputusan mereka dipengaruhi oleh: (1) budaya; (2) kelas sosial; (3) pengaruh pribadi; (4) keluarga; dan (5) situasi.
Budaya mengacu pada seperangkat nilai, gagasan, artefak, dan simbol bermakna lainnya yang membantu individu berkomunikasi, membuat tafsiran, dan melakukan evaluasi sebagai anggota masyarakat. Cara-cara budaya untuk mempengaruhi konsumen adalah dengan mempengaruhi struktur konsumsi, mempengaruhi bagaimana individu mengambil keputusan, dan budaya adalah variabel utama di dalam penciptaan dan komunikasi di dalam produk.
Kelas sosial mengacu pada pengelompokan orang yang sama dalam perilaku mereka berdasarkan posisi ekonomi mereka di dalam pasar. Keanggotaan kelas ada dan dapat dideskripsikan sebagai kategori statistik. Dari penelitian kelas sosial oleh Gilbert dan Kahl, ada sembilan variabel yang berpengaruh yaitu yang dibagi kepada tiga macam variabel yaitu: (1) variabel ekonomi yang meliputi pekerjaan, pendapatan, dan kekayaan; (2) variabel interaksi yaitu prestise pribadi, asosiasi, dan sosialisasi; (3) variabel politik yaitu kekuasaan, kesadaran kelas dan mobilitas.
Pengaruh pribadi kerap memainkan peranan penting dalam pengambilan keputusan konsumen, khususnya bila ada tingkat keterlibatan yang tinggi dan risiko yang dirasakan dan produk atau jasa memiliki visibilitas publik. Ini diekspresikan baik melalui kelompok acuan maupun melalui komunikasi lisan. Kelompok acuan adalah jenis apa saja dari agregasi sosial yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku, termasuk kelompok primer, kelompok sekunder dan kelompok aspirasional. Pengaruh terjadi dengan tiga cara: (1) utilitarian (tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok dalam berpikir dan berperilaku); (2) nilai ekspresif (mencerminkan keinginan akan asosiasi psikologis dan kesediaan untuk menerima nilai dari orang lain tanpa tekanan); dan (3) informasional (kepercayaan dan perilaku orang lain diterima sebagai bukti realitas).
Keluarga sangat penting di dalam studi perilaku konsumen karena dua alasan. Pertama, keluarga adalah unit pemakaian dan pembelian untuk banyak produk konsumen. Kedua, keluarga adalah pengaruh utama pada sikap dan perilaku individu. Dalam perilaku konsumen adalah berguna untuk mempertimbangkan dampak potensial dari faktor lingkungan di dalam tiga bidang utama: komunikasi, pembelian, dan situasi pemakaian. Keefektifan pesan pemasaran mungkin  sering bergantung kepada latar komunikasi. Dampak iklan TV, sebagai contoh, mungkin sebagian ditentukan oleh acara di mana iklan itu muncul.
2.      Perbedaan dan pengaruh individual. Dalam hal ini ada 5 hal penting di mana konsumen mungkin berbeda: (1) sumber daya konsumen; (2) motivasi dan keterlibatan; (3) pengetahuan; (4) sikap; dan (5) kepribadian, gaya hidup dan demografi.
Konsumen memiliki sumber daya utama yang mereka gunakan dalam proses pertukaran dan melalui proses ini pemasar memberikan barang dan jasa. Ketiga sumber daya ini adalah ekonomi, temporal dan kognitif. Secara praktis, ini berarti bahwa pemasar bersaing untuk mendapatkan uang, waktu dan perhatian konsumen. Persepsi konsumen mengenai sumber daya yang tersedia mungkin mempengaruhi kesediaan untuk menggunakan uang atau waktu untuk produk. Jadi, ukuran kepercayaan konsumen mungkin berguna dalam meramalkan pengembangan usaha masa datang berdasarkan kategori produk.
Kebutuhan adalah variabel utama dalam motivasi. Kita didefinisikan sebagai perbedaan yang disadari antara keadaan ideal dan keadaan sebenarnya, yang memadai untuk mengaktifkan perilaku. Bila kebutuhan diaktifkan, hal ini menimbulkan dorongan (perilaku yang diberi tenaga), yang disalurkan ke arah tujuan tertentu yang sudah dipelajari sebagai insentif. Sedangkan keterlibatan adalah faktor penting dalam mengerti motivasi. Keterlibatan mengacu pada tingkat relevansi yang disadari dalam tindakan pembelian dan konsumsi. Bila keterlibatan tinggi, ada motivasi untuk memperoleh dan mengolah informasi dan kemungkinan jauh lebih besar dari pemecahan masalah yang diperluas. Kebutuhan tersebut dikategorikan atas kebutuhan fisiologis, keamanan, afiliasi dan rasa dimiliki, prestasi, kekuasaan, ekspresi diri, urutan dan pengertian, pencarian variasi, dan atribusi sebab akibat.
Pengetahuan konsumen terdiri dari informasi yang disimpan di dalam ingatan. Pemasar khususnya tertarik untuk mengetahui pengetahuan konsumen. Informasi yang dipegang oleh konsumen mengenai produk akan sangat mempengaruhi pola konsumsi. Analisis kesadaran dan citra sangat berguna untuk menjajaki sifat pengetahuan produk. Pemasar juga harus mempertimbangkan pengetahuan pembelian berkenaan dengan kepercayaan yang dipegang oleh konsumen mengenai di mana dan kapan pembelian harus terjadi. Pengetahuan konsumen adalah bidang lain yang patut dipertimbangkan. Perluasan pengetahuan seperti ini dapat menjadi jalan yang berarti untuk meningkatkan penjualan.
Analisis terhadap sikap konsumen dapat menghasilkan manfaat diagnostik maupun prediktif. Mengidentifikasi pangsa pasar yang reseptif, mengevaluasi kegiatan pemasaran yang sekarang dan yang potensial, dan meramalkan perilaku masa datang adalah sebagian dari cara-cara utama di mana sikap dapat membantu pengambilan keputusan pemasaran. Sikap didefinisikan sebagai evaluasi menyeluruh. Intensitas, dukungan, dan kepercayaan adalah sifat penting dari sikap. Masing-masing sikap ini akan bergantung pada kualitas pengalaman konsumen sebelumnya dengan obyek sikap. Ketika konsumen mengakumulasi pengalaman baru, sikap dapat berubah.
Kepribadian didefinisikan sebagai respon yang konsisten terhadap stimulus lingkungan. Tiga teori terhadap studi kepribadian mencakupi psikoanalisis, sosio-psikologis, dan faktor-ciri. Gaya hidup adalah pola di mana orang dapat menghabiskan waktu serta uang. Gaya hidup adalah hasil dari jajaran total ekonomi budaya, dan kekuatan kehidupan sosial yang menyokong kualitas manusia sekarang.
3.      Proses Psikologis. Proses ini meliputi tiga hal yaitu: (1) Pengolahan informasi; (2) Pembelajaran; dan (3) Perubahan sikap dan perilaku. Pemrosesan informasi terdiri dari lima tahap: pemaparan, perhatian, pemahaman, penerimaan dan pemerolehan kembali. Pembelajaran kognitif berkenaan dengan proses mental yang menentukan retensi informasi. Karakteristik konsumen maupun produk harus diperhitungkan dalam pengembangan strategi komunikasi. Motivasi konsumen, pengetahuan, ketergugahan, suasana hati, ciri kepribadian dan sikap yang sudah ada dapat mempengaruhi secara kuat dampak dari komunikasi persuasif. Begitu pula tahap siklus hidup produk, penempatan yang diinginkan, dan kinerja produk dalam hubungannya dengan pesaing akan memainkan peranan utama dalam pembentukan aktivitas seperti ini.
Trend mutakhir di dalam afiliasi dan sikap agama disertai dengan sekulerisasi lembaga agama – atau hilangnya fungsi agama. Menurut tesis yang dikembangkan oleh Francis Schaeffer, agama menjadi terkotak-kotak dan kehilangan sebagian dari kapasitasnya untuk memutuskan nilai-nilai dan struktur sekuler. Namun, meskipun agama melemah sebagai pengaruh lembaga agama masih penting bagi individu. Penelitian menyimpulkan bahwa agama mempengaruhi kehidupan di dalam kawasan pribadi lebih besar daripada di ranah publik. Secara spesifik pengaruh agama sangat kuat pada kehidupan keluarga, sedang pada kehidupan kerja, dirasa minim dalam politik. Di kalangan fundamentalis, pengaruh itu lebih meresap di dalam semua bidang kehidupan. Agama khususnya penting untuk keluarga, tetapi di kalangan orang yang tidak mempunyai afiliasi kelembagaan historis, keterlibatan agama mungkin berfungsi sebagai pengganti untuk keterlibatan keluarga bagi konsumen yang bercerai, menjanda dan tidak menikah.[13]

Selain prinsip-prinsip di atas, hasil penelitian tentang Kriteria pemilihan Bank Syari’ah di DIY tahun 2003[14] dapat dipakai sebagai tolok ukur operasional untuk meningkatkan profesionalisme kinerja Lembaga Keuangan Syrai’ah:

Tabel Kriteria pemilihan Bank Syari’ah di DIY 
tahun 2003
No
Kriteria
Muslim
Nonmuslim
Mean
Rank
Mean
Rank
1
Pelayanan cepat dan efisien
1.25
1
1.25
1
2
Kredibilitas bank
1.29
2
1.33
3
3
Kredibilitas manajemen bank
1.31
3
1.40
4
4
Luasnya range pelayanan
1.44
4
1.53
6
5
Reputasi dan Image Bank
1.46
5
1.46
5
6
Keramahan Personel bank
1.54
6
1.63
8
7
Bimbingan pembuatan Laporan keuangan
1.72
7
1.95
14
8
Biaya pinjaman yang rendah
1.78
8
1.63
8
9
Istilah pembiaaan yang menarik
1.81
9
1.61
7
10
Lokasi dekat tempat tinggal
1.90
10
1.76
10
11
Biaya jasa yang rendah
1.83
11
1.83
11
12
Bagi hasil; funding yang tinggi
1.93
12
1.31
2
13
Sambutan bank yang diberikan
1.96
13
1.89
12
14
Hak istimewa bagi pemegang rekening
2.00
14
1.98
15
15
Kenyamanan interior
2.04
15
1.37
17
16
Pengiklanan di media massa
2.04
16
2.52
20
17
Lokasi dekat dengan tempat kerja
2.12
17
2.92
20
18
Tampilan luar bank
2.22
18
1.47
18
19
Rekomendasi teman
2.30
19
2.31
21
20
Tempat parkir yang luas
2.32
20
2.31
16
21
Counter dalam bank yang menarik
2.42
21
2.48
19
22
Rekomendasi keluarga
2.48
22
2.97
22

Dari tabel di atas terlihat bahwa konsumen (muslim dan nonmuslim) dalam memilih lembaga keuangan (dalam penelitian tersebut Bank) mempunyai 22 kriteria sebagaimana di atas. Kriteria Pelayanan yang cepat dan Efisien menempati Ranking 1, baik bagi konsumen muslim maupun nonmuslim (dalam kolom Rank; sedangkan untuk Kolom Mean adalah rerata tabulasi, semakin kecil rerata berarti semakin banyak individu yang memilih kriteria-kriteria tersebut). Hal ini menunjukkan sangat penting bagi lembaga keuangan syari’ah untuk meningkatkan pelayanan yang cepat dan efisien dalam meningkatkan daya tariknya terhadap konsumen, baik sasarannya umat muslim maupun nonmuslim. 
          Rangking kedua dari kriteria pemilihan di atas adalah Kredibilitas Bank untuk konsumen muslim, dan rangking ketiga bagi konsumen yang nonmuslim. Rangking kedua bagi konsumen nonmuslim adalah bagi hasil yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa secara operasional, lembaga keuangan syari’ah dapat meningkatkan daya tariknya bagi konsumen muslim dengan meningkatkan kredibilitas lembaganya –sebagai prioritas kedua setelah pelayanan yang cepat dan efisien-; dan meningkatkan besarnya bagi hasil sebagai prioritas kedua dengan sasaran konsumen yang nonmuslim.
          Ke-22 rangking di atas, dari pertama hingga yang ke 22 secara berurut dapat dijadikan prioritas dalam meningkatkan profesionalisme lembaga keuangan syari’ah, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada persepsi masyarakat terhadap lembaga keuangan syari’ah. Semakin profesionalisme lembaga keuangan syari’ah, maka akan semakin baik persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap lembaga keuangan syari’ah. Semakin banyak partisipasi umat atau masyarakat terhadap lembaga keuangan syari’ah berarti semakin sempit jangkauan sistem ribawi, yang berarti semakin luas tebaran rahmah dalam masyarakat atau umat.

Penutup
Untuk menciptakan lembaga keuangan syari’ah yang ideal masih perlu kerja keras dari seluruh umat Islam, terutama para praktisi dan pemikir-ilmuwan muslim. Virus asymmetric information problem, diverse collection, moral hazard dapat dieliminasi dengan sistem kesungguhan dan ketakwaan, sehingga reward dan punishment menjadi senjata diri dalam berwirausaha. Penilaian masyarakat tentang lembaga keuangan syari’ah menjadi modal dasar untuk mengetahui kekurangan dan kelebihannya sehingga pada saatnya nanti lembaga keuangan syari’ah dapat meningkatkan manajemen yang lebih profesional dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip syari’ah.


Daftar Bacaan

Ahmad Dahlan, 2002, “Implementasi Pembiayaan Mudarabah di BMT Mentari Bina Artha Tegal (Studi Kasus tahun 1996-2001),” Tesis MSI UII Yogyakarta.

Muhammad Syafi’i Antonio, 1999, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, Jakarta, BI dan tazkia Institute.

Muhammad, 2002, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta, UPP AMP YKPN.

Patimatu Jahra, 2002, “Profil Usaha BMT Ukhuwah di Kota Banjarmasin,” Tesis MSI UII Yogyakarta.

Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil, t.t., Pedoman Penilaian Kesehatan BMT: Baitul Maal wat Tamwil Balai Usaha Mandiri Terpadu, Jakarta: PINBUK

-------------------------------------------, t.t., Peraturan dasar & Contoh AD-ART BMT: Baitul Maal wat Tamwil Balai Usaha MandirI Terpadu, Jakarta: PINBUK.

Prospektif, “Langkah Menyelamatkan Dana Simpanan di Unibank”, Majalah Mingguan Investasi, No. 52, Vol. 35, 11 November 2001.

Sholihin, 1999, Perilaku Konsumen Terhadap Produk BMT (Studi Kasus di BMT Kharisma Magelang Jawa Tengah), Tesis MSI UII, Yogyakarta.

Suhardin, 1999, BMT sebagai Lembaga Keuangan Alternatif Ummat (Studi tentang Penerimaan Masyarakat atas Keberadaan BMT MUI di Kabupaten Sleman DIY, Tesis MSI UII, Yogyakarta.

Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Tim Trainer, 2003, Laporan Tim Trainer Pelatihan Manajemen Pengelolaan BMT, kerjasama Magister Studi Islam UII, PUKTEL TELKOM Divre IV dan BMT Safinah, Yogyakarta, MSI UII.

Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru, A. Totok Budi Santoso, 2000, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, Jakarta: Salemba Empat.

Warkum Sumitro, 1997, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan TAKAFUL) di Indonesia, cet. II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.



[1] Prospektif, “Langkah Menyelamatkan Dana Simpanan di Unibank”, Majalah Mingguan Investasi, No. 52, Vol. 35 (11 November 2001), hal. 46.
[2] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan TAKAFUL) di Indonesia, cet. II (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 109.
[3] Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil, Pedoman Penilaian Kesehatan BMT: Baitul Maal wat Tamwil Balai Usaha Mandiri Terpadu, (Jakarta: PINBUK, t.t.), hal. i.
[4] Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2002), hal. 4.
[5] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), hal. 117.
[6] ibid., hal. 118.
[7] Republika, 27 Juni 2003, hal. 2.
[8] Cengiz Erol dan Radi El-Bdour, Attitudes, behavior, and patronage factors of bank customers toward Islamic Bank, International Banking & Marketing Vo. 7, No. 6:31-7, 1989, dalam Mursyid, Preferensi Masyarakat Terhadap Bank Syari’ah di Kota Samarinda, Tesis MSI UII Yogyakarta, 2003.
[9] Bank Indonesia. Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Pulau Jawa. (Jakarta: Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2000).
[10] Patimatu Jahra, Profil Usaha BMT Ukhuwah di Kota Banjarmasin, Tesis MSI UII Yogyakarta tahun 2002.
[11] Suhardin, BMT sebagai Lembaga Keuangan Alternatif Ummat (Studi tentang Penerimaan Masyarakat atas Keberadaan BMT MUI di Kabupaten Sleman DIY, Tesis MSI UII Yogyakarta, 1999.
[12] Ahmad Dahlan, 2002, Implementasi Pembiayaan Mudarabah di BMT Mentari Bina Artha Tegal (Studi Kasus tahun 1996-2001), Tesis MSI UII Yogyakarta.
[13] Engel, James F. et.al., Perilaku Konsumen. Terjemahan dari Consumer Behavior. (Jakarta: Binarupa Aksara, 1994).
[14] Tim Trainer, Laporan Tim Trainer Pelatihan Manajemen Pengelolaan BMT, kerjasama Magister Studi Islam UII, PUKTEL TELKOM Divre IV dan BMT Safinah, Mei 2003, Yogyakarta, MSI UII.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih