Minggu, 28 Agustus 2011

PERSEKUTUAN FIRMA (VENNOOTSCHAP ONDER FIRMA)
Mulhadi[1]

1.   Pengertian
            Persekutuan Firma merupakan bentuk permitraan (partnership) kedua setelah Maatschap dan Persekutuan Komanditer yang dikenal di Indonesia. Sedangkan di negara Inggris (demikian juga Amerika), berdasarkan The Limited Partnerships Act 1907, membedakan partnership[2] (permitraan) dalam dua tipe, yaitu General Partnership (mirip Persekutuan Firma) dan Sleeping atau Limited Partnership (mirip Persekutuan Komanditer).[3] 
            General partnership (GP) adalah organisasi usaha (bisnis) yang didirikan oleh paling sedikit dua orang sekutu (partners), yang mungkin terdiri dari individual (orang-orang) pribadi atau badan-badan (entities) seperti persekutuan (partnerships) lain atau perseroan-perseroan (corporations). Setiap sekutu (partner) secara personal, bersama-sama, dan masing-masing  bertanggung jawab untuk semua kewajiban dan utang-utang persekutuan. Para sekutu dalam GP ini mempunyai kedudukan yang sama, sehingga karenanya (sebagai wujud kepemilikan atas usaha), secara bergiliran setiap sekutu berhak mengelola usaha (bisnis) bersama-sama dengan sekutu lainnya.[4]
            Menurut Pasal 16 KUHD, “Persekutuan Firma ialah tiap-tiap persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama”. Dari ketentuan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa Persekutuan Firma merupakan Persekutuan Perdata khusus.
            Molengraaff memberikan pengertian Firma dengan menggabungkan Pasal 16 dan Pasal 18 WvK, yaitu suatu perkumpulan (vereniging) yang didirikan untuk menjalankan perusahaan di bawah nama bersama dan yang mana anggota-anggotanya tidak terbatas tanggung jawabnya terhadap perikatan Firma dengan pihak ketiga.[5]
            Schilfgaarde mengatakan Persekutuan Firma sebagai persekutuan terbuka terang-terangan (openbare vennootschap) yang menjalankan perusahaan dan tidak mempunyai pesero komanditer.[6]
            Menurut Slagter, Firma adalah suatu perjanjian (een overeenkomst) yang ditujukan ke arah kerja sama di antara dua orang atau lebih secara terus menerus untuk menjalankan suatu perusahaan di bawah suatu nama bersama, agar supaya memperoleh keuntungan atas hak kebendaan bersama (gemeenschappleijk vermogensrechtelijk voordeel) guna mencapai tujuan pihak-pihak diantara mereka yang mengikatkan diri untuk memasukkan uang, barang, kerja, nama baik atau kombinasi dari padanya ke dalam perusahaan.[7]
            Ada tiga unsur mutlak yang dimiliki Persekutuan  Firma, selain sifatnya sebagai Persekutuan Perdata khusus, yaitu:[8]
a.       Menjalankan perusahaan (Pasal 16 KUHD)
Sebuah persekutuan yang sudah didirikan namun tidak memiliki aktivitas/kegiatan menjalankan perusahaan, maka persekutuan itu bukanlah badan usaha. Persekutuan Firma harus menjalankan perusahaan dalam rangka mencapai keuntungan atau laba. Disamping itu, aktivitas menjalankan perusahaan haruslah bersifat terus-menerus, tetap, dan harus memelihara pembukuan.
b.      Dengan nama bersama atau Firma (Pasal 16 KUHD);  
Firma artinya nama bersama, yaitu nama orang (sekutu) yang dipergunakan menjadi nama perusahaan. Misalnya: salah seorang sekutu bernama “Hermawan”, lalu Persekutuan Firma yang mereka dirikan diberi nama “Persekutuan Firma Hermawan”, atau “Firma Hermawan Bersaudara”. Disini kelihatan bahwa nama salah seorang sekutu dijadikan sebagai nama Firma.
Mengacu pada Pasal 16 KUHD dan yurisprudensi, ditentukan bahwa nama bersama atau Firma dapat diambil dari:
-      Nama dari salah seorang sekutu. Misalnya: “Firma Hermawan”.
-      Nama dari salah seorang sekutu dengan tambahan. Misalnya: “Firma Hermawan Bersaudara”, “Sutanto & Brothers”, “Marriot & Sons”, dan lain-lain.
-      Kumpulan nama dari semua atau sebagian sekutu. Misalnya: “Firma Hukum ANEK”. ANEK merupakan singkatan nama beberapa sekutu yakni Andika, Nelson, Elias dan Kurniawan.
-      Nama lain yang bukan nama keluarga, yang menyebutkan tujuan perusahaannya. Misalnya: “Firma Perdagangan Cengkeh”
Menurut Polak, para sekutu bebas untuk menetapkan nama dari persekutuan Firma. Tetapi kebebasan itu tidak sedemikian rupa sehingga nama yang ditetapkan itu menyamai atau hampir menyamai nama Firma lain yang sudah ada, sehingga menimbulkan kebingungan di pihak ketiga.
c.       Pertanggungjawaban sekutu yang bersifat pribadi untuk keseluruhan (solider; tanggung renteng; tanggung menanggung) (Pasal 18 KUHD)[9]
Setiap anggota atau sekutu Firma memiliki hak dan tanggung jawab yang sama. Seorang sekutu yang melakukan hubungan hukum dengan pihak ke-3, akan secara serta merta mengikat sekutu yang lainnya. Sehingga sekutu-sekutu Firma yang lain ikut bertanggung jawab secara tanggung menanggung hingga pada harta pribadi masing-masing. Hal ini merupakan wujud kebersamaan yang berlaku dan menjadi cirri khas Firma, serta dalam rangka melindungi kepentingan pihak ke-3.
            Dengan demikian, Persekutuan Perdata yang unsur tambahannya kurang dari apa yang disebutkan diatas, belumlah bisa disebut sebagai Persekutuan Firma.
2.   Sifat Kepribadian
Sebagaimana yang berlaku dan menjadi ciri sebuah Maatschap, maka kapasitas atau sifat kepribadian yang tebal juga menjadi ciri sebuah Firma, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 KUHD yang menyebutkan Firma sebagai persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama.
Persekutuan Perdata dan Persekutuan Firma sifat kepribadian para sekutunya masih sangat diutamakan. Lingkungan sekutu-sekutu tidak luas, hanya terbatas pada keluarga, teman dan sahabat karib yang bekerja sama untuk mencari laba, “oleh kita untuk kita”. Berbeda halnya dengan Perseroan Terbatas (PT), yang bertujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya, maka sifat kepribadian tidak kelihatan lagi bahkan tidak dipedulikan. Bagi PT yang paling penting adalah bagaimana meraup modal sebanyak mungkin dari pemegang saham, tidak peduli siapa orangnya. Banyaknya jumlah pemegang saham dalam PT menyebabkan mereka tidak saling mengenal satu sama lain.
3.   Pendirian Firma
Menurut Pasal 16 KUHD jo 1618 KUHPerdata, pendirian Firma tidak disyaratkan adanya akta, tetapi pasal 22 KUHD[10] mengharuskan pendirian Firma itu dengan akta otentik. Namun demikian, ketentuan Pasal 22 KUHD tidak diikuti dengan sanksi bila pendirian Firma itu dibuat tanpa akta otentik. Bahkan menurut pasal ini, dibolehkan juga Firma didirikan tanpa akta otentik. Ketiadaan akta otentik tidak bisa dijadikan argumen untuk merugikan pihak ketiga. Ini menunjukkan bahwa akta otentik tidak menjadi syarat mutlak bagi  pendirian Firma, sehingga menurut hukum suatu Firma tanpa akta juga dapat berdiri. Akta hanya diperlukan apabila terjadi suatu proses. Di sini kedudukan akta itu lain dari pada akta dalam pendirian suatu PT. Pada PT, akta otentik merupakan salah satu syarat pengesahan berdirinya PT, karena tanpa akta otentik PT dianggap tidak pernah ada.[11]
Bila pendirian Firma sudah terlanjur dibuat dengan kata, maka akta tersebut  didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, dan kemudian diikuti dengan pengumuman dalam Berita Negara RI. Disamping itu, untuk memulai berusaha sekutu pendiri harus mengantongi Surat Izin Usaha, Surat Izin Tempat Berusaha dan Surat Izin berhubungan dengan UU Gangguan (Hinder Ordonatie, S.1926/226) bila diperlukan.[12]
Kewajiban untuk mendaftarkan dan mengumumkan itu suatu keharusan yang bersanksi, karena selama pendaftaran dan pengumuman belum dilaksanakan, pihak ketiga dapat menganggap Firma tersebut sebagai Persekutuan umum, yakni Firma yang:
a.       menjalankan segala macam urusan;
b.      didirikan untuk waktu tidak terbatas; dan
c.       tidak ada seorang sekutu pun yang dikecualikan dari kewenangan bertindak dan menandatngani surat bagi persekutuan Firma (Pasal 29 KUHD).[13]
            Sebenarnya, berdasarkan Pasal 26 ayat (2)[14] dan Pasal 29 KUHD,[15] dikenal dua jenis Firma, yaitu:
a.       Firma umum, yakni Firma yang didirikan tetapi tidak didaftarkan serta tidak diumumkan. Firma ini menjalankan segala urusan, didirikan untuk jangka waktu tidak terbatas, dan masing-masing pihak (sekutu) tanpa dikecualikan berhak bertindak untuk dan atas nama Firma.
b.      Firma khusus, yakni Firma yang didirikan, didaftarkan serta diumumkan, dan memiliki sifat-sifat yang bertolak belakang dengan Firma umum seperti disebutkan di atas.
            Kedudukan akta pendirian (akta notaris) Firma merupakan alat pembuktian utama terhadap pihak ketiga mengenai adanya persekutuan Firma itu. Namun demikian, ketiadaan akta sebagaimana dimaksud di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk lepas dari tanggung jawab atau dengan maksud merugikan pihak ketiga. Dalam keadaan ini, pihak ketiga dapat membuktikan adanya persekutuan Firma dengan segala macam alat pembuktian biasa, seperti surat-surat, saksi dan lain-lain.
4.   Hubungan Antara Sekutu
Pada prinsipnya, para sekutu Firma memiliki hubungan yang setara (sederajat) satu sama lain. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama atas Firma. Dengan kata lain, semua sekutu Firma merupakan pengurus Firma dan bisa melakukan hubungan hukum keluar untuk dan atas nama Firma. Hal ini disebabkan Firma memiliki sifat kebersamaan (nama bersama). Perbuatan hukum salah seorang sekutu Firma dengan pihak ketiga akan mengikat sekutu-sekutu lainnya. Oleh sebab itulah tanggung jawab para sekutu dalam Firma bersifat pribadi untuk keseluruhan (tanggung renteng; solider). Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan para sekutu menyepakati dalam akta pendirian mengenai sekutu tertentu yang menjadi pengurus dan menetapkan sekutu tertentu yang menjadi pemegang kuasa untuk melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga termasuk mewakili Firma di forum pengadilan.
Pengaturan mengenai hubungan antar sekutu Firma (khususnya mengenai pembagian laba dan rugi) tidak ditemukan dalam KUHD, oleh karenanya hal ini kembali merujuk pada ketentuan Persekutuan Perdata Pasal 1624 s/d 1641 KUHPerdata. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan pelengkap, dan diantara pasal-pasal itu terdapat Pasal 1634 dan 1635 yang merupakan ketentuan memaksa menyangkut pembagian laba rugi. Mengenai laba rugi merupakan hal penting untuk diatur dalam perjanjian pendirian Firma. Bila hal itu tidak diatur maka berlakulah asas keseimbangan dari pemasukan (inbreng) sebagaimana diatur dalam Pasal 1633 KUHPerdata.
Sesuai dengan asas kebersamaan dalam Pasal 1618 KUHPerdata, pada hakekatnya antara para sekutu tidak boleh saling menyaingi. Namun bila hal itu terjadi berlakulah Pasal 1630 KUHPerdata, yakni kewajiban memberikan ganti kerugian.
5.   Pengurusan Firma
            Pengurus Persekutuan Firma harus ditentukan dalam perjanjian pendirian Firma (gerant statutaire). Bila hal itu tidak diatur, maka harus diatur secara tersendiri dalam suatu akta (gerant mandataire), yang juga harus didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI. Pendaftran dan pengumuman penting agar pihak ketiga dapat mengetahui siapa-siapa yang menjadi pengurus Firma,  dan dengan siapa pihak ketiga itu  akan mengadakan hubungan hukum.
            Keberadaan pengurus dalam Firma semata-mata untuk memudahkan pihak ketiga berhubungan dengan Firma. Penetapan pengurus tidak membawa konsekuensi pada tanggung jawab seperti yang berlaku dalam CV. Tanggung jawab diantara sekutu Firma adalah sama, baik secara internal maupun eksternal dengan pihak ketiga.
            Dalam Firma, kemungkinan ada pemisahan antara pihak pengurus dan pihak  yang mewakili Firma untuk bertindak keluar (pemegang kuasa). Seorang sekutu Firma (Pasal 17 KUHD)[16] dapat dilarang bertindak keluar. Kalau larangan itu tidak ada, maka tiap sekutu dapat mewakili Firma, yang mengikat sekutu-sekutu lainnya (Pasal 18 KUHD) asal tindakan sekutu yang bersangkutan ditujukan untuk kepentingan Firma. Sedangkan tindakan yang bersifat penguasaan harus ada kata sepakat dari semua sekutu.
            Menurut beberapa yurisprudensi, tindakan pengurusan sebenarnya juga mencakup didalamnya tindakan dimuka Hakim bagi kepentingan Firma sepanjang hal itu ada kaitannya dengan pekerjaan pengurus sehari-hari. Kecuali bila ada pembatasan dalam perjanjian pendirian Firma bahwa tindakan dimuka Hakim termasuk tindakan yang patut dikuasakan.
6.   Tanggungjawab Sekutu Baru  
            Persekutuan Firma dimungkinkan menambah sekutu baru. Tetapi semua itu harus berdasarkan persetujuan bulat semua sekutu lama (Pasal 1641 KUHPerdata). Sedapat mungkin, ketentuan mengenai keluar-masuknya sekutu diatur dalam perjanjian pendirian (akta otentik) Firma.
            Lain lagi halnya dengan sekutu pengganti. Penggantian kedudukan sekutu selama sekutu tersebut masih hidup, pada dasarnya tidak diperbolehkan, kecuali hal itu diatur lain dalam perjanjian pendirian Firma. UU hanya membolehkan sekutu Firma untuk menarik orang lain (teman) untuk menerima bagian yang menjadi haknya dari Firma itu walaupun tanpa izin sekutu-sekutu lainnya (Pasal 1641 KUHPerdata).
            Pertanyaannya, apakah sekutu baru dalam Firma juga tunduk pada Pasal 18 KUHD? Dengan kata lain, apakah sekutu baru juga ikut bertanggung jawab secara pribadi terhadap utang-utang Firma yang sudah ada? Mengenai hal ini ada beberapa pendapat:[17]
  1. Polak: sekutu baru tidak boleh dimintai tanggung jawab untuk membayar utang-utang Firma yang telah ada pada saat dia diterima menjadi sekutu, sebab dia tidak pernah memberi kuasa kepada sekutu-sekutu lama untuk mewakilinya dalam hubungan hukum yang telah dibuat tersebut, kecuali apabila sekutu baru itu (sebagai syarat penerimaannya) telah menyetujui sendiri tentang tanggung jawab terhadap utang-utang Firma yang telah ada sebelum dia bergabung.
  2. Eggens: pertanggungjawaban sekutu baru terhadap perikatan-perikatan atau utang-utang Firma yang telah ada pada saat dia bergabung adalah sudah selayaknya atau sudah pada tempatnya.
  3. Soekardono: pertanggungjawaban itu sudah semestinya karena keuntungan-keuntungan yang dapat diharapkan oleh sekutu baru.
            Selanjutnya, bagaimana pula halnya dengan tanggung jawab sekutu yang keluar terhadap utang-utang Firma yang belum sempurna dilunasi pada saat dia keluar? Berkaitan dengan hal ini, Van Ophuijsen yang mendapat dukungan dari Polak berpendapat bahwa sekutu yang sudah keluar tetap bertanggung jawab terhadap utang-utang Firma yang belum sempurna dilunasi saat dia keluar sebagai sekutu, karena tanggung jawab itu tidak dapat ditiadakan dengan perbuatan sepihak dari sekutu bersangkutan dengan cara keluar dari Firma.[18]
Menurut Partadireja, secara umum ada dua macam tanggung jawab sekutu dalam Persekutuan  Firma, yaitu:[19]
a.       Tanggung jawab tidak terbatas (internal), artinya apabila Firma bangkrut dan harta bendanya tidak memadai untuk membayar utang-utang Firma, maka harta benda pribadi para sekutu bisa disita untuk dilelang, dipakai untuk membayar utang-utang Firma. Jadi, selain kehilangan modal dalam Firma, anggota Firma bisa juga kehilangan harta benda pribadi. Dengan kata lain, bila Firma jatuh pailit, ada kemungkinan anggotanya ada yang terseret pailit. Sebaliknya, bila sekutunya ada yang pailit, belum tentu Firma harus terseret pailit. Mungkin hanya harus dikeluarkan dari Firma dan kekayaannya yang ada pada Firma (modal dan keuntungan) harus dibayarkan.
b.      Tanggung jawab solider/tanggung renteng (eksternal). Tanggung jawab ini khususnya terletak dalam hubungan keuangan dengan pihak ketiga. Sekutu Firma bertanggung jawab penuh atas perjanjian-perjanjian yang ditutup oleh rekannya untuk dan atas nama Firma. Orang luar (pihak ketiga) yang mengadakan perjanjian dengan sekutu itu boleh menuntut salah seorang sekutu, boleh pula menuntut semua anggota sekaligus sampai kepada harta benda pribadinya.
7.   Kewenangan Mewakili dan Bertindak Keluar
            Dalam menjalankan perusahaan, tiap-tiap sekutu mempunyai wewenang untuk mengadakan perikatan dengan pihak ketiga untuk kepentingan persekutuan, kecuali bila sekutu itu dikeluarkan dari kewenangan tersebut (Pasal 17 KUHD). Bila tidak ada sekutu yang dikeluarkan dari kewenangan untuk mengadakan perbuatan hukum, maka dapat dianggap bahwa tiap-tiap sekutu saling memberikan kuasa umum bagi dan atas nama semua sekutu untuk melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga. Hal ini mencakup semua perbuatan hukum, termasuk tindakan-tindakan di muka hakim.[20]
            Dengan demikian, asas kewenangan mewakili berarti bahwa sekutu-sekutu lain turut terikat oleh perbuatan seorang sekutu terhadap pihak ketiga, sekedar perbuatan itu dilakukan atas nama dan bagi kepentingan Firma. Dengan ini timbul asas pertanggungjawaban sekutu adalah pribadi untuk keseluruhan (solider/renteng). Tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan termasuk perikatan-perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum. Kepada sekutu yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat dituntut mengganti kerugian oleh Firma berdasarkan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
            Mengenai pertanggungjawaban anggota/sekutu/pemegang saham terhadap pihak ketiga dapat diurutkan sebagai berikut:[21]
  1. bagi sekutu Persekutuan Perdata, tanggung jawab secara pribadi terbatas pada perikatan-perikatan yang telah dibuatnya sendiri, kecuali bila sekutu bersangkutan telah mendapat kuasa dari sekutu-sekutu lain atau keuntungan dari adanya perikatan itu telah dinikmati oleh persekutuan (Pasal 1642 dan  1644 KUHPerdata)
  2. bagi sekutu Persekutuan Firma (Fa.) bertanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan, artinya untuk seluruh perikatan yang telah dibuat oleh dia sendiri dan para sekutu lainnya bagi kepentingan persekutuan (Pasal 18 KUHD)
  3. bagi seorang persero atau pemegang saham pada Perseroan Terbatas (PT), tanggung jawabnya terbatas pada jumlah penuh dari saham-sahamnya (Pasal 10 ayat 2 KUHD).
8.   Firma Bukan Badan Hukum
Pendapat umum  di Indonesia berlaku ketentuan bahwa Persekutuan Firma belum bisa dikategorikan sebagai badan hukum. Ada beberapa syarat/unsur materil agar suatu badan dapat dinamakan badan hukum, ialah:
(1)         Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu, terpisah dari kekayaan para sekutu badan itu;
(2)         Ada kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama yang bersifat stabil, yakni dalam rangka mencari laba/keuntungan.
(3)         Adanya beberapa orang sebagai pengurus dari badan itu.
            Berdasarkan beberapa syarat/unsur materil diatas, sebenarnya Persekutuan Firma sudah layak menjadi badan hukum. Tetapi belum memenuhi syarat/unsur formil, maka Persekutuan Firma belum bisa dikatakan sebagai badan hukum. Unsur formil yang dimaksud adalah pengakuan undang-undang, pengesahan dari Pemerintah (Mentri Kehakiman, sekarang Mentri Hukum dan HAM), dan pengakuan  atau pernyataan dalam yurisprudensi yang mengakui Persekutuan Firma sebagai badan hukum. Bila syarat/unsur formil ini  dipenuhi maka  Persekutuan Firma  baru bisa disebut sebagai badan hukum.
            Berbeda dengan pandangan umum yang dianut di Indonesia, di Belgia dan Perancis dianut ketentuan bahwa Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer adalah badan hukum. Sikap ini juga dianut oleh Eggens yang menyatakan bahwa Persekutuan Firma itu adalah badan hukum karena telah memenuhi syarat materil sebagai badan hukum. Tetapi sikap Eggens ini banyak ditentang oleh ahli hukum yang lain seperti Zeylemaker yang mengatakan Eggens dianggap menggunakan istilah badan hukum yang menyimpang dari yang lazim, yaitu sebagai sebuah kesatuan (perkumpulan) yang dapat dikenal, karena kekayaannya yang terpisah dan pertanggungjawabannya yang terpisah pula.[22]
            Pendapat Eggens ini jelas menyimpang karena unsur-unsur badan hukum yang dibuatnya tidak mencakup unsur materil dan formil secara keseluruhan, karena sebagai badan hukum Persekutuan Firma tidak cukup hanya sekedar dikenal sebagai sebuah kesatuan/perkumpulan/persekutuan tetapi harus mendapat pengakuan undang-undang dan atau pengesahan dari pemerintah sebagai unsur formil.
            Walaupun Firma mempunyai modal yang terpisah dengan harta para sekutunya, namun karena Firma bukan merupakan badan hukum (karena tidak memenuhi syarat materil dan syarat formil sekaligus), maka Firma tidak dapat mengambil bagian dalam lalu lintas hukum. Demikian juga Firma tidak dapat mengadakan tindakan hukum dan tidak memiliki hak dan kewajiban seperti badan hukum pada umumnya. Karena bukan badan hukum, maka Firma tidak mempunyai alat-alat seperti pengurus yang dapat melakukan tindakan hukum.[23]
9.   Bubarnya Persekutuan Firma
            Mengenai bubarnya Persekutuan Firma berlaku ketentuan yang sama dengan Persekutuan Perdata (Maatschap). Ini disebabkan karena Firma sesungguhnya juga merupakan Persekutuan Perdata (Pasal 16 KUHD). Ketentuan tersebut adalah Pasal 1646 s/d 1652, Buku III KUHPerdata, ditambah dengan Pasal 31 s/d 35 KUHD.
            Menurut Pasal 1646 KUHPerdata, beberapa sebab bubarnya Persekutuan Firma adalah :
a.       Lampaunya waktu untuk mana Persekutuan Perdata itu didirikan;
b.      Musnahnya barang atau telah diselesaikannya usaha yang menjadi tugas pokok maatschap itu;
c.       Kehendak dari seorang atau beberapa orang sekutu; dan
d.      Salah seorang sekutu meninggal dunia atau dibawah pengampuan atau dinyatakan pailit.
            Pasal 31 KUHD mengatur syarat pembubaran Firma khusus untuk kepentingan pihak ketiga, dengan bunyi sebagai berikut:
Ayat (1):    Membubarkan Firma sebelum waktu yang ditentukan dalam perjanjian pendirian atau sebagai akibat pengunduran diri atau pemberhentian, begitu juga memperpanjang waktu sehabis waktu yang telah ditentukan, dan mengadakan perubahan-perubahan dalam perjanjian semula yang penting bagi pihak ketiga, semua itu harus dilakukan dengan akta otentik, didaftarkan seperti tersebut di atas dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI.
Ayat (2):    Kelalaian dalam pendaftaran dan pengumuman tersebut, berakibat tidak berlakunya pembubaran, pengunduran diri, pemberhentian atau perubahan tadi terhadap pihak ketiga
Ayat (3):    Bila kelalaian itu mengenai “perpanjangan waktu”, maka berlakulah ketentuan-ketentuan Pasal 29 KUHD, yakni pihak ketiga dapat menganggap bahwa persekutuan itu:
a)      berlaku untuk jangka waktu yang tidak ditentukan;
b)      mengenai semua jenis usaha perniagaan;
c)      tidak ada sekutu yang dikeluarkan dari kewenangan untuk bertindak keluar
            Menurut logika hukum yang berlaku saat ini, Persekutuan Firma dapat berakhir karena:[24]
a.       Jangka waktunya sudah habis.
b.      Diputuskan oleh para anggotanya untuk dibubarkan.
c.       Firma dan anggotanya jatuh pailit.
d.      Salah seorang anggota meninggal dunia, keluar atau berada di bawah pengampuan.
e.       Tujuan dari Firma telah tercapai.
            Dalam praktek hukum seringkali terjadi bahwa penggantian anggota dengan penerusan Firma itu dimungkinkan. Untuk ini para sekutu pengadakan perjanjian bahwa Firma itu dapat terus berjalan  apabila salah seorang sekutu meninggal dunia yang dapat diganti oleh ahliwarisnya atau apabila seorang sekutu mengundurkan diri dan diganti dengan orang lain atau dapat diteruskan tanpa penggantian sama sekali setelah terlebih dahulu diadakan perhitungan dengan ahliwaris atau anggota yang keluar itu. Dengan adanya perjanjian ini yang dalam hukum disebut verblijvensgeding menjamin tetap berlangsungnya persekutuan itu. Namun untuk ini perlu dipenuhi syarat pokok ialah adanya pengumuman mengenai perubahan itu bagi pihak ketiga. [25]
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan adanya beberapa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh badan usaha berbentuk Persekutuan Firma, sebagaimana ditampilkan dalam bentuk matrik berikut ini:
VENNOOTSCHAP ONDER FIRMA
KELEBIHAN
KEKURANGAN

·      Kemampuan manajemen lebih besar, karena ada pembagian kerja diantara para anggota
·      Pendiriannya relatif mudah
·      Kebutuhan modal lebih mudah terpenuhi
·      Para sekutu Firma memiliki kedudukan yang sama
·      Memiliki hak dan kewajiban yang sama
·      Semua sekutu pada hakekatnya merupakan pengurus Firma, walaupun ada pengurus firma 

·      Tanggungjawab pemilik tidak terbatas (internal)
·      Setiap sekutu dapat mengikat Firma dengan pihak ketiga
·      Ada kemungkinan sekutu yang tidak memiliki inegritas  melakukan perbuatan hukum yang merugikan Firma
·      Kerugian disebabkan oleh seorang sekutu harus ditangung bersama 
·      Kelangsungan hidup perusahaan tidak menentu
           
            Persekutuan Firma merupakan Persekutuan Perdata khusus, karena itu syarat-syarat Persekutuan Perdata juga berlaku bagi Firma. Firma hanyalah merupakan pengembangan yang lebih sempurna dari Persekutuan Perdata. Namun demikian, sedikitnya terdapat 4 (empat) perbedaan yang dapat diidentifikasi antara Persekutuan Perdata dan Firma sebagaimana ditunjukkan oleh matrik di bawah ini:
PERBEDAAN
BURGELIJKE MAATSCHAP DAN VENNOOTSCHAP ONDER FIRMA
NO.
MAATSCHAP
NO.
FIRMA
1.
2.


3.

4.
5.





6.
Bertanggung jawab sendiri-sendiri
Masing-masing sekutu tidak bisa mengikat sekutu lain, kecuali ada pemberian kuasa dari sekutu lain.
Spesifikasi dalam aktivitas/kegiatan Maatschap belum kelihatan
Tidak mempunyai kekayaan terpisah
Didirikan dengan perjanjian, baik dengan akta otentik ataupun akta dibawah tangan. Tetapi undang-undang tidak ada menegaskan dengan akta otentik. Akta otentik sifatnya sebagai alat bukti semata.
Tidak ada kewajiban pendaftaran dan pengumuman
1.
2.



3.


4.
5.






6.

Bertanggung jawab secara solider
Tiap sekutu bisa melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan mengikat sekutu lainnya.
Spesifikasi dalam aktivitas/kegiatan dalam Firma sudah dilakukan
Mempunyai kekayaan terpisah
Didirikan dengan perjanjian, yang harus dilakukan dengan akta otentik. Namun, ketiadaan akta otentik tidak menjadi alasan untuk merugikan pihak ketiga. Akta otentik menjadi salah satu alat bukti yang sempurna
Ada kewajiban pendaftaran dan pengumuman.




                [1] Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
                [2] A partnership is a type of business entity in which partners (owners) share with each other the profits or losses of the business. Partnerships are often favored over corporations for taxation purposes, as the partnership structure does not generally incur a tax on profits before it is distributed to the partners (i.e. there is no dividend tax levied). However, depending on the partnership structure and the jurisdiction in which it operates, owners of a partnership may be exposed to greater personal liability than they would as shareholders of a corporation. Periksa  http://en.wikipedia.org/wiki/Partnership, diakses pada Rabu, 9 September 2009
                [3] Helen J. Bond and Peter Kay, Business Law, (Great Britain-London: Blackstone Press Limited, 1990), Pg.337. A general partnerships is an ordinary active partner with right to participate in the management of the business. He also has unlimited liability for the the debts of the partnerships.
                [4] Gero Pfeiffer and Sven Timmerbeil, Loc.Cit. As a general rule, the partners share equally in profits and losses. However, the partners often agree upon other distribution procedures based on the amount of contribution made by the respective partner. 
                [5] M. Natzir Said, Op.Cit., hal. 117
                [6] Ibid.
                [7] Ibid., hal 119
                [8] Bandingkan dengan ulasan yang dikemukakan oleh Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis : Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 37-38
                [9] Pasal 18 KUHD berbunyi : “Dalam Persekutuan Firma adalah tiap-tiap sekutu secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya atas segala perikatan dari persekutuan”
                [10] Pasal 22 KUHD: “Tiap-tiap Persekutuan Firma harus didirikan dengan akta otentik, akan tetapi ketiadaan akta demikian tidak dapat dikemukakan untuk merugikan pihak ketiga”.
                [11] Achmad Ichsan, Hukum Dagang: Lambaga Perserikatan, Surat-surat Berharga, Aturan-aturan Pengangkutan,(Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1993), hal. 124
                [12] H.M.N.Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (Bentuk-bentuk Perusahaan), Jilid 2 (Jakarta: Djambatan, 1991), hal. 48
                [13] Ibid.
                [14] Pasal 26 ayat (2) berbunyi : “Penyebutan Firma mereka dengan keterangan apakah persekutuan itu umum, atau hanya terbatas pada sesuatu kegiatan usaha (perusahaan) yang khusus dan hal belakangan ini dengan menyebutkan kegiatan usaha (perusahaan) khusus itu”
                [15] Selama pendaftaran dan pengumuman itu belum berlangsung, maka terhadap pihak ketiga Persekutuan Firma itu harus dianggap sebagai perseroan umum, ialah untuk segala urusan, pula sebagai didirikan untuk waktu tak terbatas dan akhirnyapun seolah-olah tiada seorang pesero yang dikecualikan dari hak bertindak dan hak menandatangani untuk Firma itu”
                [16] Pasal 17 KUHD : “Tiap-tiap sekutu yang tidak dikecualikan dari satu sama lain, berhak untuk bertindak untuk mengeluarkan dan menerima uang atas nama persekutuan, pula untuk mengikat persekutua itu dengan pihak ketiga dan pihak ketiga dengannya”.
                [17] H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Hukum Dagang Indonesia (Bentuk-bentuk Perusahaan), Op.Cit., hal. 57-58
                [18] Ibid., hal. 57
                [19] Iting Partadireja, Pengetahuan dan Hukum Dagang, (Jakarta: Erlangga,1978), hal. 48
                [20] H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Hukum Dagang Indonesia (Bentuk-bentuk Perusahaan), Op.Cit., hal. 61
                [21] Ibid., hal.62
                [22] Ibid., hal.65
                [23] Achmad Ichsan, Op.Cit., hal. 122
                [24] Ibid., hal. 127
                [25] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi pembaca dan blogger mania, silahkan beri komentar setiap posting yg saya muat, dan diutamakan komentar yang membangun, terimaksih