Selasa, 14 September 2010


KEPERCAYAAN TRADISIONAL  “ARAT SABULUNGAN”

DAN PENGHAPUSANNYA DI MENTAWAI


Mulhadi[1]
Abstraksi

Bagi orang Mentawai, Arat Sabulungan merupakan suatu sistem pengetahuan, nilai, norma, dan aturan hidup yang dipegang kuat dalam memahami serta menginterpretasi lingkungan yang ada di sekitarnya. Secara sempit, Arat Sabulungan adalah bentuk sistem religi (bukan agama) orang Mentawai yang meyakini adanya dunia supranatural yakni berupa roh-roh, baik yang berada di langit, bumi, tanah, hutan belantara, air, laut, ataupun yang berada di pohon. Walaupun Arat Sabulungan tidak bisa disamakan dengan “aliran kepercayaan/kebatinan”, namun dalam kategorisasi “aliran kepercayaan/kebatinan” yang dibuat oleh pemerintah tercakup juga di dalamnya suatu ajaran animisme seperti Arat Sabulungan. Karena dianggap meresahkan kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa, Arat Sabulungan (termasuk beragam aliran kepercayaan/kebatinan lainnya) dihapuskan oleh Pemerintah melalui satu kebijakan pada masa Presiden Soekarno yakni SK No.167/PROMOSI/1954. Di Mentawai, kebijakan itu ditindaklanjuti dengan diadakannya Rapat Tiga Agama (1954), intinya memerintahkan orang Mentawai untuk meninggalkan Arat Sabulungan dan disuruh memilih salah satu agama yang diakui pemerintah.

A.    Pendahuluan
            Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari serangkaian pulau non-vulkanik yang letaknya memanjang di bagian paling barat Indonesia, lebih dari seratus kilometer di hadapan garis pesisir pulau Sumatera. Sekalipun dari segi posisi geografis merupakan suatu kelompok, namun kebudayaan tradisional penduduk pulau-pulau tersebut sangat berbeda. Pulau Nias misalnya, terkenal karena monumen-monumen batunya yang besar-besar (megalith) serta kehebatan wujud desa-desanya yang merupakan pencerminan pola pemikiran hierarkis dengan menonjolkan keturunan; pola pemikiran ini sangat mewarnai sistem sosial dan agama, dan merupakan kekhasan tradisi kebudayaan zaman perunggu di Indonesia. Tetapi kebudayaan tradisional di Kepulauan Mentawai, baik dari segi teknologi, sosial, maupun religius, (dibeberapa tempat di pedalaman Pulau Siberut misalnya,penulis) masih menampakkan wujud neolitik (zaman batu muda).[2] Kekunoan yang aneh dari wujud kebudayaan di Mentawai sudah menarik perhatian orang-orang yang datang ke situ pada abad ke-18.  Mereka terheran-heran ketika menyadari bahwa orang Mentawai lebih banyak menampakkan kemiripan dengan penduduk kepulauan Hawaii, Tahiti serta kepulauan Polynesia.[3]
            Orang Mentawai memiliki kulit tubuh yang kuning kecoklatan, mata yang cendrung sipit, serta rambut kejur nan tipis, merupakan ciri dari homo sapiens yang paling awal datang ke Kepulauan Indonesia. Dengan mempertimbangkan bahasa yang digunakan, mereka digolongkan ke dalam rumpun Proto Melayu yang mempunyai akar-akar kebudayaan neolitik dengan sedikit pengaruh zaman perunggu, tetapi tidak dipengaruhi oleh Buddhisme, Hindhuisme, maupun Islam, kecuali dalam puluhan tahun belakangan ini. Sekaligus menunjukkan bahwa mereka telah ada beberapa ribu tahun yang lalu, dan menjadikan kebudayaan Mentawai sebagai kebudayaan tertua yang masih ada dan tersisa di Indonesia.[4]
            Orang Mentawai dikenal dengan sistem religi (kepercayaan) masyarakatnya yang disebut Sabulungan, yang dilandasi oleh keyakinan akan adanya dewa-dewa, kekuatan gaib lainnya serta roh-roh leluhur. Karena itu secara umum adat mereka pun disebut Arat Sabulungan. Sedangkan mereka sendiri sering dijuluki sebagai orang Sabulungan[5].
            Menarik untuk diketahui bahwa kepercayaan Arat Sabulungan masih memiliki eksistensi dalam kehidupan masyarakat asli Mentawai. Kehadirannya sangat terasa manakala kita berada di lingkungan penduduk desa yang bermukim di Pulau Siberut. Ada keyakinan bahwa bertahannya kepercayaanya ini disebabkan desa-desa (laggai) di Pulau Siberut umumnya (secara geografis) berada jauh di pedalaman yang sangat sulit dijamah dengan alat transportasi biasa. Disamping faktor lain, seperti ikatan mereka yang sangat kuat pada hukum adatnya. Walaupun Protestan, Islam dan Katolik sudah menjadi agama resmi penduduk asli Mentawai (sejak tahun 1954), tetapi pada umumnya mereka masih menjalankan prinsip-prinsip hidup ala Arat Sabulungan dalam kehidupan sehari-hari. Hingga saat ini belum ada sistem hukum adat baru yang mampu menggantikan posisi Arat Sabulungan yang selama ini mereka junjung tinggi karena mereka beranggapan bahwa Arat Sabulungan sebagian besar prinsip-prinsipnya masih relevan dengan budaya dan cita-cita hukum masyarakatnya.
            Namun demikian, secara historis, kepercayaan ini sudah pernah dilarang oleh Pemerintah pada tahun 1954, penduduk asli disuruh memilih satu dari lima agama yang resmi diakui pemerintah[6] (pada saat itu di Mentawai baru dimasuki dua agama yakni Protestan dan Islam). Namun upaya tersebut ternyata tidak langsung membuahkan hasil.  Upaya tersebut masih harus diikuti dengan beragam taktik dan strategi hingga akhir tahun 1970-an sehingga membuat orang Mentawai kewalahan untuk mempertahankan konsistensinya, pelan-pelan mereka mulai meninggalkan kepercayaan dan adat istiadatnya beralih menganut kepercayaan baru yang mau tidak mau harus diterima.
            Dalam kontek pembangunan dan peradaban modern, Pemerintah dan missionaries memiliki pendapat yang sama bahwa kepercayaan Sabulungan adalah bentuk sistem religi suku bangsa primitive yang pernah ada di bumi Mentawai, sehingga sudah tidak sepantasnya hidup atau dianut oleh masyarakat Mentawai saat ini, oleh karenanya tidaklah salah untuk disingkirkan dari kehidupan orang Mentawai. Dalam usaha ini kelihatan sangat nyata bahwa pemerintah dan missionaries bekerjasama (bahu membahu) untuk menyingkirkan pengaruh Arat Sabulungan dari bumi Mentawai.  Saat ini, mayoritas orang Mentawai memeluk Agama Kristen Protestan, dan sebagian lagi beragama Katolik dan Islam. Walaupun demikian, sebagian besar orang Mentawai di Siberut masih memegang teguh religinya yang asli yakni Arat Sabulungan.[7]
            Artikel ini ingin mengupas lebih detail mengenai makna Arat Sabulungan bagi orang Mentawai, dilajutkan dengan uraian mengenai pemahaman orang luar Mentawai (Pemerintah) bahwa Arat Sabulungan merupakan bagian tidak terpisahkan dari aliran-aliran kepercayaan atau kebatinan lainnya, serta landasan yuridis penghapusan Arat Sabulungan berbarengan dengan penghapusan bentuk-bentuk aliran kepercayaan atau kebatinan lainnya di Indonesia.
B.     Makna Arat Sabulungan Bagi Orang Mentawai
                   Animisme menjadi landasan pokok kepercayaan orang Mentawai. Mereka percaya bukan hanya manusia saja yang memiliki roh dan jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, batu dan air, bahkan pelangi pun mempunyai jiwa. Lebih dari itu, bagian-bagian dari suatu kerangka benda kadang-kadang mempunyai jiwa. Walaupun demikian, ada juga sebagian orang  Mentawai yang menolak Arat Sabulungan disamakan dengan  animisme.
                  Animisme adalah kepercayaan tentang eksistensi jiwa-jiwa dan roh-roh,[8] atau kepercayaan khusus bahwa semua fenomena natural, seperti tumbuhan, binatang, bebatuan, petir dan gempa bumi mempunyai jiwa, serta bisa mempengaruhi segala  aktivitas manusia  (animism is specialized the belief that all natural things, such as plants, animals, rocks, thunder and earthquakes, have spirits and can influence human events).[9]
                  Kepercayaan kepada makhluk halus dan roh-roh ini merupakan asas kepercayaan yang mula-mula muncul di kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di Bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pokok atau batu besar), mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam kehidupan seharian mereka.[10]
      Selain daripada jiwa dan roh yang mendiami tempat-tempat yang dinyatakan di atas, kepercayaan animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan. Kepercayaan ini juga berlaku pada masyarakat suku Nias yang mempercayai bahwa seekor tikus yang keluar masuk dari rumah merupakan roh daripada wanita yang telah mati beranak. Roh-roh orang yang telah mati juga bisa memasuki tubuh babi atau harimau dan dipercayai akan membalas dendam orang yang menjadi musuh bebuyutan pada masa hidupnya. Kepercayaan ini menyerupai kepercayaan reinkarnasi seperti yang terdapat pada agama Hindu dan Budha.[11]
                  Selain dari jiwa, orang Mentawai juga percaya kepada roh-roh, baik yang bertempat di udara, laut, darat (perut bumi), maupun hutan belantara.  Roh-roh itu dibedakan dengan jiwa. Roh dapat berpindah-pindah, bisa hidup sendiri dan terbang ke luar dari tubuh dan leluasa berhubungan dengannya. Konsep kepercayaan seperti inilah yang disebut Arat Sabulungan. Kebanyakan orang Mentawai masih sangat animis dan bahkan belum sepenuhnya percaya pada aktivitas misionaris Kristen maupun agama resmi lain, walaupun secara formil mereka sudah menganut agama tersebut.[12]
                  “Arat” memiliki makna yang sangat luas. Dalam bahasa dan kebudayaan Mentawai, arat mencakup segala hal yang digolongkan kepada tradisi. Tradisi nenek moyang yang mutlak harus diterima tanpa gugatan, karena telah diperjuangkan dari masa ke masa, yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat selama ratusan tahun. Oleh karena itu, arat menjadi filsafat hidup, norma kehidupan, baik secara pribadi maupun dalam keluarga dan suku. Arat merupakan warisan suci, karena semenjak dahulu ditemukan oleh nenek moyang dan kelestariannya harus dijaga dengan baik. [13]
                  Hidup dalam bimbingan arat menyebabkan orang Mentawai menjadi konservatif, namun hal yang demikian tidak dapat mencabut akar kebebasan dalam kehidupan, malah tetap menghormati dan menjunjung tinggi martabat manusia. Setiap perbuatan yang baik senantiasa sesuai dengan arat. Tingkah laku yang bertentangan dengan arat disebut dosa. Sesuatu hal yang belum pernah berlaku dan mengganggu keselarasan hidup di masyarakat dianggap sebagai kejahatan. [14]
                  Mentaati arat berarti merelakan diri dibimbing oleh tradisi, yang menjadi ukuran prima dalam setiap moralitas. Arat dijadikan landasan pokok dan norma dalam penentuan segalanya: manusia, binatang, fenomena natural (gejala alamiah), dan rentetan waktu. Garis besar haluan hidup berpedoman kepada arat, dan aratlah yang langsung mengaturnya. Semua tingkah laku dan aktifitas sosial masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mengacu pada arat. Arat bagi masyarakat Mentawai adalah keselarasan dengan dunia, pemersatu dengan uma dan jaminan hidup yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman.[15] Dengan kata lain, arat memiliki makna sebagai cara bagi orang Mentawai merefleksikan dirinya dengan dunia, baik dunia materil maupun dengan dunia non-materil (supranatural).
                  “Sabulungan” merupakan nama yang dipakai untuk menyebut kepercayaan orang Mentawai, yakni roh-roh. Jika dicermati dari struktur katanya, sabulungan berasal dari kata bulug atau bulung yang berarti daun. Setelah mendapat awalan sa (sa=sekumpulan) dan akhiran an (an=banyak). Maka sabulungan berarti sekumpulan dedaunan. Ini ada benarnya, disebabkan dedaunan memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan orang Mentawai. Dalam setiap upacara ritual yang diselenggarakan, seperti kelahiran, perkawinan, pengobatan, maupun kematian, selalu menggunakan dedaunan sebagai perangkat, atau perlengkapannya. Namun demikian, ada sebagian orang Mentawai yang tidak sepenuhnya setuju cara penerjemahan seperti di atas. Menurut mereka, sabulungan adalah sekedar sebuah nama atau sebutan yang ditujukan untuk mengidentifikasi dunia supra natural (dunia roh-roh).
                  Pada prinsipnya Arat Sabulungan merupakan suatu sistem pengetahuan, nilai, norma, dan aturan hidup yang dipegang kuat oleh masyarakat Mentawai dalam memahami serta menginterpretasi lingkungan yang ada di sekitarnya yang terdiri dari pola-pola interaksi manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, udara dan juga benda-benda hasil buatan manusia. Hasil pemahaman tersebut digunakan untuk mendorong terwujudnya tindakan yang muncul dari orang-orang sebagai anggota masyarakat suku bangsa Mentawai.[16]
                  Arat Sabulungan adalah adat istiadat yang hidup dalam masyarakat yang tercakup di dalamnya kepercayaan kepada hal-hal yang bersifat supra natural seperti roh-roh dan arwah-arwah yang mendiami seluruh alam ini, baik tumbuh-tumbuhan, binatang, tanah dan benda-benda hasil buatan manusia, sehingga merupakan juga kosmologi orang Mentawai.[17] Pada sisi lain, Arat Sabulungan juga merupakan bentuk sistem religi (bukan agama) orang Mentawai yang meyakini adanya dunia supranatural yakni berupa roh-roh, baik yang bertempat tinggal atau hidup di langit, bumi, tanah, hutan belantara, air, laut, ataupun yang berada di pohon.
                  Kepercayaan religius orang Mentawai mencerminkan kehidupan sosial mereka. Keseimbangan dan keserasian dalam hubungan-hubungan yang dicita-citakan di dalam dan antar uma juga diterapkan dalam dunia supranatural mereka. Menariknya, di alam suparantural ini tidak terdapat kekuatan yang paling dominan. Semua roh dan jiwa saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Tanpa campur tangan manusia, kekuatan-kekuatan ini berada dalam suatu keadaan yang seimbang.[18]
                   Bagi orang Mentawai, segala sesuatu yang ada sebutannya – manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda, dan bahkan fenomena yang tampak sesaat saja seperti pelangi dan langit tak berawan – memiliki jiwa atau roh (simagere).[19] Bagian-bagian dari satu keseluruhan yang lebih besar pun dikatakan memiliki roh: rumah sebagai satu keseluruhan mempunyai roh, tetapi begitu pula halnya dengan lantai, atap, balok-balok dan sebagainya. Roh merupakan semacam padanan spiritual dari segala sesuatu yang ada, dan merupakan makhluk individual yang dapat melepaskan diri dari tubuh kasar serta berkeliaran secara mandiri. Sewaktu mengembara, roh-roh saling bertemu dan dapat saling mempengaruhi. Ini berlaku baik bagi roh segala sesuatu yang nampak, maupun roh nenek moyang serta kelompok roh yang baik dan jahat yang bermukim di alam sekitar.[20]
                  Roh terwujud bersama jasad yang ditempati, tetapi kemudian, apabila jasad itu musnah, roh bersangkutan tidak akan ikut musnah, melainkan hidup terus. Menurut orang Mentawai hal itu sudah pasti begitu, setidak-tidaknya pada manusia dan hewan; pada mereka roh-roh yang terus hidup memainkan peranan dalam upacara-upacara. Sedangkan apa yang selanjutnya terjadi dengan roh tumbuh-tumbuhan serta benda, apabila jasadnya sudah lenyap, tidak dijadikan pemikiran. Antara roh dan jasad selalu ada hubungan, dan apa yang dilakukan oleh salah satu diantaranya akan mempengaruhi yang lainnya. Ini dinampakkan dengan jelas dalam berbagai perilaku seremonial. Misalnya saja, para dukun (sikerei) dari suatu uma[21] pada kesempatan-kesempatan tertentu dalam rangka upacara yang dilakukan di dalam kelompok sendiri memanggil roh para anggota kelompok jiran, dengan tujuan agar jasad mereka datang untuk meminta para dukun yang bersangkutan agar melakukan fungsi mereka. Panggilan agar datang ke kelompok-kelompok lain akan meninggikan martabat seorang dukun, kecuali itu sebagai imbalan ia akan memperoleh daging (namun imbalan berupa daging ini kemudian harus dibagi-bagi dengan para anggota seuma).[22]
                  Perilaku serupa nampak sebelum pergi berburu. Roh satwa yang akan dijadikan sasaran perburuan – monyet, rusa, babi hutan – dimanterai agar datang ke uma. Kemudian, apabila dalam perburuan dijumpai seekor satwa seperti itu – katakanlah rusa, maka rusa itu secara tak sadar ingin sekali kena panah pemburu, supaya nanti bisa bergabung lagi dengan rohnya yang sudah terbujuk datang ke uma. Dengan begitu rusa menjadi mangsa yang gampang diperoleh. Tengkorak satwa buruan kemudian dibersihkan dengan cermat, lalu dihiasi; tujuannya adalah agar roh satwa itu tetap merasa senang berada disitu. Saban kali sebelum pergi berburu dihidangkan sajian pada tengkorak-tengkorak itu, disertai permintaan semoga roh-roh satwa yang sudah tinggal tengkorak itu memanggil roh kerabatnya agar datang menemani dan tinggal pula di uma.[23]
                  Benda-bendapun diperlakukan dengan tindakan ritual yang serupa. Dalam setiap proses pernikahan termasuk pula bertukaran benda-benda milik antara kedua belah uma yang terlibat, kelompok kerabat pengantin pria lebih banyak memberi hadiah (disebut ala toga) daripada kelompok kerabat pengantin wanita (iba toga), karena wanita itu kemudian akan pindah dan menjadi anggota uma suaminya. Sebelum kelompok kerabat pengantin wanita berangkat untuk melangsungkan perundingan dengan para kerabat pengantin pria mengenai hal-hal yang menyangkut jenis dan nilai ala toga yang akan diminta, para kerabat pengantin wanita mengadakan upacara memanggil roh benda-benda tersebut seperti roh panci-panci (periuk), kuali, parang, beliung (kapak), kelambu dan lainnya agar pindah  dari uma calon pengantin pria dan datang ke uma mereka. Jika kemudian ternyata bahwa para kerabat mempelai pria dengan rela memberikan benda-benda yang diingini, maka itu berarti bahwa upacara pemanggilan roh-roh itu berhasil.[24]
C.    Arat Sabulungan Sebagai Aliran Kepercayaan/Kebatinan
                  Arat Sabulungan merupakan asas kepercayaan yang pertama kali dikenal oleh orang Mentawai. Karena keterisolirannya, kepercayaan ini bertahan hingga saat ini, walaupun eksistensinya lebih kental dijumpai pada orang-orang Mentawai yang bermukim di Pulau Siberut. Hal ini masuk akal mengingat Pulau Siberut merupakan pulau terbesar yang sangat sulit dijangkau dari segi geografisnya, baik melalui jalur darat, sungai, maupun pantai. Disamping itu, Pulau Siberut merupakan tempat bermukim penduduk asli Mentawai dan di pulau ini pulalah  kepercayaan Arat Sabulungan pertama kali mulai berkembang.  Walaupun masyarakatnya sudah menganut agama monoteisme (Protestan, Islam dan Katolik), namun mereka masih enggan melepaskan diri dari aktivitas dan ritual-ritual (puliaijat) yang bernuansa Arat Sabulungan. Hampir setiap sisi aktivitas hidup warganya diwarnai muatan Arat Sabulungan.
                  Menurut hemat Penulis, sebenarnya Arat Sabulungan tidak bisa disamakan dengan “aliran kepercayaan”, atau “aliran kebatinan”, namun demikian dalam kategorisasi “aliran kepercayaan atau kebatinan” yang dibuat oleh pemerintah ternyata mencakup juga di dalamnya suatu ajaran animisme (apapun bentuknya) seperti Arat Sabulungan. Disini kelihatan bahwa pemerintah/penguasa memandang Arat Sabulungan sebagai kepercayaan yang memiliki hubungan dengan aliran kepercayaan/kebatinan. Akhirnya, Arat Sabulungan mau tidak mau harus diterima sebagai bentuk “aliran kepercayaan” atau “aliran kebatinan” walaupun sebenarnya ia lebih tepat disebut sebagai “kepercayaan tradisional” (traditional religion) sebagaimana dikemukakan oleh Reimar Schefold.[25] Dikatakan sebagai “kepercayaan tradisional” karena Arat Sabulungan sudah ada pada masa-masa awal keberadaan orang Mentawai ratusan tahun silam. Sedangkan istilah aliran kepercayaan baru dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak tahun 1977, walaupun kehadiran formalnya pernah diintrodusir dalam GBHN 1973. Aliran kepercayaan usianya masih sangat muda dan kelahirannya sangat dipengaruhi oleh dan merupakan  rivalitas (sempalan) dari keberadaan agama-agama resmi yang diakui oleh Negara, seperti Islam, Protestan, Katolik, Budah, Hindu dan Konghucu.
                  Bagi orang Mentawai, Arat Sabulungan dijadikan sebagai falsafah hidup, tata nilai, norma ataupun tata perilaku yang pernah ada pada masa dahulu yang keberadaannya sangat diperlukan sesuai dengan tingkat peradaban ketika itu dalam rangka merefleksikan diri baik terhadap sesama, lingkungan, maupun dengan dunia supranatural. Walaupun Arat Sabulungan pernah dijunjung tinggi dan dipertahankan keberadaannya oleh generasi tua Mentawai dahulu, namun demikian, orang Mentawai tidak pernah menganggapnya sebagai agama baru, apalagi berusaha memperjuangkannya agar sejajar dengan agama-agama resmi yang diakui pemerintah saat ini, seperti pada kasus-kasus aliran kepercayaan lainnya. Bahkan generasi muda Mentawai saat ini umumnya sudah tidak tahu dengan jenis kepercayaan yang pernah ada dan dianut oleh nenek moyang mereka dahulu.
                  Arat Sabulungan juga tidak mengandung ajaran sesat seperti aliran-aliran kepercayaan lainnya sehingga harus diberangus keberadaannya. Hanya saja kehadirannya dianggap sebagai ancaman karena mengandung pemujaan-pemujaan yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip dasar agama-agama monoteisme saat ini. Arat Sabulungan dipandang sebagai kepercayaan golongan masyarakat primitif yang pernah ada tetapi sudah tidak up to date (tertinggal) dengan kehidupan masyarakat dalam konteks kekinian dan tidak perlu dikembangkan ataupun mendapat dukungan dalam pengembangannya. Sehingga ia ditempatkan sejajar dengan aliran kepercayaan atau kebatinan lainnya yang harus dihapuskan.
                  Pelarangan Arat Sabulungan oleh pemerintah pada tahun 1954 bukan lantaran ia mengandung ajaran sesat atau menyesatkan, karena ia bukan sempalan dari salah satu agama resmi yang diakui pemerintah, melainkan semata-mata perasaan takut pemerintah karena ia dianggap berpotensi mengancam stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia kala itu.[26] Walaupun demikian, pada sisi lain sebenarnya pemerintah memiliki tujuan positif agar suku bangsa Mentawai (yang dipandang sebagai masyarakat terasing saat itu) sejajar dan bisa menempatkan diri sebagai bagian yang terintegrasi dari bangsa Indonesia yang sedang membangun serta memiliki hak yang sama untuk berkembang seperti suku-suku bangsa Indonesia lainnya. Dalam konteks pembangunan nasional yang adil dan merata, pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang besar untuk tidak membiarkan sebagian dari warganegara atau kelompok masyarakat tertentu seperti Mentawai tetap dalam kondisi ketertinggalan dengan kungkungan budaya lokal dan kepercayaan tradisionalnya. Atas dasar itu, pemerintah melakukan pelarangan terhadap Arat Sabulungan yang puncaknya dilakukan pada tahun 1954 dengan terselenggaranya Rapat Tiga Agama. Walaupun demikian, Revolusi Budaya yang dilancarkan oleh penguasa pada masa itu berpengaruh negatif pada hilangnya identitas budaya asli orang Mentawai, yang seyogyanya tetap terus dijaga sebagai asset berharga dalam konteks pembangunan saat ini.
                  Menurut apa yang dipahami selama ini, “aliran kepercayaan” merupakan suatu ajaran pandangan hidup berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak bersandarkan sepenuhnya kepada ajaran agama-agama yang ada. Dengan kata lain, paham “aliran kepercayaan” tidak berpegang ataupun tidak menganut pada suatu ajaran agama tertentu.[27]
                  Karena tidak menganut suatu ajaran agama tertentu, maka terbukalah suatu kondisi bagi penganjur gerakan “aliran kepercayaan” untuk merumuskan atau menafsirkan ajaran moral dan “penembahan kepada Tuhan” sesuai dengan pendapat dan pengalaman hidup sendiri. Hal ini mengakibatkan berbagai gerakan kebatinan yang bernaung dalam sebutan “aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa” itu tidak mempunyai guru dan ajaran yang sama satu dengan lainnya.[28]
            Ada "aliran kepercayaan" yang dalam ajarannya mencampur-adukkan
pengertian ajaran lslam dengan agama Hindu dan Budha. Ada pula “aliran kepercayaan” yang mengajarkan animisme dan tahyul, serta ada yang pada akhirnya tenggelam dalam bentuk pemujaan seks, yang melahirkan ritual “menembah Tuhan yang pornografis dan sebagainya.  Aliran kepercayaan tidak memiliki standar falsafah hidup dan ketuhanan tertentu, sehingga menimbulkan suatu kondisi dimana terbukanya aliran ini terhadap pengaruh bermacam-macam falsafah, agama, ideologi, pemikiran yang wishful thinking, bahkan penyembahan nenek moyang dan sebagainya ke dalam ajaran itu.[29] 
                  Sebagian orang di Indonesia kemungkinan masih ingat dengan beberapa contoh aliran kepercayaan seperti Islam Murni, Pangestu, Subud, Ngelmu Sejati, Islam Hak, dan bahkan ada yang menamakan diri “Agama Pancasila”. Yang disebut “Agama Pancasila” itu muncul di desa Pamengpeuk, Bandung, yang ajarannya mengangkat lima dasar negara kita menjadi agama atau dasar kepercayaan seseorang. Tetapi sebagaimana ajaran yang tidak berpijak pada dasar yang kuat, “Agama Pancasila” sudah tidak ketahuan nasibnya.[30]
                  Sejarah lahirnya aliran kepercayaan itu  sebenarnya bermula semenjak tumbangnya PKI tahun 1966, kelompok-kelompok komunis ini mencari payung untuk perlindungan. Mereka menggunakan alternatif berlindung di bawah pergerakan Islam, Kristen, dan sebagainya. Kemudian para penganut aliran kepercayaan ini memiliki perasaan trauma dan dendam yang membuat mereka jadi atheis. Penyebabnya karena orang-orang komunis ini banyak yang dibunuh oleh orang Islam. Dengan masuknya kaum komunis di kalangan organisasi formal seperti pergerakan Kristen, Islam, dan sebagainya, menimbulkan semangat baru tumbuhnya aliran kepercayaan. Bahkan mereka tumbuh sangat pesat setelah merasa mendapat legitimasi dari GBHN dan para pejabat yang mendukungnya.  Apalagi didukung oleh sikap politik orang-orang seperti Ali Moertopo, Djatikusumo, Soedjono Humardhani pada tahun 1973.[31]
                  Melihat struktur dan kondisi ajaran yang tidak mempunyai pembakuan itu, maka aliran kepercayaan mudah disusupi atau memunculkan pemikiran-pemikiran tahyul, perdukunan, pencabulan, ramalan-ramalan palsu dan sebagainya. Untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan negatif itu, pada masa Orde Lama Kejaksaan Agung membentuk Panitia Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM), guna mengawasi kegiatan aliran kepercayaan agar supaya tidak membahayakan kepentingan masyarakat dan negara.[32]
                  Menurut catatan resmi PAKEM, di Jawa Tengah terdapat 103 gerakan aliran kepercayaan, sedangkan di Sumatera Timur terdapat 96 gerakan. Tentang jumlah gerakannya mengingat struktur dan ajarannya tentu bisa bertambah atau berkurang mengingat mudah sekali seorang penganjur yang berpengaruh membangun suatu gerakan baru. Di lain pihak, gerakan lama bisa lenyap dan dilupakan apabila penganjurnya meninggal dunia dan tidak mempunyai murid yang punya cukup kharisma untuk meneruskan ajarannya. Disamping itu, tentu saja terdapat gerakan aliran kepercayaan yang kecil-kecil dan tidak terorganisir berupa praktek-praktek perdukunan, macam-macam “orangtua” yang juga mempunyai murid-murid yang kepercayaan kepada agamanya kurang kuat.[33]
                  Di berbagai negara Eropa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen atau Katolik itu, tidak seluruh penduduknya merupakan jemaat gereja yang setia. Bahkan sekarang ini terdapat sejumlah besar penduduk yang walaupun tercatat sebagai beragama Kristen/Katolik tetapi tidak pernah datang ke gereja atau menjadi anggota jemaat gereja tertentu. Keadaan tersebut lebih parah daripada di Indonesia. Apabila di Indonesia masjid-masjid pada umumnya penuh dikunjungi jamaahnya sehingga perlu didirikan masjid-masjid baru, maka sebaliknya di Eropa terdapat banyak gereja yang kosong karena ditinggal oleh jemaatnya. Bahkan sejumlah gereja terpaksa ditawarkan dan dijual kepada yang berminat. Kekosongan rohani yang ditinggalkan oleh gereja ini, akhirnya diisi oleh ajaran-ajaran kerohanian yang apabila di Indonesia dinamakan “aliran kepercayaan”. Gerakan-gerakan “aliran kepercayaan” ini tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan. Ajaran kerohanian seperti TM (Transcendental Meditation) yang diajarkan oleh Maharesh-maharesh dari India mendapatkan puluhan ribu pengikut yang fanatik.[34]
                  Aliran kepercayaan bisa berarti ajaran tahyul, bisa ajaran moral, atau bisa juga diartikan ajaran animisme. Pendeknya mengandung seribu macam ajaran, atau “ajaran seribu muka” yang berbeda satu dengan lainnya, bergantung dari siapa penganjurnya ataua siapa “orangtua”-nya. Dengan demikian bagi suatu negara demokratis, mensejajarkan “aliran kepercayaan” dengan agama rakyatnya adalah sama dengan melegalisir anarki. Suatu anarki pemikiran, anarki terhadap falsafah hidup dan anarki terhadap suatu way of life. Ini semua berarti suatu kemunduran peradaban bagi suatu bangsa. Itu semua berarti kembali ke kondisi zaman purbakala, yaitu menyamakan ajaran Nabi Ibrahim, nenek moyang agama-agama monotheisme dengan ajaran para dukun-dukun Raja Namrud.[35]
                  Dengan meneliti sejarah, maka agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Islam, diakui oleh semua pihak telah atau pernah menghasilkan suatu peradaban dan suatu tatanan moral yang berpengaruh luas di masyarakat. Semua agama besar itu telah dan pernah menjadi pendorong besar bagi kemajuan peradaban dunia. Tidaklah mengherankan bila dari agama-agama besar itu muncul tokoh-tokoh sejarah yang telah memberikan suatu teladan hidup yang gemilang.[36]
                  Di Indonesia, pernah ada usaha-usaha dari orang-orang tertentu di pemerintahan Orde Baru untuk memberikan tempat yang sejajar dengan agama kepada “aliran kepercayaan”. Padahal, “aliran kepercayaan” merupakan aliran pemikiran yang mengambang yang tidak mempunyai pembakuan atas ajarannya dan tidak punya sejarah peradaban sebagaimana agama-agama besar.
                  Alasan yuridis yang dijadikan landasan argumentasi untuk membenarkan masuknya aliran kepercayaan ke dalam GBHN ialah frase pada Pasal 29 ayat 2 yaitu: “...menurut agamanya dan kepercayaannya itu...”. Berdasarkan frase tersebut maka dipaksakan masuknya “aliran kepercayaan” ke dalam GBHN. Pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan frase “dan kepercayaannya itu” adalah pengakuan atas aliran kepercayaan, adalah sangat dicari-cari.
                  Kita mengenal adanya nama “aliran kepercayaan kepada Tuhan YME” itu baru pada tahun 1977, yang kita ketahui adalah nama baru dari “aliran kebatinan”. Ketika Indonesia baru saja merdeka dan UUD 1945 sedang disusun oleh pendiri negara kita, mereka tidak mengenal istilah “aliran kepercayaan”. Jelas istilah itu sangat artifisial, dibuat-buat untuk mengelabui rakyat.
                  Apabila pada tahun 1945 para pendiri Republik ini mengakui “aliran kepercayaan atau aliran kebatinan” yang dimaksudkan tentu dalam UUD 1945 terdapat aturan mengenai hal itu. Tetapi istilah “aliran kepercayaan atau aliran kebatinan” tidak termuat di dalam UUD 1945.
                  Pada UUD 1945 terdapat hanya satu bab mengenai agama, apabila memang yang bernama “kepercayaan” itu mempunyai arti tersendiri di luar agama, tentulah pada Bab XI tidak disebut Agama saja melainkan Agama dan Kepercayaan. Barulah setelah 32 tahun Merdeka (1978) penguasa dengan sewenang-wenang mensejajarkan agama dengan kepercayaan yang di tahun 1945 tidak ada yang mengenalnya.
                  Bung Hatta, tokoh proklamator yang ketika itu masih hidup, ketika masalah “aliran kepercayaan” yang menghebohkan itu dimunculkan, menegaskan kepada delegasi PPP bahwa yang dimaksud dengan kata “kepercayaannya itu” yang termuat pada Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 adalah kepercayaan kepada agama. Bung Hatta adalah proklamator yang turut menyusun UUD 1945, jadi beliau tahu persis maksud dari kata-kata itu.
                  Berdasarkan penjelasan Bung Hatta itu, maka bisa dikatakan bahwa pemerintah Orde Baru telah memutar-balikkan makna UUD 1945. Selain itu dipaksakannya aliran kepercayaan masuk ke dalam GBHN menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru telah melakukan penodaan agama, melanggar Ketetapan Presiden RI No. 1 tahun 1965, dan melanggar KUHP Pasal 156-a, karena pemerintah Orde Baru telah berbuat suatu tindakan “dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke Tuhanan Yang Maha Esa”.         
Berbeda dengan Bung Hatta, Koentjaraningrat membedakan antara agama dan kepercayaan. Agama menurutnya adalah semua sitem religi yang secara resmi diakui oleh negara kita. Sebuah istilah yang dipakai untuk menyebut agama-agama yang resmi diakui oleh negara seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Buddha, dan Hindu. Sedangkan kepercayaan memiliki arti yang khas yakni semua sistem religi yang berada di luar kategori itu atau belum diakui oleh negara sebagai agama.[37]
                  Sebenarnya, anjuran agar aliran kepercayaan ini dihentikan tersirat dalam pidato Pak Harto pada tahun 1978, yang intinya mengatakan bahwa “aliran kepercayaan itu bukanlah  agama dan harus dikembalikan kepada pemeluk agamanya. Jangan sampai aliran kepercayaan ini menjurus ke agama baru.” Tetapi melihat perkembangannya, sejak tahun 1973 sampai sekarang, aliran kepercayaan tumbuh subur sehingga sangat mengkhwatirkan.[38]
D. Landasan Yuridis Penghapusan Kepercayaan Tradisional “Arat Sabulungan”
                  Penghapusan kepercayaan Arat Sabulungan tidak lepas kaitannya dengan kebijakan pemerintah berkaitan dengan penghapusan Aliran-aliran Kepercayaan atau Aliran Kebatinan yang dianggap meresahkan kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa.
                  Gerakan ini dimulai pada masa pemerintahan Soekarno, melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (menjabat 1953-1955), yakni dengan dibentuknya sebuah Panitia Interdepartemental Peninjauan Kepercayaan-kepercayaan di dalam Masyarakat (disingkat Panitia Interdep Pakem) dengan SK No.167/PROMOSI/1954. Panitia itu diketuai oleh RHK Sosrodanukusumo, Kepala Jawatan Reserse Pusat Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung, dengan tugas sebagai berikut:[39]
1. Mempelajari dan menyelidiki bentuk, corak dan tujuan dari kepercayaan-kepercayaan di dalam masyarakat beserta cara-cara perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat.
2.   Mempertimbangkan mengusulkan kepada Pemerintah, Peraturan-peraturan/Undang-undang yang mengatur apa yang tersebut pada Pasal 1 di atas dan membatasinya untuk ketenteraman kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 33 UUD Sementara RI.
                  Berdasarkan SK No.167/PROMOSI/1954 itulah Pemerintah melalui institusi Kejaksaan melakukan pengawasan, penyelidikan dan bahkan pelarangan terhadap semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang ada dan berkembang di masyarakat, yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan pemerintah pada saat itu yang hanya mengakui beberapa agama. Hadirnya aliran-aliran kepercayaan tersebut berikut dengan cara-cara perkawinannya juga telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, sehingga pemerintah dipaksa untuk menertibkannya. Oleh sebab itulah pada puncaknya muncul tindakan-tindakan yang mengarah pada pemaksaan agar masyarakat disuruh memilih salah satu agama resmi yang diakui pemerintah. Kondisi ini juga dialami oleh orang Mentawai dengan berlangsungnya Rapat Tiga Agama pada tahun 1954, yang intinya memerintahkan orang Mentawai yang masih menganut Arat Sabulungan (dalam waktu tiga bulan) untuk meninggalkan kepercayaannya  dan  memilih salah satu agama yang diakui pemerintah (saat itu baru ada Islam dan Protestan). Bagi yang tidak mengindahkan perintah tersebut, pemerintah melalui peace maintenance-nya akan melakukan pemusnahan dan pembakaran terhadap segala sarana peribadahan termasuk segala aksesoris (simbol-simbol) yang berbau primitif. Tekanan, ancaman dan pemaksaan itu berlangsung terus menerus hingga penghujung tahun 70-an.
         “...in the Sukarno era, the Mentawaians hardly corresponded to the image of the national Indonesia personality, and everything was undertaken to adapt them to it as soon as possible. In 1954 a decree was promulgated prohibiting their tradition religion, which was said to be heathen; all the inhabitants were given three months to decide whether they wanted to covert to Christianity or to Islam. Anyone who did not choose within this period was threatened with punishment by the police or by mission teachers, and his ritual equipment was burned....At the same time, external features such as glass-beaded jewelry, the long hair of the men, loincloths, tattoos and the custom of chiseling the incisors to a point were forbidden as marks of unIndonesian primitiveness.” [40]
                  Pada sisi lain, keiginan Soekarno untuk mengubah cara hidup orang Mentawai ke arah kepribadian nasional Indonesia yang sejajar dengan masyarakat Indonesia lainnya dipandang sangat baik.Tetapi beberapa kalangan memandang tindakan pemusnahan dan pembakaran benda-benda kultural sebagai tindakan yang berlebihan karena merupakan pemberangusan kepribadian dasar yang sesungguhnya dengan sengaja menghilangkan ciri khas (jati diri) orang Mentawai  untuk segera mengadopsi kepribadian nasional yang dikehendaki oleh penguasa yang sebetulnya belum tentu sesuai dengan orang Mentawai kala itu.
                  Dikeluarkannya SK No.167/PROMOSI/1954 sebenarnya tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan tindak lanjut atas ketentuan Pasal 18 dan Pasal 43 UUDS 1950. Pasal 18 menyebutkan bahwa “Penguasa memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui”. Sedangkan Pasal 43 menyebutkan bahwa “Penguasa mengawasi supaya segala persekutuan dan perkumpulan agama patut taat kepada undang-undang termasuk aturan hukum yang tidak tertulis”.
                  Dari bunyi Pasal 18 di atas kelihatan dengan jelas bahwa penguasa hanya memberi perlindungan kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui. Tidak termasuk kepercayaan-kepercayaan lainnya yang berada di luar agama resmi pemerintah. Apabila persekutuan dan perkumpulan agama tersebut melakukan praktik yang  bersifat mengancam kestabilan negara, walaupun persekutuan atau perkumpulan itu terkait dengan salah satu agama yang diakui pemerintah, maka akan dimusnahkan karena dipandang tidak taat kepada undang-undang dan hukum tidak tertulis. Jadi, ketentuan Pasal 43 UUDS 1950 sangat elastis dan memiliki jangkauan sangat luas sesuai dengan keinginan penguasa.
                  Secara sosiologis dan yuridis, pembentukan panitia ini pada awalnya sebagai  sarana untuk melakukan kontrol terhadap banyaknya bermunculan bentuk-bentuk kepercayaan dalam masyarakat, berikut dengan berbagai bentuk perkawinan di beberapa daerah yang dilaksanakan oleh pengikut aliran kepercayaan dengan cara-cara mereka sendiri. Namun secara politik, kehadiran beragam kepercayaan, plus unsur kedaerahannya yang sangat kental menimbulkan kekhwatiran (rasa takut) tersendiri pada penguasa akan munculnya rongrongan atau ancaman terhadap stabilitas dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
                  Untuk mengefektifkan upaya-upaya penangkalan itu, pada tahun 1958 Kejaksaan Agung membentuk Bagian Gerakan Agama dan Kepercayaan Masyarakat, yang kemudian, pada 1960 lembaga ini ditingkatkan menjadi Biro Pakem dengan tugas mengkoordinir tugas pengawasan terhadap aliran-aliran kepercayaan di dalam masyarakat bersama dengan instansi-instansi pemerintah lainnya untuk kepentingan keagamaan dan ketertiban umum. Dalam rangka menciptakan ketenteraman dalam masyarakat,  lembaga ini pun kemudian diperluas jangkauan keberlakuannya menjadi nasional,  didirikan di tiap-tiap propinsi dan kabupaten, melalui Surat Edaran Departemen Kejaksaan Biro Pakem Pusat No. 34/Pakem/S.E./61 tanggal 7 April 1961 tentang Instruksi pembentukan Batasan Pakem di tiap-tiap propinsi dan di daerah-daerah. Surat ini ditandatangani oleh Menteri atau Jaksa Agung Mr.R.Goenawan, dan ditujukan kepada semua Jaksa Tinggi/Koordinator Kejaksaan Pengadilan Negara di seluruh Indonesia. Di antara tugas Bagian Pakem ini adalah mengikuti, memperhatikan, mengawasi gerak-gerik serta perkembangan dari semua gerakan agama, semua aliran-aliran kepercayaan/kebatinan, memeriksa atau mempelajari buku-buku brosur-brosur keagamaan atau aliran kepercayaan, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, demi kepentingan dan ketertiban umum. [41]
                  Surat Instruksi Jaksa Agung No. 1/Insr/Secr/1963 tanggal 5 Februari 1963 tentang Penyelesaian Persoalan di Bidang Pakem Kejaksaan, menjelaskan lebih jelas tugas-tugas Pakem. Dirumuskan bahwa pengawasan diarahkan kepada gejala-gejala yang dapat menghalangi jalannya pembangunan seperti:
1.      Ajaran-ajaran/gerakan-gerakan yang dapat menimbulkan gangguan ketertiban/keamanan umum;
2.      Ajaran-ajaran/gerakan-gerakan yang dapat merugikan para pengikutnya atau masyarakat umumnya di bidang mental/spirituil dan materil. Dalam hal suatu gerakan agama/aliran kepercayaan menampakkan tanda-tanda dan kecenderungan ke arah kesesatan, maka Tim Pakem harus mengambil tindakan pencegahan.[42]
                  Dalam surat instruksi yang ditandatangani oleh Menteri atau Jaksa Agung M. Kadaroesman ini juga dipaparkan, bilamana kegiatan-kegiatan itu mengandung unsur pidana maka kepada penanggungjawab kegiatan itu dituntut di pengadilan dan aliran tersebut dilarang. Bila tidak ada unsur pidana tetapi dinilai membahayakan maka aliran tersebut dilarang  dan penanggung jawabnya diberi peringatan. Tiga bulan kemudian, muncul surat beriktunya lagi dari Kejaksaan Agung. Isinya untuk mengarahkan perhatian terhadap makin banyaknya kitab-kitab yang dianggap merusak dan juga terhadap praktek latihan keagamaan. Yaitu, Surat Instruksi Jaksa Agung M. Kadaroesman SH  No. 5/Sectr/Secr/1963 tanggal 8 Maret 1963 tentang Perhatian terhadap kitab-kitab dan cara-cara latihan aliran-aliran atau gerakan-gerakan keagamaan/kepercayaan.Yang diperhatikan secara khusus adalah praktek atau latihan keagamaan yang melanggar kesusilaan, dan juga kitab-kitab agama yang isinya dinilai merusak, dan kegiatan keagamaan yang menjiplak atau memalsukan kitab-kitab ajaran agama pihak lain dengan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, meski Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 belum lahir, sejumlah pelarangan dalam bidang agama dan kepercayaan sudah diefektifkan. Misalnya Keputusan Perdana Menteri RI Ir Djuanda No. 122/PROMOSI/1959, tanggal 21 Maret 1959, tentang Pelarangan Organisasi Agama Eyang yang berada di desa Maparah, Kecamatan Panjalu, kabupaten Ciamis beserta cabang-cabangnya di seluruh Indonesia. Juga, Keputusan Presiden RI Ir Soekarno No 264 tahun 1962 tertanggal 15 Agustus 1962 tentang Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Club Society, Vrijmetsclaren Loge (Loge Agung Indonesia). Melalui Keputusan Presiden RI No. 34 tahun 1963 tertanggal 3 April 1963 tentang Perhimpunan Theosofi Cabang Indonesia (PT TIFA Surabaya) berkedudukan di Jakarta beserta loge-loge dan Federasi Loge-logenya di seluruh Indonesia ditetapkan pula sebagai Organisasi Terlarang. Ini dikuatkan oleh pasal 2 ayat 3 dalam UU No. 15 tahun 1961 tentang Kejaksaaan RI yang menyatakan Kejaksaan mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.[43] Kemudian lahirlah Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965[44] tanggal 27 Januari 1965 yang dikeluarkan oleh Soekarno sebagai presiden dan pemimpin besar revolusi. Penetapan ini kemudian menjadi hukum positif yang mengatur tindakan-tindakan yang dilarang dalam rangka “melindungi kesucian agama dan ketenteraman kehidupan beragama”. Karena Penpres tersebut tidak memenuhi ketentuan formal dalam pembentukan undang-undang, maka dengan UU No.5 Tahun 1969, Penpres No.1 Tahun 1965 menjadi UU No.1/PNPS/1965. UU No.1/PNPS/1965 ini kemudian dipakai di masa Orde Baru oleh dua lembaga berwenang, yakni Kejaksaan Agung dan Departemen Agama. Pihak Kejaksaan Agung memperluas cakupan UU ini dengan menyebut adanya dua delik dalam bidang agama, yakni delik penyelewengan agama dan delik anti agama. Dan itu melalui Surat Kejaksaan Agung RI No. B-1177/D.1/101982 tanggal 30 Oktober 1982 tentang Tindak Pidana Agama dalam UU No. 1/PNPS/1965. surat yang ditandatangani oleh Adam Nasution, Kepala Direktorat I/Polkam, ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia. Surat ini menyebutkan, delik penyelewengan agama adalah perbuatan menfasirkan atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok pokok ajaran agama yang bersangkutan. Penyelewengan kegiatan keagamaan meliputi penamaan suatu aliran kepercayaan dengan agama, mempergunakan istilah-istilah agama untuk kegiatan suatu aliran kepercayaan, melakukan ritual/upacara yang menyerupai upacara suatu agama. Semua kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok pokok agama yang bersangkutan akan dapat mengaburkan arti kemurnian pokok pokok ajaran agama yang bersangkutan. Sementara delik anti agama, ada dua perkara yang terlibat, yakni delik penodaan/penghinaan agama dan delik agar orang tidak menganut suatu agama. Rinciannya, delik penodaan/penghinaan agama (Pasal 4a). Delik ini dilakukan dengan menyerang ajaran-ajaran agama dengan niat memusuhi, menghina atau menodai agama yang bersangkutan dengan cara mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan lisan, tulisan atau perbuatan lainnya dengan sengaja di muka umum. Sedangkan delik agar orang tidak menganut sesuatu agama, dilakukan dengan sengaja di muka umum, mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa.[45] Disamping diatur dalam Penpres No.1 Tahun 1965 jo UU No.5 Tahun 1969, pengawasan  maupun pencegahan penodaan terhadap agama juga sudah diatur di dalam UU No.5 Tahun 1991, tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pasal 27 angka (3) menyebutkan dua diantara beberapa tugas dan wewenangnya adalah:“…(d) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; (e) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
                  Sejak didirikan pada 3 Januari 1946, Departemen Agama mendesak dibuatkannya UU tentang agama yang akan merinci dan menjabarkan pengertian agama dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) Bab XI tentang Agama dalam UUD 1945. Karena berbagai perubahan dan pergantian UUD, dan setelah ada kepastian kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, maka baru kemudian ada pikiran lagi untuk merencanakan pembuatan UU tentang pokok-pokok keagamaan. Namun rencana itu tidak segera terwujud, dan sebagai pegangan sementara adalah Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 seperti disebut di atas. Setelah Orde baru berkuasa, dan setelah Penetapan Presiden ini dikukuhkan menjadi UU oleh UU No. 5 tahun 1969, Menteri Agama KH.Moh. Dahlan mengeluarkan SK No. 96 tahun 1969 yang berisi tentang pembentukan Panitia Penyusun RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Keagamaan dengan tugas pokok drafting RUU ini. Tapi, panitia ini tidak berhasil melakukan drafting, sebagian besar karena persoalan definisi agama yang tidak memperoleh kesepakatan. Akhirnya disepakati untuk tetap kembali ke PNPS ini. Maka, kalau orang-orang Departemen Agama ditanya apa definisi agama, jawabannya selalu mengacu pada Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalah gunaan dan Penodaan agama, dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah mempunyai kewajiban untuk mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.[46] Anggota Komnas HAM Chandra Setiawan mengingatkan, Penpres No.1/PNPS/1965 (sekarang UU No.5 Tahun 1969) seharusnya tidak ditafsirkan sebagai aturan diskriminatif. Penpres ini selain menyebutkan adanya sebagian agama termasuk Konghucu juga mengakui agama dan panghayat kepercayaan yang disebut-sebut sering menjadi korban praktik diskriminatif.[47]
                  Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama[48]  dan Hak Asasi Manusia.
                  Pertengahan September 2004, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengeluarkan laporan tentang tingkat kebebasan beragama internasional (International Religious Freedom Report). Data yang dibuat dalam dalam rentang 1 Juli 2003-30 Juni 2004 itu menunjukkan Asia mendominasi "daftar hitam" negara yang tingkat kebebasan beragamanya rendah. Dalam laporan itu, China, Korea Utara, Myanmar, Vietnam, Kuba, dan Laos dikategorikan sebagai negara yang amat memprihatinkan, yang mempraktikkan otoritarianisme dan totaliteritarianisme dalam mengontrol dan membatasi kebebasan beragama. China, misalnya, dituduh telah melakukan tindakan represif terhadap para biku Buddha Tibet, Muslim Uighur, penganut Katolik Roma, Protestan, dan sekte Falun Gong. Sedangkan Iran, Pakistan, Arab Saudi, Sudan, Turkmenistan, dan Uzbekistan dikategorikan sebagai negara yang memusuhi kelompok minoritas atau agama tidak resmi. Negara-negara itu dinilai memprihatinkan karena terus terlibat dalam aneka pelanggaran sistematis terhadap kebebasan beragama. Sementara itu, Indonesia, Banglades, India, dan Sri Lanka digolongkan negara yang mengabaikan diskriminasi sosial atau penyiksaan terhadap kelompok agama minoritas.[49]
                  Khusus Indonesia, diskriminasi itu antara lain tampak dalam kebijakan, pemerintah hanya mengakui 5 (lima) agama besar. Masyarakat yang tidak memeluk "agama resmi" sering mendapat perlakuan diskriminatif dari negara, seperti dalam pencatatan perkawinan dan kelahiran. Begitu pula dengan kelompok adat atau penganut kepercayaan tradisional, sering diperlakukan diskriminatif karena dianggap "tidak beragama", sedangkan segala bentuk pelayanan publik sering menjadikan agama sebagai "kunci". Artinya, tanpa mencantumkan "agama resmi", orang akan mengalami kesulitan memperoleh hak-hak sipil, seperti pelayanan kartu tanda penduduk (KTP), pencatatan perkawinan, dan sebagainya.[50]
                  Berbagai diskriminasi hukum diatas dicoba dieliminir melalui UU No.23 Tahun 2006, tentang Administrasi Kependudukan. Hal itu bisa dilihat dalam Pasal 2 UU No.23 Tahun 2006 yang mengakui atau memberikan hak kepada setiap penduduk (tanpa membedakan status, agama, warga negara, dan lain-lain) untuk memperoleh:
a.       Dokumen Kependudukan;
b.      Pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;
c.       Perlindungan atas Data Pribadi;
d.      Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;
e.       Informasi mengenai data hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan
f.       Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil serta penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi Pelaksana.
                  Walaupun secara yuridis eksistensi Aliran Kepercayaan/Kebatinan (termasuk didalamnya Kepercayaan-kepercayaan Tradisional) belum mendapat tempat semestinya di Indonesia, namun demikian hadirnya UU No.23 Tahun 2006 telah memberikan secercah harapan bagi para penganut Aliran tersebut untuk bernafas lega, paling tidak mereka bisa menikmati hak-hak civil yang selama ini tidak bisa dinikmati sepenuhnya seperti layaknya para penganut agama besar di Indonesia.
Kesimpulan
1.      Pada prinsipnya Arat Sabulungan merupakan suatu sistem pengetahuan, nilai, norma, dan aturan hidup yang dipegang kuat oleh masyarakat Mentawai dalam memahami serta menginterpretasi lingkungan yang ada di sekitarnya yang terdiri dari pola-pola interaksi manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, udara dan juga benda-benda hasil buatan manusia. Hasil pemahaman tersebut digunakan untuk mendorong terwujudnya tindakan yang muncul dari orang-orang sebagai anggota masyarakat suku bangsa Mentawai. Arat Sabulungan adalah adat istiadat yang hidup dalam masyarakat yang tercakup di dalamnya kepercayaan kepada hal-hal yang bersifat supra natural seperti roh-roh dan arwah-arwah yang mendiami seluruh alam ini, baik tumbuh-tumbuhan, binatang, tanah dan benda-benda hasil buatan manusia, sehingga merupakan juga kosmologi orang Mentawai. 
2.      Sebenarnya Arat Sabulungan tidak bisa disamakan dengan “aliran kepercayaan”, atau “aliran kebatinan”, namun demikian dalam kategorisasi “aliran kepercayaan atau kebatinan” yang dibuat oleh pemerintah ternyata mencakup juga di dalamnya suatu ajaran animisme (apapun bentuknya) seperti Arat Sabulungan. Disini kelihatan bahwa pemerintah/penguasa memandang Arat Sabulungan sebagai kepercayaan yang memiliki hubungan dengan aliran kepercayaan/kebatinan. Akhirnya, Arat Sabulungan mau tidak mau harus diterima sebagai bentuk “aliran kepercayaan” atau “aliran kebatinan” walaupun sebenarnya ia lebih tepat disebut sebagai “kepercayaan tradisional” (traditional religion) sebagaimana dikemukakan oleh Reimar Schefold.
3.      Penghapusan kepercayaan Arat Sabulungan tidak lepas kaitannya dengan kebijakan pemerintah berkaitan dengan penghapusan Aliran-aliran Kepercayaan/Kebatinan yang dianggap meresahkan kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Gerakan ini dimulai pada masa pemerintahan Soekarno, melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (menjabat 1953-1955), yakni dengan dibentuknya sebuah Panitia Interdepartemental Peninjauan Kepercayaan-kepercayaan di dalam Masyarakat (disingkat Panitia Interdep Pakem) dengan SK No.167/PROMOSI/1954. Berdasarkan SK No.167/PROMOSI/1954 itulah Pemerintah melalui institusi Kejaksaan melakukan pengawasan, penyelidikan dan bahkan pelarangan terhadap semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang ada dan berkembang di masyarakat, yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan pemerintah pada saat itu yang hanya mengakui beberapa agama. Hadirnya aliran-aliran kepercayaan tersebut berikut dengan cara-cara perkawinannya juga telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, sehingga pemerintah dipaksa untuk menertibkannya. Di Mentawai, kebijakan itu ditindaklanjuti dengan diadakannya  Rapat Tiga Agama pada tahun 1954, yang intinya memerintahkan orang Mentawai yang masih menganut Arat Sabulungan (dalam waktu tiga bulan) untuk meninggalkan kepercayaannya  dan  memilih salah satu agama yang diakui pemerintah (saat itu baru ada Islam dan Protestan). Bagi yang tidak mengindahkan perintah tersebut, pemerintah melalui peace maintenance-nya akan melakukan pemusnahan dan pembakaran terhadap segala sarana peribadahan termasuk segala aksesoris (simbol-simbol) yang berbau primitif. Tekanan, ancaman dan pemaksaan itu berlangsung terus menerus hingga penghujung tahun 70-an.

Daftar Pustaka
Aliran ini Akan Merongrong Kewibawaan Islam, dalam http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/11/16/0025.html
Azra, Azyumardi, Ham dan Kebebasan Beragama, Kamis, 04 Mei 2006, dalam http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=246453&kat_id=19&kat_id1=&kat_id2=.
Baso, Ahmad, UU No.1/PNPS/1965 dan Soal Agama Resmi Itu, Selasa, 17 Agustus 2004, dalam http://www.Indiptonline.com

Cambridge International Dictionary of English, (London: Cambridge University Press, 1996)
Margot Cohen, Return to Tradition: The Medicine Man`s Renaissance, (New York: Wall Street Journal, Feb 23, 1993)
Coronese, Stefano, Kebudayaan Suku Mentawai, (Jakarta : Penerbit Grafidian Jaya, 1986), hal.36
Ember, Melvin, Carol R. Ember, and Ian Skoggard (Ed.), Encyclopedia of World Cultures Supplement, (New York: Macmillan Reference USA, Gale Group, 2002)
Ferm, Vergilius (Ed.), Encyclopedia of Religion, (Paterson, New Jersey: Littlefield, Adams and Co., 1959), 
K, Zulfan, Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, Kamis 1 April 1999, dalam http://groups.google.co.id/group/soc.culture.indonesia/browse_thread/
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1974),   Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2005)
Kompas: Jum’at, 5 Mei 2006, dalam  http://www.balitbangham.go.id/detail.php?id=91.
Mentawai Islands, Encyclopædia Britannica Article, dalam http://www.britannica.com/eb/article-9052052/Mentawai-Islands
Rudito, Bambang, Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai, (Padang: Penerbit Laboratorium Antropologi  Mentawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas,1999)
---------------------, Magi Sebagai Acuan Identitas Diri Orang Mentawai Dalam Hubungan Antar Suku Bangsa, Makalah dalam 2nd International Symposium of The Journal Antropologi Indonesia Globalization and Local culture: a Dialectic towards the New Indonesia 18-21 July 2001, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat
Rumadi, Agenda Kebebasan Beragama, Kompas, Jumat, 15 Oktober 2004,  dalam http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=693
Rudito, Bambang, Masyarakat Mentawai di Sebelah Barat Sumatera, dalam Koentjaraningrat (Ed.), Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993)
Salim, Peter, The Contemporary Indonesia-English Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1997)
Schefold, Reimar, “Kebudayaan Tradisional Siberut”, di dalam G.A Persoon and R.Schefold (eds.), Pulau Siberut: Pembangunan Sosio Ekonom, Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1985)
-------------------, The Mentawai Equilibrium and the Modern World, in Michael R. Dove, The Real and Imagined Role of Culture in Development ((Ed.), (Honolulu: University of Hawaii Press, 1988)
--------------------, Mainan Bagi Roh: Kebudayaan Mentawai, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991)
--------------------, The Domestication of Culture Nation-building and Ethnic Diversity in Indonesia, BKI 154-II, 1998.
Soeropranoto, Rachmat Basuki, Aliran Kepercayaan, Minggu, 26 Maret 2000, dalam http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/03/26/0015.html
Swasono, Meutia F., Budaya Mentawai: Konsepsi Tata Ruang, dalam M.Junus Melalatoa (Ed.), Sistem Budaya Indonesia , (Jakarta: PT. Pamator, 1997)
Penpres no. 1/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama dipertanyakan, 03 Agustus 2004, dalam http://www.mirifica.net/wmview.php?ArtID=927
Zakaria, R. Yando, Pembangunan Yang Melumpuhkan: Pelajaran dari Kepulauan Mentawai, dalam Stepanus Juweng, dkk (Ed.), Kisah dari Kampung Halaman, (Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei, 1996)


[1]       Penulis adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan  
[2]       Reimar Schefold, Mainan Roh : Kebudayaan Mentawai, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal. 13
[3]       Ibid.
[4]       World Wildlife Fund, 1980, hal.61, sebagaimana  dikutip oleh R. Yando Zakaria, Pembangunan Yang Melumpuhkan: Pelajaran dari Kepulauan Mentawai, dalam Stepanus Juweng, dkk (Ed.), Kisah dari Kampung Halaman, (Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei, 1996), hal.90
[5]       Meutia F. Swasono, Budaya Mentawai: Konsepsi Tata Ruang, dalam M.Junus Melalatoa (Ed.), Sistem Budaya Indonesia , (Jakarta: PT. Pamator, 1997), ha.192
[6]       Margot Cohen, Return to Tradition: The Medicine Man`s Renaissance, (New York: Wall Street Journal, Feb 23, 1993), A18
[7]       Bambang Rudito, Masyarakat Mentawai di Sebelah Barat Sumatera, dalam Koentjaraningrat (Ed.), Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal.62
[8]       Peter Salim, The Contemporary Indonesia-English Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1997), pg. 65.
[9]       Cambridge International Dictionary of English, (London: Cambridge University Press, 1996), pg. 49. Periksa juga Vergilius Ferm (Edited), Encyclopedia of Religion, (Paterson, New Jersey: Littlefield, Adams and Co., 1959), pg.608. Dalam Encyclopedia ini dijelaskan bahwa animism is belief in spirits which, within the complex of attitudes and behavior derivatives from it (Taylor). Animism is  a primitive religion, or the religious phenomena among contemporary primitive peoples are so varied and so integral a part of the whole complex of life.
[10]     Baca dalam: http://id.wikipedia.org/wiki/Animisme
[11]     Diperkirakan bahwa di provinsi Kalimantan Barat masih terdapat 7,5 juta orang Dayak yang tergolong pemeluk animisme. Ibid.

[12]     Mentawai Islands, Encyclopædia Britannica Article, dalam http://www.britannica.com/eb/article-9052052/Mentawai-Islands

[13]     Stefano Coronese, Kebudayaan Suku Mentawai., (Jakarta : Penerbit Grafidian Jaya, 1986), hal.36
[14]     Ibid.
[15]     Ibid.
[16]     Bambang Rudito, Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai, (Padang: Penerbit Laboratorium Antropologi  Mentawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas,1999), hal. 104 -105. Periksa juga Bambang Rudito, Magi Sebagai Acuan Identitas Diri Orang Mentawai Dalam Hubungan Antar Suku Bangsa, Makalah dalam 2nd International Symposium of The Journal Antropologi Indonesia Globalization and Local culture: a Dialectic towards the New Indonesia 18-21 July 2001, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, hal.2
[17]     Ibid.
[18]     Reimar Schefold, The Mentawai Equilibrium and the Modern World, in Michael R. Dove, The Real and Imagined Role of Culture in Development ((Ed.), (Honolulu: University of Hawaii Press, 1988), pg.207
[19]     Melvin Ember, Carol R. Ember, and Ian Skoggard (Ed.), Encyclopedia of World Cultures Supplement, (New York: Macmillan Reference USA, Gale Group, 2002), Pg. 210
[20]     Reimar Schefold, Mainan Bagi Roh; Kebudayaan Mentawai, Op.Cit.hal. 125
[21]     Uma adalah rumah besar sebagai tempat berdiam bersama bagi orang-orang yang terikat dalam satu hubungan kekerabatan patrilineal. Sebuah Uma didiami oleh beberapa keluarga inti, keluarga inti  merupakan kelompok kekerabatan orang Mentawai yang terkecil yang merupakan kesatuan yang disebut Lalep.  Uma tersebut saat ini hanya bisa dijumpai di beberapa daerah/desa di pedalaman pulau Siberut. Periksa R.Schefold, “Kebudayaan Tradisional Siberut”, di dalam G.A Persoon and R.Schefold (eds.), Pulau Siberut: Pembangunan Sosio Ekonom, Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1985), hal. 19. Disamping itu Uma juga memiliki fungsi sebagai tempat penyelesaian segala konflik diantara anggota Uma. Bila terjadi konflik, seluruh anggota Uma datang bersama, termasuk wanita dan anak-anak guna membicarakan hal itu bersama-sama. Suatu penyelesaian dianggap telah ditemukan apabila semua pihak yakin akan adilnya hasil keputusan  itu, yakni mufakat. Hal ini disebabkan karena semua anggota Uma (dalam pengertian sempit) dan masyarakat (pengertian luas) memiliki kedudukan sederajat dan tidak mengenal adanya pembagian kasta serta tidak adanya kepemimpinan yang bersifat otoriter. Hubungan masyarakat lebih bersifat egaliter bahkan demokratis.
[22]     Ibid.
[23]     Ibid.
[24]     Ibid.
[25]     Reimard Schefold, The Domestication of Culture Nation-building and Ethnic Diversity in Indonesia, BKI 154-II, 1998, page. 271.
[26]     Ibid.
[27] Rachmat Basuki Soeropranoto, Aliran Kepercayaan, Minggu, 26 Maret 2000, dalam http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/03/26/0015.html
[28]     Ibid.
[29]     Ibid.
[30]     Ibid.
[31]     Aliran ini Akan Merongrong Kewibawaan Islam  dalam http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/11/16/0025.html, hal.2
[32]     Ibid.
[33]     Ibid.
[34]     Ibid.
[35]     Ibid.
[36]     Ibid.
[37]     Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1974), hal.137, 141 dan 142. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan kepercayaan sebagai sebutan bagi sistem religi yang tidak termasuk salah satu dari ke-5 agama besar yang resmi. Sedangkan agama didefinisikan sebagai ajaran, atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan tata pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Baca Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2005), hal.12 dan 856.
[38]     Aliran ini Akan Merongrong Kewibawaan Islam, Op.Cit.,hal.3
[39]     Ahmad Baso, UU No.1/PNPS/1965 dan Soal Agama Resmi Itu, Selasa, 17 Agustus 2004, hal.1, dalam http://www.Indiptonline.com
[40]     Reimard Schefold, Loc.Cit.
[41]     Ahmad Baso, Op.Cit., hal.2
[42]     Ibid.
[43]     Ibid., hal.2
[44]     Dasar berpijak dikeluarkannya Penpres No.1/PNPS/1965 adalah Pasal 29 UUD 1945, yang menunjukkan bahwa Negara RI memberikan bimbingan yang positif bagi kehidupan keagamaaan, agar para pemeluknya dapat menjalankan agamanya secara baik serta melindungi integritas kemurnian masing-masing agama dalam Negara RI. Atas landasan konstitusional itu, maka Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi terhadap perbuatan yang hendak merusak kehidupan keagamaan serta melanggar integritasnya dan oleh karenanya merupakan condition qua non adanya perbuatan pidana (delik) terhadap agama yang dirumuskan dalam UU. Agama dan pemeluknya harus mendapat perlindungan dari penghinaan, penodaan, serta gangguan dalam mengamalkannya, sehingga para pemeluknya dapat menjalankan ajaran agamanya dengan tentram dan baik. Begitu pula agama harus mendapat perlindungan terhadap perbuatan yang bertujuan merusak kemurnian ajaran masing-masing agama dengan mencampuradukkan ajaran agama yang satu dengan yang lain. Bahkan sesuai dengan ketentuan Pasal 29 (1) UUD 1945, maka setiap perbuatan yang mempunyai tujuan antiagama harus dilarang dan merupakan perbuatan pidana. Periksa Zulfan.K, Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, Kamis 1 April 1999, dalam http://groups.google.co.id/group/soc.culture.indonesia/browse_thread/ 
[45]     Ibid., hal.3
[47]     Penpres no. 1/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama dipertanyakan, 03 Agustus 2004, dalam http://www.mirifica.net/wmview.php?ArtID=927
[48]     Dalam Dialog HAM kelima antara Indonesia dan Norwegia yang diselenggarakan di Jakarta 26-28 April 2005 lalu. Persoalan pertama yang banyak didiskusikan adalah mengapa Indonesia hanya membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama; mengapa tidak ada kebebasan untuk tidak beragama alias menjadi 'ateis'. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, meski diyakini pada realitasnya ada warga negara Indonesia yang ateis, atau tidak beragama atau memeluk agama di luar enam agama resmi. Masalah kedua tentang kebebasan beragama di Indonesia adalah menyangkut aliran dan paham keagamaan yang menyempal(splinter) dari mainstream agama tertentu, seperti Ahmadiyah misalnya. Yang dipersoalkan banyak peserta konferensi adalah jika Indonesia menganut kebebasan beragama, kenapa warga negara pengikut aliran-aliran seperti itu tidak mendapat perlindungan dari negara; ketika kalangan mainstream melakukan penyerangan terhadap mereka dan sekaligus perusakan terhadap rumah ibadah dan tempat kediaman mereka, aparat keamanan seolah-olah tidak melindungi mereka. Adanya masalah-masalah tertentu dalam kebebasan beragama tidak hanya dihadapi Indonesia. Di Norwegia, misalnya, sampai sekarang menurut ketentuan perundangan yang berlaku, setiap pagi murid-murid sekolah, termasuk Muslim dan lain-lain, harus berdoa secara Kristen Lutheran. Hal seperti ini bisa ditemukan bukan hanya di Norwegia, tapi juga di negara-negara lain, dan bahkan di sekolah-sekolah Kristen di mana-mana jelas tidak sesuai dengan prinsip HAM dan kebebasan beragama. Begitu juga Undang-undang Penodaan Agama (Blasphemy Laws) yang baru mencakup agama Kristen (dan juga agama Yahudi, di beberapa negara Eropa lainnya), tidak termasuk agama Islam. Karena itu, diskusi tentang HAM dan kebebasan beragama masih perlu mengkaji hal-hal seperti ini. Baca: Azyumardi Azra, Ham dan Kebebasan Beragama, Kamis, 04 Mei 2006,dalam http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=246453&kat_id=19&kat_id1=&kat_id2=. Periksa juga:Kompas : Jum’at, 5 Mei 2006 http://www.balitbangham.go.id/detail.php?id=91.
[49] Rumadi, Agenda Kebebasan Beragama, Kompas, Jumat, 15 Oktober 2004,  dalam http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=693
[50]  Ibid. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih